Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran tuhan yang maha esa karena atas berkat dan
rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul “ ASKEP KULTURAL
PADA LANSIA”

Penulis membahas mengenai konsep penyakit dan juga asuhan keperawatannya .

Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk mendukung perbaikan makalah ini agar
lebih baik lagi kedepanya.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dari beberapa pihak dalam
penyusunan makalah ini, akhir kata penulis ucapkan wasallam…

Kairatu, 17 April 2015

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep teori penyakit

B. Asuhan keperawatan kultural lansia

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari


pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan angka
kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, disisi lain pembangunan secara
tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-nilai dalam keluarga yang
berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia. Lansia sering kehilangan
pertalian keluarga yang selama ini diharapkan. Perubahan yang terjadi juga menyebabkan
berkurangnya peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai terlihat
hilangnya bentuk - bentuk dukungan keluarga terhadap lansia (Junaidi, 2007). Penduduk
lansia di Indonesia tahun 2006 sebesar 19 juta jiwa, dengan usia harapan hidup 66,2
tahun, tahun 2010 diperkirakan jimlah lansia sebesar 23,9 juta jiwa dengan usia harapan
hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sebesar 28,8 juta
jiwa dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Peningkatan jumlah penduduk lansia
disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan dibidang
pelayanan kesehatan dan tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat
(MENKOKESRA, 2007).
Meningkatnya jumlah lansia membutuhkan penanganan yang serius karena
secara alamiah lansia itu mengalami kemunduran baik dari fisik, biologis, maupun
mentalnya. Hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial dan budaya sehingga perlu
adanya peran serta dan dukungan dari keluarga dalam penanganannya. Menurunnya
fungsi berbagai organ, lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau
kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif dan penyakit metabolik
(Nugroho, 2000).
Selain penyakit degeneratif, masalah psikologis merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi kehidupan lansia, diantaranya adalah: kesepian, keterasingan dari
lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran
terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal
tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat,
harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup,
hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan
sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas,
peran dan partisipasi sosial (Partini, 2002).
Permasalahan yang dihadapi lansia memerlukan pemecahan sebagai upaya
untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa
mereka. Konsep untuk memecahkan masalah ini disebut dengan mekanisme koping.
Koping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh
tekanan. Koping merupakan reaksi terhadap tekanan yang dibutuhkan lansia untuk
memecahkan, mengurangi, dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hawari,
1997).

B. Rumusan masalah
Masalah yang penulis analisa yaitu:
1. Apa pengaruh masalah sosial budaya pada lansia ?
2. Apa itu perubahan peran diri pada lansia ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah sosial budaya ?

C. Tujuan penulisan
Tujuan dalam penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh masalah sosial budaya pada lansia
2. Untuk mengetahui tentang perubahan peran diri pada lansia
3. Untuk mengetahui asuhan keperwatan pada lansia dengan masalah sosial budaya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaruh masalah sosial budaya pada lansia

Apakah kebudayaan itu Mungkin semua orang mengerti apa kebudayaan itu ,
tapi tidak setiap orang dapat menjelaskannya . Sebagian orang menjelaskan bahwa
kebudayaan itu adalah sikap hidup yang khas dari sekelompok individu yang dipelajari
secara turun temurun , tetapi sikap hidup ini ada kalanya malah mengundang resiko bagi
timbulnya suatu penyakit . Kebudayaan tidak dibatasi oleh suatu batasan tertentu yang
sempit , tetapi mempunyai struktur-struktur yang luas sesuai dengan perkembangan dari
masyarakat itu sendiri.
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan pada lansia
sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi
kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi dengan
mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di dalam
masyarakat tersebut.
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk
di rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan
informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada
masyarakat . Ada banyak cara yang bisa dilakukan , mulai dari perkenalan program
kerja, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat maupun melakukan pendekatan secara
personal .
Sikap budaya terhadap warga usia lanjut mempunyai implikasi yang dalam
terhadap kesejahteraan fisik maupun mental mereka. Pada masyarakat tradisional warga
usia lanjut ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, sebagai Pinisepuh atau Ketua
Adat dengan tugas sosial tertentu sesuai adat istiadatnya, sehingga warga usia lanjut
dalam masyarakat ini masih terus memperlihatkan perhatian dan partisipasinya dalam
masalah - masalah kemasyarakatan. Hal ini secara tidak langsung berpengurah kondusif
bagi pemeliharaan kesehatan fisik maupun mental mereka. Sebaliknya struktur
kehidupan masyarakat modern sulit memberikan peran fungsional pada warga
usia lanjut, posisi mereka bergeser kepada sekedar peran formal, kehilangan pengakuan
akan kapasitas dan kemandiriannya. Keadaan ini menyebabkan warga usia lanjut dalam
masyarakat modern menjadi lebih rentan terhadap tema - tema kehilangan dalam
perjalanan hidupnya.Era globalisasi membawa konsekuensi pergeseran budaya yang
cepat dan terus – menerus , membuat nilai-nilai tradisional sulit beradaptasi.
Warga usia lanjut yang hidup pada masa sekarang,seolah-olah dituntut untuk
mampu hidup dalam dua dunia yakni : kebudayaan masa lalu yang telah membentuk
sebagian aspek dari kepribadian dan kekinian yang menuntut adaptasi perilaku. Keadaan
ini merupakan ancaman bagi integritas egonya, dan potensial mencetuskan berbagai
masalah kejiwaan
Menurut Setiabudhi (1999), permasalahan sosial budaya lansia secara umum
yaitu masih besarnya jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan, makin
melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang
diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan
keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya
kelompok masyarakat industri yang memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada
individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan
efisien yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia, masih rendahnya
kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana
pelayanan pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya dan
melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia.

B. Perubahan peran diri pada lansia


Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru
demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi,

kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai,


mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena mereka tidak
dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu
dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap mereka tidak
menyenangkan.
Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya dalam
urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga dengan dunia usaha dan profesionalisme.
Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia,
dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih dilakukannya.

Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang
mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan mereka.
Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia menumbuhkan perasaan
rendah diri dan kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses
penyesuaian sosial seseorang.

1. Peran dalam Keluarga


Kehidupan dalam keluarga pada usia lanjut yang merupakan hal yang
paling serius adalah keharusan untuk melakukan perubahan peran. Mereka
semakin sulit dari tahun ketahun. Semakin radikal perubahan tersebut dan
semakin berkurang prestise peran tersebut, maka semakin besar pula penolakan
terhadap perubahan.

Pria atau wanita yang telah terbiasa dengan peran sebagai kepala
keluarga akan menemukan kesulitan untuk hidup bergantung dirumah anaknya.
Seperti juga halnya dengan pria yang memperoleh kedudukan dan prestise serta
tanggung jawab dalam dunia kerjanya, merasa akan sulit menghadapi fakta
sebagai pembantu istrinya apabila sudah pensiun. Peran ini dirasakan akan
menghilangkan otoritas dan kejantanannya.

2. Peran dalam Sosial Ekonomi


Walaupun mereka sudah mempersiapkan diri untuk pensiun, tetapi
lansia menghadapi masalah yang oleh Erikson disebut krisis identitas (identity
crisis), yang tidak sama dengan krisis identitas yang dihadapi dimasa dewasanya,
pada waktu mereka kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak dan kadang-
kadang sebagai orang dewasa. Krisis identitas yang menimpa orang setelah
pensiun adalah sebagai akibat untuk melakukan perubahan peran yang drastis
dari seseorang yang sibuk dan penuh optimis, menjadi seorang pengngangur
yang tidak menentu. Dan lebih lebih lanjut lagi bahwa perubahan terhadap
kebiasaan dan pola yang sudah mantap yang telah dilakukan sepanjang hidup
yang pernah dialaminya, sering mengakibatkan perasaan yang traumatik bagi
lansia.
3. Peran dalam Sosial masyarakat
Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan
dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua
diharapkan untuk menyesuaiakan diri dengan menurunkan kekuatan, dan
menurunnya kesehatan secara bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai
perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar
rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk menganti tugas-
tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda
dahulu.
C. Asuhan keperawatan lansia dengan masalah sosail budaya
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tangggal
MRS, informan, tangggal pengkajian dan alamat klien.
b. Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem rujukan
penyakit), nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan keperawatan,
faktor-faktor kultural yang dihubungkan dengan penyakit secara umum dan
respons terhadap rasa sakit, kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan.
c. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain,
tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dependen.
d. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan,harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan /frustasi
berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi
trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, dicerai pasangan,
putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban
perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.

2. Diagnosa keperawatan

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak mampu dalam
memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologi.
2. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan keterbatasan neuromuskular.
3. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kemampuan regenerasi sel atau jaringan
menurun.
3. Intervesi
a. Diagnosa keperawatan: ketidakseimbangan nutrisi :nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d tidak mampu dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan
karena faktor biologi.
Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam,diharapkan
asupan nutrisi pasien tidak bermasalah, asupan makanan dan cairan tidak
bermasalah berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan, dan tidak ada tanda-
tanda malnutrisi.
Intervensi:
 Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
Rasional: mengidentifikasi nutrisi yang diberikan dan juga untuk intervensi
selanjutnya.
 Observasi dan catat masukan makanan klien.
Rasional: mengawasi masukan kalori.
 Ajarkan dan kuatkan konsep nutrisi yang baik pada pasien.
Rasional: agar pasien mengetahui bagaimana konsep nutrisi yang baik.
 Dorong pasien untuk memonitor diri sendiri terhadap asupan makanan dan
kenaikan atau pemeliharaan berat badan.
Rasional: agar nutrisi pasien dapat terpenuhi.
b. Diagnosa keperawatan: Inkontinensia urin fungsional b.d
keterbatasanneuromuskular.

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3×24 jam diharapkan


pasien mampu.
 Kontinensia Urin.
 Merespon dengan cepat keinginan buang air kecil (BAK)
 Mampu mencapai toilet dan mengeluarkan urin secara tepat waktu.
 Mampu memprediksi pengeluaran urin.
Intervensi :
 Monitor eliminasi urin.
Rasional: untuk mengetahui jumlah urin yang keluar.
 Bantu klien mengembangkan sensasi keinginan BAK.
Rasional: dengan membantu klien, diharapkan klien akan mampu
memprediksi pengeluaran urinnya.
 Modifikasi baju dan lingkungan untuk memudahkan klien ke toilet.
Rasional: membantu klien untuk mencapai toilet dan mengeluarkan urin
tepat waktu.
c. Diagnosa keperawatan: risiko kerusakan integritas kulit b.d kemampuan regenerasi
sel atau jaringan menurun.
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Intervensi ;
 Monitor area kulit yang terlihat kemerahan dan adanya kerusakan.
 Monitor kulit yang sering mendapat tekanan dan gesekan.
 Monitor warna kulit.
 Periksa pakaian, jika pakaian terlihat terlalu ketat
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan pada lansia
sangatlah penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan.
Bila suatu informasi kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada
masyarakat haruslah di barengi dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar
belakang sosial budaya yang dianut di dalam masyarakat tersebut.
Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan
kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang lansia sering dianggap
tidak ada gunanya lagi. Karena mereka tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang
lebih muda dalam berbagai bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan
sikap sosial terhadap mereka tidak menyenangkan.

B. Saran
Semoga dengan pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa dalam mempelajari askep gerontik khususnya yang berhubungan dengan
masalah social budaya pada lansia yang berhubungan dengan perubahan peran pada
lansia.

Anda mungkin juga menyukai