Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN

“SEJARAH PERKEMBANGAN HAM”

Dosen : Helda Yuliani

Oleh :

NAMA : Noor Fitrya Dyanti


KELAS : 5D3K PLN
NIM : C010317094
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
POLITEKNIK NEGERI BANJARMASIN
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK
2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia” tepat pada
waktunya. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan di Jurusan Elektro Program Studi Teknik Listrik
Politeknik Negeri Banjarmasin.
Makalah ini diselesaikan guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, dalam makalah ini membahas tentang Sejarah Perkembangan
Hak Asasi Manusia di Eropa dan Perkembanan Hak Asasi di Indonesia. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Saya menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, olehnya itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan makalah ini. Besar harapan saya kiranya makalah ini
dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Banjarmasin, 1 Desember 2019

Noor Fitrya Dyanti

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................3
A. Perkembangan HAM di Eropa ...............................................................3
B. Perkembangan HAM di Indonesia .........................................................8
BAB III PENUTUP .........................................................................................16
A. Kesimpulan ...........................................................................................16
B. Saran ......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan melekat
dengan jati diri manusia secara universal. Oleh karena itu, menelaah hak asasi
manusia sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauh mana
kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan. Membicarakan
hak asasi manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. Hak
asasi manusia ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari
Negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas
eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT yang patut memperoleh apresiasi
secara positif.
Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi HAM telah
berkembang sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi objek kajian
yang menarik. HAM terus berkembang seiring dengan perkembangan wajah dan
tuntutan diri manusia itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas
lingkungan diri dan masyarakatnya.
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam
diri manusia. Munculnya istilah HAM adalah produk sejarah. Istilah itu pada
awalnya adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui dan
melindungi hak-hak dasar manusia. Perkembangan konsep HAM seirama dengan
perkembangan hukum alam sehingga penelusurannya dilihat dari segi sejarah
terdapat kesamaan.
Dalam sejarah perjalanan HAM, tentu saja proses penegakannya
memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis
ingin memaparkan lebih dalam mengenai sejarah perkembangan hak asasi
manusia.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang
dapat diangkat pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia di Eropa ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Bertolak belakang dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia di Eropa
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan HAM di Eropa


1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM
bermula dari kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban
eropa muncul, HAM telah populer dimasa kejayaan islam. Wacana awal HAM
di Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta yang membatasi kekuasaan
absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja, seperti
menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat,
menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung jawabkan secara
hukum. Sejak lahirnya magna charta pada tahun 1215, raja yang melanggar
aturan kekuasaan harus di adili dan mempertanggung jawabkan kebijakan
pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih
sangat dominan dalam hal pembuatan undang-undang, magna charta telah
menyulut ide tentang keterikakatan penguasa kepada hukum dan pertanggung
jawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.
Lahirnya magna charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki
konstitusional keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada pasal 21
magna charta yang menyatakan bahwa “...para pangeran dan baron dihukum
atau didenda berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukannya.” Sedangkan pada pasal 40 ditegaskan bahwa “...tak seorangpun
menghendaki kita mengingkari atau menunda hak atau keadilan.”
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak
asasi manusia (HAM) di Ingris. Pada masa itu pula muncul istilah equality
befor the law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pandangan ini mendorang
timbulnya wacana negara hukum dan negara demikrasi pada kurun waktu
selanjutnya. Menurut bill of Rights, asas persamaan manusia dihadapan
hukum harus diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karena
tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk

3
mewujukan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara
tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat eropa, dan selanjutnya Amerika:
kontrak sosial (J.J.Rousseau), trias politica (montesquieu), teori hukum kodrati
(John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas
jefferson).
Teori kontak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan
antara penguasa dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-
ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa
diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan
menciptakan keamanan agar hak alamiyah manusia terjamin dan terlaksana
secara aman. Pada saat yang sama, rakyat akan menaati penguasa mereka
sepanjang hak-hak alamiyah mereka terjamin.
Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi
kekuasaan pemerintahaan negara dalam tiga komponen: pemerintah
(eksekutif), parlemen (legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam
masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar
oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar
ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan
negara yang mutlak. Hak-hak tersebut terdiri atas hak atas kehidupan, hak atas
kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi.
Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang
mengatakan bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia
dianugerahi beberapa hak yang tidak terpisah-pisah, diantaranya hak
kebebasan dan tuntutan kesenangan. Teori ini dipengaruhi oleh Locke
sekaligus menandai perkembangan HAM kemudian.
Pada 1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat aturan-
aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti
larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewanang-wenang
tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan

4
oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip presumption of inosent adalah
bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain,
seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, perlindungan
hak milik, dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana
empat hak kebebasan manusia di Amerika Serikat pada 6 januari 1941, yang
diproklamirkan oleh presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak itu adalah
hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk
agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak bebas
dari kemiskinan, dan hak bebas dari rasa takut.
Tiga tahun kemudian, dalam konverensi buruh internasional di
Philadelphia, Amerika serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi
Philadelphia 1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia
berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras,
kepercayaan, dan jenis kelaminya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM
yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan
material dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan
ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan
dasar perumusan deklarasi universal HAM yang dikukuhkan oleh PBB dalam
universal deklaraton of human Rights pada tahun 1948.
Menurut deklarasi universal HAM, terdapat lima jenis hak asasi yang
dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi),
hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak
subsistensi (hak jaminan adanya sumberdaya untuk menunjang kehidupan)
dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut pasal 3 sampai 21 deklarasi universal HAM, hak personal,
hak legal, hak sipil, dan politik meliputi :
a. Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi;
b. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;

5
c. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam,
tak berperi kemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
d. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
e. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif ;
f. Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang
sewenang-wenang;
g. Hak untuk peradilan yang independen yan tidak memihak;
h. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
i. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap
kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat;
j. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
k. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
l. Hak bergerak;
m. Hak memperoleh suaka;
n. Hak atas satu kebangsaan;
o. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
p. Hak untuk mempunyai hak milik;
q. Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama;
r. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
s. Hak untuk berhimpun dan berserikat; dan
t. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang
sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi:
a. Hak atas jaminan sosial;
b. Hak untuk bekerja;
c. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
d. Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
e. Hak atas istirahat dan waktu senggang;
f. Hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan;
g. Hak atas pendidikan; dan

6
h. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari
masyarakat.
2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca
perang dunia II dibagi menjadi empat (4) kurun generasi.
Generasi pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya
berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak perang duni II sangat
mewarnai pemikiran generasi ini, dimana totaliterisme dan munculnya
keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum
yang baru sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat
dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi
budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan dan keadilan dalam
proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya. Selain dari hak-
hak tersebut, hak nasionalitas, hak kepemilikan, hak pemikiran, hak beragama
hak pendidikan, hak pekerjaan dan kehidupan budaya juga mewarnai
pemikiran HAM generasi pertama ini.
Generasi kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut
hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga
menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi
kedua ini, lahir duan konvensi HAM internasional dibidang ekonomi, sosial,
dan budaya, serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil (international
covenant on economic, social, and cultural rights dan international covenant
on civil and political rights). Kedua konvensi tersebut disepakati dalam sidang
umum PBB 1966.
Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM
antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian
integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the
rights of development), sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan
Internasional (international comission of justice). Pada era generasi ketiga ini
peranan negara tampak begitu dominan.

7
Generasi keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis
HAM. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara
dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang
dikenal dengan Declaration Of the Basic Duties of Asia People and
Goverment. Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini tidak saja
mencakup tuntutan struktural tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan
sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi, Deklarasi HAM
Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi yang harus dilakukan
oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan
imperatif setiap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam kerangka
ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja urusan
orang-perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.
(Ubaedillah. A dkk,2008)

B. Perkembangan HAM di Indonesia


Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan
pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum
kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan.
1. Periode sebelum kemerdekaan 1908-1945
Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai
dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi
Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis
Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa
kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.
Puncak perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh
pergerakan nasional, seperti Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir,
Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Maramis,
terjadi dalam siding-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan

8
Indonesia (BPUPKI). Dalam siding-sidang BPUPKI tersebut para tokoh
nasional berdebat dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan
kelengkapan Negara yang menjamin hak dan kewajiban Negara dan warga
Negara dalam Negara yang hendak diplokramirkan.
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo
mewakili organisasi pergerakan nasional mula-mula yang menyuarakan
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang
ditujukan kepada pemerintah colonial maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti
dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat
dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan
rakyat. Sejalan dengan wacana HAM yang diperjuangkan Boedi Oetomo, para
tokoh Perhimpunan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak,
Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM melalui
wacana hak menentukan nasib sendiri masyarakat terjajah.
Diskursus HAM terjadi pula di kalangan tokoh pergerkana Sarekat
Islam seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim. Mereka
menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan
pemerintah kolonial. Berbeda dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh
nasionalis sekuler, para tokoh Sarekat Islam mendasari perjuangan
pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam ajaran islam.
2. Periode setelah kemerdekaan
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca
kemerdekaan indonesia; 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan
periode HAM Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru).
a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih
menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak kebebasan
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode
ini, wacana HAM bisa dicirikan pada;

9
1) Bidang sipil dan politik, melalui:
 UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29,
pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25)
 Maklumat pemerintah 1 November 1945
 Maklumat pemerintah 3 November 1945
 Maklumat pemerintah 14 November 1945
 KRIS, khususnya Bab V Pasal pasal 7-33
 KUHP pasal 99
2) Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:
 UUD 1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan
pasal 31-32)
 KRIS pasal 36-40
b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer.
Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat
kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia.
Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana
kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. Menurut
catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM di Indonesia pada
masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
1) Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi
2) Adanya kebebasan pers
3) Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis
4) Kontrol parlemen atas eksekutif
5) Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis
Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat
tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam
UUD 1945. Bahkan diusulkan supaya keberadaan HAM mendahuluai bab-
bab UUD.
Tercatat pada periode ini indonesia meratifikasi dua konvensi
internasional HAM, yaitu:

10
a) Konvensi genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi
korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil diwaktu perang
b) Konvensi tentang hak politik perempuan yang mencakup hak
perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi,
serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.
c. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal,
digantikan oleh sistem Demokrasi terpimpin tidak lain sebagai bentuk
penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer
yang dinilainya sebagai produk barat. Menurut Soekarno, Demokrasi
Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa indonesia yang telah
memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuaaan terpusat ditangan
presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya
parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan presiden Soekarno
bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup.
Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini
adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara.
Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan
dengan kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya,
atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-
satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga selain Lekra
dianggap anti pemerintahan atau kontra-revolusi.
d. Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru
bagi penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM
dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah
menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji
Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami

11
kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah
mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde
Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-
HAM yang dianggapnya sebagai produk barat.
Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak menolak prinsip
dan praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara
mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat
dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde
Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk Barat yang
individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan
kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir
penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a) HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b) Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu
dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.
c) Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk
memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak
seluruhnya keliru, tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori
Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM
yang dilakukannya. Pelanggaran HAM orde baru dapat dilihat dari
kebijakan politik Orde Baru yang bersifat sentralistik dan anti segala
gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah sepanjang pemerintahan
Presiden Soeharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah
gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai
anti pembangunan bahkan anti- pancasila.
Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-
cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah
Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala aspirasi masyarakat yang

12
dinilai berlawanan dengan Orde Baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung
Priok, Kedung Ombo, Lampung, Aceh adalah segelintir daftar
pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde Baru.
Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM
dilakukan oleh kalangan organisasi non pemerintah atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya penegakan HAM oleh kelompok-
kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan
diawal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan
masyarakat mengubah pendirian pemerintah Orde Baru untuk bersikap
lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu diantara sikap akomodatif
pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap
pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
melalui keputusan Presiden (Keppres).
Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan
menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan dan
saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga
membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga bentukan
pemerintah Orde Baru penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap
pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.
Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan
pemerintah meratifikasi konvensi HAM : (1) konvensi tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, melalui UU
No. 7 tahun 1984 ; (2) konvensi anti-apartheid dalam olahraga, melalui
UU No. 48 tahun 1993 ; dan (3) konvensi hak anak, melalui keppres No.
36 tahun 1990 .
Namun demikian, sikap akomodatif pemerintah orde baru
terhadap tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan
pelaksanaan HAM oleh negara. Komitmen orde baru terhadap
pelaksanaan HAM secara murni dan konsekuen masih jauh dari harapan

13
masyarakat. Masa pemerintah orde baru masih sarat dengan pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh aparat negara atas warga negara.
Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini
tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok reformasi dan mahasiswa
pada tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan
mewarnai tuntutan reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin
Rais, tokoh intelektual muslem indonesia yang sangat kritis terhadap
kebijakan pemerintah Orde Baru.
e. Periode Pasca Orde Baru
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di
Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus memadai
berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi
dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim
otoriter. Pada tahun ini presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie
yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden RI.
Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformasi dengan
membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip
HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyaraakatan. Tak kala
penting dari perubahan perundangan, pemerintah di Era reformasi ini juga
melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional untuk
mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. Pada masa pemerintahan
Habibi misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya Tab MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan merupakan salah satu indikator
keseriusan pemerintahan era reformasi akan penegakan HAM.
Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi
HAM tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam;

14
konvensi penghapusan segala segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi
tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan pemerintahan B.J.Habibie dalam perbaikan
pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang
dikenal dengan istilah rencana aksi nasional HAM, pada Agustus 1998.
Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu: (1) persiapan
pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM; (2) diseminasi
informasi dan pendidikan bidang HAM; (3) penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM; (4) pelaksanaan isi perangkat Internasional di bidang
HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga
ditunjukkan dengan pengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor
Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung dengan
Depertemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen
Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM
dalam Amandemen UUD 1945, penerbitan inpres tentang
pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, pengesahan UU
tentang pengadilan HAM.
Tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua protokol hak
anak, yakni protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik
bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah
membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan
anak, pengesahan, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
Indonesia tahun 2004-2009. (Ubaedillah. A dkk,2008)

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta
tahun 1215 yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja.
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak asasi
manusia (HAM) di Ingris. Pada masa itu pula muncul istilah equality befor the
law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pada 1789, lahir deklarasi prancis.
Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia
dalam proses hukum.
Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan
pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum
kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Pemikiran HAM dalam
periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan
organisasi pergerakan nasional. Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai
periode pasca kemerdekaan indonesia; 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-
1998, dan periode HAM Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru).
B. Saran
Setiap manusia sejak lahir telah memiliki hak masing-masing yang tidak
dapat diganggu gugat malah harus dilindungi, karena itu merupakan hak dasar
yang telah melekat dalam diri manusia yang Tuhan berikan. Oleh karena itu kita
sebagai warga negara yang baik harus saling menghargai tiap hak-hak orang lain,
ini pun harus menjadi salah satu pegangan bagi suatu bangsa atau negara apabila
ingin menciptakan atau mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Akan
tetapi tidak sepatutnya kita menggunakan HAM sebagai alasan dalam menempuh
jalur hukum pada hal-hal yang sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan
cara kekeluargaan atau musyawarah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahadian dan Ridwan Indra. 1991. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945. Jakarta:
CV. Haji Masagung.
Affandi, Idrus, dkk. 2007. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Universitas Terbuka
Ubaedillah. A dkk. 2008. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi
Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani Edisi Ketiga. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

17

Anda mungkin juga menyukai