Anda di halaman 1dari 6

IMPLEMENTASI DEMOKRASI PANCASILA PADA INTERAKSI

MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UU ITE


Abstrak. Sebagai makhluk sosial, manusia menghadapi interaksi sosial secara alami
selama hidupnya. Peran manusia dalam interaksi sosial dibatasi dengan hak-hak setiap
manusia yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam menegakkan ketertiban sosial terdapat
beberapa pedoman yang memuat batasan-batasan dalam berperilaku dan berkegiatan
yang melibatkan kepentingan umum. Norma sosial menjadi control sosial bagi perilaku
manusia dalam interaksi sosial sehingga menciptakan lingkungan dengan masyarakat
yang penuh dengan nilai-nilai sosial yang diharapkan. Masih tingginya pelanggaran hak
asasi manusia saat ini tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi terdapat pelanggaran
secara digital melalui ujaran kebencian di media sosial. Pemerintah dengan upaya
penanganannya memiliki batasan berupa UU ITE yang ditujukan bagi keamanan digital
masyarakat. Melalui metode kulitatif dengan pendekatan studi literatur terhadap temuan
kasus dan sumber data tertulis sebagai rujukan, hasil penelitian menunjukkan beberapa
keunggulan dan kelemahan UU ITE sebagai solusi penanganan dari implementasi
demokrasi pancasila pada interaksi media sosial sehingga terdapat beberapa upaya yang
dapat dilakukan secara kolaboratif dari pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna
media sosial.
1. PENDAHULUAN
Ujaran kebencian di media sosial dalam era digital saat ini merupakan
fenomena kejahatan dengan adanya pelaku dan korban. Konten yang melibatkan
pesan kebencian bervariasi mulai dari saling ejek tampilan hingga kejahatan
rasisme dan diskriminasi. Hal ini menjadi sebuah kejahatan yang dapat
menargetkan siapa pun terlepas dari status mereka, identitas, lokasi dan
sebagainya. Bahkan ketika ujaran kebencian tidak terwujud menjadi kejahatan
bermotivasi kebencian, kerugian dari sosok korban sudah jatuh dengan adanya
stigma untuk dirinya, dipinggirkan dan merasa rendah diri. Konsekuensi
keseluruhan dari kebencian online dapat menjadi dehumanisasi individu atau
kelompok individu. Perlunya strategi yang tepat untuk mengatasi ujaran
kebencian di media sosial tidak perlu diragukan lagi. Upaya yang disusun sebagai
solusi perlu fokus pada inti untuk mengidentifikasi pusat masalah yang telah
berkontribusi pada pembentukan realitas yang ada sehingga dapat memberikan
upaya pencegahan atau solusi tindak lanjut dari sebuah kasus yang telah terjadi.
Untuk mengungkap faktor yang berkontribusi, analisis holistik dari kedua prinsip
hak asasi manusia internasional mengenai ujaran kebencian dan penerapan praktis
dari standar tersebut diperlukan. Eksistensi UU ITE dikaji terkait perannya
sebagai solusi penanganan kejahatan ujaran kebencian sebagai perlindungan yang
diberikan terhadap korban ujaran kebencian yang muncul dari sifat khusus
ekspresi di sosial media. Karakteristik khas dari media sosial memainkan peran
kunci dan memberikan ideal tempat untuk menargetkan dan menjangkau khalayak
luas di seluruh dunia. Karakteristik pengguna media sosial juga bersifat anonimus
atau tanpa identitas, karena dalam akses media sosial setiap individu memiliki
kemudahan bersembunyi dibalik identitas yang tidak nyata. Peran yang dapat
dimainkan oleh negara atau internasional lembaga, adalah peraturan yang
mengikat dalam suatu hukum yang berlaku dan wajib ditaati sebagai pedoman
perilaku individu dalam lingkungan berbangsa dan bernengara. Pemerintah yang
merupakan pengemban tugas utama untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia setiap penduduknya memiliki kesempatan yang
tidak terbatas untuk mempengaruhi proses pengaturan ekspresi di media sosial.
Namun kondisi komplikasi terkait dengan infrastruktur teknis dari platform media
sosial, undang-undang yang berlaku, definisi konsep yang berbeda adalah
beberapa contoh faktor yang menghambat kemajuan perlindungan hak asasi
manusia. Berikutnya, keengganan negara untuk berkolaborasi merupakan faktor
tambahan yang berkontribusi terhadap ketidakcukupan regulasi ujaran kebencian
di media sosial dan patut dipertanyakan apakah suatu masalah bisa ditangani
tanpa upaya kolektif.
Kebebasan berpendapat masih menemui bentuk pelanggaran yang
beragam (1). Hal ini tentu mencederai konsep system pemerintahan demokrasi.
Mengharapkan dan meminta kesediaan serta partisipasi publik dalam proses
pemerintahan justru menemui ancaman ketika dilaksanakan. Ketika terjadi
pertukaran argumentasi oleh pihak yang berbeda pendapat sering ditemui
ancaman yang berakhir membungkam kesempatan hak berpendapat.
Kecenderungan pelanggaran yang ditemui adalah aksi represif aparat kepada
masyarakat sipil dengan ancaman UU ITE yang sampai saat ini masih dinilai
sebagai hukum karet. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet)
mencatat bahwa sekitar 375 warganet dikenai jerat UU ITE sejak tahun 2008
hingga saat ini. Fakta yang sulit dipercaya adalah bahwa pemerintah gagal
melaksanakan proses demokrasi, sebab mayoritas korban justru merupakan
jurnalis, aktivis, dan warga kritis yang melaksanakan hak berpendapat
menyuarakan kritik terhadap kekuasaan. Kondisi pemerintah dengan sorotan
utama sikap pemimpin yang tunduk kepada kebenaran dan berprinsip dalam
kesejahteraan umum adalah capaian yang perlu strategi dan hal ini dibutuhkan
publik. Di dalam demokrasi yang berpedoman kembali pada kebenaran, maka
terdapat pola mengatur kembali kondisi yang ada dengan konsep dasar sistem
demokrasi. Hal yang paling utama adalah proses belajar mendengarkan suara
rakyat. Demikian juga argumentasi yang disampaikan oleh rakyat harus
berdasarkan ilmu pengetahuan yang relevan, jika menuju kepada system politik
maka disampaikan secara politis dengan disertai terjemah ke dalam bahasa yang
dapat dipahami oleh masyarakat luas. Sehingga hal yang disampaikan mampu
mendapat kekuatan berdasarkan kemampuan nalar public (2).
2. METODE
Metode yang dipilih pengamat dalam menyusun jurnal ini adalah metode
studi literatur dengan pendekatan penelitian melalui berbagai sumber data dan
informasi yang tersedia. Menurut Danial dan Warsiah (2009) Studi Literatur
adalah metode dalam melakukan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
sumber tertulis. Baik berupa buku, majalah, artikel, maupun jurnal terdahulu.
Pengamat menggunakan data jumlah pengguna media sosial dan jumlah kasus
hukum oleh pengguna media sosial yang bersinggungan dengan pemerintah. Data
lain yang disebutkan dalam jurnal memiliki sumber tertulis yang terpublikasi dan
dapat diakses terbuka.
3. PEMBAHASAN
4. Fenomena Ujaran Kebencian di Media Sosial
Berdasarkan data kominfo jumlah pengguna media sosial di Indonesia
sama dengan 61,8 persen dari total populasi pada Januari 2021. Angka ini juga
meningkat 10 juta, atau sekitar 6,3 persen dibandingkan tahun lalu. Terbukti
bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui cara penggunaan media sosial.
Namun, angka kejadian pelanggaran hukum terkait ujaran kebencian pada
khususnya juga bertambah jumlahnya. Berbagai sisi beropini secara berbeda,
penilaian UU ITE dalam suatu perbuatan ujaran kebencian sulit dipisahkan baik
peraturan dalam batasan kejahatan penghinaan atau sebagai teknik membungkam
pendapat kritis dan kritik (3).
4.1. Upaya Pemerintah.
Upaya memberikan solusi yang optimal melalui peraturan dalam
berpendapat dan berkomentar tidak tercapai dengan semakin maraknya
penyebaran berita bohong dan penyalahgunaan media sosial oleh penggunanya
khusunya temuan kasus ujaran kebencian. Salah satu temuan kasus jeratan hukum
UU ITE dialami oleh seorang pasien yang berkeluh kesah terhadap pelayan rumah
sakit kepada temannya. kemudian tanpa diduga berdampak hukum dengan dijerat
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan berakibat harus menjalankan hukuman penjara. Dapat diketahui
bahwa penentuan tindak pidana pada kasus ini dan kasus serupa terkait
pelanggaran UU ITE, memiliki permasalahan dalam penentuan ujaran kebencian
atau pencemaran nama baik dengan pendapat seorang konsumen yang merupakan
hak setiap manusia (4).
Media sosial yang juga dimanfaatkan sebagai penyebaran informasi
khsusnya dari individu kepada individu lainnya merupakan aktivitas media sosial
yang umum menjadi interaksi terbuka dan dirasa dekat (5). Adanya kolom
komentar dan interaksi aktif setiap platform media sosial membuat bentuk
pelanggaran kejahatan ujaran kebencian muncul sebagai risiko bagi setiap
pengguna. Peran pemerintah yang menjadi pelaksana pemenuhan hak asasi
manusia bagi tiap penduduk diwujudkan melalui langkah preventif dan solutif dari
penerapan hukum yang mengikat. Langkah ini dinilai lebih tanggap dan mampu
memahami kebutuhan masyarakat. Sehingga, media sosial dengan konteks kritik
memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang khusunya bagi masyarakat.
Digunakan sebagai sarana yang paling cepat dalam mendapat tanggapan kegiatan
komunikasi, juga sebagai ancaman bahaya jeratan hukum tanpa diketahui
perbedaan–perbedaan penting atau langkah mana yang merupakan sebuah
kejahatan.
4.2. Upaya Masyarakat Pengguna Sosial Media
Sebagai control pemerintahan, rakyat dapat memberikan bentuk penerapan
suatu hukum atas peraturan penggunaan sosial dengan tetap harus berpendapat
dan menyampaikan kritik yang berguna bagi kemajuan pemerintahan. Diketahui
juga bahwa, presiden telah meminta masyarakat agar lebih kritis dalam
melakukan kritiknya kepada pemerinah (6). Presiden dalam permintaannya juga
menyampaikan syarat agar tidak asal bunyi, sehingga kritik tersebut berdasar dan
mampu dipertanggung jawabkan. Selain itu, penyampaian kritik yang sopan, jauh
dari ucapan kasar, dan disertai dasar yang kuat juga harus diikuti dengan beberapa
teknik yang telah dilakukan beberapa kritikus bahkan pelaku seni. Tanpa
menyebut nama tokoh, instansi, dan lembaga serta disampaikan secara halus dan
diselipkan dalam karya merupakan langkah yang dipilih sebagai langkah aman
namun kreatif dan cerdas. Penyampaian ini juga diikuti beberapa masyarakat
dalam beropini, sehingga langkah yang dilakukan akan aman dan mampu bebas
dari ancaman hukum yang menghantui..
5. PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Penyampain kritik dan saran menjadi hal yang sensitif ketika dilaksanakan
tanpa memperhatikan etika kesopanan dan hukum yang berlaku. Kritik yang
disampaikan secara virtual dapat lebih mudah menjerat pelakunya baik secara
hukum maupun sosial. Pendapat dan kritik yang disampaikan secara terbuka
melalui media sosial adalah bukti tertulis yang dapat dijadikan alat bukti hukum
jika terdapat pihak yang tidak berkenan atau melanggar UU ITE. Namun,
kecepatan respon dan jangkauan yang luas sangat membantu dalam penyelesaian
masalah yang dialami masyarakat oleh pemerintah. Maka, diketahui bahwa
pengaruh kritik dan opini melalui media sosial memiliki pengaruh positif dan
negative bagi masyarakat.
5.2. SARAN
UU ITE sebagai peraturan dalam menggunakan sosial media pada
khususnya, sebaiknya harus memiliki batasan jelas dan dapat dipahami
masyarakat atas kategori kejahatan yang diatur di dalamnya. Sehingga UU ITE
daoat menjadi pedoman dan bukan ancaman dalam kritik dan opini bagi suatu
fenomena yang salah contohnya pada pelayanan fasilitas publik. Masyarakat yang
cerdas diharapkan terus melakukan evaluasi terhadap diri sendiri atas perilaku di
media sosial sehingga tercapai lingkungan yang semakin baik dan sesuai dengan
harapan masyarakat secara luas.

Referensi
1. Komnas HAM. Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2009.
232 p.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum. DprGoId [Internet]. 1998;1. Available from:
http://www.dpr.go.id/jdih/index/id/467#:~:text=- Kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka,Universal Hak-hak Asasi
Manusia.&text=- Dasar hukum undang-undang ini,28 Undang-Undang
Dasar 1945.
3. Marwadianto M. Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. J
HAM [Internet]. 2020;11(1):1–4. Available from:
https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/view/976/pdf
4. Mawarti S. FENOMENA HATE SPEECH Dampak Ujaran Kebencian.
Toler Media Ilm Komun Umat Beragama. 2018;10(1):83.
5. Fadilah Raskasih. BATASAN KEBEBASAN BERPENDAPAT
MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF HAM
DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA MENURUT UU ITE. J
Chem Inf Model. 2013;53(9):1689–99.
6. Mawaza JF, Khalil A. Masalah Sosial dan Kebijakan Publik di Indonesia
(Studi Kasus UU ITE No. 19 Tahun 2016). J Gov Innov. 2020;2(1):22–31.

Anda mungkin juga menyukai