Oleh
1.Adela Julianda
2.Sona Norana Kurnia ilahi
3.Tiara Bayulisma Lorita
4.Annisa Abdya
5.Rosa Saragih
6.Maharani Wulandari
7.Marsella Gusnefa
IlMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji syukur atas kehadiran allah yang maha kuasa karena atas rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul " Penerapan Asas Fiksi Hukum Bagi
Masyarakat Awam(kasus penghinaan body shamming)dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Ilmu Hukum tahun 2022.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kategori sempurna,Oleh karena itu
penulis dengan hati dan tangan terbuka mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan tugas yang akan datang.
Selanjutnya dalam penulisan tugas ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terimakasih yang
sedalam-dalamnya yang telah membantu membuat makalah ini terutama dosen pengampu ibu Dr.Emelia
Kontesa S.H.,M. Hum dan Bapak Dimas Dwi Arso SH.,MH
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan saat ini, terdapat banyak sekali produk hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan masih akan terus
bertambah serta diperbaharui. Tentu saja banyak masyarakat yang belum
mengetahui substansi atau bahkan keberadaan dari produk hukum yang terus
bertambah dan diperbarui tersebut. Lalu bagaimana konsekuensi apabila
seseorang melanggar suatu peraturan atas dasar ketidaktahuannya terhadap
suatu peraturan Salah satunya pelanggaran nama baik dengan mengatakan
Coment di sosial media body shamming ?
Dalam ilmu hukum terdapat asas yang menganggap semua orang tanpa
terkecuali mengetahui hukum yang dikenal sebagai Asas Fictie Hukum atau
Fiksi Hukum
Oleh karena itu, penulis memiliki ketertarikan untuk megetahui, lebih dalam
apa itu asas fiksi hukum, Kaitan antara asas fiksi hukum dengan pencemaran
nama baik, apa yang menjadi penyebab kasus pencemaran nama baik, dasar
eksistensi apa yang memuat hukuman karena perbuatan Penghinaan itu, dan
bagaimana solusi memberi pemahaman asas fiksi hukum terhadap
masyarakat awam yang tidak tahu tentang hukum
B. Adapun rumusan masalah yang akan di ulas oleh penulis sebagai berikut;
1.Apa yang di maksud asas fiksi hukum?
2.Kaitan asas fiksi hukum dengan pencemaran nama baik?
3.Hukuman apa yang di berikan atas pencemaran nama baik yang
mengatakan body shamming ?
4.Bagaimana memberi solusi tentang pemahaman asas fiksi hukum pada
kasus pencemaran nama baik / penghinaan yang mengatakan bodi shamming
?
C. Tujuan
1.Mengetahui apa itu asas fiksi hukum dan kaitan nya pada pencemaran
nama baik/penghinaan.
2.Mengetahui Hukuman yang di berikan jika melakukan pencemaran nama
baik terhadap seseorang
3.Mengetahui solusi pemahaman pada kasus pencemaran nama baik yang
mengatakan body shamming.
II
PEMBAHASAN
Peraturan hukum tidak hanya seonggok kertas tak bernyali, akan tetapi
suatu peraturan yang dapat diimplementasikan, tanpa terkecuali. Disinilah
peran lembaga pembuat peraturan hukum tidak hanya sekedar pada
mekanisme perumusan suatu peraturan saja, tetapi juga memastikan bahwa
peraturan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat, tanpa terkecuali.
Mekanisme inilah yang biasa di sebut dengan mekanisme pengundangan,
suatu mekanisme agar aspek publisitas dari suatu peraturan dapat terpenuhi.
Mekanisme pengundangan inilah yang menjadi perkembangan dari suatu
teori penting dalam ilmu hukum yaitu teori fiksi hukum yang pertama kali
dikenalkan oleh Van Apeldoorn.
Adapun yang dimaksud dengan fiksi hukum adalah asas yang menganggap
semua orang tahu hukum (presumptio jures de jure). Semua orang dianggap
tahu hukum, tak terkecuali warga masyarakat yang tinggal di pedalaman
dan terluar yang tidak mengenyam pendidikan. Dalam bahasa Latin dikenal
dengan adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak
bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan
berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan
perundang-undangan tertentu.
Berlakunya asas Fiksi Hukum adalah ketika syarat-syarat mutlak
penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut telah dipenuhi, sebagai
contoh untuk berlakunya Undang-Undang (UU) adalah ketika diundangkan
dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri / Sekretaris Negara. Tanggal
mulai berlakunya suatu UU adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan
dalam UU itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam
UU, maka UU itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam LN.
untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah daerah lainnya baru berlaku 100
hari setelah pengundangan dalam LN. Sesudah syarat tersebut dipenuhi,
maka setiap masyarakat sudah dianggap mengetahui peraturan atau undang-
undang tersebut.
Fiksi Hukum diatur lebih lanjut dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan
Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya memuat prinsip yang sama
yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan
alasan pemaaf” serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang menegaskan
“tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-
undang itu diundangkan dalam lembaran negara”. Beberapa ilustrasi yang
berkaitan dengan asas Fiksi hukum salah satunya yang coment di media
sosial body shamming yang termasuk penghinaan melalui media sosial.
Terkait asas fiksi hukum, ada dua masalah fundamental yang harus segera
diselesaikan. Pertama, terkait penyebarluasan yang tidak merata ke seluruh
rakyat Indonesia. Perlu dikencangin lagi tuh sosialisasi lewat media cetak,
media elektronik, workshop, konfrensi pers, seminar atau kegiatan lain
dengan lebih masif. Jangan cuma undang-undang yang rame di komentarin
doang yang disosialisasikan.
Kedua, terkait ribet dan riwehnya pengaturan hukum dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Bahasa dalam pasal-pasal yang terlalu kaku, kadang
sulit dimengerti. Materi yang terlalu banyak, kadang suka gak sinkron,
malah bikin masyarakat yang baca jadi sulit untuk memahami isi peraturan
perundang-undangan dengan baik. Belum lagi undang-undang di Indonesia
banyak pake banget, ini juga jadi masalah yang bikin asas fiksi hukum terasa
mengikis nilai keadilan. Hukum Dikaitkan dengan aksesibilitas masyarakat
terhadap peraturan perundang-undangan yang sangat minim,jangan sampai
aparat penyelenggara negara menjebak atau membiarkan saja. Sebab, para
penyelenggara negara bisa mengingatkan masyarakat. Dalam konteks
korupsi, lembaga seperti KPK, Jaksa Agung, Kapolri, BPK dan BPKP bisa
mengingatkan atau mencegah jangan sampai ada yang melakukan korupsi.
Fiksi hukum sejatinya membawa konsekwensi bagi Pemerintah. Setiap
aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau
peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak melek hukum
lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat
penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa bersalah. Dan masyarakat
juga harus berhati-hati dalam Melakukan tindakan yang dapat
mengakibatkan terjadinya tindak pidana. Serta pemerintah juga harus
memberi sosialisasi tentang asas fiksi hukum agar masyarakat tidak terjebak
dalam tindak pidana tersebut.
.
BAB III
PeNUTUP
1.Kesimpulan
fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum
(presumptio jures de jure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak
terkecuali warga masyarakat yang tinggal di pedalaman dan terluar yang
tidak mengenyam pendidikan.Berlakunya asas Fiksi Hukum adalah ketika
syarat-syarat mutlak penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut
telah dipenuhi. Ada banyak sekali kasus yang berhubungan dengan asas fiksi
hukum salah satunya adalah perlakuan body shamming yang terjadi melalui
media sosial yang dimana termasuk katagori penghinaan karena tindakan
yang dilakukan seseorang mentransmisikan narasi berupa hinaan, ejekan
terhadap bentuk, wajah, warna kulit, postur seseorang menggunakan media
sosial. Itu bisa dikategorikan masuk UU ITE (Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, dapat diancam
hukuman pidana 6 tahun.
Sedangkan perbuatan body shaming secara verbal ( langsung ditujukan
kepada seseorang ) dikenakan Pasal 310 KUHP denagn ancaman
hukumannya 9 bulan. Kemudian tindakan body shamming yang dilakukan
secara tertulis dalam bentuk narasi, melalui transmisi di media sosial,
dikenakan Pasal 311 KUHP.