com/2012/01/implementasi-ham-di-
indonesia.html
pendiri Republik ini sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang
(maachstaat).
berikut :
b. Azas legalitas
yang dibuat atas nama revolusi yang telah dimanfaatkan oleh kekuasaan
Berdirinya orde baru adalah respon dari kegagalan orde lama telah
demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dilakukan orde baru
mulai kabur, dengan maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
bertentangan dengan HAM. Sebagai puncaknya pada tahun 1998, orde baru
segala bidang.
Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak asasi
manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka pada era sekarang,
pelanggaran hak asasi manusia merupakan hal yang biasa terjadi di tengah
masyarakat atau oleh masyarakat sendiri. Pada masa orde reformasi ini
pemerintah dalam rangka penegakan HAM telah membuat peraturan-
peraturan yang terkait dengan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang
Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun
tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan tentang HAM yang tersebar
Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi
Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya KOMNAS HAM
mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde
Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih
sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti
orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-
orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam
Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam UU HAM tersebut tugas Komnas HAM
Pengadilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan
Ketentuan tersebut diatas diadopsi dari Statua Roma 1998 yakni ketentuan
bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam DUHAM pasal 15
ayat (1) dan pasal 24 ayat (1) Statuta Roma. Dengan demikian asas Retroactive yang
merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia
(KUHP). Akan tetapi, dari sisi lain menurut Hukum Pidana Internasional,
lampau melalui political wisdom dari DPR. Dalam kata lain dalam penyelesaian
serta tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis
yang tersembunyi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan
gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi yang signifikan terhadap
perjalanan HAM di Indonesia. Di era Orde Baru, mereka dipandang sebagai tempat
terakhir mengadu setiap ada pelanggaran HAM. Namun sampai saat ini setiap ada
masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
pasal 43 UU No. 26/2000. Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap
mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan dalam
dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal
tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian
DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian
pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah
ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tg. Priok.
Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua
2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang
Pengadilan HAM yang menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat
Rekonsiliasi.
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan
lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak
rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya
tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
No. 26/2000. Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi
dicatat lebih menekankan kepada penegakan hak sipil dan hak politik. Sedangkan
advokasi terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya ( Economic, Social and Cultural
terahadap Hak atas Pembangunan (Rights to Development ). Oleh karena itu upaya
yaitu prinsip ketidak terpisahan atau prinsip saling ketergantungan antara satu hak
asasi dengan hak asasi manusia lainnya. Hal tersebut misalnya telah pula ditegaskan
penegakan hukum. Oleh karena itu persoalan penegakan HAM harus dilakukan
sesuai dengan jalur hukum, dan terpenuhinya rasa keadilan. Termasuk di dalamnya
dalam upaya rekonsiliasi dan kebenaran ini perlu pula dipertimbangkan proses
Penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu, 2. Pemulihan Hak korban,
mengenai pengadilan HAM, Tap MPR No. XVII/98, Tap MPR N0. V/ 2000, UU HAM
dll. Adapun bahan-bahan yang bersifat internasional misalnya Statuta Roma, untuk
Hubungan antara HAM dengan globalisasi dapat dilihat secara linier dan
Akan tetapi tak dapat di pungkiri bahwa globalisasi juga telah memberikan
karena merupakan kelanjutan dari rumusan berbagai Negara yang telah ada
yang ingin membawa satu dunia ke dalam satu system ekonomi dunia yang
diterima semua pihak. Lebih jauh, era pasca globalisasi yang diinginkan
baru. Tetapi sudah ada yang berlangsung ratusan tahun yang lalu.
Saat ini yang terjadi hanyalah proses pengulangan. Indonesia sebagai warga
Tahun 1999 tentang HAM, dan di dalamnya menegaskan bahwa KOMNAS HAM
dan Meditasi, Motivasi utama keberadaan Komnas HAM adalah untuk menciptakan
situasi yang kondusif bagi terpenuhinya perlindungan dan penegakan HAM bagi
Dalam era globalisassi, penegakan HAM dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan
faktor perkembangan teknologi, terutama dalam hal yang menyangkut proses dan
proses pengadilan HAM telah diikuti dalam proses pengadilan HAM antara lain
Pre-Trial akan dapat mendukung proses peradilan yang tidak menyita waktu,
tenaga, pikiran dan biaya. Lebih dari itu, perlu dihindari adanya proses peradilan
Tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang pengadilan
(courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu mengundang respon baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1977 tentang
Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok korban terus
audiensi, lobby politik hingga demonstrasi. Dua kasus yang telah ditangani
oleh pengadilan HAM ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak
pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat bertanggung jawab lepas dari
tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk
kasus Tg. Priok. Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami
kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan yang dingin dari
para kelompok korban. Walaupun belum berjalan sampai saat ini, sinyalemen
dasarnya.
antara lain;
Pertama, tidak adanya political will dari pemerintahan yang berkuasa. Banyak
pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini tidak memiliki niatan yang
serius untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini
Semanggi I dan II. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DPR mempunyai
menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat dalam
kasus TSS. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, DPR mengambil satu
sejak kejatuhan orde baru hingga saat ini masih tetap menunjukkan
hukuman). Kritik yang keras tentang UU No. 26/2000 mulai berkembang sejak
berjalan juga sudah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Kelompok
korban merasa bahwa UU ini telah memasung hak mereka untuk mendapatkan
keadilan.
Ketiga, kendala di sistem peradilan diantara insititusi yang berwenang. Kondisi
ini ditunjukkan oleh kinerja dari Kejaksaan Agung dalam menangani kasus
yang kemudian jauh berbeda dengan tuntutan yang dihasilkan oleh Kejaksaan
Agung. Alih-alih dari Kejaksaan Agung adalah alasan politik. Terlebih lagi
kapasitas dari para penuntut umum telah memberikan hasil yang sangat jelas.
Sebagian besar dari para terdakwa dikemudian diputus bebas oleh pengadilan
tidak.
Keempat, usaha pembungkaman oleh para pelaku. Mereka yang diduga terlibat
atau menjadi pelaku tentunya tidak tinggal diam saat mereka akan diajukan
dalam sebuah proses hukum. Mereka kemudian mencari berbagai cara untuk
adalah proses ishlah antara beberapa orang yang diduga seperti Try Sutrisno
dengan sejumlah korban dalam peristiwa Tg. Priok. Proses ini kemudian
yangmultikompleks (heterogen).
Indonesia.
manusiasering diabaikan
tindakan pembangkangan.
diimplementasikan.
manusia.
memperkaya diri.
asasimanusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar
(ekobudi CG)