Anda di halaman 1dari 39

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGANI TINDAK

PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

( Analisis Putusan Nomor 1038/ Pid.B/ 2020/ PN.JKT.BRT )

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

DEA ANNISA TRI RIZKY HERINA


NIM. 191010201060

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1

A. Latar Belakang ....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...............................................................................................7

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................8

D. Manfaat Penelitian ...............................................................................................9

E. Kerangka Teori .................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN ..... 16

A. Tinjauan Pustaka Tindak Pidana ........................................................................ 16

B. Jenis-jenis Tindak Pidana .................................................................................. 20

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................................... 24

D. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ...................................................... 27

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................. 31

A. Jenis Penelitian .................................................................................................. 31

B. Spesifikasi Penelitian ......................................................................................... 31

C. Sumber dan Jenis Data....................................................................................... 32

D. Lokasi Penelitian ............................................................................................... 34

E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................. 34

F. Teknik Analisis Data ......................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... ii

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja dalam sistem sosial.

Fungsi sistem sosial tersebut adalah untuk mengintegrasikan kepentingan

anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib sesuai

dengan peraturan hukum yang berlaku di masyarakat. Dengan ini

dinyatakan bahwa tugas hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian

nilai kepentingan hukum (rechtszekerheid). 1 Dengan demikian hukum

menjadi suatu hal yang sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia

merunjuk pada sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian

kekuasaan penegakan hukum oleh kelembagaan penegak hukum. Hal ini

berarti hukum tidak terlepas atas pengaruh timbal balik dari keseluruhan

aspek yang ada di dalam masyarakat.

Tindak pidana pencurian adalah gejala sosial yang selalu dihadapi

oleh masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak yang berwajib

maupun warga masyarakat itu sendiri untuk menghapusnya terjadi terus

menerus di masyarakat guna terciptanya lingkungan yang aman, nyaman,

dan damai, akan tetapi upaya tersebut tidak mungkin akan terwujud secara

1
Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Asas, Pengertian, dan Sistematika), (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 57.

1
2

keseluruhannya, karena setiap kejahatan tidak akan dihapuskan dengan

mudah melainkan hanya dapat dikurangi tingkat intensitasnya maupun

kualitasnya. 2 Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering

dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut

biasanya dilakukan sendiri maupun berkelompok. Tujuan dari perbuatan

tindak pidana pencurian dalam melakukan aksinya, yaitu mengambil

barang milik orang lain untuk dimilikinya secara melawan hukum. Pelaku

perbuatan tindak pidana pencurian sudah profesional sifatnya dalam hal

melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Dalam melakukan aksinya,

pelaku perbuatan tindak pidana tersebut sudah melakukan perencanaan

dengan sangat matang dan apabila di dalam melakukan tindak pidana

pencurian tersebut korban melakukan perlawanan, pelaku pencurian

tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan atau dengan kata lain, para pencuri di dalam melakukan aksinya

dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. Dari segi jumlah

pelaku dari perbuatan tindak pidana pencurian itu sudah terorganisir dengan

rapinya, terbukti pelaku dari kasus perbuatan tindak pidana pencurian yang

aksi nya dilakukan lebih dari satu orang. Baik kedudukan mereka sebagai

pelaku utama, sebagai penadah dari hasil pencurian, maupun sebagai pelaku

yang membantu terlaksananya perbuatan tindak pidana pencurian tersebut.

2
Endro Didik, Hukum Pidana, Surabaya : Airlangga University Press, 2016, cetakan ke-1, Hlm.63
3

Pada dasarnya bentuk perbuatan tindak pidana pencurian dengan

kekerasan tersebut terdapat di dalam Pasal 365 KUHP 3 . Pasal tersebut

menegaskan bahwa:

“Diancam dengan pidana penjaran paling lama sembilan tahun,

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan

atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

menguasai barang yang dicurinya.”

Jenis kejahatan pencurian dengan kekerasan merupakan salah satu

kejahatan yang paling sering terjadi di masyarakat dan hampir terjadi

disetiap daerah-daerah yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, menjadi

sangat logis apabila jenis kejahatan pencurian dengan kekerasan ini menjadi

kasus yang sering dijumpai diantara jenis kejahatan lainnya. Hal tersebut

dapat dilihat dari banyaknya tersangka dalam kejahatan pencurian yang

diadukan ke pengadilan setempat. Kejahatan pencurian dengan kekerasan

pada hakikatnya dapat ditekan, salah satunya dengan cara meningkatkan

sistem keamanan lingkungan serta adanya kesadaran dari setiap individu

dalam masyarakat untuk lebih waspada dalam menjaga harta benda

miliknya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Tindak pidana

3
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1983, KUHP,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, hal. 142
4

pencurian dengan kekerasan menimbulkan kerugian dan penderitaan yang

dialami oleh korban kejahatan.

Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia yang

satu dengan manusia yang lainnya dan hubungan antara manusia dengan

negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan

hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian

hukum dan keadilan didalam masyarakat. Tetapi pada kenyataannya masih

banyak di jumpai masyarakat yang berusaha melanggar hukum yang sudah

ditetapkan. Agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

maka masalah kriminalitas perlu mendapat perhatian yang serius dari semua

pihak. Maka dibutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah dan

masyarakat sehingga kriminalitas yang tidak dapat dihilangkan tersebut

dapat dikurangi intensitasnya semaksimal mungkin. Pergaulan masyarakat,

setiap hari terjadi hubungan antara anggota - anggota masyarakat yang satu

dengan yang lainnya. Pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa

atau kejadian yang dapat menggerakkan peristiwa hukum. Hal ini pula yang

kemudian mempengaruhi semakin beragamnya motif kejahatan yang terjadi

saat ini.

Dari sekian banyak motif kejahatan dan tindakan kriminalitas,

adalah pencurian. Terjadinya pencurian dalam masyarakat, misalnya

kebutuhan beberapa unsur struktur sosial masyarakat, seperti kebutuhan

yang semakin meningkat, susahnya mencari pekerjaan, adanya peluang bagi

pelaku serta ringannya hukuman. Dengan semakin meningkatanya


5

kejahatan pencurian, maka berkembang pula bentuk-bentuk lain dari

pencurian itu sendiri. Salah satunya adalah, pencurian dengan kekerasan.

Pencurian dengan kekerasan merupakan kejahatan terhadap harta benda.

Makna dari pencurian dengan kekerasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa,

dalam melakukan pencurian pelaku tidak hanya mengambil barang orang

lain tetapi juga melakukan kekerasan terhadap pemilik atau orang-orang

yang terkait atau pun menakut-nakuti korban dengan senjata tajam untuk

mengancam korban agar secepat nya menyerahkan barang kepada pelaku

yang bertujuan untuk melancarkan aksi pelaku kejahatan pencurian. Kasus

pencurian dengan kekerasan yang saya analisis ini melanggar kedalam

Pasal 365 Ayat (2) Ke-1 dan Ke-(2) KUHP; atau Pasal 363 Ayat (1) Ke-4

KUHP. Perbuatan dengan sengaja memberikan bantuan dapat berupa

bantuan material, moral, maupun intelektual. Pembantuan

(Medeplictigheid) itu mempunyai sifat ketergantungan, sehingga di dalam

kualifikasi dan hal dapat dihukumnya perbuatan itu tergantung pada

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatannya.4

Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana pencurian dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan yakni menimbulkan luka-luka baik luka

ringan maupun luka berat, selain mengalami kerugian fisik korban juga

mengalami kerugian materiil dan psikis, oleh karena itu tindak pidana

pencurian dengan kekerasan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak

pidana yang ringan. Modus operandi (model pelaksanaan kejahatan) pelaku

4
P.A.F. Lamintang, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Penerbit Sinar Baru, hal 60
6

tindak pidana pencurian dengan kekerasan dilakukan dengan berbagai

macam modus operandi dengan melihat pada tempat atau lokasi yang akan

dijadikan sasaran serta perencanaan pencurian dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan dilakukan secara terencana dan terorganisir. Dengan

kemajuan teknologi dimasa saat ini, modus operandi para penjahat juga

mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Faktor-faktor yang

melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya

dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat) golongan yaitu: 5

1. Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yamg secara umum

mencakup aspek budaya serta aspek pola hubungan penting

didalam masyarakat.

2. Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik

dan prosesual didalam masyarakat, yang mempunyai cara

berfikir, bersikap dan bertindak individu dalam hubungan

dengan kejahatan.

3. Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek

individu serta situasional yang berkaitan langsung dengan

dilakukannya kejahatan.

4. Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencakup

keseluruhan respons dalam bentuk sikap, tindakan dan

kebijaksanaan yang dilakukan secara melembaga oleh unsur-

5
Mulyana W. Kusumah, Clipping Service Bidang Hukum, Majalah Gema, 1991. Diakses di
internet pada tanggal 24 September 2022 dari situs: http://eprints.ums.ac.id
7

unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi respons,

yang secara “informal” diperlihatkan oleh warga masyarakat.

Kasus kejahatan tersebut apabila sudah dilimpahkan ke pengadilan,

diproses dan dijatuhi vonis oleh hakim, maka terkadang dan bahkan sering

berbeda antara putusan hakim satu dengan putusan hakim lainnya, dalam

menerapkan Pasal berapa yang sesuai dijatuhkan kepada pelaku kejahatan

itu. Bahkan apabila terdakwa pelaku kejahatan itu melakukan upaya hukum

setelah penjatuhan keputusan pidana oleh hakim, terkadang juga bantuan -

bantuan dan sebagainya itu harus juga diberikan pada waktu atau sebelum

kejahatan itu dilakukan upaya hukum setelah penjatuhan keputusan pidana

oleh hakim, terkadang juga berbeda hakim Pengadilan Tinggi maupun

Mahkamah Agung di dalam menerapkan Pasal yang dijatuhkan.

Berdasarkan uraian diatas yang melatar belakangi penulis

melakukan penelitian mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan

yang berjudul :

“KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGANI TINDAK

PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Analisis Putusan

Nomor 1038/ Pid.B/ 2020/ PN.JKT.BRT)”. Dalam rangka penyelesaian

tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukkum (Strata 1) difakultas

Hukum Universitas Pamulang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut, maka penulis

mengidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut :


8

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana menanggapi terdakwa tindak

pidana pencurian kekerasan dalam Putusan Nomor 1038/ Pid.B/ 2020/

PN.JKT..BRT ?

2. Bagaimana hakim memutuskan perkara terdakwa tindak pidana

pencurian dengan kekerasan melalui kebijakan hukum pidana dalam

Putusan Nomor 1038/ Pid.b/ 2020/ PN.JKT.BRT ?

C. Tujuan Penulisan

Dalam Penulis memiliki tujuan yang dapat menjabarkan secara

objektif dan subjektif dengan tujuan penelitian sebagai berikut :

a. Tujuan penelitian secara objektif adalah untuk mengetahui

kebijakan dari hukum pidana terhadap pelaku atau terdakwa tindak

pidana pencurian yang dilakukan dengan kekerasan berdasarkan

Putusan Nomor 1038/ Pid.b/ 2020/ PN.JKT.BRT.

b. Untuk mengetahui sikap keputusan hakim dalam menangani kasus

tindak pidana pencurian dengan kekerasan sesuai dengan kebijakan

hukum pidana dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku

berdasarkan Putusan Nomor 1038/ Pid.b/ 2020/ PN.JKT.BRT.

c. Tujuan penulisan secara subjektif adalah agar menjadi sumbangan

pemikiran dalam menghadapi permasalahan tindak pidana yang

sama.
9

D. Manfaat Penelitian

Dalam Peneltian penulis memiliki tujuan yang dapat menjabarkan

secara akademis dengan manfaat penelitian sebagai berikut :

1. Secara teoritis :

Manfaat dalam penelitian secara teoritis ini diharapkan dapat

menjadi acuan dalam penelitian ilmu hukum mengenai upaya

perlindungan hukum terhadap tindak pidana pencurian yang

dilakukan dengan kekerasan serta memberi informasi kepada

masyarakat mengenai pentingnya kebijakan dan keadilan bagi

korban serta pelaku tindak pidana pencurian baik sendiri maupun

bersama-sama yang dilakukan dengan kekerasan. Penelitian ini

penulis harapkan dapat menambah wawasan dan bahan

keperpustakaan bagi mahasiswa/i fakultas hukum yang sedang

melakukan penelitian mengenai tindak pidana pencurian dengan

kekerasan.

2. Secara praktis :

Manfaat penelitian secara praktis ini yaitu :

a. Bagi akademis : hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi mereka yang akan

mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kasus tindak pidana

dengan kekerasan.
10

b. Bagi pemerintah : penelitian ini dapat memberikan masukan

pemikiran mengenai upaya kebijakan, keadilan, dan perlindungan

hukum tindak pidana pencurian yang dilakukan dengan kekerasan.

c. Bagi masyarakat : penelitian ini dapat memberikan informasi pada

masyarakat awam yang kurang paham mengenai kebijakan hukum

pidana terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan dengan

kekerasan.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana (penal policy) bukanlah sekadar teknik

perundang-undangan secara yuridis normatif dan sistemik dogmatik

saja namun lebih dari itu harus dilakukan dengan berbagai pendekatan

yuridis, sosiologis, historis atau berbagai disiplin ilmu sosial lainnya

termasuk kriminologi. Kebijakan hukum pidana (penal policy/ criminal

law policy (strafrechtpolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa yang akan datang.

Dalam pengertian tersebut mengandung makna baik arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna.6

Dari sudut kebijakan hukum atau politik hukum, bahwa pelaksanaan

kebijakan hukum pidana berarti pengadaan pemilihan untuk mencapai

6
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999., hlm.
11
11

hasil perundangan pidana yang paling baik dalam memenuhi syarat

keadilan dan daya guna.7 Dengan kata lain, bahwa tujuan yang hendak

dicapai dengan kebijakan hukum pidana adalah pembuatan peraturan

perundang-undangan pidana yang terbaik. Di samping untuk membuat

dan merumuskan peraturan perundang-undangan pidana yang baik,

kebijakan hukum pidana juga bertujuan untuk memberikan pedoman

tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga kepada para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Pidana itu sendiri merupakan suatu bentuk reaksi atau respon

terhadap suatu kejahatan Kebijakan hukum pidana merupakan

terjemahan langsung dari istilah penal policy, terkadang istilah penal

policy ini diterjemahkan pula dengan politik hukum pidana. Istilah penal

policy ini mempunyai pengertian yang sama dengan istilah criminal law

policy dan strafrechtspolitiek sehingga kedua istilah ini juga

diterjemahkan dengan politik hukum pidana atau kebijakan hukum

pidana. 8

Dengan demikian, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula

disebut dengan istilah politik hukum pidana diartikan sebagai usaha

yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan

sarana hukum pidana. Penjelasan kebijakan hukum pidana atau politik

7
Sudarto. Hukum & Hukum Pidana. Alumni, Bandung, 1981, hlm 161.
8
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Citra Adiitya Bakti, Bandung, 2001, hlm.26
12

hukum pidana dapat ditinjau dari sudut politik hukum dan politik

kriminal. Selain itu menurut, Marc Ancel memberikan definisi penal

policy yang di istilahkan sebagai kebijakan hukum pidana adalah

sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, yang mana

peraturan hukum positif (the positive rules) dan juga kepada para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan, dalam definisi Marc

Ancel adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana.9 Dengan

demikian penerapan hukum pidana lebih dapat terukur bilamana

keadilan bagi masyarakat lebih dapat dirasakan, sebab penyelenggaraan

dan pelaksanaan peradilan akan berpegangan pada pedoman yang lebih

baik. Usaha kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang

baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana

juga merupakan bagian dari kebijakan atau politik kriminal. Oleh karena

itu, dilihat dari sudut pandang kebijakan kriminal atau politik kriminal

dapat dikatakan kebijakan hukum pidana yang identik dengan

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana

sehingga diperlukan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang

baik sesuai dengan keadaan dan situasi yang ada pada saat ini maupun

yang akan datang serta kebijakan negara melalui badan yang berwenang

untuk merumuskan dan menetapkan peraturan-peraturan yang

9
Ibid,, hlm. 28
13

dikehendaki dan bahkan diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat agar

tercapainya apa yang dicita-citakan. Dengan kata lain, tujuan yang

hendak dicapai dengan kebijakan hukum pidana adalah peraturan

perundang-undangan pidana yang baik. Diketahui bahwa banyak cara

maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah)

dalam menanggulangi kejahatan, di antaranya melalui suatu kebijakan

hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Sudarto :

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana adalah :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada saat itu.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang

untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita -

citakan.

Masalah pidana memiliki fokus pada perbuatan salah atau tindak

pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku, dengan perkataan lain,

perbuatan tersebut mempunyai peranan yang sangat besar, dan

merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya “Punishment”.

Selanjutnya, ditegaskan oleh H.L Packer bahwa dalam hal

“Punishment” dalam memperlakukan seseorang karena ia telah

melakukan suatu perbuatan yang salah dengan tujuan, baik untuk


14

mencegah terulangnya perbuatan itu maupun untuk mengenakan

penderitaan atau untuk kedua-duanya. 10

2. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap

pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan

keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya

menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana

kepada pembuatnya.11 Pertanggungjawaban pidana dalam comman law

sistem selalu dikaitkan dengan mens rea dan pemidanaan (Punishment).

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan dengan kemasyrakatan

yaitu hubungan pertanggungjawaban dengan masyarakat, fungsi

pertanggungjawaban memiliki daya penjatuhan pidana sehingga

pertanggungjawaban memiliki fungsi control sosial sehingga didalam

masyarakat tidak terjadi tindak pidana.

Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah

asas legalitas, sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar

kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan mempunya

pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang

salah dan bertentangan dengan hukum. Pada hakikatnya

pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang

10
Ibid,, hlm..6
11
Hanafi Amrani, Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta,Rajawali Pers,
hlm-52
15

diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu

yang telah disepakati. 12

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir

semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung

atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara

aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau

kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan

kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-

undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,

sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban

politik.13

F. Orisinalitas Penelitian

G. Sistematika Penulisan

12
Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung jawab
Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-2, Jakarta, Kencana, 2006, hlm-68
13
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

A. Tinjauan Pustaka Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana berdasarkan asas dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dahulu bernama wetboek van

strafrech voor Indonesia merupakan semacam kutipan dari WvS Nederlands

yang bahasanya bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa

perbuatan yang pelakunya dapat dipidana atau dihukum adalah perbuatan

yang sudah disebutkan dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu

dilakukan. Tindak Pidana menurut Moeljatno merupakan suatu perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar peraturan-peraturan pidana

yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dalam kehidupan

sehari-hari, masyarakat seringkali melihat tindak kejahatan, akan tetapi ada

sebagian masyarakat yang belum mengetahui arti yang sebenarnya

mengenai tindak pidana. 14 Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah

merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai

terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga sebagai

"hukuman". Seperti dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman

yang berasal dari kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari

14
Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 85

16
17

perkataan "wordtgestraft", adalah merupakan istilah-istilah konvensional.

Beliau tidak setuju dengan menggunakan istilah-istilah yang

inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan

“diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt

gestraft".Jika"straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya

diartikan dengan hukuman-hukuman.15

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah terdapat dalam WvS

Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak

ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.

Karena itu, beberapa ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi

dari istilah itu sampai sekarang belum ada keragaman pendapat.16

Strafbaar feit secara harfiah terdiri dari tiga kata, yaitu straf yang

diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata Baar diterjemahkan dengan

dapat dan boleh, sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak,

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam

bahasanya tidaksesederhana ini karena yang bisa dihukum itu bukan

perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang

melanggar aturan hukum. 17

15
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: PT.Bima Aksara, 1993), hlm. 35.
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta:Rajawali pres, 2012), hlm.4.
17
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adityta Bakti, 1996),
hlm.7.
18

Strafbaar feit banyak didefinisikan pengertiannya oleh para sarjana

hukum dengan keseragamannya masing-masing, seperti:

a. Mulyatno, menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan

pidana. Menurut Mulyatno “perbuatan pidana” menunjuk kepada

makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat

tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan

sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena “perbuatan pidana”

tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan

hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. 18

b. Wirjono Projodikoro, mengartikan strafbaar feit dengan

menggunakan istilah “peristiwa pidana” yang digunakan secara

resmi dalam Undang-Undang Dasar sementara tahun 1950 yaitu

dalam pasal 14 ayat (1). Secara subtantif “peristiwa pidana” lebih

menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh

perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. 19

c. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal,

tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar

undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

18
M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amazah, 2012), hlm.25.
19
Ibid, hlm.26
19

dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa

melanggarnya maka akan dikenakan pidana.

R. Tresna menggunakan istilah "peristiwa pidana".20 Sudarto

menggunakan istilah "tindak pidana".21 Wirjono Projodikoro

menggunakan istilah "tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 22 Akan tetapi,

Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan. Orang tersebut akan mempertanggungjawabkan perbuatannya

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

dilakukan. 23 Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap

20
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta, Tiara Limit, hlm. 27.
21
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, hlm. 38.
22
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Eresco, hlm. 55.
23
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001), hlm.22.
20

pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum. 24

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai

kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan

perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif

mengenai kesalahan yang dilakukan Tindak pidana adalah perbuatan

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan

sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana

penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum

dan terjaminnya kepentingan umum.

B. Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain

sebagai berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan

Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak

pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya

merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke

24
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm.11.
21

II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh

sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara

keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana

formil (formeelDelicten) dan tindak pidana materil (Materiil

Delicten). Tindak pidana formiladalah tindak pidana yang

dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah

melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu

tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya

adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa

yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi

tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak

sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan

(dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut:

Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja

menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP

yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian

(culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya

Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh

lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360

KUHP.
22

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif),

perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan

untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan

tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362

KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif

dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak

pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara

formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur

perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam

Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah

tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,

tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang

mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak

berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak

menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal. 25

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan antara

tindak pidana terjadi seketika (aflopende delicten) dan tindak

pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/

berlangsung terus (voordurendedellicten).

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan atara tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah

25
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001), Hlm.25-27.
23

semua tindak pidana yangdimuat dalam KUHPidana sebagai

kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III).

Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang

terdapat diluar kodifikasi KUHPidana, misalnya Tindak Pidana

Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), tindak pidana

penyalahgunaan narkotika (UU No. 35 Tahun 2009).

g. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara

tindak pidana communia (tindak pidana yang dapatdilakukan

oleh semua orang) dan tindak pidana proria (dapat dilakukan

hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,

maka dibedakan antara tindak pidana biasadan tindak pidana

aduan. Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak

diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sedangkan

tindak pidana aduan adalah tidak pidana yang dapat dilakukan

penuntutan apabila adanya pengaduan dari yang berhak, yakni

korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga

korban.

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana

yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.


24

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak

pidana tidak terbatas macamnya bergantung darikepentingan

hukum yang dilindungi, seperti tindak pidanaterhadap nyawa

dan tubuh, terhadap harta benda, tindakpidana pemalsuan, tindak

pidana terhadap nama baik,dan lain sebagainya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana

berangkai. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang

selesainya tindak pidana dan dipidananya pelaku cukup

dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana

dalam KUHPidana adalah berupa tindak pidana tunggal.

Sedangkan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai

selesai dan dipidananya pelaku, diisyaratkan dilakukan secara

berulang.26

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada umumnya para ahli menyatakan unsur-unsur dari peristiwa

pidana yang juga disebut tindak pidana atau delik terdiri atas unsur subjektif

dan unsur objektif. Menurut R. Abdoel Djamali, 27 peristiwa pidana yang

26
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana (Yogyakarta: Rangkang Education & PuKab, 2012), hlm.
28.
27
R. Abdoel Djamali,Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
hlm. 175
25

juga disebut tindak pidana atau delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa peristiwa

hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-

unsur pidananya. Unsur-unsur tesebut terdiri dari:

a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan

dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang

dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian

objektif disini adalah tindakannya.

b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak

dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan

adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat

dikatakan sebagai peristiwa pidana. Syarat-syarat yang harus dipenuhi

sebagai peristiwa pidana yaitu:

1) Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar ada

suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorangatau beberapa orang.

Kegiatan ini terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat

dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam

ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum

yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah

berbuat seperti yang terjadi. Pelaku wajib


26

mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan

itu.

3) Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung-

jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai

perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

4) Harus berlawanan dengan hukum. Artinya, suatu perbuatan yang

berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-

nyata bertentangan dengan aturan hukum.

5) Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada

ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam

suatu perbuatan tertentu, ketentuan itu memuat sanksi ancaman

hukumannya. Menurut Lamintang 28, unsur delik terdiri atas dua

macam, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Yang dimaksud

dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk didalamnya

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang

dimaksud dengan unsure objektif adalah unsur yuang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

28
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 10
27

D. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau lazimnya dikenal

dimasyarakat dengan istilah perampokan. Sebenarnya istilah antara

pencurian dengan kekerasan dan perampokan dari segi redaksional kedua

istilah tersebut berbeda namun mempunyai makna yang sama, misalnya

kalau disebutkan pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

sama halnya dengan merampok. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan

itu oleh pembentukundang-undang telah diatur dalam Pasal 365

KUHPidana, yang rumusannya sebagai berikut :29

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

kekerasanatau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan

maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,

atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan

melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

menguasai barang yang dicuri.

2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah

rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya,dijalan.

Ke-2 Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

bersekutu.

29
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Specialle Delicten) di dalam KUHP.2007. hlm. 77
28

Ke-3 Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan

merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ke-4 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

a. Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika

perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan

dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,

Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana

sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yangterdiri

atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap

orang, ataupun bukan merupakan suatu samenloop dari kejahatan pencurian

dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang. Pencurian dengan

kekerasan bukanlah merupakan gabungan dalam artian gabungan antara

tindak pidana pencurian dengan tindak pidana kekerasan maupun ancaman

kekerasan, kekerasan dalam hal ini merupakan keadaan yang berkualifikasi,

maksudnya adalah kekerasan adalah suatu keadaan yang mengubah

kualifikasi pencurian biasa menjadi pencurian dengan kekerasan. Dengan

demikian unsur-unsurnya dikatakan sama dengan Pasal 362 KUHPidana

ditambahkan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.


29

Adapun unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan

pada Pasal 365 KUHPidana ini sama dengan yang dipunyai oleh Pasal 362

KUHPidana dengan tambahan unsur-unsur sebagai berikut :

Pasal 365 Ayat (1) KUHPidana:

Pencurian, yang didahului atau disertai atau diikuti Kekerasan atau

ancaman kekerasan terhadap orang dilakukan dengan maksud untuk :

a. Mempersiapkan atau

b. Memudahkan atau

c. Dalam hal tertangkap tangan

d. Untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau pesertalain

e. Untuk tetap menguasai barang yang di curi.

Pasal 365 Ayat (2)

1. Unsur-unsurnya sama dengan ayat (1) di atas, hanya ditambahkan

unsur :

a. Waktu malam

b. dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang adarumahnya,

c. di jalan umum,

d. dalam kereta api yang sedang berjalan.

e. Ditambah unsur subjek pelaku, dua orang atau lebih


30

f. Ditambah unsur membongkar, memanjat, memakai kunci

palsu,perintah palsu, jabatan palsu.

g. Unsur mengakibatkan luka berat pada korban.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan ini merupakan jenis penelitian

hukum dengan fokus penelitian pendekatan yuridis normatif (library

research). Secara yuridis mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (Analisis

Putusan Nomor 1038/ Pid.B/ 2020/ PN.JKT.BRT). Secara normatif

dengan cara melihat melalui pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan

hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas

hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

penelitian. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai

literatur. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya bahwa penelitian

ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah,

menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan penelitian ini.

B. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini dan agar dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka

penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif (metode

penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-

31
32

bahan kepustakaan atau data sekunder.30 Penelitian ini dilakukan guna

untuk mendapatkan bahan-bahan berupa teori, konsepp, dan asas-asas

hukum serta peraturan hukum yang berhubungan dengan pokok

pembahasan.31 Penelitian ini dapat digunakan untuk menarik asas-asas

hukum dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan. Selain itu,

penelitian ini juga, dapat digunakan untuk mencari asas hukum yang

dirumuskan baik secara tersirat maupun tersurat.32 Penelitian deskriptif

analitis ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, karena

dalam penelitian ini penulis berusaha menguraikan kenyataan-kenyataan

yang ada atau fakta yang ada dan mendeskripsikan sebuah masalah.

C. Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan penulis adalah data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada.

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan

adalah pengumpulan data-data yang bersumber dari buku-buku, literatur,

dan pendapat ahli hukum yang berkaitan dengan penelitian ini, ataupun

sumber lain yang ada di lapangan untuk menunjang keberhasilan dan

efektivitas penelitian, yaitu dengan pemisahan secara garis besar antara data

primer dan data sekunder.33

30
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 63.
32
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
27-28.
33
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.205
33

Data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari dan menganalisis

bahan hukum. Data skunder dalam penelitian ini meliputi serta

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bahan yaitu:

1. Bahan Hukum Primer

Peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan

masalah-masalah yang diteliti guna mendapatkan landasan teori

untuk menyusun penulisan hukum. Peraturan yang digunakan

yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman.

d. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda Dalam KUHP.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum

primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami

bahan hukum primer, seperti buku-buku hasil karya para pakar,

hasil-hasil penelitian, atau kegiatan ilmiah lainya yang memiliki

kaitan atau hubungan dengan permasalahan penelitian ini.dan

dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

yang terdiri atas :


34

a. Hasil-hasil penelitian atau hasil karya ilmiah.

b. Tulisan atau pendapat-pendapat hukum dari para sarjana.

c. Buku-buku yang disusun oleh para pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang merupakan pelengkap yang sifatnya

memberikan petunjuk atau penjelasan tambahan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder terdiri dari :

a. Kamus Hukum

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia

c. Pedoman EYD

D. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah Pengadilan

Negeri Jakarta Barat yang beralamat di Jl. Letjen S. Parman No.71,

RT.10/RW.3, Slipi, Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus

Ibukota Jakarta 11410, Telepon (021) 53661110. Lokasi ini dipilih oleh

peneliti berdasarkan pada data pra riset yaitu peneliti menggunakan putusan

Pengadilan Negeri Jakarta barat kemudian yang hasilnya dijadikan bahan

penelitian karena peneliti menemukan fakta yang menarik untuk diteliti.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah antara lain melalui :

1. Studi Kepustakaan.
35

Yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Bahan hukum primer terdiri atas yang berkaitan dengan

pokok masalah yang diteliti. Sedangkan bahan hukum sekunder

terdiri atas, buku-buku, jurnal, makalah-makalah, laporan hasil

penelitian dan bentuk tulisan-tUndang-Undang Dasar 1945,

KUHPidana, Keputusan Mahkamah Agung, dan tulisan lain

yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

Selanjutnya bahan-bahan hukum tersier, yakni berupa Kamus-

Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman

EYD.

2. Teknik Wawancara

Dilakukan dengan beberapa nara sumber yang dianggap relevan

dengan penelitian kasus tindak pidana dengan kekerasan ini dan

hasil dari wawancara tersebut merupakan data tambahan dalam

penelitian yuridis normatif guna melengkapi data penelitian

yang penulis angkat kasus nya untuk dianalisis.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif,

dimana pembahasan serta hasil penelitian diuraikan dengan kata-kata

berdasarkan data yang diperoleh. Data yang terkumpul akan di analisis

dengan cara mencari dan menentukan hubungan antara data yang diperoleh

dari penelitian dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.


36

Semua data-data dan informasi yang telah dikumpulkan baik melalui

studi kepustakaan dianalisis secara kualitatif guna menarik kesimpulan atas

pokok permasalahan yang diajukan dengan cara menggunakan metode

deskriptif analitis. Data-data hukum yang telah diidentifikasi akan

digunakan untuk menguraikan dan menjelaskan mengenai Tindak Pidana

Pencurian yang dilakukan dengan Kekerasan.


DAFTAR PUSTAKA

ii

Anda mungkin juga menyukai