Anda di halaman 1dari 15

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH

Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi Dalam Seni

Disusun Oleh :

Novita Putri Agusta

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ISIP

PURWOKERTO

2008

KATA PENGANTAR

Penyusun panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberi segala
kemurahan, rahmat, serta hidayah dan petunjuk-Nya kepada penulis. Sehingga penyusunan
makalah ini berjalan dengan lancar hingga selesai. Selesainya penyusunan makalah ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak, selaku dosen pengampu mata kuliah.


2. Orang tua yang sudah memberi dorongan secara materi maupun moral.
3. Serta berbagai pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah membantu
menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik
materi maupun penyajianya.

Oleh karena itu penulis sangat menghargai kritik dan saran yang membangun.

Purwokerto, 26 Maret 2008

Penyusun,

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar…………………………………………………………………........ i

Daftar Isi…………………………………………………………………………...... ii

BAB I. Pendahuluan

A. Tujuan……………………………………………………………………...... 1
B. Hipotesis…………………………………………………………………….. 1
BAB II. Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………….. 2
BAB III. Pembahasan

BAB IV. Penutup

1. Kesimpulan………………………………………………………….. 17
2. Saran………………………………………………………………… 18
Daftar Pustaka………………………………………………………………...…….. 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. TUJUAN

Peerkembangan zaman dan teknologi, memebuat pornografi dan pornoaksi semakin


merambah pesat.dikalangan masyarakat Indonesia. Di satu sisi sebagian masyarakat (dalam
lapisan golongan tertentu) masih setia atau setidaknya memelihara norma-norma yang
membingkai perilaku, tata krama, atau kesopanan, sementara di sisi lain, masyarakat dalam
lapisan yang lain terus berada dalam situasi dan kondisi yang semakin permisif. Oleh karena itu
makalah ini dibuat untuk menanggapi RUU anti pornografi dan pornoaksi dikalangang
masyarakat dan remaja Indonesia.

B. HIPOTESIS

1. Tanggapan tentang RUU pornografi dan pornaksi

2. Sensor Film (BSF) secara benar dan proporsional.

Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi Dalam Seni

(Tanggapan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)


Persoalan yang selalu muncul dan senantiasa menyimpan ‘passion’ dalam kehidupan
masyarakat adalah ikhwal pornografi. Ia—pornografi—mudah sekali (dan memang potensial)
menjadi tertuduh, berkaitan dengan berbagai kejahatan dan kekerasan. Kini seiiring dengan
pesatnya laju perkembangan teknologi--media-massa--komunikasi, yang memanjakan siapa
pun untuk mengakses apa pun, dan dari mana pun. Media informasi dalam segala bentuknya,
media cetak (koran, majalah, tabloid, dsb.), media elektronik (radio, televisi, dsb.), memasuki
ruang-ruang privat setiap orang dalam segala usia, tanpa mengenal batas dan hambatan.

Perkembangan selanjutnya, kini masyarakat menuai keresahan. Di satu sisi sebagian


masyarakat (dalam lapisan golongan tertentu) masih setia atau setidaknya memelihara norma-
norma yang membingkai perilaku, tata krama, atau kesopanan, sementara di sisi lain,
masyarakat dalam lapisan yang lain terus berada dalam situasi dan kondisi yang semakin
permisif. Pergeseran norma pastilah terjadi. Dengan demikian, pada dua kutub itu pastilah
pula terjadi benturan. Karena itu, maka dapat dimengerti, apabila muncul pemikiran dan
sejumlah aksi untuk melihat kembali secara kritis tentang pornografi, pornoaksi, kebebasan
berekspresi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, dan bagaimana menanggulanginya.

Secara etimologi, pornografi berarti suatu tulisan yang berkaitan dengan masalah-
masalah pelacuran, dan tulisan itu kebanyakan berbentuk fiksi (cerita rekaan) yang materinya
diambil dari fantasi seksual. Pornografi biasanya tidak memiliki plot dan karákter, tetapi
memiliki uraian yang terperinci mengenai aktivitas seksual, bahkan sering dengan cara
berkepanjangan, dan kadang-kadang sangat menantang. Jika kita tengok dalam kamus,
pornografi artinya, (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan
untuk membangkitkan nafsu birahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata
dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (KBBI, 1991: 782).

Semula pornografi hanya berbentuk tulisan. Namun kini, seperti disinggung di atas,
hadir dalam bentuknya yang beragam meliputi seluruh media, baik cetak berupa gambar, foto,
iklan, termasuk tulisan, maupun media elektronik berupa film sinema, video tapes, dan
telefon. Terdapat dua kata kunci pada penjelasan (kamus) di atas, yaitu ‘membangkitkan
nafsu berahi’ dan ‘semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks’.
Artinya, terdapat persoalan dalam presentasi teks—tulisan maupun visual/audio visual—yang
harus dilihat secara kritis dalam konteks pornografi, kekerasan, dan berekspresi dalam seni.
Tentu saja hal ini akan terkait pula dengan persoalan pengertian secara definitif. Artinya,
harus dipertanyakan misalnya, seperti apa dan bagaimana batas-batas tentang pornografi dan
kekerasan, dan kebebasan berekspresi seni, seiring dengan bergesernya norma-norma dalam
masyarakat.

Berkaitan dengan media dan bentuk mediasi seperti itu, kini dapat dilihat terdapat dua
jenis pornografi yaitu “pornografi perangkat keras” (hard core) dan “pornografi perangkat
lunak” (soft core). Perbedaan dari keduanya hanya terdapat pada penggunaan materi, dan
yang paling penting terdapat pada subject matter (masalah dan ruang lingkupnya). Pornografi
perangkat lunak tidak memasukkan masalah-masalah kekerasan (kejahatan); jika laki-laki
yang ditampilkan biasanya tidak menunjukkan organ intinya. Pada pornografi perangkat
keras, seperti yang terdapat di Amerika Serikat, atau Eropa, sering terdapat teks yang
berhubungan secara terperinci dengan gambar atau foto yang disajikan.

Apa pun jenis dan bentuknya, pornografi pada intinya terdiri dari kombinasi
persentuhan seksual dengan tujuan utama adalah untuk membangkitkan gairah seksual.
Provokasinya atau tepatnya mediasinya diupayakan dengan berbagai cara dan strategi yang
bermacam-macam, antara lain sex shop, iklan, telefon, video, dan sebagainya.

Pornografi pada akhirnya memiliki kaitan erat dengan percabulan dan erotisme. Cabul
memiliki konotasi yang sangat negatif, mencitrakan kekerasan dan kejahatan, dan sudah pasti
tidak dapat diterima oleh masyarakat. Pengertian dalam kamus bahkan sangat tegas, yaitu keji
dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Percabulan, disamping
melanggar kesusilaan dan kesopanan, sudah pasti melanggar rambu-rambu hukum. Dalam
kaitan inilah, sektor hukum semestinya segera menunjukkan kekuatannya secara efektif.
Seperti dilansir oleh Heriadi Willy S.H., Law Worker dan seorang IKADIN Yogyakarta
dalam ‘Tropong Hukum’ bahwa “selama ini soal pornografi maupun yang disebut sebagai
pornoaksi penindakannya selalu dikaitkan dengan Bab XIV KUHP tentang Kejahatan
Terhadap Kesopanan” (Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2003). Dijelaskan lebih lanjut, dalam
pasal 281 KUHP disebutkan “Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau
denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,” (1e) barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka
umum; (2e) barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka orang lain yang hadir tidak
dengan kemauannya sendiri (KUHP 37, 289, 298, 532) (Ibid).

Tampak dalam uraian itu apa yang disebut sebagai “kesopanan” yang terkait pula
dengan moralitas serta norma-norma dalam suatu masyarakat. Karena itu, agar terdapat
rambu-rambu yang jelas untuk mengetahui kebenaran formal dan material, seperti dikatakan
oleh Heriadi Willy, jika terdapat Undang-undang khusus tentang Pornografi dan Pornoaksi,
perlu diauraikan secara jelas apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut. Kejelasan
sebuah terminologi, akan menghindarkan dan penyalahgunaan atau penyimpangan dalam
pemahaman dan penerapannya.

Terdapat istilah lain yang ‘rawan’ dari pengertian dan pemahaman yang keliru, yaitu
“erotika/erotisme”—berkenaan dengan kebirahian. Karya-karya sastra (puisi, cerita pendek,
novel) karya para penulis perempuan seperti Rieke Diah Pitaloka, Ayu Utami, Nukila Amal,
atau Djenar Maesa Ayu, mengungkapkan ikhwal seksualitas secara terbuka. Tentu saja karya-
karya mereka menarik untuk dilihat dan didiskusikan secara kritis, berkaitan dengan topik kita
kali ini. Karya-karya seni rupa memiliki sejarah yang panjang dalam kaitan perdebatan antara
mana yang “seni” dan mana yang “porno” dan sudah pasti terus menerus dalam bingkai
pengertian yang bergeser. Perdebatan yang tak kunjung selesai itulah rupanya yang dijadikan
kesempatan ‘perlindungan’ para produsen hiburan yang bernuansa pornografi/seks dan
kekerasan, dengan mengatasnamakan sebagai “seni.”

Persoalan seperti itu memancing pertanyaan, misalnya, adakah pornografi yang


bersifat seni? Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa pornografi bukalah seni, dan tidak
memiliki elemen-elemen seni yang artistik dan estetik (ingat misalnya kasus perempuan
model untuk sampul majalah yang diajukan di pengadilan, dan argumentasi mereka ketika
menjawab tuntutan/tuduhan masyarakat; “foto-foto saya adalah karya seni” kata mereka).

Agar jernih dalam mematok terminologi dan pengertian, maka pengertian dan
pemahaman tentang pornografi, erótika, kekerasan, dan sejenisnya dapat dilihat secara
kontekstual dari perspektif (pandangan) budaya (masyarakat) yang melatarbelakangi. Tema-
tema erotik dalam seni lukis tradisional Bali mislanya, adalah bagian dari ‘magi produktif’
merupakan konsep ‘lingga-yoni’ (dalam ideologi Ciwaistik), sebagai metáfora tentang
kesuburan. Pada bentuk atau ekspresi kesenian lainnya, tentu memiliki pengertiannya sendiri.

Dalam seni rupa Bali, sebuah patung Datonta yang disebut Ratu Pancering Jagat
terdapat di desa Trunyan, Kintamani merupakan peninggalan megalitik terbesar di Bali
dengan tinggi patung sekitar 4 meter. Patung telanjang bulat itu menampakkan kelaminnya
lembut mengarah pada sebuah lobang yang terletak diantara kedua kaki patung itu. Lagi-lagi
wujud ini adalah manifestasi idiologi ‘lingga-yoni.’ Di istana Klungkung ditemukan sebuah
relief batu padas yang menggambarkan seorang laki-laki sedang diikat pada sebatang pohon
menunjukkan alat vitalnya tengah ereksi ketika menyaksikan dua orang wanita sedang
telanjang bulat di depannya. Masih berkaitan dengan seni relief, sebuah panil dari kayu juga
dijumpai di sebuah pura di Bali yang menggambarkan seorang laki-laki sedang tersangkut di
atas pohon kayu, diapit oleh dua ekor lembu, kainnya lepas dan alat kelaminnya tampak
panjang dan besar.

Di Jawa, adegan porno sudah ada di Candi Sukuh, kurang lebih 30 Km dari kota Solo.
Candi agama Siwa yang dibangun pada tahun 1437-1438 itu memamerkan relief penis
(lingga) yang berhadapan dengan vagina (yoni). Di bagian lain dari candi itu ada patung pria
yang memegang penisnya dalam keadaan ereksi. Di Kecamatan Ngampel, Boyolali terdapat
rief-relief pria dan wanita dalam posisi bersenggama. Diperkirakan relief Candi Ngampel dan
Candi Sukuh dibangun pada masa yang sama.

Penggambaran erotisme dalam seni lukis Bali malah lebih dasyat dibandingkan
dengan seni lainnya. Seorang pelukis tua Dewa Putu Mokoh dari Pengosekan Ubud senantiasa
menggali dan memaknai ketelanjangan dengan estétika seni rupa tradisi lokal. Bahkan
muridnya yang bernama Gusti Ketut Murniasih (kini almarhum) malah menghadirkan teror
visual, dimana wujud kelamin manusia selalu hadir dalam kanvas-kanvasnya. Gusti Ketut
Murniasih yang sempat belajar dari Dewa Putu Mokoh itu seakan-akan meluapkan eskpresi
bawah sadarnya, termasuk pula ketegangan psikologisnya sebagai perempuan yang meninggal
terserang kanker pada rahimnya (Kun Adnyana, Balipost 2005).

Dari 6 (enam) jenis Pajogedan (Joged Pingitan, Gandrung, Adar, Leko, Gudegan)
dalam seni pertunjukan Bali terdapat salah satu diantaranya yang paling erotis disebut Joged
Bumbung. Tari ini merupakan tari pergaulan dengan konsep arena terbukanya memberi
peluang pada pengibing laki-laki untuk menari secara intim dan menantang. Karena sifatnya
sebagai tari pergaulan berkonsekuensi logis pada sifat-sifat ritme dan geraknya, yaitu dari
gemulai goyang pinggul, hingga kelincahannya dalam menghindari serbuan para
pengibingnya. Penari Joged Bumbung yang baik, dalam pengertian mampu menguasai varian
gerak tari erotik yang menawan memang tak akan pernah terhenti dalam penampilannya pada
titik gerak visual yang seronok dan vulgar. Ada persoalan penghayatan gerak erotik yang
lebih sublim yang mesti ditampilkan. Namun demikian, Joged Bumbung berbeda dengan tari
cabaret dan striptease yang berbicara erótika secara fisikal dan vulgar.

Sesungguhnya seni bukan alasan yang pas untuk mengesahkan kehadiran pornografi.
Maksudnya suatu produk lukisan telanjang itu dikatagorikan porno atau tidak, tak bisa diukur
dengan kriterium-kriterium kesenian. Persoalan kesenian adalah keindahan. Sedangkan
pornografi lebih menjadi persoalan etika. Karena menyangkut masalah etika, maka
persoalannya juga menjadi relatif, tergantung siapa yang memandang dan dari latarbelakang
agama serta sosial budayanya (Cholis, Special Gallery, 2001).

Menurut Hindu (Kama Sutra 1.37.) seksualitas adalah penting bagi kehidupan
manusia, seperti halnya makanan perlu untuk kesehatan badan, dan seksulitas mereka
bergantung pada artha dan dharma. Menurut Hindu, makna seks atau seksualitas bukanlah
sesuatu yang kotor, jahat atau hina. Membicarakan, memperlihatkan dan melakukan pada
tempat, waktu, dan situasi serta kondisi (desa, kala, dan patra) yang tepat adalah “sah.” Seks
penting untuk mencapai totalitas atau kesempurnaan, untuk memupuk rasa percaya diri,
keberanian, memperhalus kepribadian dan rasa termasuk welas asih. Dalam Ikonogtafi Hindu
penggambaran alat kelamin (phalus atau lingga) dan alat kelamin wanita (yoni) dalam seni
rupa adalah melambangkan api atau kekuasaan dan bumi, yang apabila kedua unsur itu
bersatu akan menghasilkan kekuatan atau energi.

Hindu memiliki konsep yang sangat jelas ketika memaknai pornografi dan pornoaksi.
Dalam Manawa Dharmasastra setidaknya ada 4 ayat suci dan dalam Kama Sutra terdapat 3
ayat suci yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. “Memberikan sesuatu yang
merangsang wanita lain, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta
duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan yang (hukumannya) harus dianggap sama
dengan berzina” (Manawa Dharma Sastra VIII.357). “Hendaknya bagian yang sensitif dari
tubuh ini jangan diperlihatkan, karena hal itu akan merusak mental dari orang yang
melihatnya” (Kama Sutra III.12).

“Penganut agama yang puritan misalnya, jelas menganggap seksualitas itu tidak boleh.
Di kalangan masyarakat perkotaan atau masyarakat pasca modernis yang pluralistik,
persoalan itu mengalir secara dialektis. Dan ada kalanya bisa menimbulkan pro dan kontra,”
papar pengamat seni rupa kawakan Jim Supangkat.

Pendeknya, semuanya terpulang pada pilihan individu masing-masing. Setiap pilihan


tentu juga akan membawa reksiko (implikasi), baik budaya, etis maupun moral yang berbeda
pula. Pada saat lalu lintas nilai kebudayaan berseliweran dan berhamburan ke arah pluralisasi,
pilihan apa pun bukan lagi sesuatu yang mustahil terjadi. Pilihan apa pun juga akan turut
memperlebar terbukanya berbagai peluang untuk muncul dan hidup.

Secara tradisional Bali telah memiliki proses penciptaan seni yang terkait dengan
siwam (kesucian), satyam (kebenaran) dan sundaram (estétika). Penciptaan seni terjadi oleh
adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan dalam bidang seni mengandung pengertian
yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovási yang dipengaruhi oleh rasa. Namun
demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang
cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat
bersifat individu atau kolektif tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.

Berdasarkan ideologi siwam, satyam dan sundaram, lahirlah kesenian Bali dalam tiga
katagori, yaitu seni wali, bebali, dan balih-balihan. Penelitian kami pada tahun 1992, ternyata
menunjukkan bahwa 70% kesenian Bali bersifat wali dan bebali (bersifat sakral dan
seremonial), dan hanya 30% bersifat balih-balihan atau sekuler. Penelitian itu telah
menganalises sebanyak 5612 kelompok seni pertunjukan yang kini hidup di Bali. Kesimpulan
itu membuktikan bahwa motivasi terkuat bagi seniman untuk menciptakan kesenian Bali
adalah agama Hindu Dharma. Namun demikian, untuk menghindari pelarangan-pelarangan
terhadap pementasan seni sakral di ruang publik yang dianggap tidak tepat, atau penampilan
seni erotis dalam ruang publik terbuka, dibutuhkan pendidikan etika dan tata krama yang
tegas dan secara terus menerus. Hal ini perlu didukung oleh pendidikan seni yang unggul agar
mampu melahirkan para pencipta yang dapat memadukan kesucian, kebenaran, dan estétika.
Atau dengan perkataan lain bahwa kesenian Bali diciptakan lewat logika, etika, dan estetika
berdasarkan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu Dharma.

Dalam kaitan dengan pornografi, pornoaksi, dan kebebasan berekspresi, semiloka ini
memiliki urgensinya. Penerbitan atau tayangan pornografi, pornoaksi, kekerasan, dan
sejenisnya, apa pun alasannya lebih mengakibatkan dampak yang buruk, terutama bagi anak-
anak dan remaja. Maka semiloka ini tidak hanya penting dalam hal merumuskan “pengertian”
maupun “batasan-batasan” berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi, yang
paling penting adalah merumuskan bagaimana solusi penanggulangannya .Tentu saja sebelum
merumuskan “pengertian maupun “solusi” hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang
budaya masyarakat tertentu, penertiban media sesuai Undang-Undang Pers, adanya political
will dari pemerintah dan penegak hukum, mengoptimalkan lembaga sensor seperti Badan
Sensor Film (BSF) secara benar dan proporsional.

Tentang rencana DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan RUU Pornografi dan
Pornoaksi, melalui sebuah Seminar Pornografi dan Pornoaksi Menurut Hindu yang
berlangsung tanggal 11 Desember 2005 di Gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Jakarta (Penulis membacakan Makalah Kunci) dapat menghasilkan
kesimpulan antara lain sebagai berikut:

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi memiliki urgensi yang lemah, karena pasal-pasal
KUHP masih relevan. Yang perlu ditingkatkan adalah low enforcement-nya. Bahkan dalam
RUU KUHP yang disusun oleh Pemerintah terdapat 12 (dua belas) pasal yang mengatur
tentang Pornografi dan Pornoaksi.

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kurang relevan untuk dibahas pada masa-masa
dimana masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan masih menyisakan
banyak masalah yang perlu mendapat perhatian lebih banyak dan lebih serius.

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi banyak mengandung potensi disintegrasi karena
bisa memunculkan polemik nasional khususnya menyangkut nilai-nilai sosial dan budaya.

RUU Anti Pornogragfi dan Pornoaksi tidak mencerminkan semangat reformasi dan
demokratisasi malah sebaliknya lebih bersifat represif. Menciptakan BAPPN (Badan Anti
Pornografi dan Pornoaksi Nasional) sama dengan membangun kekuasaan ekstra terrestrial
dengan memanfaatkan kekuasaan Presiden.

Kesimpulan

Atas dasar tersebut di atas, forum mengusulkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
harus dikritisi lebih cermat, baik nama lembaga atau badan yang kurang mencerminkan
demokrasi, rumusan/batasan tentang kewajiban warga masyarakat dalam menanggapi/menilai
Pornografi dan Pornoaksi, limitasi kriteria Pornografi dan Pornoaksi dalam masyarakat
multikultural Indonesia, maupun sangsi hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan bahkan
tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Demikian pokok-pokok fikiran ini saya sampaikan semoga dapat menjadi bahan
kajian dalam Semiloka Pornografi dan Pornoaksi selanjutnya.
Daftar Pustaka

Bandem, I Made. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. K.L.: Oxford
University Press, 1995.

Creese, Helen and Laura Bellows. Erotic Literature in Nineteenth Century Bali.
Virgina: University of Virginia, 1999.

Cholis, ST. “Antara Seni Cita Rasa Ketelanjangan.” Special Gallery, 2001.

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1998).

Kun Adnyana. ”Seni Erotik di Ruang Publik.” Denpasar: Balipost, 19 November


2005.

Maswinara, I Wayan. Kamasutra. Surabaya: Paramita, 1997.

Murti, Lila dan I Nengah Dana. “Rumusan Hasil Seminar Pornografi dan Pornoaksi
Menurut Hindu.” Jakarta: STAH Dharma Nusantara, Desember 2005.

Sukatno, Otto CR. Seks Para Pangeran. Jojakarta: Bentang Budaya, 2002.

Titib, I Made. Veda: Sabda Suci. Surabaya: Paramita, 1996.

Willy, Heriadi. “Tropong Hukum” Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2003.

Wisetrotomo, Suwarno. “Seni, Anarkhisme, dan Kemanusiaan.” Yogyakarta: ISI


Yogyamarta, 2005.
Yogyakarta, 10 Februari 2006

I Made Bandem

Makalah ini dipresentasikan pada Semiloka Pornografi dan Pornoaksi yang


diselenggarakan oleh Yayasan Sandhi Murti, Imam Bonjol Denpasar, 11 Februari 2006.

Anda mungkin juga menyukai