OLEH
YUSRIZAL
NIM: 042878547
e-mail: yusrizal888@gmail.com
YUSRIZAL
NIM: 042878547
e-mail: yusrizal888@gmail.com
ABSTRAK
Penggunaan teknologi tanpa sikap tanggung jawab dan keteledoran tidak jarang
menimbulkan berbagai permasalahan hukum, bahkan seringkali pula masyarakat
melakukan perbuatan melawan hukum dengan memanfaatkan media sosial dengan
maksud untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu kejahatan di media sosial yang
tengah menjadi perbincangan hangat belakangan ini adalah penyiaran unsur-unsur
pornografi atau cyberporn pada media sosial. Menurut Damanik (2022:29) pelaku
kejahatan pornografi tentunya berasal dari banyak kalangan baik masyarakat, remaja,
kalangan pemerintahan bahkan kalangan selebriti atau artis . Kondisi ini tentu sangat
memprihatinkan, mengingat bahwa pengguna internet dan media sosial tidak hanya
orang dewasa namun juga anak-anak dan remaja, terlebih lagi di masa pandemic
seperti saat ini dimana masyarakat khususnya para pelajar menggunakan media sosial
dan internet untuk sekolah secara daring.
Dewasa ini sering kita mendengar banyak sekali kasus-kasus pornografi yang
dilakukan oleh publik figur atau artis yang mengakui bahwa gambar dan video
tersebut tidak dibuat dengan tujuan untuk dijadikan sebagai konsumsi publik,
melainkan hanya untuk dokumentasi atau arsip pribadi oleh artis, namun pada
akhirnya konten atau video tersebut menyebar luas dan menjadi tontonan masyarakat
luas. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kelalaian para pelaku dalam hal ini public
figure yang tidak berhati-hati dalam menyimpan foto ataupun video rekaman
pribadinya menimbulkan niat buruk dari orang lain dan menyalahgunakan serta
menyebarkannya. Contohnya seperti pada kasus pornografi artis Gisella Anastasia
yang justru tidak ditahan sebagai tersangka dan penjatuhan pidana hanya diberikan
kepada pelaku penyebarannya saja. Namun kasus yang terbaru yaitu kasus pornografi
yang sengaja dilakukan Artis Dinar Candy sebagai bentuk protes terhadap kebijakan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang dikeluarkan pemerintah saat
pandemi covid-19. Tekanan sosial, ekonomi dan kebutuhan menyebabkan masyarakat
menjadi rentan dan terkadang bertindak di luar kendali dengan maksud
mengekpresikan kekecewaan terhadap kebijakan yang dirasakan merugikan
masyarakat. Kasus penangkapan artis Dinar Candy menjadi tersangka kasus
pornografi karena aksinya berbikini warna merah dan membawa papan bertuliskan
“Saya Stress Karena PPKM Diperpanjang” di pinggir jalan raya lebak bulus,
Cilandak, Jakarta Selatan pada hari Selasa tanggal 3 agustus 2021 sekitar pukul 14.00
WIB. Aksinya itu divideokan adiknya dan rekamannya diunggah ke akun media
sosial milik Dinar Candy meskipun tidak lama kemudian video tersebut dihapus.
Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terkait analisis yuridis pertanggungjawaban hukum tindak pidana pornografi oleh
artis di media sosial dalam perspektif UU ITE dengan metode penelitiannya berupa
yuridis normatif. Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah analisis
yuridis pertanggungjawaban hukum tindak pidana pornografi oleh artis di media
sosial dalam perspektif UU ITE dan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya pornografi di media sosial yang di lakukan oleh artis.
METODOLOGI PENELITIAN
Pengummpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu
dengan melakukan penelitian hukum kepustakaan atau data sekunder. Penulis akan
melakukan analisis yuridis pertanggungjawaban hukum tindak pidana pornografi oleh
artis di media sosial dalam perspektif UU ITE dengan menggunakan peraturan dan
perundang-undangan yang terkait yaitu KUHP dan UU ITE. Sejalan dengan Soerjono
Soekanto (2014:12) bahwa ruang lingkup penelitian yuridis normatif meliputi
penelitian terhadap sistematika dan asas-asas hukum, serta taraf sinkronisasi dan
sejarah hukum. Penyajian data dilakukan secara deskriptif untuk memberikan suatu
pemahaman yang sistematis dan terarah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian melalui studi kepustakaan atau data sekunder terhadap analisis
yuridis pertanggungjawaban hukum tindak pidana pornografi oleh artis di media
sosial dalam perspektif UU ITE bahwa tindak pidana ini dipengaruhi oleh keadaan
sosial masyarakat, keteledoran dan tidak bijak dalam menggunakan media sosial.
Bagaimana tidak, pada masa pandemi ini dampaknya tentu dirasakan oleh semua
masyarakat, baik secara ekonomi, psikologis, dan sosial. Hilangnya pekerjaan
ataupun hilangnya pendapatan tentunya akan berdampak kepada psikologis
seseorang. Selain itu kurangnya pengawasan penegak hukum, aturan hukum yang
kurang memberikan efek jera bagi pelaku menjadi salah satu pendorong tindak pidana
pornografi ini terus menerus terjadi.
Tindak pidana pornografi pada dasarnya telah di atur dalam KUHP, pornografi
menjadi salah satu tindak pidana yang melanggar kesusilaan selain perzinahan dan
pemerkosaan (zadelijkheid). Sedangkan menurut Wijono Prodjodikoro yang dikutip
Andi Hamzah (2017) yang termasuk dalam pornografi adalah sesuatu yang
menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya baik dalam
bentuk gambar atau barang. Terdapat tiga macam atau golongan pornografi menurut
pasal 282 KUHP yaitu :
a) Disiarkan atau dipertontonkan atau di tempelkan dengan terang-terangan tulisan,
gambar, dan lain sebagainya
b) Memproduksi, mengirimkan, membawa keluar atau masuk serta menyediakan
tulisan, gambar, suara, tontonan dan lain sebagainya kepada khalayak umum
c) Secara terang-terangan mempertontonkan, mempertunjukan, menawarkan dan
lain sebagainya.
Ketentuan kesusilaan dalam pasal 282 KUHP ini dapat menjerat pelaku pornografi
dan pornoaksi secara lebih luas, namun meskipun demikian pasal 282 KUHP ini
kurang tepat apabila digunakan untuk menjerat pelaku pornografi melalui media
internet. Jika ditelisik dari segi historis perumusan KUHP sebenarnya tidak untuk
mengantisipasi dan mengakomodir perkembangan teknologi dan internet seperti saat
ini. Sejalan dengan Munawaroh (2021:28) bahwa perbedaan landasan pemikiran saat
pembentukan KUHP terdahulu dengan perkembangan zaman sekarang ini
menimbulkan kendala dan kesukaran dalam penerapan KUHP terhadap kasus-kasus
pornografi dan pornoaksi di media sosial saat ini. Meskipun demikian bagi pelanggar
pasal ini dapat dipidana maksimal 1 tahun 6 bulan atau denda maksimal empat ribu
lima ratus rupiah.
Sedangkan pengaturan terkait pornografi tidak dikenal dalam UU ITE No. 11 Tahun
2008, melainkan dikenal dengan muatan yang melanggar kesusilaan yang memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap orang
2. Yang tanpa hak dan kewenangan menyebarkan atau mentransmisikan
3. Dapat diaksesnya informasi elektronik,
4. Ataupun dokumen elektronik yang bermuatan seksualitas
Sedangkan ketentuan pidananya di atur dalam pasal 45 ayat (1) UU ITE dipidana
dengan pidana maksimal 6 tahun dan maksimal denda 1 milyar. Selain kedua
peraturan tersebut tindak pidana pornografi juga di atur dalam undang-undang
tersendiri yaitu pada UU pornografi No. 44 Tahun 2008. Dalam undang-undang
pornografi ini diatur secara tegas terkait tindak pidana ini. Menurut pasal 1 ayat (1)
UU pornografi dijelaskan bahwa:
”Termasuk dalam pornografi yaitu foto, gambar, sketsa, tulisan, suara, ilustrasi,
animasi, kartun, gesture, perbincangan, atau isi pesan yang memuat materi seksualitas
melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertontonan pada khalayak umum,
dan dianggap melanggar nilai dan norma kesusilaan karena dapat membangkitkan
hasrat seksual seseorang”
“larangan bagi setiap orang untuk menyediakan jasa pornografi dan pornoaksi, baik
oleh orang perorangan atau koorporasi melalui media elektronik seperti televisi
kabel, radio, internet, telepon, pertunjukan langsung, atau melalui surat kabar,
majalah, dan barang cetakan lainnya”
Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab marak terjadinya tindak pidana
pornografi, menurut Mulyana (2020:21) hal ini tentunya dikarenakan seringkali
terjadinya penyimpangan sosial dalam masyarakat terutama terhadap norma-norma
yang lahir dan tumbuh di masyarakat. Selain penyimpangan terhadap norma sosial
masyarakat, penyimpangan juga terjadi pada norma hukum. Berikut adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pornografi yang dilakukan oleh
artis:
1. Faktor Lingkungan
Terjadinya tindak pidana pornografi yang dilakukan oleh artis tentunya tidak
terlepas dari faktor lingkungan, dimana kurangnya kontrol diri sendiri, keluarga
dan dari masyarakat terhadap pelaku yang seringkali pergaulannya adalah
dengan orang yang sering melakukan tindakan pornografi ataupun berada di
lingkungan yang menganggap tindakan pornografi adalah hal yang wajar
sehingga pelaku tidak segan dan takut dalam melakukan tindak pidana ini.
4. Faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi tentunya menjadi faktor krusial bagi seseorang melakukan
tindak pidana. Kebutuhan hidup yang kompleks mendorong masyarakat
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma–norma masyarakat,
tidak jarang masyarakat melakukan tindakan pornografi dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri. Dengan menurunya keadaan sosial ekonomi akibat
dampak pandemi Covid-19 saat ini menjadi salah satu pendorong masyarakat
melegalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan.
penulis akan memberikan beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Hamzah, Andi, 2017, Pornografi dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Mulia
Marzuki, Peter Mahmud, 2013, Penelitian Hukumm, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group
Mulyana W. Kusumah, 2020, Kejahatan dan penyimpangan, Suatu Perspektif
Kriminologi, Jakarta, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Prayatna, Erisa, 2021, Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan, Dinding Hukum
diakses pada 25 Agustus 2021
Sokanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada
Sujaneka, Putu Ari, 2018, Jurnal Hukum Pidana Unud, “Analisis Mengenai
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan Dalam Perspektif KUHP”,
Bali:Universitas Udayana
Susilo R., 2016, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia.
B. JURNAL
C. UNDANG-UNDANG