Anda di halaman 1dari 10

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Pidana Platform Media Sosial Terhadap Pemuatan

Konten-konten Kekerasan Dalam Hukum Positif Indonesia

Melalui internet tindak pidana yang semakin mudah untuk dilakukan

antara lain, tayangan live seorang pria melakukan kekerasan kepada istrinya, di

sebuah akun facebook milik istrinya, kasus ini yang melibatkan akun media

sosial facebook.Walaupun video kasus tersebut akhirnya dihapus facebook,

video itu sempat dilihat dan kini bertebaran potongan video tersebut di media

sosial lainnya.

Kominfo menyatakan pihak facebook sudah melakukan bersih-bersih

sehingga muatan yang melanggar kekerasan itu tidak lagi bisa diakses para

pengguna di Indonesia.1 Selain terhadap platfom facebook, pemutusan akses

atas konten berbahaya juga dilakukan terhadap platform platfom OTT

Telegram, Tumblr dan Tik Tok. Upaya penegakan sebagaimana yang

dilakukan diatas dianggap belum mampu dan belum maksimal.

Di dalam hukum pidana, ukuran yang menentukan seorang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dilihat dari kemampuan

bertanggungjawab orang tersebut. Hanya orang-orang yang mampu

bertanggungjawab saja yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya

(dihukum).Kemampuan bertanggungjawab itu didasarkan pada suatu keadaan

1
Dhika Kusuma Winata, “Konten Porno di WhatsApp Ditutup”, Media Indonesia, diakses
dari http://mediaindonesia.com/news/read/131249/konten-porno-di-whatsappditutup/2017-11-09,
diakses pada tanggal 23 maret 2021.

71
dan kemampuan jiwa orang tersebut. Dalam hukum pidana dikenal Doktrin

Mens Rea. Doktrin ini berasal dari asas dalam hukum. Pidana Inggris, Actus

Reus, yang lengkapnya berbunyi “actus non facit reum, nisi mens sit rea”.

Artinya, bahwa “sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi

bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat”.2

Penegakan hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana

materiil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya unsur

kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtiejk) sebagai syarat untuk

pengenaan pidana, sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan

diperlukan beberapa syarat yakni:3

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat

2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab

4. Tidak ada alasan pemaaf

5. Tidak ada alasan pembenar.

Aspek hukum dalam hukum cyber cukup luas, yaitu dalam hukum

administrasi, perdata, dan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut disebut

sebagai cyberlaw. Namun sekarang bidang teknologi informasi sudah menjadi

bidang tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik.

Namun, perlu disadari bahwa istilah hukum pidana dibidang teknologi

informasi secara yuridis belum diatur dalam peraturan perundangundangan.


2
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana, Ghlmia Indonesia, Jakarta: 1983,
hlm. 40.
3
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung: 1981, hlm. 85.

72
Penegakan hukum terhadap permasalahan ini dapat dilihat pasal 52 ayat

(4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam hal ini tentu

akan menyebabkan kerugian baik kerugian secara langsung maupun tidak

langsung. Maka dalam hal ini hukum mampu menjawab terkait dengan

perkembangan zaman terutam dalam proses pertanggungjawaban terhadap

Platform media sosial agar kedepannya, pihak platform media sosial lebih

berhati-hati dalam menampilkan konten video oleh pengguna.

Platform media sosial Facebook yang mempunyai izin dari pemerintah

termasuk sebagai subjek hukum yang seharusnya dapat dilakukan proses

penegakan hukum. Karena subjek hukum adalah subjek yang dapat diminta

pertanggungjawaban apabila dalam melakukan perbuatan hukum ternyata

melakukan pelanggaran ketentuan yang ada. Beberapa teori yang menerima

keberadaan badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.4

Walaupun ada peraturan yang mengatur tentang berbagai kejahatan

yang timbul saat ini, masih banyak masyarakat yang telah menjadi korban atas

konten yang meresahkan masyarakat, namun platform media sosial turut serta

memberikan akses tanpa melakukan pembatasan bahkan tidak menghentikan

tayangan tersebut. Sehingga masih banyak media-media yang masih belum

menghapus konten tersebut dan membiarkan konten tersebut masih mudah

diakses oleh siapaun. Seharusnya media sadar dan menyadari bahwa tindakan

tersebut sama saja dengan memberikan celah. Jika merujuk pada aliran

legalisme, yaitu aliran dalam ilmu hukum dengan karakter bahwa hukum
4
Evi Deliana HZ, Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Konten Kekerasan dalam Media
Cetak dan Elektronik, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. III, No. 1 2012,
hlm. 16.

73
identik dengan UndangUndang, hukum dianggap sebagai perintah penguasa

yang harus dilaksanakan”.5

Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa “penegakan hukum dapat

dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,

mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi

pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan

kembali”.6 Jimly Asshidiqie membagi dua pengertian penegakan hukum yaitu

dalam arti sempit merupakan “kegiatan penindakan terhadap setiap

pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan

melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian,

kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan peradilan.7

Sementara dalam arti luas merupakan kegiatan untuk melaksanakan dan

menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek hukum baik melalui prosedur

peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian

sengketa lainnya (alternative disputes or conflict resolution)”.8

Namun dalam pelaksanaannya, beberapa platform media sosial

sebagaimana yang disebutkan diatas masih bebas dalam menyebarkan konten

kekerasan bahkan konten propaganda. Seharusnya perlu ada pendekatan dari

Negara melaui istrumen hukum dalam rangka mengatur terkait dengan

5
Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrime Law, Aswaja,
Yogyakarta: 2003, hlm. 153.
6
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006, Hlm. 115.
7
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan PilarPilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran
Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press dan PT. Syaamil Cipta Media, Jakarta: 2006. hlm. 386.
8
Ibid. hlm. 386.

74
permsalahan ini. Agar kedepannya platform media sosial bisa lebih selektif

dalam menjaring dan menyebar luaskan konten. Karena tidak semua konten

yang disebarkan dapat konsumsi oleh orang yang tau batasan.

Jika dikaitkan dengan teori penegakan hukum, penegakan hukum

merupakan upaya dalam merealisasikan nilai dalam hukum tersebut dalam

rangka menciptakan ketertiban. Namun istrumen hukum yang masih belum

memadai dalam merespon permasalahan ini. Sehingga penegakan hukum perlu

dilakukan dengan penegakan hukum preventif dan represeif. Agar media yang

masih belum menghapus konten tersebut dan membiarkan konten tersebut

dapat dilakukan propose penegakan hukum. Sehingga dengan adanya

penegakan hukum, media sadar dan menyadari bahwa tindakan tersebut sama

saja dengan memberikan celah.

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Platform Media Sosial Dalam

Muatan Konten-Konten Kekerasan Dalam Hukum Positif Indonesia

Mengenai tanggung jawab platform atau penyelenggara platform telah

diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik untuk

menyelenggarakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung

jawab terhadap penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. Selain itu, dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Sistem

75
dan Transaksi Elektronik juga mengatur demikian. Prinsip tanggung jawab

yang terkandung dalam Pasal 15 Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Elektronik adalah prinsip presumed liability, artinya setiap Penyelenggara

Sistem Elektronik selalu bertanggung jawab secara hukum kecuali dapat

membuktikan bahwa kesalahan terjadi bukan karena Penyelenggara tetapi

karena kesalahan pengguna sistem elektronik.

Dengan terjadinya kasus konten pedofil penyebaran video dan foto di

media sosial yang berisi kekerasan terhadapa anak, serta kasus tayangan live

seorang pria melakukan kekerasan kepada istriny. Akibat dari kasus tersebut

yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kejadian itu

menunjukan kurang andal dan amannya sistem keamanan elektronik yang

diselenggarakan oleh facbook sehingga dapat dengan mudah dilakukan

pengaksesan oleh pengguna media sosial. Hal ini bertentangan dengan

ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga

Pasal 3 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sistem Elektronik yang

memberikan kewajiban pada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk

menyelenggarakan Sistem Elektroniknya secara andal dan aman. Berdasarkan

ketentuan tersebut maka tanggung jawab atas kasus tersebut adalah tanggung

jawab hukum dari penyelenggara sitem elektronik atau dalam hal ini facebook.

Karena Penyelenggara Sistem Elektronik adalah pihak yang paling utama

untuk melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadinya pelanggaran

sehingga dapat mencegah terjadinya kasus serupa.

76
Dapat dikatakan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana jika

Tingkah laku itu terbukti berdasarkan Hukum dan peraturan yang

mengaturnya. Namun, tidak semua aktor Seseorang yang terbukti melakukan

tindak pidana dapat dihukum karena melakukan tindak pidana. apa ini

Kemudian kita terbiasa dengan alasan untuk menghilangkan kesalahan atau

alasan untuk pengampunan.

Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu perbuatan tercela yang

dilakukan oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan kepada si

pembuatnya atas perbuatan yang telah dilakukan. Dengan

mempertanggungjawabkan perbuatan yang tercela itu kepada si pembuatnya,

apakah sipembuatnya dapat dicela ataukah si pembuatnya tidak dapat dicela.

Pada saat si pembuat dapat dicela, maka si pembuatnya tentu akan dipidana.9

Pertanggung jawab pidana dapat diberikan kepada pelaku dengan

menerapkan sanksi pidana yang harus diatur sebelumnya dalam undang-

undang terkait. Namun, yang terjadi dalam kasus ini adalah bahwa Undang-

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi hanya mengatur

tindakan ilegal, dan kemudian tidak menjatuhkan sanksi administratif maupun

sanksi pidana terhadap penyelenggara sistem elektronik baik yang dikelola

oleh badan hukum atau individu (Blogger atau website pribadi) yang tidak akan

menghapus Konten-konten berhaya maupun negatif yang berada di bawah

kendalikannya sesuai dengan perintah pengadilan.

Adapun perumusan pada “Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik hasil revisi” yaitu Ketentuan mengenai tata cara
9
Roeslan Saleh. Op.cit. Hlm 10

77
penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah yang

berbunyi sebagai berikut:10 Pasal tersebut menjelaskan bahwa penyelenggara

sistem elektronik harus diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Adapun

yang dimaksud dengan "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82

Tahun 2012 tentang Sistem Elektronik dan Penyelenggara Transaksi". Namun

perlu diketahui bahwa peraturan pemerintah ini ditujukan kepada Undang-

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebelum direvisi. Oleh karena itu,

dalam "Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Sistem dan

Penyelenggara Transaksi Elektronik", tidak ada ketentuan atau acuan lebih

lanjut terhadap revisi Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Informasi dan

Transaksi Elektronik, terlepas dari prosedur Penghapusannya maupun terkait

sanksi administrasi dan pidananya apabila penyelenggara sistem elektronik

melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (3), maka dikenakan sanksi administratif

maupun sanksi pidana.

Sebuah Badan Hukum atau perusahaan melakukan tindakan ilegal dan

mencari keuntungan bagi perusahaan itu sendiri, organisasi atau perusahaan

tersebut dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana. Berbeda dengan

sistem pertanggungjawaban umum yang ada, dalam sistem

pertanggungjawaban korporasi, tindak pidana hanya dapat dianggap sebagai

tindak pidana karena unsur-unsur pidana tersebut telah terpenuhi.

10
Pasal 26 ayat (5) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

78
Perlu ada peraturan pemerintah untuk menjelaskan masalah ini lebih

detail. Jika melihat peraturan pemerintah yang dibuat untuk memperjelas

"Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE", yaitu "Undang-Undang

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 82 tentang Penyelenggaraan Sistem

dan Transaksi Elektronik". Penyelenggara sistem elektronik sendiri diatur

dalam Pasal 3 sampai 17. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut hanya

Mengatur sanksi secara administrasi, tidak ada sanksi pidana di dalamnya, isi

sanksi administrasi yakni:

“Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :11

a. Teguran tertulis

b. Denda administrasi

c. Penghentian sementara, dan/atau

d. Dikeluarkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4),

Pasal 37 ayat (2), Pasal 62 ayat (1), dan Pasal 65 ayat (4).”

Hal mengenai hanya diberlukannya sanksi pidana ini dimungkinkan

menerapkan asas ultimum remedium, yang biasanya ditafsirkan sebagai penerapan

sanksi pidana yang merupakan sanksi terakhir dalam penerapannya untuk

hukum.12 Asas tersebut menyatakan bahwa hukum pidana harus dijadikan sebagai

upaya terakhir dalam penegakan hukum, dalam hal ini artinya untuk menegakkan

hukum atau menyelesaikan perkara, sanksi pidana tidak secara langsung

11
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yaitu dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan system dan Transaksi
Elektronik.
12
Sudikno Mertolusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta: 2006.
hlm.128.

79
dikenakan sanksi pidana, tetapi harus dikenakan sanksi administratif. sanksi,

sanksi perdata, dan mediasi dan / atau negosiasi.

Oleh karena itu, tidak jelas bagaimana penyelenggara sistem elektronik

yang memuat konten-konten kekerasan maupun negatif akan dimintai

pertanggungjawaban, karena masih belum ada regulasi yang menjelaskan lebih

lanjut. Karena jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban, pertanggungjawaban

dibebankan kepada subjek hukum yang melakukan kesalahan. Sehingga dalam hal

ini bagaimana penyelenggara sistem elektronik yang memuat konten-konten

kekerasan maupun negatif harus dapat dimintai pertanggungjawaban.

80

Anda mungkin juga menyukai