Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ISLAM DAN HAM

SEJARAH PERKEMBANGAN HAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan Ham

Dosen Pengampu: Dr. H. E.Zaenal Muttaqin, M.H.,M.A.

DISUSUN OLEH : KELOMPOK II

Khenan Abbal Kharist 211120010

Syamsul Fajri 211120023

Moch Dede Jamaludin 211120024

HUKUM ISLAM DAN HAM / VA

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Bersyukur dan Ikhlas kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
inayahnyaNya makalah yang diberi judul “SEJARAH PEKEMBANGAN HAM” bisa
rampung. Tujuan membuat kertas kerja ini ialah untuk menuntaskan tugas mata kuliah
Hukum Islam dan Ham serta meningkatkan pengetahuan pada penulis nan para pembaca.

Mengucapkan terima kasih pada Bapak Dr. H. E.Zaenal Muttaqin sebagai dosen mata kuliah
Hukum Islam dan Ham, yang telah mengintruksikan tugas ini sehingga bisa meningkatkan
wawasan dan pengetahuan, semoga makalah ini bisa memberikan informasi tentang
“SEJARAH PERKEMBANGAN HAM” yang dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan
melontarkan terima kasih kepada segenap bagian yang menyokong dalam proses penyusunan
tugas kerja ini.

Kami mengetahui, tugas yang tengah disusun masih belum bisa dikatakan telah dapat
menghasilkan karya terbaik. Sebab itu, teguran dan masukan yang membangun akan kami
nantikan untuk kebutuhan tugas ini. Atas atensi dan apresiasi yang dialokasikan untuk
membuat tugas kerja ini kami lontarkan terimakasih.

Serang, 10 September 2023

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 3

BAB 1: Pendahuluan ............................................................................................................... 3

a. Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 3

b. Rumusan Masalah............................................................................................................... 4

c. Tujuan .................................................................................................................................. 4

BAB 2: Pembahasan ................................................................................................................ 5

a. Generasi pertama HAM ..................................................................................................... 5

b.Generasi Kedua HAM ......................................................................................................... 5

c. Generasi Ketiga HAM ......................................................................................................... 6

d. Universalisme dan Relativisme HAM................................................................................7

BAB 3: Penutup ..................................................................................................................... 11

a. Kesimpulan ........................................................................................................................ 11

b. Saran .................................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

ii
BAB 1 Pendahuluan

a. Latar Belakang Masalah


HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang tanpa itu manusia tidak
dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dapat dinyatakan bahwa
HAM ada sejak manusia ada, karena syarat untuk memiliki HAM hanya ada satu,
yaitu ia adalah manusia. Persoalannya kemudian adalah bagaimana hukum mengatur
HAM sebagai suatu suatu aturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa. mengenai HAM tidak dapat dilepaskan dari 2 teori,
yaitu teori hukum alam dan teori positivisme. Menurut Teori hukum alam, hukum
berlaku, universal dan abadi, berlakunya tidak tergantung pada tempat dan waktu.
Hukum alam berlaku di mana saja dan kapan saja. Dengan demikian, dalam kajian
hukum alam, HAM berlaku kapan saja dan di mana saja, mengikuti sejarah manusia.
Ada dua teori/ aliran utama yang mendasari hukum alam, yaitu aliran rasional dan
aliran irasional. Aliran irasional, menganut paham bahwa hukum (alam) berasal dari
perintah Tuhan. Dengan demikian apabila seseorang percaya kepada Tuhan, maka
harus juga percaya bahwa HAM adalah hak yang berasal dari Tuhan yang harus
dipatuhi. Aliran rasional berpendapat bahwa hukum alam berasal dari pikiran
manusia, sehingga apabila manusia merupakan mahluk berakal maka ia akan
menghormati HAM. Melalui pandangan teori hukum alam ini diharapkan dapat
dipahami bagaimana kedudukan HAM dalam hukum, HAM ada sejak manusia ada,
karena syarat untuk memiliki HAM hanya ada satu, yaitu ia adalah manusia. Secara
historis terjadi perubahan HAM secara konseptual maupun HAM sebagai suatu suatu
aturan yang dikeluarkan oleh negara yang mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa.

3
b. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Perkembangan HAM


2. Bagaimana Sejarah HAM pada Generasi Pertama
3. Bagaimana Sejarah HAM pada Generasi Kedua
4. Bagaimana Sejarah HAM pada Generasi Ketiga
5. Apa yang dimaksud Universalisme dan Relativisme

c. Tujuan
1. Supaya mahasiswa mengetahui Sejarah Perkembangan HAM
2. Untuk mahasiswa mengetahui Perkembangan Generasi HAM
3. Agar mahasiswa bisa mengetahui Sejarah Generasi HAM pertama dan kedua
4. Supaya mahasiswa mengetahui apa itu Universalisme dan Relativisme

4
BAB 2

Pembahasan

a) Generasi Pertama HAM


Kebebasan atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-
hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul
dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara
dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak
melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas
dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah
hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum
yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Hak-hak
generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak
terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan
terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang
kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-
hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi, oleh pihak-
pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap
kedaulatan individu. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya,
karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.
Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru
menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke
dalam konstitusi mereka, 1
b) Generasi Kedua HAM
Persamaan atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-
hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan
sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar
hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini

1
Nyoman Surata : SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA Vol 2, Jurnal Hukum,
Agustus 2014, No 1
5
dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa
negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak
generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan
upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan,
hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat,
dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Hak-hak
generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini
sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Dimaksud dengan positif di sini
adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara.
Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini,
negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi
pemenuhan hak-hak tersebut. Sementara itu, hak asasi generasi kedua berkenaan
dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Yang menyangkut hak-hak
sosial dan ekonomi antara lain:
1. Hak untuk bekerja
2. Hak untuk mendapatkan upah yang sama
3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4. Hak untuk cuti
5. Hak atas makanan
6. Hak atas perumahan
7. Hak atas kesehatan
8. Hak atas pendidikan
9. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
10. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
11. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
Setelah perkembangan generasi kedua tersebut, konsepsi hak asasi manusia terus
berkembang sampai pada tahapan yang disebut generasi ketiga, yaitu yang berkaitan
2
dengan pengertian hak-hak dalam pembangunan
c) HAM generasi Ketiga

22
Nyoman Surata : SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA Vol 2, Jurnal Hukum,
Agustus 2014, No 1
6
Persaudaraan atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”. 3 Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-
negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui
tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya
suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-
hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber
daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi
ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai
berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu 4 . 5 Pada tahun 1986
muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian dari
mengenai hak pembangunan atau right to develovment. Hak atas atau pembangunan
ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala
bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan
bangsa tersebut. Gagasan HAM generasi ketiga ini muncul pada konfrensi tersebut,
diangkat isu bahwa kemiskinan merupakan suatu kewajiban yang mendasar untuk
diperjuangkan oleh NGO Developmentalis. 6
Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara
berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara barat agak
kontroversial. 7 Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”.
Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab
dengan memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut,
individu atau negara? siapa yang bertanggung jawab melaksanakannya, individu,
kelompok atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan
terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan

3
For the Third Generation of Human Rights: The Rights of Solidarity, Inaugural Lecture, Tenth Study Session
of the International Institute of Human Rights, 2 July 1979.
44
Nyoman Surata : SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA Vol 2, Jurnal Hukum,
Agustus 2014, No 1
5
Philip Alston, “A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or Obfuscation
of International Human Rights Law”, Netherlands International Law Review, Vol 29, No. 3 (1982), hlm. 307-
322.
6
Jefri Porkonanta Tarigan : Akomodosai Politik Hukum di Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia Berdasarkan
Generasi Pemikirannya Vol 14, Jurnal Konstitusi, Maret 2017, No 1
7
Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998,
hlm. 9.
7
optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu. 8
Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu --jika memang
bisa disebut sebagai “hak” akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan
sekedar tanggung jawab suatu negara. Dapat ditemukan pada Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
undang tentang Air, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hingga Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Dari ketiga generasi tersebut,
akomodasi HAM masih terbagi-bagi terutama antara hak sipil dan politik dengan hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan hak asasi tertentu masih dipandang sebagai
yang paling penting dan utama dibandingkan hak asasi lainnya 9.
d) Universalisme dan Relativisme HAM
1. Universalisme (Universalism)
Secara filosofis, universalisme hadir melalui alur fikir bebarapa filsuf Yunani
Klasik seperti Socrates dan Aristoteles. Socrates adalah seorang filsuf yang selalu
10
berusaha mencari kebenaran universal. Sedangkan Aristoteles, dalam suatu
karyanya Nicomachean Ethics secara detail menguraikan suatu argumentasi yang
mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. 11
Secara sederhana dapat dipahami bahwa kedua filsuf tersebut mengasumsikan
akan adanya keberadaan suatu nilai moral universal. Universalisme moral bermaksud
meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah
dapat diidentifikasi secara rasional. Dalam perkembangannya, pandangan akan

8
Pembahasan tentang hak-hak generasi ketiga, baik yang bernada meragukan maupun yang bernada optimis,
tumbuh dengan subur. Beberapa diantaranya, Subrata Roy, Erik M.G. Denters & Paul J/.I.M. de Waart (eds),
The Rights to Development in International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1992. Philip Alston,
“Making Space for New Human Rights: The Case of the Rights to Development”, Harvard Human Rights
Yearbook, Vol. 1, 1988. James Crawford (ed), The Rights of Peoples, Clarendon Oxford: Press, 1988. Dan Jan
Bertin et.al. (eds), Human Rights in a Plural World: Individuals and Colletivities, Meckler, Westport and
London, 1990.
9
Jefri Porkonanta Tarigan : Akomodosai Politik Hukum di Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia Berdasarkan
Generasi Pemikirannya Vol 14, Jurnal Konstitusi, Maret 2017, No 1
10
Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia (perspektif internasional, regional dan nasional),
PT. RajaGrafindo Persada, Depok, 2018, hlm. 32
11
Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak Asasi Manusia, cet. III, Pusham UII,
Yogyakarta, 2015, hlm. 19
8
adanya keberadaan suatu nilai moral universal ini mendapat dukungan dari Jhon
Locke, salah seorang filsuf abad 17 dan berkembang kearah pandangan hak kodrati.
Persepsi universalitas hak asasi manusia, ditinjau dari perspektif historis
perkembangan pemikiran hak asasi manusia, lahir dari dan dipengaruhi oleh teori
hak-hak alamiah (natural rights theory) yang berpandangan bahwa hak asasi manusia
merupakan hak yang dimiliki setiap orang pada setiap waktu dan tempat atas dasar
eksistensinya sebagai manusia. Tidak ada perbedaan antara sesama manusia dalam hal
pemilikan dan penghormatan hak asasi manusia. 12
Universalisme HAM merupakan pernyataan dan tuntutan terhadap pengakuan
bahwa hak-hak manusia yang asasi adalah bagian kodrati yang inheren pada setiap
pribadi manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usia, latar
belakang kultural, agama atau spiritualitasnya. Dengan kata lain, paham HAM
universal bermaksud melampaui semua batasan primordialisme. 13
Menurut universalisme, hak asasi manusia haruslah sama disemua tempat. Sebab
hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia.
Tiap-tiap manusia memiliki hak asasi. Kendatipun demikian universalisme pada
dasarnya memungkinkan hak-hak universal itu dipengaruhi secara kebudayaan
bentuk-bentuk implementasinya, seperti hak atas peradilan yang fair. Hak ini tidak
menuntut keharusan untuk mengikuti salah satu model peradilan yang ada, namun
negara berwenang menggunakan mekanisme sesuai sistem hukum yang berlaku di
negaranya dengan patokan bahwa hak atas peradilan yang fair dapat terpenuhi. 14

2. Relativisme (Cultural Relativism)

Secara filosofis, relativisme budaya merupakan paham yang berangkat dari ide
umum yang menyatakan bahwa karakter moral bersifat relatif. Dalam kaitannya dengan hak
asasi manusia, relativisme budaya muncul menjelang berakhirnya perang dingin sebagai
antitesa terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Menurut Jack

12
Jack Donnelly, The Concept of Human Rights (New York: St. Martin’s Press, 1985), h. 8-27; A.J.M. Milne,
Human Rights and Human Diversity (Albany: State University of New York Press, 1986), h. 1; dan Todung
Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.15-21.
13
Soetandyo wignjosoebroto, dalam Adnan B Nasution, Ham dan Demokrasi (Arus Pemikiran
Konstitusionalisme), Kata Penerbit, Jakarta, 2007, hlm. xiv
14
Eko Riyadi, Op.Cit, 2018, hlm. 33
9
Donelly, gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan
satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. 15

Isu relativisme budaya baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai
respon terhadap klaim universal dari gagasan HAM Internasional. Gagasan tentang
relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber
keabsahan hak atau kaidah moral. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat
yang sama yang harus dihormati, dengan demikian HAM harus diletakkan dalam konteks
budaya tertentu di masing-masing negara. Dengan dalil tersebut relativisme budaya
menyatakan bahwa “there is no such thing as universal rights” yang merupakan suatu
penolakan terhadap pandangan adanya hak yang bersifat universal apalagi bila hak tersebut
didominasi oleh suatu budaya tertentu. 16

Relativisme budaya adalah konsepsi absolutisme budaya yang menyatakan bahwa


budaya suatu masyarakat adalah nilai etnis tertinggi di setiap wilayah dan HAM tidak dapat
didukung jika pelaksanaannya mengakibatkan suatu perubahan di dalam sebuah budaya,
maka pelaksanaan HAM tersebut harus sesuai dengan budaya yang diterapkan dalam negara
tersebut.17

Jadi relativitas budaya adalah yang menolak pandangan adanya hak yang bersifat
universal. HAM harus dan diletakkan dalam konteks budaya tertentu di masing-masing
negara. Kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.
Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati,
maka penerapan HAM harus tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah,
budaya, dan agama di masing-masing negara.

15
Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London,
2003, hlm. 89-93
16
Todung Mulya Lubis, 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order,
1966-1990, Jakarta: Gramedia, hlm. 18-19 dalam Andrey Sujatmoko, 2009, Training Metode Pendekatan
Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum
HAM, Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM, Yogyakarta, 12 - 13 Maret 2009, hlm. 17.
17
Belardo Mega Jaya, Muhammad Rusli Arafat, ‘Universalism Vs. Cultural Relativism dan Implementasinya
dalam Hak Kebebasan Beragama di Indonesia’ (2017) 17 Pena Justitia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum,
58
10
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hak asasi manusia generasi pertama pada dasarnya menjanjikan kebebasan dan
kehidupan politik. Kemudian pada hak asasi manusia generasi kedua pada dasarnya adalah
hak ekonomi, sosial, dan budaya , dan hak-hak ini disebut "generasi kedua" karena hak ini
dikatakan muncul pada abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap kemiskinan dan eksploitasi
yang dipicu oleh Revolusi Industri dan yang yang terakhir Hak asasi manusia generasi ketiga
dikenal sebagai hak asasi manusia Solidaritas, yaitu hak yang mencoba melampaui kerangka
hak individu untuk fokus pada konsep kolektif, seperti komunitas atau orang.

Paparan di atas menjelaskan bahwa pada tataran ide dan konsep umum, hak asasi
manusia merupakan sesuatu yang bersifat universal. Setiap bangsa, budaya, dan tradisi yang
hidup memiliki dan mengakuinya sehingga relatif lebih mudah mencapai titik-titik kesamaan.
Perbedaan-perbedaan pada konsep hak asasi manusia terlihat pada tataran perumusan
ketentuan-ketentuan hak asasi manusia secara lebih spesifik. Perbedaan-perbedaan tersebut
berpangkal dari landasan-landasan filosofis yang mendasarinya.
Pada perkembangan terakhir, keragaman pemikiran hak asasi manusia telah lebih disadari
dan diterima oleh berbagai pihak. Dengan kata lain, masyarakat internasional lebih menerima
pandangan tentang relativitas hak asasi manusia dibanding pandangan universalitas secara
mutlak sebagaimana tercermin pada kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan Konferensi
Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993.

B. Saran

Dari banyaknya teori masuknya ham pada tiap-tiap generasi dan banyaknya teori tentang
universalisme dan relativisme, kita sebagai bangsa Indonesia yang tentunya memiliki banyak
perbedaan baik itu budaya, bahasa, agama, ras, suku dan lainnya. Haruslah menjunjung nilai
hak asasi manusia guna mewujudkan bangsa yang rukun.

Demikian makalah yang bisa kami sajikan, semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita
semua dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam makalah ini, kurang lebihnya terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nyoman Surata : SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA Vol 2,


Jurnal Hukum, Agustus 2014, No 1

Jefri Porkonanta Tarigan : Akomodosai Politik Hukum di Indonesia terhadap Hak Asasi
Manusia Berdasarkan Generasi Pemikirannya Vol 14, Jurnal Konstitusi, Maret 2017, No 1

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-


Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Belardo Mega Jaya, Muhammad Rusli Arafat, ‘Universalism Vs. Cultural Relativism dan
Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama di Indonesia’ (2017) 17 Pena Justitia:
Media Komunikasi dan Kajian Hukum, 57-58.

Donnelly, Jack. 2003. Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London:
Cornell University Press;

Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor) Hukum Hak Asasi
Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al.---Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008

Lubis, Todung Mulya. 1993. In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of


Indonesia’s New Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia;

Matondang, Ikhwan. Universalitas dan Relativitas HAM, Jurnal Miqot, Vol. XXXII, No. 2,
Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Juli-Desember 2008.

Soetandyo. “Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia; Sebuah
Tinjauan Historik dari Relativisme Budaya Politik”. Makalah disampaikan pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII diselenggarakan oleh BPHN DepKeh & HAM.
Denpasar, 2003

Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1998.

12
Philip Alston, “Making Space for New Human Rights: The Case of the Rights to
Development”, Harvard Human Rights Yearbook, Vol. 1, 1988. James Crawford (ed), The
Rights of Peoples, Clarendon Oxford: Press, 1988.

13

Anda mungkin juga menyukai