Anda di halaman 1dari 17

http://ditpolairdajambi.blogspot.

com/2012/01/implementasi-ham-di-

indonesia.html

IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA

1. Penegakan HAM di Indonesia

Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi Negara yang merdeka, para

pendiri Republik ini sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang

diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis) yang mencerminkan penghormatan

kepada hak asasi manusia (HAM). Dalam Undang-undang Negara Republik

Indonesia 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka

(maachstaat).

Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai

berikut :

a. Azas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM

b. Azas legalitas

c. Azas pembagian kekuasaan

d. Azas peradilan yang bebas dan tidak memihak

e. Azas kedaulatan rakyat

Namun penghargaan terhadap HAM yang sudah di cetuskan oleh pendiri

negara Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya seiring dengan

perkembangan perjalanan bangsa Indonesia dalam 3 periode.

a. Penegakan HAM pada Orde Lama


Orde lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan,

yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi. Sehingga banyak UU

yang dibuat atas nama revolusi yang telah dimanfaatkan oleh kekuasaan

pemerintah, seperti contoh UU No. 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan

kegiatan subversi yang tidak sesuai dengan HAM.

b. Penegakan HAM pada Orde Baru

Berdirinya orde baru adalah respon dari kegagalan orde lama telah

membuat berbagai perubahan secara tegas dengan perkembangan

demokratisasi dan perlindungan HAM. Namun dalam perjalanannya era

demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dilakukan orde baru

mulai kabur, dengan maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

serta banyak lagi rekayasa untuk kepentingan penguasa. Seringkali

pemerintahan masa orde baru melakukan tindakan-tindakan yang mengarah

kepada crimes by government, seperti penculikan aktivis pro demokrasiyang

bertentangan dengan HAM. Sebagai puncaknya pada tahun 1998, orde baru

jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan reformasi di

segala bidang.

c. Penegakan HAM pada Orde Reformasi

Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak asasi

manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka pada era sekarang,

hak asasi manusia dilanggar secara bersama-sama. Dalam konteks ini,

pelanggaran hak asasi manusia merupakan hal yang biasa terjadi di tengah

masyarakat atau oleh masyarakat sendiri. Pada masa orde reformasi ini
pemerintah dalam rangka penegakan HAM telah membuat peraturan-

peraturan yang terkait dengan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang

HAM, ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM. UU No. 26

tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkan dibukanya lagi

kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu serta pemberantasan KKN.

2. Peluang membuka kembali kasus pelanggaran HAM

Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya

kasus-kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka.

Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun

tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan tentang HAM yang tersebar

dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang

Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi

Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya KOMNAS HAM

berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 yang bertugas sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 antara lain : 1) menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional

mengenai HAM baik kepada masyarakat Indonesia maupun internasional 2)

mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-

saran untuk diratifikasi, 3) memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta

menberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara

mengenai pelaksanaan HAM, 4) mengadakan kerjasama regional dan internasional

dalam memajukan dan perlindungan HAM.

Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde

Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih
sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti

orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-

orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam

menjalankan pemerintahan. Pada orde Reformasi lebih menitikberatkan pada

perlindungan hukum dan penegakan HAM melalui MPR telah melakukan

Amandemen UUD 45 dengan memasukkan pasal khusus mengatur tentang HAM.

Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26

tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam UU HAM tersebut tugas Komnas HAM

berubah meliputi : 1) fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan

mediasi tentang HAM, 2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat.

Pada ketentuan UU Pengadilan HAM terdapat peluang untuk dibukanya

kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkan UU

Pengadilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan

pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluarsa dalam pelanggaran HAM

berat. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum

diundangkannya UU Pengadilan HAM dapat diadili.

Ketentuan tersebut diatas diadopsi dari Statua Roma 1998 yakni ketentuan

dalam artikel 28 tentang Tidak dapat diterapkannya ketentuan pembatasan. Ada

dua alasan dimasukkannya asas Retroactive ke dalam UU Pengadilan HAM, antara

lain : 1) jauh sebelum diundangkannya UU No 29 tahun 2000 belum dikenal jenis

kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 2) asas Retroactive dalam

UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijaksanaan politik) dari DPR


untuk merekomendasikan kepada presiden dengan pertimbangan bahwa kedua

jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan luar biasa)

Menurut Barda Nawawi Arief pemberlakuan asas retroactive sangat

bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam DUHAM pasal 15

ayat (1) dan pasal 24 ayat (1) Statuta Roma. Dengan demikian asas Retroactive yang

memungkinkan dibukakannya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat

merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia

(KUHP). Akan tetapi, dari sisi lain menurut Hukum Pidana Internasional,

pemberlakuan asas Retroactive sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang

diwujudkan dengan pembentukan pengadilan. Walaupun telah terjadi perbedaan

pendapat tentang keberadaan asas retroactive sebagai celah dibukanya kembali

kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlakukan adanya

penyaring yang dapat memfilter kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa

lampau melalui political wisdom dari DPR. Dalam kata lain dalam penyelesaian

kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, yang memerlukan

dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subjektivitas dan relativitas

serta tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis

yang tersembunyi.

Selain beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, gejala mandulnya

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan

gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi yang signifikan terhadap

perjalanan HAM di Indonesia. Di era Orde Baru, mereka dipandang sebagai tempat
terakhir mengadu setiap ada pelanggaran HAM. Namun sampai saat ini setiap ada

temuan, Komnas HAM ini kurang efektif dalam penanganannya.

3. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM

Sampai sejauh ini, terdapat dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di

masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus

yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi menggunakan logika sistem non-yudisial.

a. Pengadilan HAM Ad-hoc

Seperti yang telah dijelaskan diatas, mekanisme ini berdasarkan pada

pasal 43 UU No. 26/2000. Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap

mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan dalam

sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, penuntutan perkara dapat

dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal

dari unur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis

hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier.

Munurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari

tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan

berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat

tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian

membentuk satu tim untuk melakukan penyelidikan dan kemudian

mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti

terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida,


maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua,

DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian

membuat rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM

ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk

pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga

tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa

memegang peranan penting.

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah

ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tg. Priok.

Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua

tahun dari yang direncanakan. Pemerintah mengatakan bahwa keterlambatan

tersebut hanya masalah teknis seperti pembangunan infrastruktur peradilan

dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.

b. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada tanggal 7 September

2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang

kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang

Pengadilan HAM yang menyatakan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat

yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup

kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi.
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan

pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses

rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan

lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak

dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan

rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia

yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya

tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc.

Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer dari UU

No. 26/2000. Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi

penyelidikan dan klarifikasi, subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi

serta subkomisi pertimbangn amnesti.

4. Penegakan Hak Asasi Manusia di era globalisasi

Perkembangan upaya penegakkan hak asasi manusia di Indonesia selama ini

dicatat lebih menekankan kepada penegakan hak sipil dan hak politik. Sedangkan

advokasi terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya ( Economic, Social and Cultural

Rights ) kurang mendapat tempat yang semestinya. Demikain pula penegakan

terahadap Hak atas Pembangunan (Rights to Development ). Oleh karena itu upaya

penegakan HAM di era globalisasi harus dilakukan dalam perspektif indivisibility,

yaitu prinsip ketidak terpisahan atau prinsip saling ketergantungan antara satu hak

asasi dengan hak asasi manusia lainnya. Hal tersebut misalnya telah pula ditegaskan

di dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, 1993.


Penegakan HAM harus dilakukan dalam seluruh proses demokratisasi dan

penegakan hukum. Oleh karena itu persoalan penegakan HAM harus dilakukan

sesuai dengan jalur hukum, dan terpenuhinya rasa keadilan. Termasuk di dalamnya

upaya penegakan HAM lewat proses transitional Justice, serta pembentukan

Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran ( Truth and Reconciliation Commission ). Dan di

dalam upaya rekonsiliasi dan kebenaran ini perlu pula dipertimbangkan proses

pemaafan (forgiveness), terutama terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.

Termasuk di dalam prinsisp-prinsip Transitional Justice, antara lain : 1.

Penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu, 2. Pemulihan Hak korban,

3. Pengakuan adanya korban, 4. Prinsip non-recurrement, atau jaminan akan tidak

terulangnya pelanggaran HAM. Sebenarnya telah ada berbagai instrumen yang

dapat difungsikan dan dijadikan referensi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan

masalah pelanggaran HAM. Bahan-bahan yang bersifat nasional misalnya, UU

mengenai pengadilan HAM, Tap MPR No. XVII/98, Tap MPR N0. V/ 2000, UU HAM

dll. Adapun bahan-bahan yang bersifat internasional misalnya Statuta Roma, untuk

kejahatan terhadap kemanusiaan, hukum kebiasaan internasional yang berlaku bagi

semua orang tanpa batas-batas negara.

Hubungan antara HAM dengan globalisasi dapat dilihat secara linier dan

saling berbenturan. Sabagai sebuah konsep yang universal, HAM merupakan

kesepakatan internasional yang telah diterima, disisi lain globalisasi juga

telah mendorong lahirnya nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama.

Akan tetapi tak dapat di pungkiri bahwa globalisasi juga telah memberikan

dampak pahit bagi masyarakat khususnya di Negara-negara dunia ke tiga


seperti Indonesia yang mengintregasikan system ekonomi dan politiknya

pada system global.

Universal Declaration of Human Rights Dokumen ini sangat penting

karena merupakan kelanjutan dari rumusan berbagai Negara yang telah ada

pada beberapa abad sebelumnya. Globalisasi dapat dilihat sebagai system

yang ingin membawa satu dunia ke dalam satu system ekonomi dunia yang

berhasil, menginisiasi politik Internasional dan kebudayaan yang dapat

diterima semua pihak. Lebih jauh, era pasca globalisasi yang diinginkan

adalah harmonisasi politik dan kebudayaan serta bangunan system ekonomi

yang terintegrasi dalam pasar bebas yang Universal. Sebagaimana konsep

HAM, banyak pendapat menyatakan bahwa globalisasi bukanlah sesuatu yang

baru. Tetapi sudah ada yang berlangsung ratusan tahun yang lalu.

Saat ini yang terjadi hanyalah proses pengulangan. Indonesia sebagai warga

dunia sudah mengambil posisi yang tepat, penghormatan pada prinsip-prinsip

dasar manusia yang asasi dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang HAM, dan di dalamnya menegaskan bahwa KOMNAS HAM

adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenagan untuk melakukan

penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Disamping melakukan tugas dan fungsi Pengkajian dan Penelitian, Penyuluhan

dan Meditasi, Motivasi utama keberadaan Komnas HAM adalah untuk menciptakan

situasi yang kondusif bagi terpenuhinya perlindungan dan penegakan HAM bagi

martabat pribadi manusia, komunitas dan masyarakat Indonesia secara utuh

menyeluruh (holistic), nondiskriminatif demi terwujudnya karakter manusia,


masyarakat dan bangsa yang selalu sadar, bertanggung jawab, dan menjujung nilai-

nilai HAM dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam era globalisassi, penegakan HAM dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan

faktor perkembangan teknologi, terutama dalam hal yang menyangkut proses dan

alat pembuktian dalam pengadilan HAM. Beberapa norma Internasional dalam

proses pengadilan HAM telah diikuti dalam proses pengadilan HAM antara lain

tentang adanya Disenting Opinion dalam putusan pengadilan. Keberadaan lembaga

Pre-Trial akan dapat mendukung proses peradilan yang tidak menyita waktu,

tenaga, pikiran dan biaya. Lebih dari itu, perlu dihindari adanya proses peradilan

yang dapat menimbulkan kecurigaan publik nasional maupun internasional tentang

adanya kesan proses peradilan yang melindungi pelaku kejahatan HAM.

Tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang pengadilan

(courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu mengundang respon baik

secara sosial, moral, maupun yuridis. Menjaga integritas Pengadilan HAM

merupakan prasyarat untuk adanya respon positif terhadap penegakan HAM di

masa mendatang. Eksistensi peran dan yurisdiksi pengadilan berkorelasi dengan

perubahan dan perkembangan ideologi hukum yang hidup dalam masyarakat.

Misalnya Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa ketentuan mengenai

kewenangan atasan yang berhak menghukum dan Perwira Penyerah Perkara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1977 tentang

Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran HAM

yang berat menurut undang-undang.


5. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia

Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok korban terus

mengalir ke lembaga-lembaga terkait. Bahkan kelompok korban bersama

elemen masyarakat lainnya terus melakukan berbagai kegiatan, mulai dari

audiensi, lobby politik hingga demonstrasi. Dua kasus yang telah ditangani

oleh pengadilan HAM ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak

pihak tentang efektifitas dari mekanisme ini untuk mendapatkan rasa

kebenaran dan keadilan bagi korban.

Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur telah

menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan, khususnya

kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam tingkatan komando

pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat bertanggung jawab lepas dari

tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk

kasus Tg. Priok. Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami

masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui

mekanisme peradilan, wacana tentang KKR kemudian muncul. Namun,

kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan yang dingin dari

para kelompok korban. Walaupun belum berjalan sampai saat ini, sinyalemen

ketidakpercayaan sudah terlihat dari berbagai kelompok masyarakat. UU KKR

sekarang memang dinilai oleh banyak pihak menyimpang dari konsep

dasarnya.

Terdapat beberapa masalah yang selama ini mewarnai proses tersebut

antara lain;
Pertama, tidak adanya political will dari pemerintahan yang berkuasa. Banyak

pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini tidak memiliki niatan yang

serius untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini

dapat terlihat dengan jelas dalam proses penyelesaian kasus Trisakti,

Semanggi I dan II. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DPR mempunyai

peranan dalam memberikan rekomendasi terhadap satu kasus tertentu untuk

dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc. Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk

Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dalam kesimpulan akhirnya

menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat dalam

kasus TSS. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, DPR mengambil satu

keputusan tanpa melakukan satu proses penyelidikan melainkan hanya

melalui Rapat Dengar Pendapat dengan berbagai pihak. Komnas HAM

mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh DPR.

Kedua, kebijakan yang memperpanjang rantai impunitas. Masih senada dengan

masalah pertama, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang berkuasa

sejak kejatuhan orde baru hingga saat ini masih tetap menunjukkan

kecenderungan untuk melakukan praktek-praktek impunitas (bebas dari

hukuman). Kritik yang keras tentang UU No. 26/2000 mulai berkembang sejak

melihat kenyataan bahwa banyak pasal yang disalahartikan sehingga

memungkinkan para pelaku untuk bebas. Kemudian, UU KKR yang belum

berjalan juga sudah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Kelompok

korban merasa bahwa UU ini telah memasung hak mereka untuk mendapatkan

keadilan.
Ketiga, kendala di sistem peradilan diantara insititusi yang berwenang. Kondisi

ini ditunjukkan oleh kinerja dari Kejaksaan Agung dalam menangani kasus

pelanggaran HAM di Timor Timur. Komisi Penyelidikan terhadap Pelanggaran

(KPP) HAM kasus Timor-Timur mengeluarkan beberapa hasil penyelidikannya

yang kemudian jauh berbeda dengan tuntutan yang dihasilkan oleh Kejaksaan

Agung. Alih-alih dari Kejaksaan Agung adalah alasan politik. Terlebih lagi

dalam proses pengadilan, dangkalnya penuntutan serta meragukannya

kapasitas dari para penuntut umum telah memberikan hasil yang sangat jelas.

Sebagian besar dari para terdakwa dikemudian diputus bebas oleh pengadilan

atau pengadilan banding. Kondisi ini memperlihatkan secara jelas bahwa

masing-masing institusi melakukan interpertasi masing-masing terhadap satu

proses penyelesaian kasus, baik itu karena pertimbangan politik maupun

tidak.

Keempat, usaha pembungkaman oleh para pelaku. Mereka yang diduga terlibat

atau menjadi pelaku tentunya tidak tinggal diam saat mereka akan diajukan

dalam sebuah proses hukum. Mereka kemudian mencari berbagai cara untuk

menghambat terjadinya proses peradilan tersebut. Selain melalui teror atau

intimidasi, mereka juga melakukan pendekatan kepada kelompok korban

dengan iming-iming materi. Apalagi, mayoritas kelompok korban berasal dari

kelompok masyarakat menegah ke bawah. Sebagai salah satu contoh kasus

adalah proses ishlah antara beberapa orang yang diduga seperti Try Sutrisno

dengan sejumlah korban dalam peristiwa Tg. Priok. Proses ini kemudian

berimbas pada proses peradilan dimana banyak diantara korban yang


kemudian menarik tuntutan mereka serta menolak mengakui BAP (Berita

Acara pemeriksaan) yang pernah dibuat.

Tentang berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penegakan HAM di

Indonesia, secara umum dapat kita identifikasi sebagai berikut :

a. Faktor Kondisi Sosial-Budaya

1) Stratifikasi dan status sosial; yaitu tingkat pendidikan,

usia,pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat Indonesia

yangmultikompleks (heterogen).

2) Norma adat atau budaya lokal kadang bertentangan dengan

HAM,terutama jika sudahbersinggung dengan kedudukan

seseorang,upacara-upacara sakral, pergaulan dansebagainya.

3) Masih adanya konflik horizontal di kalangan masyarakatyang hanya

disebabkan oleh hal-hal sepele.

b. Faktor Komunikasi dan Informasi

1) Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai, hutan,dan

gunung yang membatasi komunikasi antardaerah.

2) Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang

belumterbangun secara baik yangmencakup seluruh wilayah

Indonesia.

3) Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang masihsangat

terbatas baik sumber daya manusia-nya maupun perangkat

(software dan hardware) yang diperlukan.

c. Faktor Kebijakan Pemerintah


1) Tidak semua penguasa memiliki kebijakan yang samatentang

pentingnya jaminanhak asasi manusia.

2) Ada kalanya demi kepentingan stabilitas nasional,persoalan hak asasi

manusiasering diabaikan

3) Peran pengawasan legislatif dan kontrol sosial olehmasyarakat

terhadap pemerintahsering diartikan oleh penguasasebagai

tindakan pembangkangan.

d. Faktor Perangkat Perundangan

1) Pemerintah tidak segera meratifikasikan hasil-hasil

konvensiinternasional tentang hakasasi manusia.

2) Kalaupun ada, peraturan perundang-undangan masih sulituntuk

diimplementasikan.

e. Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).

1) Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau

pribadimengabaikan prosedur kerja yang sesuai dengan hak asasi

manusia.

2) Tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat yang dinilai

masih belum layaksering membuka peluang jalan pintasuntuk

memperkaya diri.

3) Pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat

masihdiskriminatif, tidak konsekuen,dan tindakan penyimpangan

berupa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).Dari faktor-faktor

yang menjadi hambatan dalam penegakan hakasasi manusia


tersebutdiatas, mari kita upayakan untuk sedikit demisedikit

dikurangi (Eliminasi.) Demi terwujudnya perlindungan hak

asasimanusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar

menghormati hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya

untukmenyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat

dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah

Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya

(ekobudi CG)

Anda mungkin juga menyukai