Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Stevany Yohana Purwaty Pardosi

NIM : 210200550
Mata Kuliah : Metode Penelitian dan Penulisan Hukum
Dosen Pengampu : Dr.Robert, S.H, M.H

QUIZ METODE PENELITIAN HUKUM BAIK ITU NORMATIF MAUPUN EMPIRIS


1. Adapun hal-hal yang terlebih dahulu dilakukan sebelum melaksanakan penelitian hukum,
yaitu menentukan isu hukum dimana dalam penentuan isu hukum merupakan suatu faktor yang
sangat penting dalam merancang suatu proposal penelitian hukum, baik itu dalam bentuk
normatif maupun empiris.
Cara menentukan “hal” yang dimaksud yaitu :
1). Isu hukum dapat dilihat dari berbagai peristiwa hukum atau dalam naskah bahan hukum
primer maupun sekunder;
2). Peristiwa hukum bisa dilihat di media massa maupun jejaring sosial;
3). Ulasan tentang hukum (legal review) bisa dilihat pada jurnal hukum, paper hukum, skripsi,
tesis, disertasi, hasil penelitian dari suatu lembaga terkait hukum dan naskah perundang-
undangan;
4). Hal ini yang disebut dengan “pre-eliminary research”;
5). Penting untuk mengetahui isu hukum apa yang layak untuk dibahas dan telah dibahas sejauh
mana isu hukum tersebut.
Metode Pengumpulan Data Penelitian Empiris Bidang Hukum :
a). Wawancara langsung dan mendalam;
b). Penggunaan kuesioner atau angket;
c). Observasi atau survei lapangan;

Metode Pengumpulan Data Penelitian Normatif Bidang Hukum :


Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan suatu aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi. Dalam metode penelitian normatif terdapat dua pendekatan yakni;
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Terkecuali untuk keperluan penelitian hukum Adat, maka penelitian hukum pada umumnya tidak
dapat dilepaskan dari pendekatan perundang-undangan;
2. Penelitian hukum untuk keperluan karya akademik, misalnya saja tesis dan disertasi dapat
juga tidak menggunakan pendekatan ini karena belum ada ketentuan perundang-undangan yang
dapat digunakan untuk memecahkan isu hukum yang hendak diteliti, misalnya saja tentang
penelitian tentang privasi data, karena Indonesia belum memiliki UU tentang privasi data
Dalam metode pendekatan ini, peneliti perlu memahami hirearki dan asas-asas dalam
perundang-undangan. (vide UU No. 15 tahun 2019 jo. UU No. 12 Tahun 2011).
Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
1. Pendekatan konseptual dilakukan dalam hal peneliti tidak beranjak dari peraturan hukum yang
ada;
2. Hal ini dilakukan karena belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang hendak
diteliti;
3. Misalnya seseorang hendak meneliti tentang makna “itikad baik” tentang tanggung jawab
direksi menurut UUPT;
4. Apabila mengacu dalam UUPT, tidak ada dijelaskan tentang pengertian dari “itikad baik”
dalam UUPT;
5. Maka peneliti harus membangun konsep penelitian ini, misalnya dari teori fiduciary duty care.
6. Konsep hukum terkadang dapat juga ditemukan dalam putusan pengadilan, misalnya saja
“reverse piercing the corporate veil” yang sekarang muncul di Amerika Serikat;

2. Untuk mencari kutipan atau referensi, dilakukan dengan cara;


a). Kutipan Langsung, yaitu kutipan / pendapat yang dikemukakan langsung dan dikutip seperti
aslinya. Dapat dibedakan secara tertulis, yaitu kutipan langsung pendek dan kutipan langsung
panjang
b). Kutipan Tidak Langsung, yaitu mengutip pendapat yang dikemukakan oleh ahli melalui
sarana lain seperti buku.

Referensi Penelitian

EFEKTIVITAS HUKUM DI DUNIA VIRTUAL

- Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa efektif hukum
yang sudah diberlakukan untuk dunia virtual. Telah ada produk hukum yang dibuat untuk
mengatasi cyber crime (kejahatan di dunia maya). Dalam hal ini akan dikaji, apakah
produk hukum tersebut bekerja secara maksimal atau tidak. Undang-undang nomor 11
tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik di buat untuk melindungi
masyarakat dalam dunia maya termasuk pada media sosial, efektifitas dari peraturan
perundang-undangan tersebut seharusnya dapat dilihat nyata sehingga bisa menjadi jalan
keluar jika terjadi tindakan yang diancam dengan pidana, penyelesaian kasus dengan
peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan seharusnya menjadi cara yang tepat
untuk mengatasi permasalah di dunia maya.
Sumber : LIKHITAPRAJNA. Jurnal Ilmiah.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
ISSN: 1410-8771. Volume. 15, Nomor 1, hal 61-68.

Kejahatan siber (cyber crime) merupakan perkembangan dari computer crime. Cyber
crime dan cyber law, dimana kejahatan ini udah melanggar hukum pidana(Hafidz,
2014). Dengan adanya kasus yang terjadi di dunia maya tersebut, telah menimbulkan
korban, bukan hanya pada kalangan remaja namun disemua usia. Hal tersebut
mengharuskan satuan kepolisian untuk segera bertindak dalam menangani kasus cyber
crime(kejahatan dunia maya) yang cakupan kejahatannya sangat luas bahkan tidak
terbatas(Maramis, 2015).Cyber crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang,
sekelompok orang dan korporasi(badan hukum) dengan cara menggunakan atau dengan
sasaran komputer atau sistem komputer atau jaringankomputer. Kejahatan ini terjadi
didunia maya (virtual) sehingga mempunyai karakteristik yang berbeda dengankejahatan
tradisional(Ersya, 2017). Berdasarkan beberapa hasil penelitian, karakteristik
pelakucyber crimesangat unik, dan juga berbeda kategori dengan pelaku kejahatan
lain.Saat ini, meskipun hukum pidana konvensional sebagaimana yang berlaku
diIndonesia dapat digunakan hakim sebagai dasar hukum untuk mengadili
pelakucyber crime,akantetapi dalam praktik sangat banyak keterbatasannya, baik
dari sisiunsurtindak pidana maupun pertanggungjawaban pidananya(Sumarwani,
2014). Akibatnya, banyakpelakuyang lolos dari jeratan hukum.Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukanoleh Widodo (2009: iii), semua pelaku dijatuhipidana
penjara. Dalam tataran filosofis, teoretis, normatif maupun empiris, pidana penjara
merupakan suatu jenis pidana yang mempunyai banyak kelemahan
karenapelaksanaan pidana penjara khususnya di Indonesia kurang memadai.

Sumber : VOL. 2 NO 03 (2021); JOURNAL OF LEX GENERALIS

Secara normatif, dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang


Informasi dan Transaksi Elektroniksebagai aturan baru yang berlaku dan semua
penduduk dianggap telah mengetahui. Sebagai sebuah produk hukum dari kekuasaan
Negara, Undang-Undang tersebut mempunyai fungsi sebagai alat kontrol negara terhadap
sistem informasi dan transaksi elektronik yang bebas. Proses dalam menjalankan
fungsinya tersebut akan terus berlangsung secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
dalam realitanya.
Sumber : Radita Setiawan, Jurnal Efektivitas UU ITE Di Indonesia dalam Aspek Hukum
Pidana

ARTIKEL
Meskipun telah terbentuk UU ITE di Indonesia tetapi dalam kenyataan atau realitanya
dunia siber tetap sulit untuk dijinakkan karena cyberspace merupakan dunia virtual yang
sulit ditemukan secara nyata tetapi dapat dikunjungi oleh berjuta pengguna di seluruh
dunia setiap saat. Karakteristik inilah yang mempengaruhi UU ITE itu mempunyai
kendala dalam penerapannya, karena pada kenyataannya tindak pidana siber sering
bersifat lintas negara sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai yuridiksi yang
berlaku atas perbuatan atau akibat tindak pidana serta atas pelakunya. Hal ini disadari
oleh Indonesia bahwa keterbatasan perundang-undangan konvensial yang dimiliki sulit
untuk menjawab masalah ini, sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan hukumnya
untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan negara dan warganya.
Sumber : Abdullah. 2012. Pelanggaran Hukum Dalam Dunia Maya (Cybercrime).
cybercrime100.blogspot.com/2012/05/pelanggaran-hukum-dalam-dunia-maya.html

Di dalam realita terjadinya suatu kejahatan dalam hal informasi dan transaksi elektronik
terdapat beberapa hal yang menjadi masalah pokok dalam penegakan kasus tertentu. Dan
yang menjadi pertanyaan besar adalah bilamana seorang warga negara asing atau badan
hukum asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia, tetapi memiliki akibat
hukum di Indonesia. Masalah sepeti inilah yang menjadi salah satu keunikan tindak
pidana cyber bahwa tindak pidana yang dilakukan di suatu negara dapat menimbulkan
akibat yang dilarang di negara lain. Dari hal inilah timbul suatu permasalahan mengenai
yuridiksi yang dapat melakukan law enforcement terhadap tindak pidana tersebut, maka
tiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap wilayahnya. Sebagai solusi jitu
menekankan bagi aparat hukum untuk melakukan kerjasama (mutual assistance)dengan
aparat penegak hukum negara lain dalam mengungkap satu tindak pidana dan
kepentingan tersebut harus dijustifikasi dengan peraturan perundang-undangan di negara
Indonesia. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan asas lain agar perundang-
undangan pidananya tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau
dengan asas teritorialitas, khususnya dalam kondisi seperti diatas. Asas ini lebih dikenal
dengan asas ekstrateritorialitas.
Sumber : Cocfield, Arthur dan Jason Pridmore. A Synthetic Theory of Law and
Technology, MINN. J.L. SCI. &TECH. 2007;8(2):475-531. www.mjlst.umn.edu.

Cockfield, Arthur. Toward a Law and Technology Theory, Manitoba Law Journal, Vol.
30, No 3. arthurcockfield.netau.net.

BUKU
Berkembangnya cyber crime dapat terlihat dari munculnya berbagai istilah seperti
online business crime, cyber money laundering, high tech white collar crime, dan
sebagainya. Bahkan, dalam dokumen PBB, cyber crime memiliki istilah baru yaitu,
Dogpiling, Dixing, Doxware, Kejahatan terkait identitas, Pelecehan seksual berbasis
gambar, online impersonation, Roasting, Pharming, Sextortion, dan Zero day. Kasus
cyber crime pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 1990-an dengan munculnya
kasus pemakaian nama domain www.mustikaratu.com yang disidangkan di pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Kasus ini menyeret seorang terdakwa yang bernama Tjandra
Sugionodengan dakwaan Pasal 382 bis KUHP dan Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 19
huruf b UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam pemeriksaan perkara tersebut majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak
terbukti sehingga terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan.
Sumber : Forum Kajian dan Penelitain Hukum, Universitas Brawijaya

Dengan kata lain, Cybercrime yaitu kejahatan yang memanfaatkan perkembangan


teknologi computer khususnya internet. Dengan demikian Cybercrime didefinisikan
sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi komputer berbasasis
pada kecanggihan dan perkembangan teknologi internet. Dari beberapa pengertian di
atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan
dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk
memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas
computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi komputer yang canggih. Aktivitas cyber yaitu kegiatan virtual
yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik
Sumber : Buku Maskun. (2013). Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Dari banyak kasus yang telah terjadi penuntasan masalah palanggaran pidana masih
dirasakan kurang maksimal, karena masih sedikit penuntasan kasus-kasus yang ada pada
media sosial, karena kalau kita mengkaji lebih luas maka undang-undang nomor 11 tahun
2008 tentang informasi dan transaksi elektronik adalah merupakan undang-undang yang
melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada,
Undang-Undang Informasi dan Transaksi E lektronik juga mengatur mengenai hukum
acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum (kepolisian dan
kejaksaan) yang memberi paradigma baru terhadap upaya penegakkan hukum dalam
rangka meminimalkan potensi abuse of power penegak hukum sehingga sangat
bermanfaat dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum
Sumber : Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai