Anda di halaman 1dari 15

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK

PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL

Irwan Akbar

MahasiswaiS1iIlmuiHukum,iFakultasHukum,IlmuiSosialidaniIlmuiPolitik

UniversitasiTerbuka

Email:irwanakbar121085@gmail.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang mana atas berkat rahmatnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Karya Ilmiah dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap
Pencemaran Nama Baik Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial”

Adapun maksud daripada pembuatan Karya Ilmiah ini adalah sebagai sumbangan
pemikiran bagi para penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus Prospek Pengaturan
Pidana di Masyarakat.

Penulisan karya ilmiah ini tentu saja masih banyak kekurangan. Untuk itu demi
kesempurnaannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya konstruktif.

Akhirnya, semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum.

Jambi, Oktober 2023

Penulis
ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK


PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL
DI POLDA JAMBI

Tujuan dari penelitian ini adalah faktor penyebab maraknya pencemaran nama baik
melalui Media Sosial (Medsos) di wilayah hukum Polda Jambi dan Bagaimanakah penegakan
hukum terhadap pencemaran nama baik melalui media sosial.Jenis penelitian yang digunakan
adalah normatif dan empiris. Pendekatan yang digunakan yaitu perundang- undangan,
konseptual dan sosiologis. Bahan hukum yang digunakan primer dan skunder. Analisis data
yang digunakan analisis kualitatif. Dalam Proses pelaksanaan penegakan hukum sama
dengan KUHAP namun dibuktikan melalui bukti elektronik berupa print out hasil
screenshot dari situs jejaring media sosial Instagram yang berisi memuat pernyataan
pencemaran nama baik.

Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pencemaran nama baik.


I. PENDAHULUAN

Pada perkembangan teknologi yang semakin canggih, masyarakat dihadapkan dengan


informasi yang sangat membantu meringankan pekerjaan manusia. Dengan kecanggihan pada
era modern sekarang ini penegak hukum dituntut untuk cermat dan pintar dalam menangani
kasus termasuk juga kejahatan di dunia maya.

Dengan adanya kebebasan dan kemudahan, masyarakat sering lupa bahwa dalam
berekspresi dan menyampaikan pendapat harus menjaga perilaku dan etika dalam
berinteraksi melalui media sosial terutama media elektronik, sehingga memicu perbuatan-
perbuatan yang melawan hukum seperti pencemaran nama baik, penipuan, penistaan dan lain
sebagainya.

Kasus pencemaran nama Dilihat dari KUHP pencemaran nama baik diistilahkan
sebagai penghinaan atau penistaan terhadap seseorang. Hak atas kebebasan berpendapat
melalui media apapun adalah hak yang bersifat universal dan fundamental. pernyataan
pendapat seseorang di media dapat dikenakan tindak pidana, dalam hal ini ketentuan di
dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE

Adapun jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga
dapat merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang
mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana
penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta. Namun kewenangan
mempidana seseorang merupakan kewenangan pengadilan yang diatur dengan berbagai
undang-undang. Salah satunya adalah tentang doktrin kebebasan hakim
Bahwa di wilayah hukum Polda Jambi marak terjadinya kasus pencemaran nama baik
melalui medsos.Salah satu kasus yang menyita perhatian Kasus dugaan penghinaan dan
pencemaran nama baik yang dilakukan selebgram Debi Ceper terhadap siswi SMP Syarifah
Fadiyah Alkaff .Sebelumnya Syarifah Fadiyah Alkaff dilaporkan oleh Pihak Pemkot Jambi buntut
sejumlah kritik yang disampaikan melalui akun media sosial TikTok.Hal itu diketahuinya usai
memenuhi panggilan tim siber Polda Jambi. Ia mengira panggilan berkaitan dengan akun
Instagram @debiceper23 yang menyebutnya sebagai seorang pelacur di media sosial
Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka penyusun tertarik untuk
mengusulkan penelitian terhadap penegakan hukum tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media sosial untuk menindak permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :

1. Faktor Faktor Penghambat atau Penerapan pelaku kejahatan penghinaan atau


pencemaran nama baik lewat media sosial
2. Bagaimana pula penegakan hukum pencemaran nama baik melalui media sosial
di Polda Jambi?

Untuk menyelesaikan penelitian ini, penyusun menggunakan penelitian hukum


normatif dan hukum empiris. Pada penelitian ini penyusun mengkaji peraturan yang ada
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, KUHP dan data yang ditemukan
dilapangan penelitian mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik.

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis


normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif.

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka penyusun tertarik untuk
mengusulkan penelitian terhadap penegakan hukum tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media sosial untuk menindak permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : bagaimana pengaturan tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media sosial?; bagaiamana penegakan hukum pencemaran nama baik melalui media
sosial di Dit Reskrimsus Polda Jambi

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif yang disebut juga
dengan studi kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif . Adapun untuk memperoleh
data dari pembahasan ini peneliti menggunakan bahan hukum yang mengikat yaitu undang-
undang dan putusan pengadilan. Analisis data menggunakan analisis yuridis yaitu suatu
metode analisa yang bersumber pada undang-undang, putusan pengadilan, peraturan dan
buku-buku hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan mengkaji
literature yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Teknik analisis data adalah
analisis kualitatif berupa pemaparan, uraian, dan gambaran atas hasil penelitian. Sehubungan
dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan
pendekatan komparatif.
Teknik pengumpulan bahan yang digunakan adalah dengan cara mengkaji
kerangka normatif dengan menggunakan bahan hukum yang membahas tentang tindak
pidana pencemaran nama baik melalui media sosial khususnya dalam KUHP dan
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dikumpulkan bahan
hukum lain melalui studi literatur yakni perpustakaan, e-jurnal, dan internet.?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGATURAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCEMARAN NAMA BAIK


MELALUI MEDIA SOSIAL

Penegakan atau penerapan tindak pidana kepada seseorang kejahatan pidana adalah
cara yang terbaik dalam suatu keadilan harus ditegakkan. Kejahatan pidana menimbulkan
penderitaan terhadap korban fisik, rasa malu, dan juga mental tetapi psikilogis, yang harus
diperhatikan khusus kepada bapak aparat. Kejahatan pidana bisa membuat kesedihan yang
cukup dalam kepada korban contohnya kejahatan pidana penghinaan dan pencemaran nama
baik, pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media sosial.Seharusnya
diberikan ganjaran hukuman sanksi yang setimpal dan maksimal, apabila butuh adanya
sebuah hukuman terhadap pelakunya. Korban kejahatan tersebut seharusnya mendapatkan
keadilan yang seadil-adilnya, baik segi hukum dan psikis ataupun pemulihan mentalnya
apalagi yang menjadi korban kejahatan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama
baik melalui media sosial adalah seorang wanita

Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan


terhadap seseorang pernyataan hal ini terdapat dalam Buku I KUHP khususnya pada pasal
310 ayat (1) Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya
tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Kalau hal itu dilakukan dengan
tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka
yang berbuat dihukum karena menista dengan tulisandengan hukuman penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat
melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk
mempertahankan dirinya sendiri.

Dan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Pasal 27 ayat (3) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik.
B. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI
MEDIA SOSIAL

Penegakan hukum tindak pidana pencemaran nama baik melalui jaringan internet
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah Polisi. Akan tetapi Melalui
Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018. Disebutkan dengan tegas point- point didalam Surat
Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana sebagai berikut:

a. Bahwa proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, merupakan pintu entry
point dari suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana
(criminal justice system) di Indonesia. Oleh karena itu, proses penyelidikan dan
penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya
suatu perkara pidana dilakukan ke proses penuntutan dan peradilan pidana guna
mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
dengan tetap mengedapankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan;
b. Bahwa perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia
menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan masyarakat
terutama berkembang prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang
merefleksikan keadilan sebagai bentuk keseimbangan hidup manusia,
sehingga perilaku menyimpang dari pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku
yang menghilangkan keseimbangan. Dengan demikian model penyelesaian
perkara yang dilakukan adalah mengembalikan keseimbangan tersebut dengan
membebani kewajiban terhadap, pelaku kejahatan dengan kesadarannya
mengakui kesalahan, meminta maaf dan mengembalikan kerusakan dan
kerugian korban seperti semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula,
yang dapat memenuhi rasa keadilan korban;
c. Bahwa perkembangan konsep penegakan hukum dalam sistem penegakan
hukum pidana di berbagai negara yang mengadposi prinsip keadilan restoratif
(restorative justice) serta seiring dengan timbulnya berbagai permasalahan
dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia seperti Lembaga
Pemasyarakatan serta over capacity, tunggakan perkara yang semakin
meningkat jumlah penegakan hukum yang tidak seimbang dengan
perkembangan perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung
peningkatan perkara dan sebagainya, membawa dampak pada perubahan
kultur hukum masyarakat terutama cara pandangan masyarakat Indonesia
terhadap proses penegakan hukum pidana;
d. Bahwa prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai
sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada
pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana
melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta
penyelidik/penyidik sebagai mediator, sedangkan penyelesaian perkara salah
satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut
dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum
untuk menggugurkan kewenangan menuntut korban, dan penuntut umum.

Akan tetapi Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 hanya berlaku atau dijadikan acuan
untuk perkara pidana tertentu sesuai dengan yang ditetapkan antara lain:

1) Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa kecuali dalam putusan hakim masih mungkin
diulangi, orang boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
terhadap dirinya telah diadili dengan menjadi tetap;
2) Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Hukum
Peradilan Pidana Anak pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak
di pengadilan negeri diupayakan diversi;
3) Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
4) Pasal 15 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi provinsi Papua bahwa untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana
menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan
untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang
diperoleh melalui Kepada Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat
terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan pendekatan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) terhadap tindak


pidana pencemaran nama baik di media sosial dituangkan dalam Surat Edaran
Nomor:SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital
Indonesia Yang Bersih, Sehat dan Produktif. Dituangkan secara tegas pada point 3 yang
berbunyi:
“Bahwa dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, Polri senantiasa
mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan
kriminaliasai terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia
agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif, dengan memedomani hal-hal sebagai berikut:
a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang
dengan segala macam persoalannya;
b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisi
berbagai permasalah dan dampak yang terjadi di masyarakat;
c. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual
alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan,
serta mencegah masyarakat dan potensi tindak pidana siber;
d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas
membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang
dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil;
e. Sejak penerimaan laporan agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak
terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang
seluas-seluasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan
mediasi;
f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komperhensif terhadap perkara yang
ditangani dan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting)
dan mengambil keputusan kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada;
g. Penyidikan berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam
penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice
dalam penyelesaian perkara;
h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar
menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice
terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme,
dan separatisme.
i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun
tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan
penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk
mediasi kembali;
j. Penyidik berkordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk
memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan;
k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah
penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas
penilaian pimpinan secara berkelanjutan
Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Surat Edaran Nomor:SE/2/II/2021 tentang
Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia Yang Bersih, Sehat
dan Produktif telah merubah cara dalam menyelesaikan tindak pidana tertentu, bahwa dalam
penegakan hukum perlu adanya penjaminan korban terpenuhi hak dan kepentingannya wajib
terpenuhi dalam penegakannya. Dilihat dari SE/2/II/2021 point 3, apabila terjadi tindak
pidana berupa pencemaran nama baik di media sosial, sang korban harus ada aduan berupa
laporan tindak pidana tersebut ke kepolisian, akan tetapi sebelum perkara dibawa ke ke
pengadilan, penyidik berkomunikasi kepada dengan pihak korban dan memberikan fasilitas
dan memberikan ruang kepada para pihak untuk melaksanakan mediasi.
Proses mediasi di dalam pelanggaran pidana dapat menjadikan pelaku tindak pidana
bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya dengan
cara yang konstruktif. Dan disamping itu, pandangan konvensional masyarakat dan juga
aparat penegakan hukum tas penyelesaian hukum terhadap pelanggaran pidana yang masih
memegang paradigma lama bahwa perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar proses
pengadilan dapat dihilangkan dan di perbaharui menuju hukum yang menciptakan
harmonisasi sosial dan walfare state
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam makalah ini, maka


penyusun simpulkan yaitu:

1. Pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sistem elektronik dapat dijerat
dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 sebagai
berikut:

“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750
juta”

Perlindungan Hukum Bagi Tersangka Pencemaran Nama Baik, untuk


dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, terdapat beberapa unsur yang
harus dipenuhi, yaitu:

1) Setiap orang
Penyebar dapat menjadi tersangka/terdakwa jika penyebar dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Harus dianalisis secara mendalam siapa
penyebar utama konten tersebut.
2) Dengan sengaja dan tanpa hak
Unsur ini harus dibuktikan kepada siapa penyebar memberitahukan konten
tersebut dan dengan tujuan apa. Harus dibuktikan, apa tujuan konten untuk
menjelek-jelekan secara personal atau untuk memberi tahu adanya dugaan
suatu tindak pidana.
3) Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
Unsur ini sudah terpenuhi jika konten tersebut dapat diakses oleh berbagai
pihak dan diketahui oleh umum.
4) Bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Unsur ini harus dikritisi dan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan ahli
bahasa (expert).
2. Setelah melakukan penyelidikan dan gelar perkara, dihasilkan kesimpulan bahwa
tindakan yang dilaporkan belum memenuhi unsur Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27
ayat (3) Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
3. Sebagai hasilnya, penyelidik Ditreskrimsus Polda Jambi memutuskan untuk
menghentikan penyelidikan terhadap kasus ini. Namun, kemungkinan untuk
membuka kembali penyelidikan akan ada apabila terdapat bukti baru (Novum) di
kemudian hari.
4. Pihak POLDA JAMBI Lebih Mengedepankan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) adalah metode penyelesaian perkara pidana yang melibatkan korban dan
pelaku tindak pidana, pendekatan ini tidak semata-mata memberikan pelaku tindak
pidana punishment akan tetapi juga memulihkan keadaan korban serta
mengembalikan hubungan korban dan pelaku tindak pidana secara sosial. Di
dalam pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) melibatkan korban
didalam proses penyelesaian tindak pidana di sisi lain juga mengharuskan sang
pelaku tindak pidana bertanggung jawab terhadap tindakannya didasari dengan
pengakuan terhadap tindak pidana dan kesadaran pelaku terhadap perbuatannya.
Sederhananya Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah teori keadilan yang
menempatkan pemulihan para pihak (korban dan pelaku) terhadap kerugian yang
timbul karena perbuatan tindak pidana.
5. Pelaksanaan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) harus dilaksanakan secara
terintegrasi. Dalam hal ini seluruh komponen-komponen sistem peradilan pidana
seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan harus
mengerti secara mendalam dan terhadap konsep Keadilan Restoratif (Restorative
Justice). Pelaksanaan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) terhadap perubatan
tindak pidana pencemaran nama baik dimedia sosial bisa dilaksanakan selagi para
pihak korban dan pelaku tindak pidana menemukan titik terang didalam mediasi.
Sedangkan perbuatan perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA,
radikalisme, dan separatisme belum bisa diterapkan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice)
B. Saran

1. Peran Pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016


tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik utamanya pasal 27 ayat (3) mengingat terdapat perbedaan
antara pasal pokok dengan penjelasan.
2. Masyarakat sebagai pengguna teknologi harus pintar dalam menggunakan
sosial media, agar dalam mengungkapkan pendapat atau mengomentari setiap hal
yang ada di media sosial tetap mempedomani norma-norma yang berlaku
Daftar Pustaka

Barkatullah, A. H. (2017). Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia sebagai Pedoman dalam


Menghadapi Era Digital Bisnis E-Commerce di Indonesia. Nusa Media.
http://eprints.ulm.ac.id/3931/
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6666/penanganan-pencemaran-nama-baikdi-
medsos-harus-mengedepankan-irestorative-justice-i
Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya
Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Revisi UU ITE 2016, Refika Aditama, Bandung, 2017.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.

Anda mungkin juga menyukai