PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bali dan Papua adalah dua provinsi yang menolak RUU Pornografi dan Pornoaksi.
Keberatan yang disampaikan bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan,
tata cara berpakaian, berkesenian, dan kebudayaan masyarakat Bali dan Papua. Sebagai contoh,
patung asmat dalam kacamata UU Pornografi dapat saja masuk kategori dan memenuhi unsur-
unsur pidana. Demikian pula dengan pakaian-pakaian adat papua. Akan halnya Bali, lukisan-
lukisan dan patung sebagai ekspresi khas Masyarakat Bali yang selama ini dianggap sebagai seni
berkualitas tinggi menjadi terancam.
Permasalahan seks merupakan ruang yang sangat privasi dan bukan untuk dipertontonkan
atau disebarluaskan pada semua orang. Masyarakat berhak melindungi diri dan eksistensinya dari
apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekedar bertentangan dengan standar
moralitas yang ada maupun yang dikuatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap
tata-nilai dan tata hubungan sosial yang masih diakui, misalnya tuntutan melegalkan
homoseksual, perkawinan sesama jenis. Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat
hukum yang ada di masyarakat. Maka, suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah
ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai suatu perilaku yang harus
ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalamnya. 4)
Maka akhirnya pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang
pornografi. Mengutip dari UU tersebut, tujuan dari undang-undang tersebut salah satunya
mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat
kemanusiaan. 5)
Saat ini upaya untuk pencegahan penyebaran dan perbuatan pornografi, lebih ditekankan
pada upaya represif yaitu dengan pendekatan hukum pidana yang dijalankan oleh Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan cara memproses pelaku-pelaku
tindak pidana pornografi dan menjatuhi sanksi pidana. Tetapi pada faktanya, upaya tersebut tidak
menimbulkan efek jera pada masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya lain selain dari upaya
hukum untuk penanggulangan dan pencegahan kejahatan pornografi, utamanya penyebaran pada
anak-anak remaja dan anak-anak sekolah.
1) Sinta Situmorang, “Pornografi Dan Tubuh Perempuan,” dalam Perempuan & Hukum: Menuju
Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan, (ed.) Sulistyowati Irianto (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 297.
3) Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan: Penafsiran Ekstensif Dan Studi Kasus (Yogyakarta:
Suluh Media, 2017) hlm. 26.
6) Burhan Bungin, Erotika Media Massa, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001),
6-7.
7) Ibid
DAFTAR PUSTAKA :
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Bandung: PT.Citra AdityaBakti,
1996.
Burhan Bungin. Erotika Media Massa. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.
--------. Pornomedia, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan perayaan Seks di Media
Massa. Bogor: Kencana, 2003.
Leden Marpaung. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar
Grafika, 1996.
Lutfan Muntaqo. Porno: Definisi dan Kontroversi. Yogyakarta: Jagad Pustaka, 2006.
Masduki. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta:UII Press, 2003
Ninik Suparni. Cyberspace: Problematika Antisipasi dan Pengaturanya. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Sinta Situmorang. Perempuan & Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan
Keadilan, (ed.) Sulistyowati Irianto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
1969.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia. Hukum Pornografi, Kumpulan Perundangan tentang Poronografi.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.