Anda di halaman 1dari 7

Review Orasi Ilmiah Prof.

Eni Maryani:

Kajian Kritis Media: Sebuah Refleksi Demokratisasi Komunikasi

Isu Demokratisasi media agaknya menjadi isu yang perlu diperhatikan bagi praktisi
komunikasi di Indonesia. Media adalah corong infromasi bagi masyarakat di era
demokrasi pasca reformasi. Keterbukaan Informasi Publik, Partisipasi masyarakat
pada setiap kebijakan publik yang digulirkan oleh pemerintah, semuannya berawal dari
media yang menyiarkan informasi dari ruangan eksekutif pembuat kebijakan kepada
ruang-ruang publik untuk dimplementasikan.

Prof. Eni menggarisbawahi pentingnya demokratisasi media di Indonesi menjadi


sebuah urgensi karena kebijakan publik yang murni tidak dapat dihasilkan kecuali
diinformasikan pada warga negara dan kompetensi warga negara harus didasarkan
pada partisipasi demokratis yang terinformasi. Media adalah supplier informasi bagi
segenap masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Namun realitanya media
terkoneksi dengan kepentingan para pemilik media, para konglomerat yang dekat
dengan dunu politik. Denis McQuail juga pernah menyampaikan pendapatnya bahwa
Kebebasan media massa atau pers harus diarahkan agar dapat memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat dan khalayaknya, bukan hanya sekadar untuk membebaskan
media massa dan pemiliknya dari kewajiban harapan dan tuntutan masyarakat.
(McQuail, 2000)

Realitas merupakan sesuatu yang tidak terkonstruksi secara alamiah, melainkan


dibentuk oleh nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan yang dominan.
Hal tersebut juga dipengaruhi motif untuk keuntungan daripad para pemilik modal, para
kapitalis yang memiliki media. Masyarakat tidak lagi punya kuasa untuk mengendalikan
informasi yang beredar, sehingga perlu dimunculkan Kembali wacana untuk
mendemokratisasi media.

Orasi Ilmiah Prof. Eni menggambarkan bahwa media saat ini memang tumbuh sesuai
dengan cita-cita reformasi. Adanya kebebasan untuk menyampaikan informasi, tidak
lagi terbelenggu oleh kelompok kekuasaan yang bisa dengan mudah mengatur konten
yang beredar. Kebebasannya didapatkan, namun tidak dengan keebermanfaatan
konten di dalamnya. Masih banyak konten yang mengandung realita yang dibentuk
secara terstruktur oleh pemilik media sesuai dengan kepentingannya.
Selain itu, aspek penting dalam orasi ilmiah Prof. Eni adalah distorsi konten media
karena berkiblat pada rating semata. Produksi konten dilandaskan pada kepentingan
untuk meraih rating bagus demi mencapai target keuntungan finansial. Begitu juga
dengan metodologi yang dilakukan untuk mengevaluasi konten media.
Keberlangsungan konten atau sebuah program media sangat tergantung pada Rating
yang dihasilkan AGB Nielsen.

Riset Nielsen jelas terbatas. Penjabaran data hanya bersifat kuantitatif tanpa adanya
triangulasi terhadap kualitas data. Selain itu, sampel hanya diambil di kota besar di
Indonesia yang rasanya tidak bisa menjadi sampel yang mewakili persepsi penonton di
seluruh sudut Tanah Air. Hal tersebut membuat kualitas konten televisi mengalami
degradasi. Tanpa melupakan pengguna media yang aktif untuk memilih konten media
untuk kepuasannya seperti yang diterangkan dalam Teor Uses and Gratification milik
Herbert Blumer dan Elihu Katz atau konsep dominant reading, negotiative reading dan
oppotitional reading dari Stuart Hall seperti yang diungkapkan oleh Prof. Eni dalam
orasinya, konten-konten di media konvensional semakin tidak sesuai dengan
kebutuhan public akan informasi yang berkualitas.

Kajian dari paradigma kritis yang dilakukan oleh Prof. Eni membuka pandangan kita
sebagai insan komunikasi untuk melihat aktivitas media dari sudut pandang yang
berbeda. Riset komunikasi yang berobjek pada media massa sudah seharusnya
memasuki level dan sudut pandang yang baru. Riset seharusnya berfokus pada
ideologi dan juga kedudukan hegemoni media dari sudut pandang kritis, tidak hanya
riset untuk menggambarkan proses produksi konten yang dilakukan oleh media.

Solusi untuk menghasilkan kkonten media yang berkualitas adalah dengan


mengdepankan produksi media local. Sulit untuk meningkatkan kualitas produksi
konten di media local karena ada keterbatasan ekonomi di sana. Bahkan ada
beberapa saluran media local yang dibeli oleh media nasional yang sudah besar dan
disulap menjadi Stasiun Siaran JAringan. Kebijakan pemerintah lewat UU Cipta Kerja
juga semakin membuat Produksi Media Lokal atau komunitas sulit bersaing.

Sebagai Penutup, penulis mendukung gagasan dalam orasi Ilmiah Prof. Eni untuk
menyadarkan Masyarakat sipil dan publik perlu disadarkan, diperkuat dan didorong
untuk terus terlibat dan mengembangkan gerakan sosial berbasis solidaritas untuk
mendorong media menjalankan fungsi-fungsinya. Sistem Penyiaran Nasional
seharusnya tetap beroperasi melalui Stasiun Siaran Jaringan dan Lokal. Sistem
penyiaran jaringan dan lokal dapat mendorong berkembangnya bisnis media di tingkat
lokal dan tidak mengabaikan kebutuhan lokal. Berdasarkan sistem demokrasi dan
otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia maka setiap daerah perlu memiliki
saluran komunikasi politik dan publik yang sesuai dengan publik daerahnya masing-
masing.
Review Orasi Ilmiah Prof. Atwar Badjari

UJARAN KEBENCIAN DAN KONFLIK IDENTITAS:

Mengupayakan Komunikasi Dialektis dalam Media Sosial

Hoax, ujaran kebencian, dan juga perbenturan indentitas marak terjadi belakangan ini.
Sejak Pemilihan Presiden 2019 tren ujaran kebencian naik secara kuantitas maupun
kualitas. Pada Pilpres 2019 konflik terbagi antara pendukung Jokowi - Ma’aruf Amin
dan Prabowo – Sandiaga Uno. Ujaran kebencian terus berlangsung hingga pasca
Pilpres, bangsa Indonesia seolah terbelah ke dalam 2 kelompok kecebong dan
kampret

Pertumbuhan hoax dan ujaran kebencian yang ada di media sosial diprakarsai politik
electoral yang mengedepankan pesan utama kampanye dalam bentuk politik identitas.
Salah satu konteks yang mendorong hasutan negatif adalah kebiasaan para
pendukung untuk mengedepankan politik identitas sebagai upaya menarik simpati
khalayak dan penggunaan frasa identitas ini membentuk sikap in-group dan out-group
yang ekstrim dan mengakibatkan permusuhan antar pihak. Kemunculan ini tidak
terlepas karena adanya rasa ketidakadilan untuk persamaan hak yang di klaim oleh
masing-masing golongan. Secara hukum hate speech atau ujaran kebencian adalah
perilaku, perkataan, tulisan ataupun pertunjukan yang memicu konflik dan prasangka.
Menurut walter, ujaran kebencian adalah bagian dari kriminalitas kebencian.

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Atwar Bajari meminjam dua teori untuk menganalisa
fenomena hoax dan hatespeech yang berkembang di media sosial, terutama terkait
dengan politik electoral. Ada teori kebebasan berekspresi yang mendorong seseorang
untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Teori ini menjelaskan tingkah laku
seseorang yang memberikan kebebasan berbicara Lalu ada Teori Pencucian Informasi
di mana ujaran kebencian merupakan sebuah fitnah yang dirangkai sedemikian rupa
sehingga terlihat menjadi sebuah fakta.

Prof. Atwar menggarisbawahi bahwa ujaran kebencian di media sosial yang berbau
identitas timbul Karena ragamnya identitas yang ada di Indonesia, baik itu berbentuk
agama, ras, dan juga keberpihakan politik. Masinig-masing merasa tidak diperlakukan
dengan adil dan merasa paling menderita. Situasi ini semakin terbuka ketika di
sampaikan melalui media sosial.
Solusi yang ditawarkan oleh Prof.Atwar adalah dengan menghadirkan komunikasi
dialektika di ruang media sosial. Komunikasi dialektika merupakan kegiatan yang
menekankan dialog dan penyelesaian dengan memanfaatkan pertukaran pemahaman
dan informasi. Konflik antar kelompok yang terjadi harus diselesaikan lewat dialog dan
negosiasi , dan mesti juga menghargai perbedaan, ujaran kebencian sudah menjadi
fakta sosial, yang dimana selama perbedaan yang ada tidak di diskusikan diatas
kepentingan golongan, maka akan sulit mengurangi munculnya kebencian dalam
ruang publik.

Pengalaman penulis sebagai tenaga ahli Bidanng Humas Polda Jawa Barat membuat
penulis cukup memahami isu terkait penyebaran ujaran kebencian di media sosial. Hal
tersebut menjadi salah satu misi yang diemban oleh Bidang Humas Poldaa Jawa Barat
untuk melakukan media monitoring terkaait ujaran kebencian untuk menjaga
konduktivitas masyarakat. Mereka mengumpulkan ujaran kebencian yang beredar
untuk kemudian diproses ke unit cyber crime.

Penegakan hukum beserta rangkaian prosesnya memang penting. Namun dari orasi
ilmiah Prof. Atwar, agaknya Komunikasi Dialektika menjadi salah satu jalan yang bisa
ditempuh agar bisa menciptakan situasi kondusif di tengah masyarakat. Proses hukum
semata akan menimbulkan rasa ketidakadilan di satu kelompok dan timbul keinginan
untuk melakukan upaya balasan. Mengutip lagi dari orasi Ilmiah Prof. Atwar, ujaaran
kebencian banyak diawali dari rasa ketidakadilan di salah satu kelompok. Hal ini bisa
menjadi lingkaran setan yang tak kunjung usai jika pencegahan ujaran kebencian
hanya dilakukan lewat penegakan hukum.
Review Orasi Ilmiah Prof. Ninis Agustini Damayani

LITERASI MITIGASI BENCANA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Pengetahuan mengenai bahaya yang bisa ditimbulkan bila terjadi bencana harus
dipahami oleh seluruh lapisan masyakat, khususnya masyarakat yang tinggal di
wilayah rentan bencana. Kawasan rentan bencana alam adalah kawasan yang sering
atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Perlindungan terhadap kawasan
rentan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari
bencana yang disebabkan oleh alam

Maka dari itu literasi mitigasi bencana perlu dilaksanakan secara sinergi antara
pemerintah dan masyarakat. Pendekatan literasi ini bisa dilakukan dengan cara yang
dekat dengan kearifan lokal. Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang diajarkan
leluhur secara turun menurun. Salah satu contohnya, seperti pikukuh dari Suku Baduy
yang menjadi cara melestarikan ekosistem, kebiasaan masyarakat Rote Ndao yang
berteriak AMI NAI IA O saat terjadi gempa bumi dan berlari keluar mencari tempat
berlindung, serta nyanyian Smong di Simeulue yang meminimalisir jumlah korban
tsunami Aceh tahun 2004. Kearifan lokal hasil pikir manusia yang bernilai positif perlu
dilestarikan agar generasi berikutnya mengetahui, memahami, dan mengembangkan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Tradisi lokal atau kearifan local merupakan sumber
pengetahuan yang sarat dengan nilai kehidupan dan masih menjadi sumber informasi
terpercaya bagi masyarakat yang masih memegang kuat adat istiadat leluhur.

Jawa Barat bagian selatan merupakan wilayah yang paling memiliki resiko bencana
alam terutama tsunami yang sangat tinggi. Meliputi pangandaran, Tasikmalaya, Garut,
Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi. Dari lima kabupaten tersebut 105 desa di 28
kecamatan memiliki potensi terbesar terpapar tsunami karena bersinggungan langsung
dengan pantai. Jawa barat juga memiliki beberapa kearifan lokal terkait alam sekitar,
salah satunya adalah Prosesi Seni Badud dan Prosesi Hajat Laut di Pangandaran.
Prosesi Seni Badud mengandung pesan mitigasi bencana bagaimana cara bertani
tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan. Bila bertani tanpa mempertimbangkan
kelestarian alam maka akan berakibat gagal panen. Tradisi seni badud yang
menyampaikan pesan moral, sosial, dan spiritual dari doa dan syair. Hal ini
disampaikan sebagai piwuruk bahwa hidup di dunia hanya sementara, maka dalam
menjalani hidup harus selaras dan seimbang. Di sisi lain, Prosesi hajat laut merupakan
tradisi bentuk rasa syukur kepada tuhan yang maha kuasa yang telah membagikan
limpahan rezeki yang bersumber dari laut. Nelayan Pangandaran akan memberikan
hasil tangkapan laut, ternak, atau hasil kebun yang diletakkan di papan hajat laut.
Sebelum prosesi akan dilaksanakan tawasulan (doa bersama), dan nasehat dari tokoh
masyarakat tentang bagaimana berperilaku baik dalam hidup bermasyarakat termasuk
menjaga laut agar terhindar dari bencana yang datang dari laut.

Tokoh adat dan tokoh agama menjadi komunikator, menggunakan pesan verbal dan
non verbal (karena banyak simbol simbol yang digunakan dalam kedua tradisi
tersebut). Media yang digunakan adalah Seni Badud dan Hajat Laut yang disampaikan
melalui komunitas/masyarakat adat. Serta diharapkan dapat menimbulkan efek mereka
mengetahui, memahami, dan dapat mengimplementasikan pengetahuan tentang
implementasi bencana, serta pencegahan dan penanggulangannya menggunakan
kearifan lokal.

Strategi komunikasi yang efektif mesti dijalankan dengan memadukan nilai-nilai


kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat. Kegagalan komunikasi antara
pemerintah dan masyarakatnya umumnya disebabkan oleh ketidakpekaan pemerintah
dalam membangun komunikasi yang berbasis local wisdom tersebut.

Anda mungkin juga menyukai