Anda di halaman 1dari 39

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA

PELAKU TINDAK PIDANA PENGELAPAN DALAM JABATAN YANG

DILAKUKAN SECARA BERLANJUT

(Studi Putusan Di Pengadilan Negeri Karanganyar No.56/Pid.B/2021/PN Krg)

Disusun Oleh :

CANDRA TRI BOWO

1201816095

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURAKARTA

2022
USULAN PENELITIAN

Judul Penelitian : Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Sanksi


Pidana Pada Pelaku Tibdak Pidana Penggelapan
Dalam Jabatan Yang Dilakukan Secara Berlanjut
(Studi Putusan di PN Karanganyar No.
65/Pid.B/2021/PN Krg)
Ruang Lingkup Ilmu : Hukum Pidana
Pelaksana Penelitian
Nama Peneliti : Candra Tri Bowo
NIM : 1201816095
Pekerjaan : Mahasiswa
Kegunaan Penelitian : Sebagai persyaratan menyelesaikan studi program
S-1, Program Studi Ilmu Hukum
Lokasi Penelitian : Pengadilan Negeri Karanganyar
Jangka Waktu Penelitian :
Biaya Penelitian :
Pembimbing Penelitian
Pembimbing Utama :
Pembimbing Pendamping :
PERSETUJUAN

Proposal penelitian ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing Skripsi. Pada,

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Surakarta.

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping


DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................

Usulan Penelitian ..........................................................................................

Halaman Persetujuan ....................................................................................

Daftar isi ........................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................

B. Rumusan Masalah ..................................................................................

C. Tujuan Penlitian .....................................................................................

D. Manfaat Penelitian ................................................................................

E. Tinjauan Pustaka ....................................................................................

1. Pengertian Sanksi ............................................................................

2. Pengertian Tindak Pidana ...............................................................

3. Unsur-unsur Tindak Pidana.............................................................

4. Tinjauan Tindak Pidana Penggelapan.............................................

5. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan

6. Putusan Hakim ................................................................................

F. Kerangka Berfikir ..................................................................................

G. Metodologi Penelitian ............................................................................

H. Sistematika .............................................................................................

Daftar Pustaka
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtstaat) yang telah

tegas tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang

berbunyi :“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum”. Pengertian

hukum menurut Prof. Syamsul Arifin adalah suatu perangkat kaidah-

kaidah untuk mengatur tingkah laku manusia, guna mencapai ketertiban

dan keadilan yang dijabarkan sebagai berikut :

“Didalam Bahasa Belanda perkataan hukum disebut recht.

Perkataan recht ini bertalian dengan bahasa Latin rectum artinya

pimpinan. Dari perkataan recht, rectum terdapat unsur autorita,

kewibawaan. Disamping itu, recht merupakan bagian dari kata

gerechtingheid, yang berarti keadilan. Perkataan recht tidak dapat

dipisahkan dari gerechtingheid, dengan kata lain perkataan hukum itu

membawa pengertian kewibawaan dan keadilan.”1

Menurut Prof Syamsul Arifin, tindakan melawan hukum adalah

perbuatan atau melalaikan perbuatan yang :2

1. Melanggar hak sesamanya;

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri;

3. Melanggar norma dimasyarakat :

a. Menentang kesopanan

1
Syamsul Arifin, Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area University Press,
Medan, 2012, hal. 5.
2
Ibid, hal 42
b. Menentang tata keharusan dalam pergaulan di dalam masyarakat

yang menyangkut pribadi atau barang milik sesamanya.

Perbuatan melawan hukum adalah sebuah tindakan tercela atau

biasa disebut sebuah kejahatan, khususnya pelanggaran hukum pidana.

Hukum pidana atau dalam bahasa Belanda disebut strafrecht artinya

keseluruhan aturan-aturan hukum yang menentukan kekuatan-kekuatan

mana yang seharusnya dipidana dan jenis pidana apa saja yang seharusnya

dijatuhkan. Dengan perkataan lain, hukum pidana adalah hukum yang

mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang dihukum dan hukum

apa saja yang dapat dijatuhkan dalam hal seseorang melakukan kejahatan

maupun pelanggaran.3

Kejahatan semakin meningkat dalam berbagai aspek kehidupan,

walaupun hukum pidana baik materiil maupun formil serta sistem

pemidanaan telah diterapkan dalam pemberantasan kejahatan. Hukum

pidana dalam pemberantasan kejahatan dinilai tetap kurang efektif, maka

para pakar dalam berbagai disiplin ilmu terutama pakar hukum pidana

mulai mengadakan penelitian bukan hanya pada aturan-aturan hukumnya,

tetapi kepada orang-orang yang melakukan kejahatan itu sendiri untuk

mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan4

Kejahatan dapat diartikan secara kriminologis dan yuridis.

Kejahatan dalam arti kriminologis yaitu perbuatan manusia yang menodai

3
Ibid, hal 113
4
Abussalam, Victimology, PTIK, Jakarta, 2010, hal. 1
norma-norma dasar dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai

perbuatan unsur yang menyalahi aturan-aturan yang hidup dan

berkembang di masyarakat. Kejahatan menurut yuridis adalah perilaku

atau perbuatan jahat dalam arti hukum pidana maksudnya bahwa kejahatan

itu dirumuskan di dalam peraturan perundangundangan pidana. Salah satu

contohnya adalah kejahatan penggelapan yang di atur dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Pidana Pasal 372 sampai dengan Pasal 377.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju maka

semakin meningkat pula kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat

misalnya pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan, penggelapan,

pemerkosaan, penculikan dan sebagainya. Kejahatan merupakan fenomena

kehidupan masyarakat, karena itu tidak dapat lepas dari ruang dan waktu.

Naik turunnya kejahatan tergantung kepada keadaan masyarakat, keadaan

politik, kebudayaan dan sebagainya.5

Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi

membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau

tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya krisis moral. Krisis

moral ini dipicu oleh ketidakmampuan untuk menyaring informasi dan

budaya yang masuk sehingga sangat mungkin krisis moral ini akan

5
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal. 28
memicu timbulnya kejahatan dalam masyarakat. Perlu disadari bahwa

kejahatan dapat dilakukan siapapun dan terhadap siapapun.6

Indonesia merupakan negara berkembang dan tentunya tidak

terlepas dari permasalahan kejahatan terhadap harta benda khususnya

penggelapan kendaraan bermotor. Tindak pidana kejahatan terhadap harta

benda masih tergolong tinggi. Kenaikannya dibandingkan dengan tingkat

kejahatan yang sering terjadi di negara-negara maju masih tampak wajar.

Sebab tingkat kehidupan ekonomi dan sosial negara-negara maju sudah

lebih baik dan tingkat kesadaran hukumnya juga lebih tinggi dibandingkan

dengan negara-negara berkembang. Oleh karena itu tidak mengherankan

apabila masalah kejahatan atau kriminalitas di Indonesia merupakan akibat

dari kehidupan masyarakatnya.7

Salah satu bentuk tindak pidana terhadap harta benda yang

sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana penggelapan,

misalnya penggelapan kendaraan bermotor roda empat. Pengertian

penggelapan menurut Lamintang adalah penyalahgunaan hak atau

penyalahgunaan kepercayaan oleh seseorang yang mana kepercayaan

tersebut diperoleh tanpa adanya unsur melawan hukum. Bisa saja melalui

suatu perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh

6
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,
1986, hal. 2
7
Indrawan, Op.Cit, hal. 2
pelaku dan korban sebelum akhirnya digelapkan oleh pelaku tindak pidana

penggelapan tersebut.8

Mengenai tindak pidana penggelapan diatur dalam BAB XXIV

Pasal 372 KUHP dalam bentuk pokoknya disebut sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum

memiliki barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dan

berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dipidana karena

penggelapan dengan pidana selama-lamanya empat tahun atau denda

sebesar-besarnya sembilan ratus rupiah”.

Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan

pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang

dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”

sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di

tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.

Salah satu contoh dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri

Karanganyar No. 56/Pid.B/2021/PN Krg, Terdakwa Giri Prasetyo

Herlambang Alias Giri Bin Bambang Heri Yulianto telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan

Dalam Jabatan Yang Dilakukan Secara Berlanjut dan di pidana penjara

selama 1 (satu) Tahun.

8
P. A. F Lamintang dan C Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan
Terhadap Hak dan Lain-lain : Hak yang Timbul dari Hak Milik, Nuansa Aulia, Bandung, 2010,
hal. 109.
Berdasarkaan uraian diatas, maka penulis tertarik mengadakan

dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN

SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA

PENGGELAPAN PENGGELAPAN DALAM JABATAN SECARA

BERLANJUT (STUDI PUTUSAN NO. 56/PID.B/2021/PN KRG)”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di

atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku tindak

Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut pada Putusan

No. 56/Pid.B/2021/PN Krg?

2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap

pelaku tindak pidana Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut

pada Putusan No. 56/Pid.B/2021/PN Krg?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan sanksi pemidanaan terhadap pelaku

tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut pada

Putusan No. 56/Pid.B/2021/PN Krg

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penerapan sanksi

sanksi pemidanaan terhadap pelaku tindak Pidana Penggelapan Dalam

Jabatan Secara Berlanjut pada Putusan No. 45/Pid.B/2021/PN Krg


D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan 2 (dua) manfaat,

yakni manfaat teoritis yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum

di Indonesia dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pemecahan

masalah yang diteliti. Adapun manfaat tersebut yakni :

1. Manfaat Teoritis :

a) Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk

mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

b) Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang

selanjutnya sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

2. Manfaat Praktis :

a) Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat

atau praktisi hukum dan instansi terkait tentang tindak pidana

Penggelapan Motor.

b) memberikan masukan kepada pihak penegak hukum dalam

rangka menanggulangi tindak pindana Penggelapan di Kabupaten

Karanganyar

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Sanksi

Suatu langkah hukuman yang dijatuhkan oleh negara atau

kelompok tertentu karena terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok. Sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi

yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan


sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling

banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang

yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.9 Sanksi

diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa

orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan Undang-Undang.

Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak

diluar KUHP, bentuk-bentuknya yaitu berupa perawatan di rumah

sakit dan dikembalikan pada orang tuanya atau walinya bagi orang

yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak yang masih dibawah

umur. Sanksi pidana merupakan suatu nestapa atau penderitaan yang

ditimpahkan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan

yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut

diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.

Sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang bersifat antisipatif

bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada

filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open

system) dan spesifiksi non penderitaaan atau perampasan

kemerdekaan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi

pelaku maupun korban bagi perseorangan, badan hukum publik

maupun perdata.10

9
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana , Jakarta, 2015, hal 193
10
Ibid, Hal 202
2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaar

feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering

mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang

merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa

pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana

merupakan suatu istilah dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang

dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada

peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum

pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat

ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan

istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.11

Tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan

pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang

tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang

dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang

mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan

ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang

melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.

Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar

aturanaturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan

terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku


11
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lekture Mahasiswa, Jakarta, 2005, hal. 62.
tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan

ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara

kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai

hubungan yang erat pula.

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini

Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai

perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut

bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu

aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut.12

Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat

“Aturanhukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum

di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis

maupun hukum yang tidak tertulis. Bambang Poernomo, juga

berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang

dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan

diancam pidana.

Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana,

perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah

untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit namun

belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah

strafbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan

pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum


12
Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1992, hal. 30.
belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah

sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok

perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga

dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan

melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui

putusan hakim agar dijatuhi pidana.

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok

dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan

pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang

telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan

diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya

sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (principle of legality) asas

yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam

perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin

sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada

delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini

berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu

kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu

kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan

dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa

kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan


kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah

dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah

melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga

atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan

segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat

diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan

begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan Pasal yang

mengaturnya.13

3. Unsur –Unsur Tindak Pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam

unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah

disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang

telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang.

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam

unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri

pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke

dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya

13
Kartonegara, Opcit, hal. 156
dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari pelaku itu harus di lakukan.14 Unsur subjektif

dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP;

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid

2) Kualitas dari pelaku,

3) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur tindak pidana yaitu sebagai berikut, yakni :

1) Perbuatan;
14
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Jakarta, 2010, hal.
193.
2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan

3) Ancaman pidana (yang melanggar larangan).

Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu sebagai berikut :

1) Perbuatan/rangkaian perbuatan;

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan

3) Diadakan tindakan penghukuman.

Dalam hukum pidana dikenal delik formil dan delik

materiil. Bahwa yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang

perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana oleh Undang-Undang. Di sini rumusan dari

perbuatan jelas, misalnya Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana tentang pencurian. Adapun delik materiil adalah delik yang

perumusannya menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan

diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain, hanya

disebut rumusan dari akibat perbuatan, misalnya Pasal 338 KUHP

tentang pembunuhan.

Perbuatan pidana tersebut kemudian dapat dibedakan

menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut:15

1) Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana

yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar

15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 9
ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang

bersangkutan.

2) Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana

yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

3) Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana

yang dilakukan dengan sengaja.

4) Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana

yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau

matinya seseorang.

5) Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan

pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum

merupakan delik.

6) Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan

kepada keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum,

oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum

pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau

untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sejalan dengan

pendapat tersebut, Moeljatno menjelaskan bahwa hukum pidana

adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri.


Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-

aturan untuk.16

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut;

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah

hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan

aturanaturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang

(wetboek), yang dinamakan dengan KUHP, menurut suatu sistem yang

tertentu.

Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan

larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam

dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya,

kesemua aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat

16
Ibid., hal. 10
hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan

(menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.

Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana.

Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang

berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak

enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 17

yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah :18

a. Subjek tindak pidana

b. Perbuatan dari tindak pidana

c. Hubungan sebab akibat

d. Sifat melanggar hokum

e. Kesalahan pelaku tindak pidana

f. Kesengajaan

g. Kesengajaan yang bersifat tujuan

h. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

i. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

j. Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melanggar hokum

k. Culpa

l. Culpa khusus

m. Kelalaian

n. Tiada hukuman tanpa kesalahan

17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Refika Aditama,
Bandung, 2014, hal. 1.
18
Ibid hal 59
o. Unsur-unsur khusus dari tindak-tindak pidana tertentu

4. Tinjauan Tindak Pidana Penggelapan

Istilah penggelapan sebagaimana yang lazim dipergunakan

orang untuk menyebut jenis kejahatan yang di dalam buku II Bab

XXIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu adalah suatu

terjemahan dari perkataan ”verduistering” dalam bahasa Belanda.

Delik yang berkualifikasi atau yang bernama penggelapan ini diatur

dalam Pasal 372. Banyak unsurunsur yang menyeruapi delik

pencurian, hanya saja beradanya barang yang dimaksud untuk dimiliki

( zich toeegenen ) itu di tangan pelaku penggelapan bukanlah karena

seperti halnya pencurian. Pengertian pemilikan juga seperti di dalam

pencurian.19

Perbedaan antara pencurian dan penggelapan terletak pada

siapa yang secara nyata menguasai barangnya. Pencurian tidaklah

mungkin terhadap suatu barang yang sudah berada dalam kekuasaan

hukum dan kekuasaan nyata pelaku. Pengambilan barang secara

melawan hukum dengan persetujuan si pemegang adalah pencurian.

”Barang yang ada dalam kekuasaannya” adalah barang yang dikuasai

oleh pelaku, tidak perduli apakah dikuasai olehnya sendiri atau oleh

orang lain, termasuk juga barang yang dipercayakan olehnya kepada

orang lain yang menyimpan barang itu untuknya. ”Menguasai barang”

19
Tongat, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang, 2006, hal. 57
berarti bahwa pelaku berada dalam hubungan langsunng dan nyata

dengan barang itu.

Beradanya barang ditangan pelaku yang bukan karena

kejahatan itu misalnya semula pelaku dititipi untuk diangkut,

dijualkan atau disimpan tetapi kemudian si pelaku mempunyai

maksud yang berbeda daripada maksud keberadaan barang itu

ditangannya, melainkan menjadi dengan maksud secara melawan

hukum untuk bertindak sebagai pemilik. Penggelapan juga

mempunyai pemberatan (berkualifikasi) jika ada hubungan kerja

tertentu, ada masalah upah, dan penggelapan ringan jika nilai

obyeknya maksimal Rp. 250,- kecuali itu seperti halnya pencurian

terdapat juga penggelapan dalam keluarga.20

5. Jenis – jenis Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku II Bab

XXIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berjudul ”

Penggelapan ”. Tindak pidana penggelapan diatur dalam beberapa

pasal yaitu Pasal 372 KUHP sampai dengan Pasal 377 KUHP Pasal

372 Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum

memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang

lain, dan hanya ada padanya bukan karena kejahatan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-

banyaknya 15 kali enam puluh rupiah.

20
Ibid hal 60
Pasal 373 Perbuatan yang diterangkan pada Pasal 372,

bilamana yang digelapkan itu bukan ternak dan harganya tidak lebih

dari dua ratus lima puluh ribu rupiah, dihukum sebagai penggelapan

ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau

denda sebanyakbanyaknya 15 kali enam puluh rupiah. Pasal 374

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu

karena jabatannya sendiri atau karena pekerjaannya atau karena

mendapat upah uang, dihukum dengan hukuman penjara

selamalamanya lima tahun.

Pasal 375 Penggelapan yang dilakukan orang kepadanya

terpaksa diberikan untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu,

pengurus, orang yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga derma

atau yayasan terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan

mereka tersebut itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya enam tahun.21

Berdasarkan dari sekian banyak Pasal tersebut diatas,

maka tindak pidana penggelapan dapat digolongkan menjadi beberapa

jenis, yaitu :22

a. Penggelapan dalam bentuk pokok

Kejahatan penggelapan dalam bentuk pokok dalam Pasal

372 KUHP yaitu kejahatan yang dilakukan sesorang yang dengan

21
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu Media, Jakarta, 2006 hal. 70
22
P.A.F. Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hal. 133
sengaja menguasai secara melawan hukum suatu benda yang

seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain. Akan

tetapi orang tersebut dalam mendapatkan barang dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan.

b. Penggelapan ringan

Maksud dari penggelapan ringan adalah seperti

diterangkan dalam Pasal 373 KUHP yaitu suatu kejahatan

penggelapan yang dilakukan oleh seseorang yang mana jika

penggelapan tidak terhadap ternak ataupun nilainya tidak lebih

dari dua ratus lima puluh ribu rupiah. Mengapa disebutkan bahwa

yang digelapkan itu haruslah bukan ternak, karena perlu diingat

bahwa ternak merupakan unsur yang memberatkan, sehingga

ternak dianggap barang khusus.

c. Penggelapan dengan pemberatan

Kejahatan penggelapan dengan pemberatan atau disebut

juga ” gequalifierde verduistering ” tersebut diatur dalam Pasal

374 KUHP. Dalam Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa

penggelapan dengan pemberatan adalah penggelapan yang

dilakukan oleh mereka yang menguasai suatu benda karena

jabatannya atau karena pekerjaannya atau karena mendapatkan

uang sebagai imbalannya. Sedangkan dalam Pasal 375 KUHP

menyatakan bahwa penggelapan dengan pemberatan adalah

penggelapan yang dilakukan oleh mereka atas benda yang karena


terpaksa telah titipkan kepadanya sebagai wali, kuasa untuk

mengurus harta benda orang lain, pelaksana suatu wasiat dan

kedudukan mengurus benda amal atau yayasan.

d. Penggelapan sebagai delik aduan

Kejahatan sebagai delik aduan ini tersimpul dalam Pasal

376 KUHP yang mengacu pada Pasal 367 ayat (2) KUHP.

Dengan adanya ketentuan ini berarti seseorang yang mempunyai

hubungan keluarga melakukan penggelapan atau membantu

melakukan penggelapan terhadap milik anggota keluarga lainnya

yang tinggal dalam satu rumah hanya dapat dituntut terhadap

mereka itu hanya dapat dilakukan apabila ada atau terdapat

pengaduan dari pihak-piahak yang telah dirugikan karena

kejahatan penggelapan.

e. Penggelapan oleh pegawai negeri karena jabatannya

Jenis penggealapn ini tidak diatur dalam Buku II Bab

XXIV KUHP melainkan dalam Bab XXVIII yang mengatur

mengenai apa yang disebut ” ambtsmisdrijven ” atau kejahatan

jabatan. Penggelapan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri

dalam jabatannnya disebut penggelapan jabatan. Ketentuan

mengenai penggelapan jabatan ini diatur dalam Pasal 415 dan

Pasal 417 KUHP yang mengatur tentang seorang pegawai negeri

nyang karena jabatannya uang atau kertas berharga yang dalam


jabatannya menguasai benda-benda tersebut membiarkan diambil

atau digelapkan oleh orang lain.

6. Putusan Hakim

Peranan hakim dalam hal pengambilan keputusan tidak

begitu saja dilakukan, karena apa yang diputuskan merupakan

perbuatan hukum dan sifatnya pasti. Oleh karena itu hakim sebagai

orang yang diberikan kewenangan memutuskan suatu perkara tidak

sewenang-wenang dalam memberikan putusan.

Sifat arif, bijaksana serta adil harus dimiliki oleh seorang

hakim karena hakim adalah sosok yang masih cukup dipercaya oleh

sebagian masyarakat yang diharapkan mampu mengayomi dan

memutuskan suatu perkara dengan adil. Ketentuan mengenai

pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) d KUHP yang

berbunyi: “pertimbangan disusun secara ringkas menganai fakta dan

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan

disidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan

terdakwa”.

Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHAP yang

menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana seorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Hal yang sama

dikemukakan oleh Lilik Mulyadi yang menyatakan bahwa :


Pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan yuridis dan

fakta-fakta dalam persidangan, selain itu majelis hakim haruslah

menguasai atau mengenal aspek teoritis dan praktik, pandangan

doktrin, yurisprudensi dan kasus posisi yang sedang ditangani

kemudian secara limitatif menetapkan pendiriannya.23

Menjatuhkan pidana, kiranya rumusan Pasal 58 (Pasal 52)

naskah rancangan KUHP (baru) hasil penyempurnaan tim intern

departemen kehakiman, dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa

dalam penjatuhan pidana hakim wajib mempertimbangkan hal-hal

berikut:

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat atau

ringannya pidana terhadap terdakwa adalah diantaranya pertimbangan

yuridis dan pertimbangan sosiologis.

a) Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan hakim atau ratio decidendi adalah argumen

atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum

yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik

sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih

dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul

dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi,

keterangan terdakwa, dan barang bukti. Hakikat pada pertimbangan

yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik,

23
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,
hal. 193-194.
apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan

delik yang didakwakan oleh penuntut umum/dictum putusan

hakim.

b) Pertimbangan Sosiologis

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Pasal 5 ayat (1)

yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai

dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, hakim

merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di

kalangan rakyat.

Hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk

mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan

rasa keadilan yang hidup alam masyarakat, di kalangan praktisi

hukum, terdapat kecendrungan untuk senantiasa melihat pranata

peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh

dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas

peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam

kenyataannya justru berbeda sama seklai dengan penggunaan

kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), seandainya terjadi

dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara yang dirasakan adil

oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan

hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan


masyarakat dikorbankan, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

secara sosiologis oleh hakim dalam mejatuhkan putusan terhadap

suatu perkara, antara lain:

1) Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat;

2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-

nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan

terdakwa;

3) Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan,

peranan korban;

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan;

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa

yang didasarkan pada karya manusia dalam pergaulan hidup.

F. Keranga Berfikir

Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan Secara


Berlanjut Pengadilan Negeri Karanganyar No.
56/Pid.B/2021/PN Krg
Undang Undang No 374 KUHP tentang
Penggelapan Dalam Jabatan

Penerapan Sanksi Pidana Dasar Pertimbangan Sanksi


Pada Putusan No. Pidana pada Putusan No.
56/Pid.B/2021/PN Krg 56/Pid.B/2021/PN Krg

Terdakwa Giri Prasetyo Herlambang Alias Giri Bin


Bambang Heri Yulianto telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Penggelapan Dalam Jabatan Yang Dilakukan Secara
Berlanjut dan di pidana penjara selama 1 (satu) Tahun.
Keterangan :

Dalam kerangka berpikir diatas dapat dijelaskan bahwa penulis

menyusun penelitian hukum terkait tindak pidana Penggelapan Dalam Jabatan.

Tindak pidana Penggelapan diatur didalam Undang-Undang. Dalam kerangka

berpikir diatas peneliti mengkaji kasus sampai dengan amar putusan yang

dikeluakan oleh Majelis Hakim. Dalam penelitian diatas peneliti menganalisis

Putusan Hakim Nomor 56//Pid.B/2021/PN Krg yang diputus oleh Pengadilan

Negeri Karanganyar.

Alur pemikiran penelitian ini bahwa Putusan Hakim Nomor

56/Pid.B/2021/PN Krg terdapat putusan pidana yang diputus oleh Majelis Hakim.

Dalam putusannya Majelis Hakim menerapkan hukum pidana dan memberikan

pertimbangan hukum yang didasar pada Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan

Dalam Jabatan. Kepada Terdakwa Giri Prasetyo Herlambang Alias Giri Bin

Bambang Heri Yulianto dan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) Tahun.

Dan alur pemikiran diatas yang menjadi fokus dalam penelitian ini

adalah penerapan hukum pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan

sanksi pidana pada putusan Nomor 56/Pid.B/2021/PN Krg.


G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.24 Penelitian tentang tinjauan yuridis terhadap sanksi pelaku

tindak pidana Penggelapan Dalam Jabatan Secara Berlanjut di

Pengadilan Negeri Karanganyar adalah Normatif

2. Lokasi Penelitian

Penulis memilih lokasi penelitian di Pengadilan Negeri

Karanganyar yang merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri

Karanganyar.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

a) Data Primer

Bahan hukum primer adalah terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.25 Dalam

penelitian ini, Penulis menggunakan bahan hukum primer

sebagai berikut:

1) Putusan Pengadilan Negeri Sragen Nomor

88/Pid.B/LH/2020/PN Sgn
24
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 13

25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia-UI Press
cetakan ke-3 tahun 1984, hal 141
2) Undang-Undang No 372 KUHP Tentang Penggelapan

b) Data Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang

mendukung dan memperkuat bahan hukum primer

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang

ada sehingga dapat di lakukan analisa dan pemahaman yang

lebih mendalam sehingga adanya penguatan atas dasar

hukum mengasilkan analisa hukum yang baik. 26Maka dalam

penelitian ini yang menjadi bahan hukum sekunder terdiri

atas:

1) KUHP

2) Hasil Penelitian

3) Pendapat Ahli yang Kompeten

c) Data Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang

merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.27

Bahan hukum tersier dapat di contohkan seperti: Jurnal dan

Artikel.

b. Sumber Data

26
Soerjono Suekanto, dan Sri Mamudi , penelitian hukum normative suatu tinjauan singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 23

27
Ibid., hal. 54
a) Sumber Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli,

yakni data yang diambil dari lokasi penelitian dengan

wawancara kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Karanganyar.

b) Sumber Data Sekunder

Data yang diperoleh secara tidak langsung dari objeknya,

tetapi melalui sumber lain, seperti data yang diambil dari

beberapa buku referensi dan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif,

yaitu proses pencarian dan pengaturan secara sistematik hasil

wawancara, catatan-catatan, dan bahan-bahan yang dikumpulkan

untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang

dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.28

Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap

putusan hakim yang berkaitan dengan tindak pidana Penggelapan.

SISTEMATIKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang

28
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, Bumi Aksara, Jakarta, 2015,
hal. 210
B. Rumusan masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Peenelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Sanksi
2. Pengertian Tindak Pidana
3. Unsur – unsur Tindak Pidana
4. Tinjauan Tindak Pidana Penggelapan
5. Jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan
6. Putusan Hakim
BAB III METODE PENELITIAN
1. Jenis Pnelitian Normatif
2. Lokasi Penelitian Pengadilan Negeri Karanganyar
3. Jenis data
a. Data Primer
b. Data Sekunder
2. Teknik Analisis data
BAB IV HASIL PENELITIAN
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu Media, Jakarta, 2006

Abussalam, Victimology, PTIK, Jakarta, 2010

Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1992

Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lekture Mahasiswa, Jakarta,

2005

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti.

Jakarta, 2010

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2010

Marwam dan Jimmy, Kamus Hukum; Dictionary of Law Complite Edition

Surabaya: Reality Publisher, 2009

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Mukti Aro, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. cet V.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2004

Lamintang dan C Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang

Ditujukan Terhadap Hak dan Lain-lain : Hak yang Timbul dari Hak Milik,

Nuansa Aulia, Bandung, 2010

Soerjono Soekanto, Rajawali Press, Jakarta, 2002,

Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986


Syamsul Arifin, Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area

University Press, Medan, 2012

Tongat, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang, 2006

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Refika

Aditama, Bandung, 2014

Undang Undang :

Perundang-undangan

KUHP

PUTUSAN NO 45/PID.B/2021/PN KRG

Jurnal :

Anhar. Tinjauan Yuridis Terhadap tindak pidana penggelapan dengan

pemberatan yang dilakukan secara berlanjut. Jurnal Ilmu Hukum Legal

Opinion. Edisi I, Vol. 2, Tahun 2014

Cut Agustina Maulisha. Tindak Pidana Penggelapan Kendaraan Bermotor

Roda Empat Milik Rental Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda

Aceh. Jurnal Hukum Universita Syaiah Kuala Vol. 2(1) Februarui 2018, pp.153-

165

Anda mungkin juga menyukai