Anda di halaman 1dari 14

LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -

Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM


PERSPEKTIF KRIMINOLOGI
Fahrul Triana Nugraha1
Fakultas Hukum, Universitas Kuningan
E-mail: 20181410070@uniku.ac.id

Cititation: Nugraha, Fahrul Triana. Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor dalam Perspektif
Kriminologi. LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan 1.1.2023. 23-36.
Submitted: 20-12-2022 Revised:15-01-2023 Accepted: 07-02-2023

Abstrak
Tindak pidana pencurian merupakan sebuah fenomena meresahkan yang terdapat dalam struktur
masyarakat dalam hal ini ialah dengan objek kendaraan bermotor. Studi kriminologi merupakan sebuah
upaya untuk mengkaji bagaimana suatu kejahatan dapat terjadi dengan mempertimbangkan berbagai
aspek salah satunya ialah aspek hukum dan sosial-ekonomi. Kriminologi memandang tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor sebagai sebuah gejala sosial yang tak terhindarkan, akan tetapi
kriminologi pun menawarkan berbagi upaya akan menangani hal tersebut samapi kepada akar
permasalahannya. Proses pemidanaan pun merupakan sebuah rangkaian dalam penyelesaian peradilan
konvensional menjadi tak terhindarkan. Upaya kajian kriminologi pun dilakukan untuk melihat
seberapa efektif penjatuhan hukuman dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan apa yang telah
diperbuatnya. Metode penelitian menggunakan deskriptif analisis. Hasil analisis yang telah dilakukan
pada kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor: kajian kriminologi terhadap tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor, respon kriminologi atas pemidanaan pelaku tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor, kasus yang sudah diproses hukum telah dianalis menggunakan pendekatan
keadilan restoratif. Saran untuk kasus ini adalah menelaah sistem pemidanaan konvensional dengan
melakukan studi kriminologi, perlunya keterlibatan diantara para pihak yakni pelaku dan korban untuk
terciptanya keadilan bersama.
Kata Kunci: Kriminologi, Tindak Pidana, Sistem Peradilan Pidana, Pencurian Kendaraan Bermotor.

Abstract
The crime of robbery is a troubling phenomenon that exists in society, in this example the item of a
motorized automobile. Looking at criminology, it is trying out and observing how a criminal offense
can arise through thinking about diverse aspects, one in every of that's the prison and socio-monetary
aspects. Criminology perspectives the crime of motor automobile robbery as an unavoidable social
phenomenon, however criminology additionally gives to proportion efforts to cope with it to the
foundation of the problem. It is likewise a sequence withinside the traditional judicial agreement that
will become unavoidable. Efforts to take a look at criminology had been additionally achieved to look
how powerful the punishment withinside the crook justice device turned into according with what he
had done. The study approach uses descriptive evaluation. The outcomes of the evaluation which have
been achieved withinside the case of the crime of motor automobile robbery: criminological research
of the crime of motor automobile robbery, criminological responses to the conviction of perpetrators
of the crime of motor automobile robbery, instances which have been processed through regulation had
been analyzed the use of a restorative justice approach. The inspiration for this example is to observe
the traditional crook device through undertaking a criminology, the want for involvement among the
parties, specifically the wrongdoer and the sufferer to create mutual justice.
Keywords: Criminology, Crime, Criminal Justice System, Motor Vehicle Theft.

23
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki peraturan Perundang-undangan.
Adanya pemberlakuan peraturan Perundang-undangan tersebut tak dapat terlepas dari apa
yang selama ini didambakan oleh segenap masyarakat, ialah perdamaian. Negara hukum
menghendaki agar hukum ditegakkan tanpa memandang strata sosial. Artinya, segala
perbuatan yang ditimbulkan oleh khalayak umum dalam hal ini ialah masyarakat, maupun
penguasa pada pucuk pimpinan Negara, harus didasarkan kepada hukum. Setiap warga
Negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan wajib menjunjung tinggi
dan menyadari akan pemberlakuan hukum tersebut. Oleh karena itu, semua elemen yang
menyangkut dalam negara baik itu aparatur negara, aparat penegak hukum maupun
masyarakat umum, sudah seharusnya menjunjung tinggi keberlakuan hukum dan ikut serta
dalam menegakkan hukum itu sendiri.
Menurut UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
Negara hukum”, yang berarti Negara Indonesia berdasar pada keberadaan hukum
(Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bagaimanapun hukum
harus tetap ditegakkan. Tetapi, dalam segelintir proses penegakan inilah, indikator
pencapaian hukum kerap kali tersendat, salah satu variabelnya ialah aktifitas kejahatan
yang tengah terjadi dalam kehidupan masyarakat, yang begitu kompleks dan terus
mengalami pembaharuan seiring dengan perkembangan zaman. Menurut Satjipto
Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan.1 Secara konsepsional, arti dan inti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah
yang terwujud dalam serangkaian nilai untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan perdamaian pergaulan hidup.
Pengkajian tentang penyelenggaraan dan distribusi keadilan di Indonesia,
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dibahas karena masyarakat Indonesia
masih tergolong masyarakat majemuk yang tidak bisa terhindar dari masalah konflik atau
pertikaian dalam kehidupan masyarakat dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena
biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih. Situasi ini
akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua pihak terlibat
konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh Peradilan.
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang
menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta korbannya sendiri. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa dalam suatu
peristiwa kejahatan, penderitaan orang yang telah menjadi korban tidak saja berakibat pada
orang itu sendiri, tetapi juga berdampak pada orang- orang disekitanya. Bahkan juga
berdampak pada masyarakat dan Negara dalam lingkup yang lebih luas. Namun demikian,
dalam konsep restorative justice meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan
pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban
dan pelaku.
Keberangkatan penulis dalam menggarap karya ilmiah ini berawal dari fenomena
aktivitas kejahatan yang tengah berkembang seiring dengan pola kehidupan masyarakat.

1
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 2015), 19.

24
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

Salah satu kejahatan yang sering mengganggu keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat, bahkan dapat mengancam nyawa manusia adalah tindak pidana pencurian.
Pada zaman sekarang ini, berbagai macam cara dan modus yang digunakan oleh para
pelaku kejahatan beraneka ragam, salah satunya adalah tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor yang menjadi konsen penulis dalam penulisan karya ilmiah ini. Pencurian
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 362, ketentuannya
sebagai berikut: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”. Adapun unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP, yaitu:
perbuatan “mengambil”, yang diambil adalah suatu barang. Barang itu sebagian atau
seluruhnya milik orang lain, pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud memiliki
barang itu dengan melawan hukum.2
Kejahatan merupakan gejala sosial yang tak kunjung ada habisnya untuk dikaji, hal
ini mengingat semakin berkembangnya kejahatan seiring dengan perkembangan hidup
manusia. Kejahatan sebagai fenomena sosial lebih banyak dipengaruhi oleh berbagai
aspek kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan hal-hal
yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara.3
Sesampainya disana, penulis memiliki ketertarikan untuk membedah akar
permasalahan tersebut dengan pendekatan sebab-akibat. Maka dengan itu, ilmu
kriminologi setidaknya akan menghantarkan penulis pada konklusi yang paling akurat
mengenai fenomena kejahatan. Penelitian sebab-akibat dalam kriminologi berbeda dengan
penyelidikan hukum pidana. Dalam hukum pidana, agar dapat dilakukan penuntutan
haruslah dapat dibuktikan bahwa antara suatu tindakan/perbuatan dengan akibat yang
dilarang terdapat suatu kesinambungan. Selain harus adanya suatu kesinambungan,
disyaratkan pula adanya mens-rea dalam hal pertanggungjawaban dari pelaku atas
perbuatan yang telah dilakukannya itu. Dengan kata lain, dalam hukum pidana mencari
suatu kesinambungan adalah upaya untuk melakukan tindakan selanjutnya yang akan
dilakukan terhadap pelaku, yakni menyangkut pertanggungjawaban pidana. Sedangkan,
dalam studi kriminologi, kejahatan yang disebut sebagai gejala sosial tersebut akan
dimulai pada tahap final, dalam arti lain, apabila hubungan sebab-akibat telah terbukti,
maka langkah selanjutnya bukan menentukan bahwa pelaku telah melakukan suatu
kejahatan serta dapat diminta pertanggungjawaban, melainkan, melangkah pada
pertanyaan selanjutnya, mengapa seseorang dengan ciri tertentu dapat melakukan suatu
aktifitas kejahatan?4
Berkenaan dengan apa yang selanjutnya akan dikaji oleh penulis melalui usulan
karya ilmiah yang berjudul Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Dalam
Perspektif Kriminologi, Penulis berkeinginan untuk membedah suatu kasus yang terjadi
di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kuningan, sejauh mana keterkaitan antara perspektif

2
Tri Fahtur Rohman Mikar, “Kajian Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda Motor”, Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Medan Area 2, No. 5 (2018): 13.
3
Anthon F. Susanto, “Penelitian Hukum Transformatif Partisipatoris: Sebuah Gagasan Dan Konsep Awal”,
Jurnal Litigasi Fakultas Hukum Universitas Pasundan 17, No. 4 (2016): 14.
4
Nandang Sambas, Kriminologi Perspektif Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika, 2019), 30.

25
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

yang akan dibahas dengan putusan hakim pada No: 86/Pid.B/2019/PN.Kng dengan
pendekatan restorative justice.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
secara seksama untuk mencapai suatu tujuan dengan cara mencari, mencatat, merumuskan,
dan menganalisis sampai menyusun laporan. Metode penelitian hukum, menurut Soerjono
Soekanto adalah “suatu kegiatan ilmiah, yang di dasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan menganalisanya.5
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif meneliti berdasarkan kepustakaan yang menggunakan bahan-
bahan literatur seperti buku-buku, undang-undang yang berlaku, dokumen-dokumen serta
media lainnya yang dapat dijadikan bahan data atau teori yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Kriminologi Memandang Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor
Kriminologi adalah ilmu yang tak dapat terlepas dari konteks sosial.
Pembaharuan zaman mengharuskan kriminologi melihat sudut pandang kejahatan
sesuai dengan apa yang kerap dihadapi oleh manusia pada saat itu. Sebab timbulnya
kejahatan ialah tidak menutup kemungkinan bahwa akses terhadap kesejahteraan
sosial tidak selalu dimiliki oleh seluruh masyarakat manusia yang sedikit-banyak
mendambakan hal tersebut.
Tak hanya faktor diluar diri manusia sebagaimana telah disebutkan, kriminologi
pun dapat melihat aktivitas kejahatan yang ditimbulkan oleh diri manusia itu sendiri.
Seperti halnya pemaparan beberapa teori kriminologi psikologis bahwasanya suatu
tindakan kejahatan dapat diakibatkan oleh sikap anti-sosial pada manusia tersebut,
terdapat jarak dengan keluarga sehingga dapat terbebas dari kendalinya, lalu
minimnya pemahaman diri manusia tersebut terhadap aktivitas spiritual. Itulah
barangkali sedikit konklusi atas kompleksitas perilaku manusia sehingga aktivitas
kejahatan dapat terjadi.
Setiap manusia memiliki sikap baik dan buruk, disebabkan kedua sifat itu
merupakan naluri bagi tiap manusia, apalagi lingkungan yang kurang mendukung
tentu dapat mempengaruhi baik dan buruknya manusia tersebut. Sama halnya dengan
pelaku kejahatan, baik buruknya pelaku tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dimana ia berada, pada pergaulan yang ia ikuti tentu sangat mempengaruhi
kepribadian dan tingkah laku seseorang.
1. Teori Ketegangan Anomi
Robert Merton selaku pencetus teori tersebut menekankan bahwa setiap
masyarakat manusia tentu taat akan hukum, tetapi dalam kondisi tertentu,
Merton menyebutnya dalam suatu kondisi ketegangan, manusia dapat
berprilaku menyimpang dikarenakan berbagai alasan. Dalam teori ini, unsur
pertama kejahatan bukanlah disorganisasi lingkungan, melainkan tingginya

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2018), 43.

26
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

harapan pemerintah selaku pemberlaku kebijakan akan kesejahteraan yang


harus dimiliki oleh setiap warga negaranya. Harapan tersebut menimbulkan
bahwa warga negara harus berjuang untuk menaiki jenjang sosial melalui
kesejahteraan ekonomi yang nyata. Menjadi suatu masalah ketika warga
negara memiliki ketidakmampuan dalam menggapai hal tersebut.
Kultur warga negara yang menekankan kesuksesan ekonomi merupakan
preseden buruk bagi mereka yang tidak memiliki akses. Kedatangan kultur
tersebut pun tak dapat menutup kemungkinan disebabkan oleh promosi
pemerintah terhadap warga negara akan perilaku-perilaku yang adiluhung
dengan didukung oleh agama yang dapat menstimulus hal tersebut sekaligus
dapat dijadikan sebagai alat doktrinisasi.
Orang miskin tidak diajari untuk puas dengan keadaan mereka,
melainkan diajari untuk mengejar kesejahteraan melalui kerja keras untuk
menggapai cita-citanya. Keberhasilan agama ialah dapat menjadikan
sandaran bagi mereka yang miskin dikarenakan terbuai oleh norma-norma
dogmatis. Delusi ini menjadi masalah dikarenakan perut lapar tidak akan
terisi ketika mereka hanya dianjurkan untuk berdoa untuk mengatasinya.
Ambisi menggapai kesuksesan pada akhirnya akan mempromosikan
perilaku menyimpang pula. Menurut Merton, problemnya yaitu struktur
sosial membatasi akses kepada tujuan kesuksesan melalui cara-cara yang sah,
yakni antara lain pendidikan, pekerjaan, dan koneksi tiap keluarga. 6
Masyarakat kelas bawah secara khusus terbebani sebab mereka mulai start
dalam keadaan tertinggal dalam persaingan menuju sukses ini dan mereka
harus benar-benar berbakat atau cukup beruntung untuk mengejar
ketertinggalan ini. Kesenjangan antara apa yang dipuja oleh kultur
(perjuangan untuk meraih kesuksesan) dan apa yang dimungkinkan oleh
realitas sosial (kesempatan sah yang terbatas) ini menyebabkan masyarakat
berada dalam posisi tegang karena menginginkan suatu tujuan yang tidak
bisa mereka raih melalui cara-cara konvensional.
Kejahatan pencurian merupakan interpretasi atas relevansi teori
ketegangan anomi. Perubahan kepemilikan properti melalui cara-cara yang
tidak sah dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku yang
melakukan hal tersebut. Terkhusus dalam penelitian kali ini dengan objek
yaitu kendaraan bermotor.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa dikatakan
kendaraan bermotor menjadi indikator mobilitas sosial menuju kelas atas.
Kepemilikan properti tersebut mewajarkan atas ketimpangan sosial antara
memiliki atau tidak memiliki. Perlu diakui bahwa kendaraan bermotor
memang menjadi komoditas pokok dalam setiap kelas masyarakat, dimana
fungsi dari kendaraan tersebut ialah untuk memudahkan akses pengguna,
entah dalam aktivitas pendistribusian ekonomi, sosial, maupun sebagainya.
Di Indonesia, tidak menafikan bahwa motor dapat dilihat sebagai status

6
Robert Lily, Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 75.

27
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

sosial. hal tersebut beririsan dengan kemungkinan-kemungkinan masyarakat


untuk melakukan apapun untuk mencapai status sosial menuju atas melalui
berbagai cara salah satunya yakni kejahatan pencurian kendaraan bermotor,
bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk membelinya.
Perilaku pencuri properti melihat bahwa tindakannya tersebut
merupakan sebuah inovasi atas adaptasi ketegangan yang telah terjadi.
Adaptasi tersebut memperlihatkan keinginan kuat untuk sukses dengan
melegitimasi cara-cara yang tidak sah dihadapan hukum. Secara khusus ini
menonjol pada kalangan bawah. Sebagai ungkapan ketidakpuasan atas apa
yang telah mereka terima, lalu buaian dogmatis pun gagal dalam
mengekangnya. Ketiadaan kesempatan yang realistis menghantarkan penulis
pada suatu pernyataan. Yakni, pihak yang tersisihkan biasanya mudah untuk
tergoda.
Kemiskinan dapat ditarik sebagai benang merah atas perilaku kejahatan
dengan dikaitakan pada kajian teoritis Robert Merton, adalah masuk akal,
bahwa kejahatan dan penyimpangan merupakan konsekuensi dari sistem
yang harus bertanggung-jawab atas ketimpangan yang dialami oleh warga
negara.
2. Teori Kapitalisme dan Kejahatan
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Willem Adrianus Bonger, yakni
di bawah kapitalisme, muncul perbedaan tajam antara penguasa dan yang
dikuasai dengan akarnya bukan dari perbedaan karakteristik biologis mereka,
namun dari sistem ekonomi itu sendiri.7
Bonger menitikberatkan pada keberadaan lingkungan pelaku kejahatan
yang cukup buruk merupakan ulah dari bangkitnya kapitalisme. Dalam
lingkungan yang cukup buruk, dimana aktivitas kejahatan merupakan suatu
hal yang lazim, masyarakat saling sikut dalam persaingan ekonomi. Ketika
individu didorong untuk menggapai kesuksesan dengan cara apapun tanpa
mempedulikan orang lain, dan di mana dalam upaya itu membutuhkan uang,
maka sifat manusia akan mengalami distorsi menjadi “egoisme” yang bisa
menyebabkan orang berbuat jahat satu sama lain.
Beberapa kemungkinan tersebut oleh Bonger dilihat sebagai gejala
egoisme individual. Bonger mengambil posisi bahwa penurunan integrasi
sosial dan kebangkitan individualisme yang disruptif disebabkan oleh
kapitalisme. Egoisme semacam itu tidak akan bisa direduksi oleh kontrol
sosial yang dapat mengikat individu kepada masyarakat, sebab masyarakat
di dalam kapitalisme itu adalah sumber dari egoisme.8
Relevansi Bonger dengan apa yang akan diteliti yakni tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor cukup terlihat atas ketimpangan sosial yang
telah terjadi. Pengaruh kapitalisme ini bersifat langsung karena kejahatan
yang menimpa kalangan bawah merupakan kebutuhan untuk bertahan hidup.

7
Robert Lily, Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, 198.
8
Robert Lily, Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, 199.

28
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

Terbesit perasaan tentang ketidakadilan di dunia ini di mana banyak orang


hampir tidak memiliki apa-apa, sedangkan segelintir orang memiliki
segalanya.
Mengingat pentingnya kendaraan bermotor dalam kehidupan sehari-
hari, maka pabrik kendaraan bermotor semakin berkembang pesat khususnya
setelah perang dunia kedua. Hal ini ditandai dengan tahap motorisasi di
segala bidang. Kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi atau sebagai
alat pengangkutan memegang peranan penting dalam menentukan kemajuan
perekonomian suatu bangsa.
Kendaraan bermotor di Indonesia merupakan lambang status sosial di
masyarakat. Sebagai wujud nyata dari keberhasilan pembangunan,
masyarakat di Indonesia semakin hari semakin banyak yang memiliki
kendaraan bermotor, akan tetapi di lain pihak pula ada sebagian besar
golongan masyarakat yang tidak mampu untuk menikmati hasil kemajuan
teknologi ini. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial di dalam
masyarakat, perbedaan semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai macam kejahatan diantaranya kejahatan pencurian kendaraan
bermotor. Kejahatan ini adalah termasuk kejahatan terhadap harta benda
(crime against property) yang menimbulkan kerugian.
Pada saat yang sama, Bonger mengakui bahwa kelompok borjuis yang
kuat juga melakukan kejahatan. Dia menelusuri akarnya sampai ke peluang
yang diciptakan oleh kekuasaan dan turunnya moralitas dalam kapitalisme.
Kejahatan olehnya dianggap sebagai produk sistem ekonomi yang memicu
mentalitas serakah atas kepemilikan harta benda (properti), mengejar posisi
nomor satu dalam kalangannya, dan pada saat yang sama menyebabkan yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.9
Kepemilikan properti kendaraan bermotor pada setiap kalangan
masyarakat pun tak lain merupakan ulah kapitalisme. Dimana mereka telah
mempromosikan bahwa kendaraan bermotor merupakan kebutuhan pokok
yang harus dimiliki oleh masyarakat, dan segala hal memukau yang ada di
dalamnya, sehingga masyrakat mendambakan hal tersebut.
Sikap egoistik yang dimiliki oleh pelaku pencurian merupakan buah dari
keberadaan sistem kapitalisme. Hal ini cukup beririsan dengan teori
sebelumnya yakni Ketegangan Anomi ialah terdapat keterbatasan akses pada
struktur sosial sehinggap perilaku kejahatan tak dapat dihindarkan.
Berbagai upaya kapitalisme dalam menguasai pasar memang tidak
terlihat, namun dapat dirasakan. Kesenjangan ekonomi pun menjadi salah
satunya. Dan apabila promosi-promosi tersebut telah berhasil menyentuh
masyarakat, salah satunya penggunaan kendaraan bermotor menjadi status
sosial, maka pola kejahatan menjadi suatu hal yang tak terhindarkan.

9
Robert Lily, Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi, 200.

29
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

b. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor


dalam Perspektif Kriminologi
Penegakan hukum di Indonesia merupakan suatu paradigma yang patut
dipertanyakan dalam penelitian kali ini. Penulis ingin melihat sejauh mana analisa
kriminologi dengan berlandaskan pada rangkaian konsep hukum progresif dengan
praktik pidana pada ruang-ruang bekerjanya hukum positif. Efektifitas penyelesaian
masalah antara pembuat produk kebijakan, dengan para pelaku kejahatan, terkhusus
dalam penelitian kali ini yakni tindak pidana pencurian kendaraan bermotor harus
benar-benar tuntas, sehingga dapat muncul suatu konklusi dimana suatu aktivitas
kejahatan dapat diminimalisir.
Ketika berbicara mengenai hukum pidana, maka kita juga akan berbicara terkait
sistem peradilan pidana. Istilah sistem peradilan pidana kini telah menjadi suatu istilah
yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem.
Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari
penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di
persidangan, hingga pemidanaan merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan
dapat dikatakan tidak mudah dipahami serta kerap kali menakutkan bagi masyarakat
awam. Persepsi yang demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya
pemberitaan di media massa yang menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari
keadilan seringkali dihadapkan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,
baik itu disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan serangkaian isi dari hukum
ataupun perlakuan yang tidak simpati yang ditunjukan aparat kepada masyarakat.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi
oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana yang hanya bersandarkan
kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat
persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-
mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula
dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat diterima oleh dan
bagi semua insan yang ada di dalamnya.
Friedrich Julius Stahl dalam teori negara hukumnya mengemukakan unsur-
unsur negara hukum yang terdiri atas:
1. Diakuinya hak-hak asasi warga negara
Pengakuan hak asasi warga negara merupakan serat tolak ukur
keberhasilan negara tersebut dalam melindungi segenap warganya. Tak dapat
dipungkiri, ketika negara lalai dalam menegakan hak asasi terhadap warga
negara, hal tersebut dapat berimbas pada kepercayaan hubungan antara
pemerintah dengan rakyat. Dalam serangkaian proses penegakan hukum
pidana, pelaku dapat dikatakan tidak bersalah apabila belum memenuhi
beberapa unsur sesuai dengan apa yang dikenakan pada pasal. Tak sampai
disana, ketaatan prosedur pun harus diiringi dengan beberapa asas hukum
yang memang cenderung progresif, sebagaimana telah saya jelaskan pada
BAB 2 bagian Sistem Peradilan Pidana.

30
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

2. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak


asasi manusia
Dengan diberlakukannya pembagian kekuasaan, dalam arti lembaga
yang menangani suatu perkara, contoh dalam rangkaian proses pidana yaitu
salah satunya adalah lembaga peradilan, proses penegakan hukum tanpa
campur tangan salah satu pihak dari lembaga lain pun perlu dilakukan dalam
hal ini untuk menghindari konfrontasi-konfrontasi akan pemanfaatan hukum
dihadapan segelintir orang.
Lagi dan lagi, Friedrich Julis Stahl selalu menekankan bahwa esensi dari
hukum itu sendiri ialah terlindunginya warga negara, bukan malah
sebaliknya, yakni warga negara mengalami krisis kepercayaan sehingga
dalam rangkaian proses, warga negara menjadi takut untuk ikut andil dalam
menegakan keadilan.
Hal tersebut juga perlu ditinjau lagi dalam rangkaian proses penegakan
hukum pidana, bahwasanya dengan langgengnya paradigma legisme dalam
setiap lembaga penegak kebijakan, maka esensi akan penegakan hukum akan
surut serta mengalami krisis dalam penerapannya.
3. Roda pemerintahan berdasarkan pada undang-undang
Sudah seharusnya bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan,
undang-undang dapat dijadikan alat pedoman seutuhnya, dengan tanpa
memanfaatkan pedoman tersebut untuk keperluan yang sifatnya merugikan
masyarakat. Ketika melihat suatu produk legislasi, tak mengherankan bahwa
pembuatan produk tersebut masih saja cacat akan prosedur, sehingga sarat
akan krisis penegakan hukum. Keterlibatan rakyat dengan suatu produk
hukum pun perlu dilakukan, demi terciptanya kenyamanan bersama akan
keberadaan hukum tersebut. Dalam serangkaian proses penegakan hukum
pidana, bahwa apa yang disebut rakyat untuk hukum pun itu cukup
diperlukan, bukan malah sebaliknya. Dengan cara seperti itu penulis ingin
menyatakan bahwa skeptisitas terhadap komponen ke-3 uraian Friedrich
Julius Stahl pun dapat dipertanyakan. Dengan meragukan hal tersebut,
penulis ingin menekankan bahwa setiap lembaga penegak hukum tidak dapat
lagi menghamba pada keberadaan hukum, yang jelas-jelas hukum tersebut
dibuat untuk kepentingan politis.
4. Lembaga pengawas hakim
Adanya peradilan administrasi dalam mengatasi perselisihan. Peradilan
administrasi ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan
warga Negara dari adanya kemungkinan tindakan sewenang-wenang
penguasa dengan cara melalui pengawasan terhadap putusan-putusan
pemerintah yang menyangkut hak-hak warganya. Dalam segelintir proses
penegakan hukum pidana, bahwa hakim dapat bersifat aktif. Dalam artian,
hakim akan terus mencari jawaban dari setiap kemungkinan yang ada diluar
pedoman-pedoman yang tersedia dalam hukum. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk mencari jawaban sebenar-benarnya dengan tetap memperhatikan

31
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

konteks sosial guna menjungjung tinggi akan esensi hukum itu sendiri yakni
keadilan.
Selain itu, dengan terdapatnya lembaga pengawas hakim ini, sebuah
keberhasilan apabila dalam suatu penerapan hukum, hakim tidak memiliki
kepentingan apapun, selain untuk mencari sebuah jawaban yang paling
benar. Dengan terhindar dari intervensi unsur lain, maka pemutusan perkara
yang dijatuhkan oleh hakim pun murni untuk keadilan semata.
Dalam penelitian kali ini, penulis akan mengkaji suatu putusan lembaga
peradilan yang dijadikan alat penilaian akan tolak ukur aktivitas pemidanaan pada
ruang kontekstual. Sampel yang diambil ialah di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Kuningan dengan putusan Nomor: 86/Pid.B/2019/PN Kng. Kasus tersebut tergolong
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, dengan pelaku dikenakan hukuman
selama 6 bulan kurungan.
Dengan memberikan korelasi antara putusan yang diberikan oleh hakim dan
pendekatan melalui konsep keadilan restoratif oleh Tony Marshal, maka setidaknya
dapat menghantarkan penulis pada suatu konklusi akan persebahan jawaban,
walaupun hanya bersifat saran.
Unsur-unsur yang dikenakan hakim kepada pelaku tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor pada Nomor Putusan 86/Pid.B/2019/PN Kng., yakni pencurian
dengan alasan pemberatan, ialah sebagai berikut:
1. Unsur orang yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta
melakukan.
2. Unsur mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum.
3. Unsur barang siapa.
Dari ketiga hal tersebut, pun tentu majelis hakim mengeluarkan alasan yang
memberatkan dan meringankan sehingga dapat menghantarkan pelaku pada pidana
kurungan selama 6 (enam) bulan.
1. Alasan yang memberatkan
a. Perbuatan terdakwa telah merugikan orang lain.
b. Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat.
2. Alasan yang meringankan
a. Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya.
b. Terdakwa telah dimaafkan oleh saksi Yanto.
c. Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.
d. Terdakwa belum pernah dihukum.
e. Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
Berbicara terkait kronologis berdasarkan pada putusan tersebut, bahwa pada
suatu waktu, pelaku melakukan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, motif
pelaku dalam melakukan hal tersebut pun tak dapat terlepas dari faktor ekonomi yang
menjerat pelaku dan mendukung pelaku melakukan hal tersebut. Pada saat itu, pelaku
meminta bantuan rekannya untuk membawa motor tersebut dengan alasan akan
dibawa kepada suatu tempat berdasarkan permintaan pemilik motor tersebut, alhasil

32
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

rekan pelaku tidak mengetahui bahwa pelaku sedang melakukan perbuatan pencurian.
Pada saat diperjalanan membawa motor tersebut, pelaku sempat tertangkap basah oleh
korban yang dalam hal ini ialah pemilik motor tersebut. Motor masih dalam keadaan
nol kerusakan. Pelaku pun langsung melarikan diri dikarenakan ada upaya dari korban
untuk melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib.
Dikomparasikan dengan kasus Agus Mustopa, seorang penjahit dibilangan
Kabupaten Bandung, melakukan tindak pidana pencurian pada sebuah sepeda motor
milik majikannya, terdapat suatu kesamaan, yakni Agus Mustopa dan Agus Purnomo,
melakukan tindak pidana pencurian dikarenakan terdapat desakan kebutuhan
ekonomi. akan tetapi, berbeda dengan kasus yang menimpa Agus Mustopa, pria yang
bekerja sebagai tukang jahit mendapatkan permohonan maaf dari korban
(majikannya) yang sekaligus pemilik motor tersebut. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
kemudian memproses Agus Mustopa untuk kemudian mendapatkan pembebasan
sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020
Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Melihat hal tersebut, penyelesaian pidana secara konvensional memang tidak
mencirikan keadilan bagi kedua belah pihak. Penulis ingin menawarkan analisa Tony
Marshal terkait keadilan restoratif yakni penyelesaian perkara diluar lembaga
peradilan dengan melibatkan pelaku dan korban untuk berunding, sejauh mana mereka
layak mendapat keadilan. Dengan cara tersebut Tony Marshal mempunyai beberapa
asumsi, tak lain adalah sebagai berikut:
1. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat.
Pemerintah harus mampu menilai suatu pemberlakuan hukum tersebut
dengan dikaitkan pada efektifitas penyelesaian masalah, seperti halnya
mempertimbangkan konteks sosial.
2. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat
(termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan
kebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi sosial yang dapat
menyebabkan terjadinya kejahatan. Dengan terjadinya hal tersebut,
membuat keadilan restoratif menjadi suatu hal yang memang sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh masyarakat. Lambat laun, masyarakat pun akan
meniliai mana yang lebih baik diterapkan, yaitu penyelesaian pidana secara
konvensional yaitu melalui lembaga peradilan, maupun melalaui cara-cara
diluar lembaga hukum, salah satunya yakni keadilan restoratif.
3. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat
diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan
secara personal. Keterlibatan penyelesaian antara korban dengan pelaku pun
harus dilakukan, guna mencapai keinginan-keingan, untuk saling
berpartisipasi aktif mencari jalan keluar dari masing-masing pihak
berdasarkan beberapa pertimbangan salah satunya yakni faktor ekonomi.
4. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta
penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus.

33
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

5. Kerjasama diantara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan


masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektivitas dan
efisiensi cara penyelesaian kasusnya.
6. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan diantara para
pihak. Dengan melihat kasus pencurian kendaraan motor sebagaimana
diatas, bahwa masing-masing pihak harus terlibat dalam penyelesaian kasus.
Cara pandang legisme merupakan salah satu penyebab krisis penegakan hukum
di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum
sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya. Tulisan ini mengkaji lebih jauh gagasan
hukum progresif, serta menganalisis penerapan gagasan tersebut dalam konteks sistem
peradilan pidana.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan
suatu sarana penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem
yang saling berkaitan. Dengan perkataan lain, sistem peradilan pidana dapat
digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk
“menanggulangi kejahatan”, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan
terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.10
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu
terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain,
yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga
dengan istilah law enforcement system, karena di dalamnya mengandung suatu
pemahaman, bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu
merupakan usaha konkrit untuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak. Dengan
demikian, dapat disimpulkan, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling terkait/tergantung satu sama lain
dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai
batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Secara eksplisit, pengertian sistem
peradilan pidana itu menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang
ada dalam peradilan, sehingga dikenal dengan sebutan sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system).11
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri tertentu yang
membedakan dengan sistem yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah; bersifat terbuka (open
system), memiliki tujuan, transformasi nilai, dan adanya mekanisme kontrol. Di
samping itu, dalam sistem peradilan pidana yang jamak dikenal selalu melibatkan dan
mencakup sub-sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan
pidana antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan
advokat.
Memahami sistem peradilan pidana melalui pendekatan hukum progresif
memang bukan pekerjaan yang mudah. Tantangan dan penolakan akan hal ini pasti

10
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2012), 140.
11
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, 145.

34
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

akan dijumpai. Karena begitu kuat dan mencengkramnya aliran legisme dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia, sehingga ketika muncul gagasan baru yang
mencoba “membongkar” pemahaman yang lama, hal itu dianggap sebagai barang
haram dan merupakan suatu pembangkangan.
D. SIMPULAN
Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor merupakan sebuah fenomena
meresahkan bagi masyarakat. Hal tersebut tak dapat terlepas dari apa yang terdapat pada
properti itu memang memiliki nilai ekonomi yang cukup besar apabila terjadi kerugian.
Disamping itu, kriminologi memandang bahwa kendaraan bermotor merupakan produk
yang cukup dibutuhkan oleh masyarakat, dan dapat dijadikan sebaagai komoditas pokok
dalam menjalankan aktivitas distribusi kehidupan. Karena itulah, kenapa tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor merupakan fenomena yang telah menjamur dan telah
merasuk pada tatanan masyarakat itu sendiri.
Kajian kriminologi menekankan bahwa suatu tindak kejahatan tidak akan terjadi
apabila tidak memiliki landasan alasan untuk dilakukan. Salah satunya yakni ketimpangan
sosial. Terjadinya suatu kejahatan terkhusus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor
merupakan diskursus yang memang perlu mendapatkan perhatian dari pihak pemberlaku
kebijakan serta mendapatkan respon serius dari masyarakat akan menyelesaikan masalah
tersebut.
E. SARAN
Dengan menghadirkan studi kriminologi, melihat bahwa pembaharuan hukum harus
segera dilakukan, secara rutin dengan cara mengkaji pola kehidupan masyarakat, dengan
meliputi apa yang dibutuhkan sampai kepada apa yang masyarakat resahkan. Pada tindak
pidana pencurian kendaraan bermotor, dengan mempertimbangkan latar belakang pelaku
tersebut dalam melancarkan perbuatannya, penulis memiliki pendapat bahwa sistem
peradilan pidan haruslah mempertimbangkan jeratan hukum yang akan dikenakan pada
pelaku. Masing-masing dari pihak haruslah terlibat dalam pencarian penyelesaian masalah
seadil-adilnya sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat serta konsekuensinya.
Dengan menghadirkan studi kriminologi, melihat bahwa pembaharuan hukum harus
segera dilakukan, secara rutin dengan cara mengkaji pola kehidupan masyarakat, dengan
meliputi apa yang dibutuhkan sampai kepada apa yang masyarakat resahkan. Pada tindak
pidana pencurian kendaraan bermotor, dengan mempertimbangkan latar belakang pelaku
tersebut dalam melancarkan perbuatannya, penulis memiliki pendapat bahwa sistem
peradilan pidan haruslah mempertimbangkan jeratan hukum yang akan dikenakan pada
pelaku. Masing-masing dari pihak haruslah terlibat dalam pencarian penyelesaian masalah
seadil-adilnya sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat serta konsekuensinya.

35
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan P-ISSN: - E-ISSN: -
Volume 1 Nomor 1 Februari 2023 https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Lily, Robert. Teori Kriminologi: Konteks dan Konsekuensi. Jakarta: Prenadamedia, 2015.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru, 2015.
Sambas, Nandang. Kriminologi Perspektif Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2018.
Jurnal:
Rohman Mikar, Tri Fahtur. “Kajian Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda
Motor”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Medan Area 2, No. 5, (2018).
F. Susanto, Anthon. “Penelitian Hukum Transformatif Partisipatoris: Sebuah Gagasan Dan
Konsep Awal”. Jurnal Litigasi Fakultas Hukum Universitas Pasundan 17, No. 4, (2016).

36

Anda mungkin juga menyukai