Anda di halaman 1dari 228

Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Komunikasi Politik di Dunia Virtual

@ Yusrin Ahmad Tosepu


Media Baru dalam Komunikasi Politik (Komunikasi Politik di Dunia Virtual)

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga
tanpa izin tertulis dari penulis

Cetakan I, November 2017


Penulis : Yusrin Ahmad Tosepu
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

MEDIA BARU DALAM KOMUNIKASI


POLITIK
(Komunikasi Politik di Dunia Virtual)
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

KATA PENGANTAR

Media sosial atau medsos menjadi fenomena yang makin mengglobal.


Keberadaannya makin tidak dapat dipisahkan dari cara berkomunikasi
antarmanusia. Media sosial sebagai bentuk media baru, merupakan teknologi
informasi dan komunikasi dengan konteks sosial yang berhubungan dan
menyatukan tiga elemen: alat dan artefak teknologi; aktivitas, praktik, dan
penggunaan dan tatanan serta organisasi sosial. Beragam paradigma komunikasi
muncul. Ada model komunikasi yang sifatnya satu arah, di mana satu pihak
memberikan informasi kepada pihak lain, ada pula model komunikasi yang
sifatnya partisipatoris, di mana pihak-pihak yang berkomunikasi melakukannya
secara dialogis. Pada model partisipatoris, pengguna medsos saling berbagi
informasi, pendapat, pandangan, pengetahuan, pengalaman, keinginan dan
membangun kerangka tindakan untuk mencapai kemajuan bersama.

Media baru memberi kontribusi yang besar bagi demokrasi. Kontribusi tersebut
berupa terbentuknya ruang publik yang universal, bisa diakses oleh siapa saja.
Sehingga masyarakat tidak mengalami hambatan untuk menyuarakan
aspirasinya. Di sisi lain, media baru mengubah komunikasi politik yang selama ini
cenderung top-down, menjadi bottom up dan decentralized. Pemerintah makin
membuka ruang bagi masyarakat lewat program e-government untuk
meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Perubahan ini pada
akhirnya akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik
merupakan modal bagi terwujudnya demokrasi yang substantif bagi suatu
bangsa.

Hadirnya media sosial melahirkan peradaban baru dalam komunikasi politik


termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocracy,
cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan
partisipasi politik. Fenomena komunikasi politik yang tak lagi terbatas pada
ruang-ruang fisik dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Menjadi
dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.
Kondisi itu tentu menjadi tantangan bagi setiap parpol, politisi dan lembaga
politik lainnya untuk segera melakukan inovasi meraih dukungan politik dari
kalangan muda atau biasa disebut generasi millennial yang termasuk
masyarakat swing voters. Millennials adalah aktor utama Indonesia masa kini dan
masa depan.

Di Indonesia, jumlah millennials 61,8 juta atau sekitar 24,5 persen dari total
jumlah penduduk. Jumlah terbesar dan sudah melampai jumlah generasi-
generasi sebelumnya. Karakter utama yang melekat pada Generasi Millennial,
yaitu Connected,Creative,dan Confidence (3C). Connected, mereka adalah
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pribadi yang pandai bersosialisasi, aktif berselancar di media sosial dan internet.
Sangat fasih menggunakan Facebook, Twitter, Path, dan Instagram maupun
Media sosial yang lain. Kedepan kiprah generasi ini akan mempengaruhi berbagai
lini, termasuk akan menciptakan budaya politik baru dan kepemimpinan masa
depan.

Buku ini bermanfaat dan menjadi awal untuk menyusun strategi, melakukan
evaluasi, meningkatkan kinerja parpol, politisi dan lembaga politik lainnya dalam
membangun komunikasi politik di era media baru. Menyampaikan konten
konten informasi politik secara efektif dan efisien. Membangun komunikasi
partisipatoris dengan publik dan seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan
spirit Membangun Kualitas Politik dan Demokrasi yang lebih baik, maka akan
mendorong bangsa kita kepada kemajuan dan daya saing bangsa ini dimasa
mendatang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada
pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Tentunya buku ini akan
berarti apabila dibaca, dipahami, diaplikasikan dan terus disempurnakan.

Makassar, November 2017

Yusrin Ahmad Tosepu


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

SPIRIT PENERBITAN BUKU

Masyarakat global tidak bisa dipisahkan dari infiltrasi aplikasi-aplikasi media


sosial. Dalam sejarah perjalanan medsos, beragam aplikasi datang dan pergi. Ada
yang hilang dari dunia maya, namun ada yang terus bertahan karena dibutuhkan
dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Apa yang membuat medsos terus
dibutuhkan masyarakat? Salah satu kata kuncinya adalah karena kekuatan
informasi, komunikasi, dan jejaring sosial yang terkandung di dalamnya.

Saat ini Indonesia telah menjadi pengguna Teknologi Informasi Komunikasi (TIK)
terdepan di dunia. Jumlah pemakai internet di Indonesia mencapai 70 juta atau
28% dari total populasi. Pemakai medsos seperti Facebook berjumlah sekitar 50
juta atau 20% dari total populasi, sementara pengguna Twitter mencapai 40 juta
atau 16% dari total populasi. Angka-angka di atas dari tahun ke tahun bakal terus
bertumbuh, karena ditopang oleh basis pemakai mobile/telepon seluler dan
internet yang besar.

Media sosial telah menjadi energi baru yang membuat kekuatan sipil tumbuh
menjadi “Daud” sosial-politik yang mampu menandingi supremasi “Goliath”
kekuasaan. Media sosial membuat masyarakat sipil lebih mudah menjalankan
perannya sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan dan penyangga negara.
Namun, di sisi lain, potensi positifnya ini paralel dengan potensi negatifnya untuk
mencederai dan melemahkan demokrasi. Ini sisi gelap media sosial yang bukan
hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara-negara besar.

Media sosial juga dimanfaatkan secara kreatif oleh pemilih sebagai alat
partisipasi politik yang baru. Hoax merupakan implikasi tak terpisahkan dari alat
partisipasi politik baru yang bernama media sosial ini. Potensi terjadinya konflik
sosial-politik semakin mudah karena difasilitasi secara maya. Media sosial alat
yang sangat potensial untuk memperkuat sekaligus memperluas demokrasi yang
mengalami krisis partisipasi.

Pemerintah, parpol, politisi, dan lembaga politik lainnya harus mengambil dua
peran sekaligus. Pertama, memanfaatkan medsos untuk berkomunikasi dengan
masyarakat. Berkewajiban untuk mensosialisasikan program, kebijakan dan
memberi jawaban atas kepentingan serta keingintahuan publik mengenai dunia
politik. Peran kedua, menggunakan medsos sebagai sarana pemasaran politik.
Demi peningkatan dua peran tersebut, maka Pemerintah, parpol, politisi dan
lembaga politik lainnya untuk membangun kompetensi pemanfaatan medsos
dengan baik dan benar. Targetnya, membangun jaringan komunikasi politik yang
memberikan wawasan politik dalam kehidupan bernegara. Program, kebijkan,
Ide, gagasan politik yang menawarkan nilai perubahan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

TUJUAN PENERBITAN BUKU

Perkembangan new media, diperkuat dengan semakin banyaknya media sosial


seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif dalam
jalinan komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruang publik baru (new public sphere)
dengan menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern
sudah tak terbantahkan lagi. Ramainya penggunaan internet melahirkan
peradaban baru komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi
baru seperti cyberdemocracy, cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan
gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Hadirnya media baru menjadi
dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.

Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen


seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru
yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang
mudah dan interaktif. Penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin
intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang
terjadi di era globalisasi informasi. Banyaknya aktor politik yang juga memiliki
akun di Facebook, Twitter, dan sejumlah sosial media lain menandakan
fenomena pencitraan dan kampanye politik tidak bisa dihindari dalam laju
perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, proses
komunikasi politik yang dikembangkan haruslah bersifat interaktif dialogis
dengan membangun partisipasi publik; bersifat searah, komando dan
paternalistik. Munculnya media sosial di ranah politik, mendorong para politisi,
parpol, lembaga politik lainnya mengambil peran strategis dan taktis dalam
membangun partisipasi politik masyarakat. Mengarahkan penggunaan Media
sosial pada target terciptanya suatu masyarakat digital berbasis pengetahuan
(knowledge based society) yang benar. Jika masyarakat berbasis pengetahuan itu
terbentuk, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi dan
pengetahuan di media sosial secara cerdas dan tepat.

Dalam konteks komunikasi politik modern, media sosial tidak hanya menjadi
bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik.
Program, kebijakan harus disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut
mendiskusikannya dalam berbagai bentuk forum diskusi publik di media sosial.
Tuntutan atau aspirasi masyarakat yang beraneka ragam harus diartikulasikan.
Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya. Media
sosial merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk
kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media sosial
yang dapat mengangkat pesan pesan (informasi dan pencitraan) secara masif
dan terdistribusi menjangkau khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan
terpencar luas. Pesan politik melalu media sosial akan sangat kuat
mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pentingnya komunikasi politik dan perilaku politik dalam menunjang


keberhasilan pembangunan politik di negeri ini. Asumsi umum menunjukkan
bahwa demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena terdapat
partisipasi warga negara yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi
aktif mereka dalam kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan
informasi, dan saluran atau media yang paling efektif untuk penyebaran
informasi adalah media sosial. Hadirnya media sosial bisa turut memperbaiki
kualitas komunikasi politik dalam demokrasi kita. Pemanfaatan media sosial oleh
para politisi, parpol, lembaga politik lainnya dan masyarakat umum secara
optimal dapat meningkatkan partisipasi politik dan kualitas demokrasi di negeri
ini. Hal ini meneguhkan penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan
dalam praktik politik modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi
elektoral seperti sekarang.

Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi
ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis. Hadirnya Media baru
dalam komunikasi politik memposisikan kajian ilmu komunikasi dan
pemanfaatan media sosial menjadi sangat perlu dipahami sekaligus strategis
untuk dikuasai dan diimplementasikan. Buku ini secara rinci membahas
komunikasi politik di era media baru, mulai dari definisi media sosial, etika
bermedia sosial, komunikasi politik dan strategi komunikasi di media sosial, dan
generasi millennial dalam pusaran politik. Selain itu, juga secara memadai
mengulas pemanfaatan media baru dalam komunikasi politik, dan buzzer media
sosial dalam komunikasi politik.

Buku ini menarik untuk dibaca dan didalami baik oleh akademisi, praktisi politik,
jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama untuk mereka yang memerlukan
“kode kunci” yang akan mengantarkan pembaca pada ranah era baru dalam
komunikasi politik yang dinamis.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR ISI

BAB I KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU 1


A. Media Baru Dalam Komunikasi Politik 1
B. Partisipasi Politik Dan Demokrasi 7
C. Komunikasi Politik Dan Generasi Millennial 10

BAB II PENGERTIAN MEDIA SOSIAL. PERKEMBANGAN


DAN ETIKA BERMEDIA SOSIAL 16
A. Media Sosial 16
B. Manfaat Media Sosial 28
C. Media Sosial Di Indonesia 30
D. Konsep Media Sosial 39
E. Pentingnya Etika Dalam Bermedia Sosial 53

BAB III PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK DAN STRATEGI


KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU 59
A. Komunikasi 59
B. Komunikasi Politik 63
C. Hakikat Komunikasi Politik 65
D. Tujuan Komunikasi Politik 71
E. Komunikasi Politik Dalam Strategi Kampanye Politik 77
F. Media Sosial Dalam Berbagai Tingkatan Komunikasi 85
G. Strategi Komunikasi Politik Di Era Media Baru 86

BAB IV MEDIA BARU DAN TRANSFORMASI KOMUNIKASI


POLITIK DI INDONESIA 100
A. Era Baru Komunikasi Politik 100
B. Peran Media Baru Dalam Komunikasi Politik 101
C. Media Baru Dan Demokratisasi Di Indonesia 107
D. Media Baru Dan Transformasi Komunikasi Politik 113
E. Penggunaan Media Baru Dalam Komunikasi Politik 118
F. Cyberpolitic Bagi Dunia Politik 121

BAB V MEDIA SOSIAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK


DI INDONESIA 126
A. Perkembangan Media Komunikasi Politik
Di Indonesia 126
B. Media Sosial Sebagai Pendukung Jaringan
Komunikasi Politik 131
C. Media Sosial Dalam Ranah Komunikasi Politik 141
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

D. Peran Media Sosial Dalam Membangun


Kekuatan Politik 153
E. Pengaruh Media Sosial Dalam Membangun
Kekuatan Politik 157
F. Demokrasi Dan Hoax 160
H. Buzzer Dalam Komunikasi Politik 163
I. Masa Depan Media Sosial Dalam Komunikasi Politik 177

BAB VI GENERASI MILLENNIAL DAN KOMUNIKASI POLITIK 182


A. Mengenal Generasi Millennial 182
B. Teori Generasi Strauss-Howe 184
C. Generasi Millennial Dan Kontribusi Politik 190
D. Generasi Millennial Dan Perubahan Kultur Politik 199
E. Berebut Pemilih Millennial 203

DAFTAR PUSTAKA 206


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aplikasi media sosial 43


Tabel 2. Penggunaan Media (saluran) dalam
Komunikasi Politik 74
Tabel 3. Tipologi Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan 108
Tabel 4. Stratifikasi Stratifikasi Politik dan Penggunaan
Media Sosial 140
Tabel 5. Perbedaan Iklan dan publikasi 166
Tabel 6. Generasi yang Masih Hidup 185
Tabel 7. Diagonal Generasi 186
Tabel 8. Archetypes 186
Tabel 9. Mood dari Empat Turnings 188
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model pola – pola media komunikasi politik 74


Gambar 2. Annual Growth Pengguna Media Sosial di Dunia 122
Gambar 3. Akses Digital Generasi Milenial 191
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

PROLOG

Media baru telah menghadirkan gelombang demokratisasi. Digunakan sebagai


saluran komunikasi politik yang mengkristal dalam kampanye politik dan
pembentukan opini publik. Sejak tahun 1997, internet sudah digunakan sebagai
saluran online campaign dan terus berkembang, seiring perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dengan internet komunikasi
politik menjadi lebih interaktif dan tidak dibatasi lagi oleh hambatan seperti
waktu dan tempat. Hal ini semakin terasa di saat tahun 2008 dan pemilihan
presiden 2014 lalu. Banyak komunikator politik yang menggunakan situs jejaring
sosial sebagai saluran komunikasi politiknya.

Gelombang demokratisasi berbasiskan media baru terus berkembang seiring


dengan penggunaan situs jejaring sosial, dimana dimulai dari ruang publik
menjadi aksi politik. Ini merupakan wujud dari kebebasan politik dan komunikasi
yang terkristalisasi dalam wujud nyata yaitu aksi politik. Modal politik (the
political capital) yang besar ini, sebaiknya terus dijaga oleh pemerintah dengan
cara menghapus semua peraturan yang sekiranya dapat membatasi kebebasan
politik dan di masa mendatang pemerintah dapat merumuskan regulasi media
baru yang lebih baik seiring dengan semangat demokratisasi (the spirit of
democratization). Dengan hal itu semua, keyakinan penulis, di masa mendatang
Indonesia akan jadi negara demokrasi yang lebih besar, setara dengan negara-
negara maju seperti Amerika.

Media baru memberi kontribusi yang besar bagi demokrasi. Kontribusi tersebut
berupa terbentuknya ruang publik yang universal, bisa diakses oleh siapa saja.
Sehingga masyarakat tidak mengalami hambatan untuk menyuarakan
aspirasinya. Di sisi lain, media baru mengubah komunikasi politik yang selama ini
cenderung top-down, menjadi bottom up dan decentralized. Pemerintah makin
membuka ruang bagi masyarakat lewat program e-government untuk
meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Perubahan ini pada
akhirnya akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik
merupakan modal bagi terwujudnya demokrasi yang substantif bagi suatu
bangsa.

Fleksibilitas pemanfaatan media sosial tidak dibatasi oleh status status sosial,
ekonomi dan politik yang ada di masyarakat. Media sosial memiliki kemampuan
dalam kecepatan menyampaikan pesan kepada khalayak atau pengguna media
sosial lainnya karena dukungan teknologi komunikasi yang mampu menjangkau
khalayak lebih luas dan lebih cepat. Keunggulan ini meminggirkan pemberitaan
media massa arus utama, yang memerlukan proses panjang dan verifikasi
keseimbangan informasi dari sumber pesan yang dipercaya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan media sosial harus sejalan dengan upaya memberikan informasi


yang benar, tidak mengabaikan etika dan kebenaran informasi sebelum
dipublikasikan atau diteruskan kepada khalayak. Dalam hal keluasan jangkauan,
media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk membangun jaringan komunikasi
politik yang memberikan wawasan politik dalam kehidupan bernegara yang
berkeadilan. Hal yang perlu dilakukan pemerintah, parpol, politisi dan lembaga
politik lainnya adalah pengelolaan kanal komunikasi secara optimal untuk
menyampaikan informasi, program kegiatan dan lain sebagainya kepada
masyarakat. Pengelolaan konten yang baik, melalui penyusunan agenda setting
dan dapat digunakan untuk melawan hoaks. Membangun komunikasi secara
jujur, transparan kepada masyarakat. Menyemai informasi nilai atau gagasan,
mempromosikan kebajikan, prinsip atau gagasan yang menawarkan nilai
perubahan.

Komunikasi politik, melalui struktur berjenjang yang dimiliki partai politik


dituntut mampu membangun komunikasi, isu, dan gagasan politik. Kaitan
dengan perbaikan proses menuju terciptanya kehidupan yang demokratis dan
meningkatkan derajat kualitas kepercayaan masyarakat kepada parpol sebagai
salah wadah yang konstitusional yang dapat mewujudkan bersama pengambil
kebijakan atas permasalahan, kebutuhan dan kepentingan bangsa serta negara.
Komunikasi politik yang mutualis baik dengan internal partai politik (elit partai,
anggota, relawan) maupun dengan pihak terkait hendaknya senantiasa dilandasi
pola pikir, sikap, tindakan yang membuahkan nilai dan budaya politik dinaungi
etika moral yang luhur. Komunikasi politik kepada publik atau pihak luar dengan
mengikuti perkembangan teknologi informasi melalui website, jejaring media
sosial (facebook, trwitter, dan sebagainya).

Penggunaan media sosial untuk aktifitas komunikasi politik merupakan salah satu
strategi merangkul kaum muda (millennials) untuk aktif terlibat dalam kegiatan
politik. Pelibatan dan pemberian ruang yang lebih besar kepada generasi milenial
untuk lebih jauh terlibat dalam soal-soal kehidupan berbangsa dan bernegara
(politik kebangsaan) menjadi mutlak adanya. Sebab di tangan mereka peradaban
politik dan kebangsaan kita sebenarnya tengah disusun. Baik atau tidaknya,
sejalan tidaknya dengan visi kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan para pendiri
bangsa ini ditentukan oleh bagaimana interaksi antar generasi-antar zaman.
Generasi milenial sebagai generasi penerus masa depan Indonesia dalam
transformasi yang sesuai dengan visi hidup berbangsa dan bernegara Indonesia
beserta segala dinamikanya.

Pemerintah, parpol harus bisa menciptakan iklim kreatif bagi generasi millennial
yang inspiratif, menggugah, dan berdaya ekonomi dalam semangat kebangsaan;
Memupuk kesadaran kontributif generasi muda milenial untuk pembangunan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bangsa; serta menumbuhkan kesadaran sosial, kesadaran kebangsaan,


nasionanalisme, dan semangat transformatif dalam menciptakan kebudayaan
yang produktif dan bermakna bagi kemajuan Indonesia. Millennials tidak hanya
dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan pragmatis semata.
Artinya, politisi, parpol, lembaga politik lainnya tidak boleh mereduksi idealisme
dan semangat generasi milenial kedalam kerangka dan paradigma politik jangka
pendek.

Mengakomodasi generasi milenial dalam setiap gerakan politik tidak sama


dengan memposisikan mereka sebagai obyek politik yang bisa dipakai sesuai
dengan agenda seting politik. Mengintegrasikan mereka kedalam gerakan politik
harus dilandasi oleh kepedulian dan kesadaran bahwa mereka merupakan
generasi masa depan bangsa. Merekalah agen-agen transformasi sosial. Mereka
bukanlah komoditas politik untuk memback-up hasrat parsial tertentu. Generasi
millennial harus diberi ruang untuk mengekspresikan potensi mereka. Dimotivasi
untuk mengelaborasi problem sosial secara komprehensif. Melibatkan mereka
dalam perpolitikan ataupun dalam konsolidasi ruang sosial-publik. Mereka
menjadi subyek yang dilibatkan dalam merancang agenda pembangunan.
Memperhitungkan kehadiran mereka akan mendatangkan efek elektoral yang
positif.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB I
KOMUNIKASI POLITIK
di ERA MEDIA BARU

Perkembangan global teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memicu


pertumbuhan komunikasi dunia maya, baik di kalangan pemerintah,
kelembagaan sosial politik, maupun di kalangan masyarakat. Perkembangan
komunikasi itu ditandai oleh pemanfaatan media baru sebagai media komunikasi
(new media). Komunikasi yang pada awalnya hanya sebatas proses interaksi
personal secara face to face, kini berkembang secara online melalui iternet. Salah
satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi adalah media baru (new
media) yang kemudian melahirkan media sosial (sosial media).

Salah satu komunikasi berbasis internet yang banyak digunakan adalah media
sosial. Media sosial adalah sebuah media online. Para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial,
wiki, forum dan dunia virtual. Ragam media sosial yang tengah berkembang dan
banyak diminati orang adalah Facebook, Myspace, dan Twitter, WhatsApp,
youtube, dsb. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media
broadcast, maka media sosial menggunakan internet.

Menurut Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun
2018, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 109 jutaan. Jumlah ini
menjadi salah satu potensi bagi peserta Pemilu baik secara lembaga ataupun
individu dalam menjaring massanya melalui media baru. 100 juta massa tersebut
akan diperebutkan oleh calon-calon yang akan berlaga di pentas politik nasional
untuk pilcaleg dan Pemilu presiden tahun 2091.

Perkembangan media online semakin pesat, terutama memfasilitasi masyarakat


dalam mengakses informasi dan jejaring sosial. Jejaring sosial inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh para kandidat politik untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat yang sudah melek media dan sering bersikap kritis
terhadap sebuah permasalahan. Pada praktiknya hal tersebut tidak akan mudah
karena muncul isu ataupun wacana baru yang lebih dikenal dengan seduksi
politik yakni kecenderungan politik di dunia virtual.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kehadiran media sosial juga mempengaruhi bidang politik. Studi di Amerika


Serikat menunjukkan media sosial alat kampanye yang efektif. Salah satu
contohnya yaitu Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menggunakan
media twitter. Dalam dua kali pemilihan presiden Amerika Serikat, Obama
menang dengan perolehan suara yang tinggi. Strategi kampanye Obama
menggunakan media sosial menjadi fenomena baru dalam sejarah kampanye di
Amerika. Walaupun bukan menjadi orang pertama yang melakukan kampanye
melalui internet, namun Obamalah merupakan presiden pertama yang sukses
menggunakan jejaring sosial, khususnya media sosial dalam aktifitas
kampanyenya (Rizky & Wulansari,2014:66).

Di Ghana, dua kandidat presiden menggunakan SMS dan Twitter untuk


mendulang suara. Ini merupakan kali pertama media sosial digunakan untuk
berkampanye di negara tersebut. Di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan
website untuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah berkuasa. Selain
itu Lembaga Swadaya Masyarakat membentuk jaringan untuk memonitor
pemungutan suara di 11 ribu bilik suara melalui SMS dan MMS. Hasilnya calon
petahana (incumbent) Robert Mugabe kalah, tetapi intervensi Mugabe membuat
Pemilu diulang dan dia menang (Riaz, 2010).

Media sosial merupakan teknologi yang bersifat praktis dan cepat sehingga dapat
dengan mudah digunakan oleh siapa pun. Karena sifat kepraktisannya, media
sosial pun menjadi pilihan bagi tokoh politik maupun pemerintah untuk
menginformasikan melalui media sosial. Penggunaan media sosial saat ini
digunakan sebagai alat komunikasi politik karena dianggap cukup efektif. Di era
demokratisasi, transparansi kebijakan pemerintah merupakan hal penting untuk
meraih kepercayaan dari masyarakat. Maka, selain penggunaan media massa
untuk menginformasikan program pemerintah, saat ini diperlukan pula
penggunaan media sosial. Penggunaan media sosial dapat menyentuh khalayak
secara individu. Penggunaan media sosial saat ini turut pula mempengaruhi
interaksi antara masyarakat dan pembuat kebijakan.

Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat
informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi juga terdistribusi dengan
cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor
politik di sejumlah negara memanfaatkan media sosial proses kampanye politik.
Selain itu media baru mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya
murah.

Partai politik di Indonesia sudah banyak yang memiliki akun Facebook, Twitter,
dan YouTube, di samping website resmi parpol. Sementara politisi-politisi
masing-masing memiliki akun pribadi. Program kerja, pendapat mengenai isu
terkini, atau pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya ringan, menanggapi
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mention dari masyarakat, adalah hal-hal yang umumnya tercantum dalam


linimasa Twitter para tokoh politik tersebut.

Media sosial memang menawarkan peluang bagi para aktor politik untuk bisa
menjaring pemilih, berinteraksi secara langsung dengan publik sekaligus
membentuk perbincangan yang “akrab” dengan publik. Tetapi di sisi lain, media
sosial juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan tertawaan atau bahkan
caci maki dari publik. Sebuah pertanyaan kritis diajukan oleh Momoc (2011)
terkait manfaat media sosial di ranah politik. Secara spesifik, Momoc membahas
mengenai kampanye. Apakah dengan mengincar audiens online, apakah internet
bisa membantu politisi untuk mendapatkan pemilih dalam jumlah besar? Apakah
hal tersebut bisa berhasil jika politisi tersebut tidak memiliki kredibilitas di dunia
riil?

Kebutuhan media sosial tak hanya milik pejabat publik, politikus atau
kalangangan eksekutif saja. Namun sudah menjadi kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat, hingga kepelosok-pelosok pedesaan terutama dikalangan anak
muda. Meski sebagian diantara anak muda desa ini tak terlalu memanfaatkan
berbagai aplikasi yang ada pada alat komunikasi mereka, namun yang pasti rata-
rata mereka mengaku aktif menggunakan Media sosial pada gadget dan
smartphone milik mereka. Media sosial sebagai sarana komunikasi memiliki
peran membawa penggunanya untuk berpartisipasi secara aktif dengan memberi
kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi informasi maupun
memberi respon secara online dalam waktu yang cepat.

Media sosial, cenderung berkait pada persoalan pertemanan. Namun, saat ini,
mulai banyak menyinggung ke ranah politik kekuasaan pemerintahan atau
negara. Ruben (dalam Wilhelm, 2003: IX) menegaskan bahwa perkembangan
teknologi komunikasi berpengaruh secara baik terhadap proses politik. Bahkan,
kemajuan komunikasi digital dengan email akan membawa pada pemberian
semangat baru demokrasi. Dalam perspektif komunikasi politik,
mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang nyata sebenarnya telah
dilakukan oleh siapa saja. Oleh karenanya, bukan hal yang aneh jika ada yang
menyebut Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya
tak lebih dari istilah belaka. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia
tidak berkomunikasi, dan ketika seseorang atau sekelompok orang
membicarakan fenomena kenaikan harga bahan pokok, bahan bakar minyak
(BBM) dan sebagainya, maka mereka sebenarnya telah mengarah pada analisis
komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam yang
berkomentar mengenai persoalan kenaikan harga BBM, misalnya, merupakan
contoh komunikasi politik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Fenomena penggunaan media sosial tentunya memberikan peluang-peluang


dibidang komunikasi politik, baik bagi pemerintah, dan politikus. Apatah lagi
menjelang pemilihan kepala daerah serentak dibeberapa daerah, dan juga
pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden nantinya. Namun tentunya
diperlukan pemahaman dan pendekatan yang baik dan tepat, agar pemanfaatan
media sosial sebagai komunikasi politik bisa tepat sasaran sesuai yang
diharapkan. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian dari berbagai aspek,
terutama dari segi komunikasi antar budaya, psikologi komunikasi, dampak
media dan lain sebagainya. Karena tak tertutup kemungkinan, penggunaan
media sosial yang “serampangan” atau ceroboh malah akan menjadi
“boomerang”, yang dapat merugikan pengguna media sosial itu sendiri dari sisi
komunikasi politik.

Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam konteks pembicaraan proses pemilihan
presiden, legislatif, kepala daerah, baik bupati, walikota, ataupun gubernur.
Setiap menjelang pemilihan kepala daerah perbincangan banyak muncul di
media sosial. Meskipun demikian, yang kemudian berkembang bahwa media
sosial tidak saja dimanfaatkan untuk hal hal positif, melainkan sering
dimanfaatkan untuk sarana penistaan, penghujatan, dan pencemaran nama baik
seseorang agar kredibilitasnya jatuh. Fenomena tersebut jika dibiarkan akan
menjadi kondisi yang kontradiktif antara kehadiran media sosial yang diharapkan
mengembangkan komunikasi politik masyarakat dengan persoalan yang justru
menghambat kemajuan komunikasi politik.

Kerugian lain bisa dalam bentuk hilangnya simpati masyarakat dan penurunan
citra diri pengguna media sosial itu sendiri. Artinya, meskipun penggunaan media
sosial dapat menggalang dukungan dari khalayak, mereka sekaligus juga secara
terbuka bisa mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai
mereka. Di Indonesia sendiri belum banyak penelitian komunikasi politik yang
melibatkan penggunaan media sosial (Deddy Mulyana, 2013: 23). Namun
demikian secara kasat mata kita dapat melihat, penggunaan media sosial
khususnya oleh para politikus baik nasional maupun daerah kini tampak semakin
marak. Baik oleh para Bakal Calon Kepala Derah atau eksekutif, maupun para
bakal calon legislatif.

Penelitian atau kajian untuk melihat dinamika pemanfaatan media sosial dalam
kehidupan politik yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Beberapa
sarjana sosial dan komunikasi telah melakukan kajian mengenai peran media
sosial dalam proses komunikasi politik. Studi terbaru proyek Excellence in
Journalisme, Pew Research Center, misalnya, pada Pilpres di Amerika Serikat
tahun 2008, seperti dikemukakan Direktur Project for Excellence in Journalisme,
Amy Mitchell, menyimpulkan bahwa kampanye pilpres Obama telah membuat
sejarah, bukan hanya karena Barrack Obama orang Amerika keturunan Afrika
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pertama yang terpilih sebagai presiden, melainkan juga kandidat presiden


pertama yang secara efektif memanfaatkan media sosial sebagai strategi
kampanye utama (Ya'cob Billiocta, 2014).

Di Indonesia, lembaga pengamat media sosial PoliticaWave juga telah melakuan


kajian pada pilpres tahun 2014 (Ya'cob Billiocta, 2014). Kajian dilakukan melalui
enam media, yaitu twitter, facebook, blog, online news dan youtube. Hasilnya
mengungkapkan bahwa gaya kampanye dari masing-masing kubu, mempunyai
cara atau strategi yang berbeda. Di tim Prabowo - Hatta, sistem komunikasi lebih
terstruktur dan terorganisir. Komunikasi biasa dimulai dari akun official terkait
partai atau pengurus partai, dan terdapat keseragaman dalam berkomunikasi
dan menjawab isu.

Pemilihan presiden tahun 2014 lalu tim Jokowi – JK sangat masif dan terorganisir
memanfaatkan media sosial sebagai saluran komunikasi politik. Kekuatan
komunikasi Jokowi - JK di media sosial didukung oleh banyak grup relawan.
Namun, sejak debat pertama, terlihat antar kelompok relawan sudah
berkomunikasi dan bersinergi dengan lebih baik. Salah satu indikatornya, pada
semua debat, dukungan netizen terhadap pasangan Jokowi-JK lebih besar dari
pada Prabowo–Hatta (www.merdeka.com/peristiwa/ini-beda. diakses, 17- 8-
2014). Dua contoh penelitian tersebut mengungkapkan pentingnya media sosial
dalam proses politik. Sifatnya yang interaktif tampaknya membuat penggunaan
media sosial dalam proses komunikasi politik menjadi semakin menarik.

Seperti telah dikemukakan di awal, media sosial memegang peran penting dalam
proses komunikasi politik. Sifatnya yang interaktif memungkinkan proses
komunikasi politik bisa dilakukan dengan lebih intens. Pemanfaatan media sosial
sebagai sarana komunikasi politik menjadi tren kekinian di Indonesia dengan
beragam persoalan-persoalan yang muncul dalam proses komunikasi politik
dengan menggunakan media sosial. Media sosial sebagai sarana komunikasi
memiliki peran membawa orang (penggunanya) untuk berpartisipasi secara aktif
dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi
informasi maupun memberi respon secara online dalam waktu yang cepat.
Dalam perkembangannya, media sosial menjadi sarana yang efektif dalam proses
komunikasi politik.

Michael Rush dan Phillip Althoff (dikutip dari Rusnaini, 2008: 34),
mengemukakan, “Komunikasi politik adalah proses dimana informasi politik yang
relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di
antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.” Proses ini terjadi
secara berkesinambungan dan mencakup pula pertukaran informasi di antara
individu-individu dan kelompokkelompoknya pada semua tingkatan. Komunikasi
politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pesan politik dan aktoraktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan,


pemerintahan, dan kebijakan pemerintah (Lataya, 2009).

Komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami
sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”. Dengan
berkembangnya internet, dunia komunikasi pun mengikuti arus perkembangan
tersebut, termasuk dalam komunikasi politik. Proses interaksi penyampaian dan
penerimaan pesan, bisa terjadi melalui pemanfaatan suatu sarana atau media
tertentu. Dalam penelitian ini, media sosial dipilih sebagai media penghantar
pesan dalam komunikasi politik yang menjadi objek penelitian.

Media sosial dapat dikategorikan sebagai bentuk media baru. Dipahami sebagai
kemunculan teknologi komunikasi dan informasi yang mengalami proses sejarah
dari kontestasi, negosiasi dan pelembagaan. Menurut Dennis McQuail (2011),
media baru merupakan teknologi informasi dan komunikasi dengan konteks
sosial yang berhubungan yang menyatukan tiga elemen: alat dan artefak
teknologi; aktivitas, praktik, dan penggunaan dan tatanan serta organisasi sosial
yang terbentuk di sekeliling alat dan praktik tersebut. Sosial media menggunakan
jaringan situs sosial sebagai bentuk komunikasi seperti facebook, twitter,
youtube, dan blog. Media telah hadir sebagai alat menyalurkan berbagai pesan
bagi manusia dalam bermasyarakat. Media pada prinsipnya adalah segala
sesuatu yang merupakan saluran dalam menyatakan gagasan, isi jiwa atau
kesadaran manusia. Media dapat dibagi dalam tiga bentuk. Pertama, media
menyalurkan ucapan. Kedua, media menyalurkan tulisan dan ketiga,
menyalurkan gambar hidup.

Dalam perkembangan teknologi muncul media baru yang dikenal sebagai media
interaktif melalui computer yang sering disebut internet. Begitu cepatnya
kemajuan teknologi komunikasi berlangsung dari waktu ke waktu, telah memberi
pengaruh terhadap cara-cara manusia berkomunikasi (Cangara, 2009:7).
Menurut Shanthi Kalathil dan Taylor C. Boas, internet tidak hanya sebagai alat
dan dapat digunakan untuk tujuan khusus dalam politik, ekonomi dan aktor-
aktor sosial agar berhati-hati menggunakan internet (Seib, 2007: 5).

Media baru merupakan berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi


ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan digitalisasi dan
ketersediannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi.
Media baru dilambangkan oleh internet; ciri utamanya yaitu: pertama, internet
tidak hanya berkaitan dengan produksi dan distribusi pesan, tetapi juga
disetarakan dengan pengolahan, pertukaran dan penyimpanan. Kedua, media
baru merupakan lembaga komunikasi publik juga privat, dan diatur (atau tidak)
dengan layak. Ketiga, kinerja mereka tidak seteratur sebagaimana media massa.
(McQuail, 2011, 149-150).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

McQuail telah mengidentifikasi lima kategori utama media baru yaitu: ·


1. Media komunikasi antarpribadi. Meliputi telepon dan surat elektronik.
Secara umum, konten bersifat pribadi dan mudah dihapus dan hubungan
yang tercipta dan dikuatkan lebih penting daripada informasi yang
disampaikan.
2. Media permainan interaktif. Media ini terutama berbasis komputer dan
video game, ditambah peralatan realitas virtual. Inovasi utamanya
terletak pada interaktifitas dan mungkin didominasi dari kepuasan
‘proses’ dan ‘penggunaan’.
3. Media pencarian informasi. Kategori yang luas, tetapi internet merupakan
contoh yang paling penting, dianggap sebagai perpustakaan dan sumber
data yang ukuran, aktualitas dan aksesibilitasnya belum pernah ada
sebelumnya. Posisi mesin pencari telah menjadi sangat penting sebagai
alat bagi para pengguna sekaligus sebagai sumber pendapatan untuk
internet.
4. Media partisipasi kolektif. Kategorinya khusus meliputi penggunaan
internet untuk berbagi dan bertukar informasi, gagasan dan pengalaman,
serta mengembangkan hubungan pribadi aktif (yang diperantarai
komputer). Situs jejaring sosial termasuk di dalam kelompok ini.
Substitusi media penyiaran. Acuan utamanya adalah penggunaan media
untuk menerima atau mengunduh konten yang di masa lalu biasanya
disiarkan atau disebarkan dengan metode lain yang serupa.

1. Meningkatkan partisipasi politik masyarakat


Melalui internet, komunikasi politik dapat dilakukan dengan menyertakan jutaan
orang dari seluruh dunia, tanpa adanya hubungan yang bersifat pribadi. Khalayak
yang tercipta oleh internet tersebut sangat khas yaitu sebuah masyarakat yang
terbentuk oleh jaringan komputer, yang disebut masyarakat maya (Arifin, 2011:
158-159).

Media baru memberikan keuntungan bagi komunikasi politik dibandingkan


media massa lama. Jenis media baru setiap orang dapat terlibat dan mengikuti
era politik baru. Media baru menawarkan ruang publik bagi politisi dan warga
masyarakat untuk berinteraktif. (M. Alwi Dahlan, 2012:7). Kegiatan komunikasi
politik berpengaruh menggunakan hubungan masyarakat dan media merupakan
strategi manajemen informasi yang dibentuk untuk meyakinkan partai politik
mendapatkan publisitas maksimum dan meminimalkan penilaian negatif.
(McNair, 2012:7) Komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang
memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. (Cangara,
2009:36).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Politik komunikasi internet sebenarnya lebih dari perilaku politik menggunakan


internet. Menurut Susri Adeni dalam tulisannya “Internet and Democracy; Is It An
Ambiguity Of New Agent For Democracy?” menegaskan kualitas demokrasi dapat
meningkat seiring penggunaan teknologi tinggi yang dapat meningkatkan
pemahaman demokrasi. Internet dapat menjadi agen keterlibatan demokratis
dan proses pembelajaran demokrasi (Media Komunikasi Politik, 2011:147).

Penggunaan internet dalam kegiatan politik merupakan bentuk partisipasi politik.


Partisipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson yaitu
kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Budiardjo, 2008:367).

Coleman (1999) menunjukkan ‘peran media baru dalam layanan subversif dari
ekspresi bebas di bawah persyaratan kontrol otoriter alat-alat komunikasi’ yang
tidak kalah penting. Tidak mudah bagi pemerintah untuk mengendalikan akses
pada dan penggunaan internet oleh warga negara yang berbeda pendapat, tetapi
juga bukannya hal tersebut tidak mungkin. Gagasan ideal tentang ranah publik
sebagai arena terbuka bagi percakapan publik, debat dan pertukaran gagasan
terlihat dapat dipenuhi oleh bentuk-bentuk komunikasi (khususnya internet)
yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pandangan mereka dan
saling berkomunikasi juga dengan para pemimpin politik mereka tanpa
meninggalkan rumah masing-masing.

Penelitian Scheufele dan Nisbet (2002) mengenai internet dan warga negara,
mendapat kesimpulan bahwa terdapat ‘peran yang sangat sedikit bagi internet
dalam mempromosikan perasaan secara efektif, pengetahuan dan partisipasi.
(McQuail, 211: 165-167). Selain itu, terdapat istilah lainnya penggunaan internet
dalam rangka implementasi demokrasi yaitu cyberdemokrasi. Cyberdemokrasi
adalah sebuah konsep yang melihat internet sebagai teknologi yang memiliki
pengaruh sosial dan memperluas partisipasi demokrasi. Menurut John Hartley,
cyberdemokrasi adalah sebuah konsep optimis yang muncul sejak awalawal
kehadiran internet. Asal mula konsep ini berkaitan dengan konsep awal dari
electronic democracy (Alatas, 2014:5).

2. Meningkatkan Demokrasi
Media baru membawa dampak yang siginifikan terhadap perkembangan
demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para teoretisi demokrasi selama ini
percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada partisipasi politik warga
negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan (civic
affairs). Penemuan teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi telah
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

membawa kita memasuki era baru sejarah budaya. Beberapa ahli bahkan
mengatakan bahwa new media telah benar-benar merubah kehidupan kita.
Penemuan media baru pada akhirnya berakibat pada munculnya apa yang
disebut sebagai konvergensi media, yaitu penggabungan atau pengintegrasian
media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan.

Transformasi masyarakat yang begitu cepat karena dampak dari konvergensi


media baru dan globalisasi secara langsung mempengaruhi pembangunan dan
pengembangan identitas budaya. Konvergensi media bukan hanya sekadar
pergeseran teknologi, konvergensi bahkan telah mengubah hubungan yang ada
antara teknologi, industri, pasar, genre dan audiens. Salah satu dampak yang
mungkin muncul adalah pada akulturasi budaya-budaya lokal. Dalam pengertian
yang paling sederhana, “akulturasi” mencakup semua perubahan yang muncul
menyusul “Kontak” antara individu dan kelompok latar belakang budaya yang
berbeda. Berbeda dengan media-media konvensional yang cenderung linear dan
satu arah (one-way), konvergensi media bersifat interaktif yang memungkinkan
untuk setiap budaya saling berinteraksi, dan bahkan saling mempengaruhi.
Konvergensi media juga dapat menjadi semacam “counter hegemony” bagi
budaya lokal untuk melawan dominasi media-media tradisional yang cenderung
dominatif dan hegemonik.

Seiring dengan berkembangnya konvergensi media di Indonesia terhadap


akulturasi budaya lokal. Hal ini juga akan melihat bahwa Konvergensi media
menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi pengembangan budaya lokal.
Disatu sisi, interaktifitas yg tinggi dengan budaya lain, akan memberikan lebih
banyak fleksibilitas dan ruang bebas untuk menjaga, menegoisasi,
mengembangkan dan merekonstruksi berbagai bentuk identitas budaya lokal.
Pada sisi lain, interaksi yang kompleks antara budaya lokal dan global, identitas
budaya akan menjadi sangat dinamis, bahkan cair. Menjadi tantangan bagi
eksistensi budaya lokal. Ruang publik (public sphere) adalah sebuah istilah yang
dikembangkan oleh Sosiolog dan filsuf Jerman, Jürgen Habermas, yang
merupakan penerus teori kritis Mazhab Frankfurt.

Dalam pandangan Habermas, istilah ruang publik mengacu pada “ruang antara”
negara dan pasar di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan
umum dan opini publik dibentuk dengan cara persuasi, konflik, dan didalamnya
terjadi perebutan makna (contested meaning) untuk memenangkan opini publik.

Konsep ruang publik dan opini publik juga menjadi acuan sebuah media itu
berdiri namun peran media baru dalam politik di belum dikategorikan maksimal
bukan hanya mengenai segi content tapi segmentasinya pun tidak tertarik
sehingga media dalam politik bisa dikatakan mati.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Generasi millennial adalah generasi yang berkembang dari sebuah revolusi


komunikasi yang berlangsung dari tahun 1981 hingga tahun 2000an. Generasi
millennial ini pun juga disebut generasi Y dimana generasi ini menjadi sebuah
generasi penerus dari generasi sebelumnya yakni generasi X. Istilah generasi
millennial atau biasa disingkat Gen Y, mulai populer pada tahun 1990-an oleh
dua sejarawan Amerika, yakni William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa
publikasinya. Sederhananya teori ini mengklasifikasi batasan generasi menurut
tahun kelahiran sebagai landasan asumsi untuk memprediksi perilaku generasi
tertentu dalam menyikapi tantangan dan keadaan zaman kedepan. Sebagai
batasannya, Generasi X (Gen X) adalah generasi yang lahir dalam bentang tahun
1961-1981, setelahnya adalah Generasi Millinneal adalah generasi yang lahir
dalam bentang tahun 1982-2004.

Generasi Millennial adalah anak-anak muda yang berada pada kisaran usia 13-35
tahun. Millennials kerap mendapat perhatian khusus untuk berbagai
kepentingannya, dengan ditinjau dari berbagai aspek perilakunya, seperti dalam
pendidikan, hubungan sosial, pandangan politik, etos kerja, hingga penguasaan
teknologi. Seperti generasi lainnya, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam
mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakannya dalam kehidupan
demokrasi hari ini. Munculnya generasi millennial ini ditandai dengan hadirnya
teknologi canggih seperti ponsel dan juga sosial media guna berkomunikasi tanpa
ada batasan jarak, ruang dan waktu sehingga generasi millennial ini memiliki
beberapa perilaku unik seperti lebih aktif pada pandangan politik dan ekonomi di
lingkungan sekitar sehingga apabila ada perubahan pada lingkungannya, mereka
akan bersikap reaktif dan peka.

Generasi millennial identik dengan teknologi. Salah satu ciri mereka yakni tak
bisa lepas dari produk teknologi, gadget atau gawai. Dalam gawai itu, mereka
menumpah-ruahkan ekspresi, di antaranya di sosial media. Kaum pemuda yang
disebut Generasi Millennial aktif dalam dunia media sosial, sangat sedikit
yang terjun dan mengetahui dunia politik. Keberadaan generasi millennial
sangat mempengaruhi konstalasi politik mendatang. Pasalnya generasi
milenila berjumlah 45% dari total penduduk indonesia. Perilaku generasi
millenial lebih terbuka, dan komunikatif, baik di dunia maya (media sosial)
maupun di dunia nyata. Untuk itu para pelaku politik harus bisa
menyiasatinya. Generasi millennial lebih dominan dan condong ke arah isu-isu
tertentu yang dianggap menarik, seperti masalah lingkungan, dan menjadi
relawan dalam salah satu lembaga tertentu.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam dunia perpolitikan, generasi millenial menginginkan sosok pemimpin


yang memiliki sifat terbuka, sederhana, tapi pembawa harapan, dan
pemimpin egaliter. Para politisi dan partai politik tidak lagi menjadikan
pemuda sebagai komoditi, tapi menghadapi pemuda dengan pendekatan
partisipatif. Pengamat dari Lembaga Charta Politika, Muslimin, mengatakan
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah populasi generasi
millennial diprediksikan pada gelaran Pemilu 2019 ada sekitar 47 – 50 persen
pemilih muda. Dari 268 juta pemilih, ada 84 jutaan pemilih di tahun 2019 yang
dikategorikan dalam generasi millennial. Dari 47 – 50 persen pemilih dari
generasi millennial,di kategorikan generasi now dengan analogi 4C yakni
Criticisme, Chek, Communicatif dan Community. criticisme atau kritis, Chek and
balance dalam artian selalu menginginkan perubahan, komunikatif yang
menyukai komunikasi dua arah, dan perilaku mereka ber-community atau
membentuk kelompok sesuai profesi, hobby dan minat bakat mereka.

Generasi millenial merupakan pangsa pasar politik yang sangat banyak


pemilihnya, diajak berpartisipasi dan terjun langsung dalam dunia politik. Kita
menyaksikan beberapa perhelatan politik di daerah, banyak kepala daerah yang
menonjol adalah pemimpin yang dipilih dari pemuda, misal Ridwan kamil, Azwar
Anas lalu Jokowi di pilpres 2014 lalu banyak dipilih dari generasi millenial.
Tantangan para politisi dan Parpol kedepannya ialah bagaimana membangun
komunikasi politik yang kreatif, di kemas dengan isu-isu yang mengena kepada
generasi millennial. Merekal penentu kemenangan politik pada pilcaleg dan
pilpres 2019 mendatang.

Realitas kekinian, umumnya generasi millennial mengasingkan diri dari riuh


politik. Sebagian menganggap politik itu membosankan lantaran sering diwarnai
dramaturgi dan patalogi. Mereka pun masih sebatas objek politik bagi politisi dan
partai politik dalam mendulang dukungan suara. Padahal, populasi mereka
sangat besar. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, jumlah pemilih millennial
mencapai 53 juta jiwa dari 186 juta pemilih. Dengan jumlah yang begitu besar,
mereka seharusnya memiliki posisi tawar yang kuat di ajang suksesi. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat, suara generasi millennial sangat menentukan
kemenangan Barack Obama saat Pemilihan Presiden 2008 lalu. Calon presiden
yang diusung Partai Demokrat itu berhasil mendapatkan dukungan mayoritas
dari generasi millennial. Karena, janji-janji kampanye Obama merefleksikan
harapan mereka, di antaranya masalah pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan ekonomi.

Dari studi yang dilakukan The Case Foundation, generasi millennial yang lahir di
tahun 1980 hingga 1999, sebagian besar ingin ada perbaikan ekonomi. Mereka
merasakan betul dampak resesi ekonomi global seperti meningkatnya jumlah
pengangguran dan kecilnya upah yang diterima. Dari hasil survei, John Della
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Volpe, dari The Instute of Politic (IOP) Harvard University, menjelaskan, pemilih
muda mengkritisi rusaknya institusi pemerintahan di Washington. Mereka
kurang menaruh kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Sinisme terhadap
pejabat publik mengalami kenaikan lima poin sejak tahun 2010. Dan, hampir 47
persen pemilih muda, setuju dengan pernyataan yang menganggap politik, tidak
mampu lagi mengatasi tantangan negara. Hanya 36 persen yang menyatakan
tidak setuju dengan pandangan tersebut.

Resesi global juga mempengarui pandangan pemilih muda yang kecenderungan


mengarah ke kiri. Pasalnya, krisis ekonomi global menjadi penyebab
pengangguran paling banyak berasal dari kelompoknya. Mereka juga kecewa
lantaran menerima upah kecil dibandingkan kelompok lain. Padahal, sebagian
besar dari lulusan perguruan tinggi dan produktif. Dengan argumentasi
sederhana, benar, dan mudah dimengerti, mereka menganggap Wall Street gagal
menciptakan resep ekonomi yang mujarab.

1. Dominasi Elit
Belum ada survei yang fokus memotret tingkat kesukaan millennials dalam
menilai, menyikapi isu dan dinamika politik. Belum diketahui pula seberapa
besar minat mereka berlaga di panggung politik. Namun, gejala alergi politik
terlihat dari pandangan, persepsi, dan sikap mereka terhadap politik. Suara
mereka kurang terdengar dalam menyikapi isu-isu politik. Gerakannya pun
tidak terlembaga dengan baik. Generasi millennial umumnya non partisan,
yang pilihan politiknya tidak berbasis ideologi. Mereka juga dihinggapi
pesimisme jika penggunaan hak pilih tidak begitu penting dan dapat
mempengarui masa depannya. Mereka merupakan massa mengambang
(floating mass) yang pilihan politiknya cenderung karena ikut-ikutan. Tidak
berdasarkan referensi dan informasi.

Menggunakan hak pilih laksana membeli kucing dalam karung. Bagaimana


berharap akan terpilih pemimpin yang kapabel dan berintegritas jika dipilih
oleh pemilih yang minim referensi seputar rekam jejak, integritas, dan
kompetensi calon pemimpin yang akan dipilihnya? Realitas demikian tentu
tidak menyehatkan demokrasi. Namun, sangat tidak tepat jika masalah
tersebut disalahkan kepada mereka. Partai politik dan politisi yang gagal
merefleksikan persepsi dan kepentingan remaja agar tertarik dalam berpolitik.
Apatisme politik pada dasarnya implikasi disfungsi partai politik dan adanya
sekat yang membatasi hubungan mereka dengan politisi.

Millennials dihadapi keterbatasan dalam mengonsumsi literasi politik. Mereka


cenderung lebih menyimak konten maupun wacana apolitis seperti hiburan
(entertainment), budaya popular, gaya hidup, seputar kegiatan kreatif, dan
hal-hal lain yang terkait dengan kehidupan mereka. Informasi yang terpapar
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

itu yang turut membuat mereka enggan masuk dalam pusaran politik. Mereka
khawatir terpengaruh perilaku buruk politisi jika masuk dalam pusaran politik.
Itu ditandai kian rendahnya kepercayaan terhadap partai politik. Sebagian
besar masyarakat, termasuk kalangan millennial, kurang percaya partai politik.

Hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) yang dirilis


2014 lalu menunjukan, mayoritas responden (58,2 persen) tidak mempercayai
partai politik. Kemudian, yang menyatakan percaya 26,3 persen dan
menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Rendahnya kepercayaan
terhadap partai politik itu karena banyaknya kader partai politik yang terjerat
korupsi, pelanggaran etika, dan konflik internal partai politik. Keterbatasan
wadah dan akses berpolitik juga menstimulan munculnya gejala tersebut. Di
ranah politik, keberadaan mereka masih sebatas objek yang senantiasa dibidik
politisi yang berburu suara.

Elit politik sengaja menutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan karir
di jalur politik. Politisi senior yang telah merasakan nyaman duduk di jabatan
politik, tentu tetap ingin mempertahankan jabatannya. Kondisi itu sengaja
diciptakan elit sebagai subkelompok yang sangat kecil, yang menikmati
keuntungan dari kekuasaan. Elit politik tidak memikirkan kepentingan
demokrasi jangka panjang. Pendidikan politik dianggap tidak begitu perlu
karena khawatir akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi yang
menyebabkan kompetisi politik kian selektif. Sementara jika pemilih apatis
dan tingkat pemahaman politiknya rendah, akan memudahkan politisi
melakukan penetrasi guna meraih dukungan suara. Politisi kawakan tahu
betul jika para pemilih tidak peduli siapa yang akan dipilih.

Elit politik masih menganggap remaja tidak cukup berkualitas dalam


mengartikulasikan kepentingan politiknya. Kapasitasnya juga diragukan dalam
menghasilkan produk kebijakan lantaran keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman. Pengabaian itu menyebabkan mereka kian apatis lantaran
merasa tidak memiliki pengaruh untuk membuat dan menentukan kebijakan.
Belum lagi minimnya modal dalam mengikuti pertarungan politik yang kian
liberal, membuat mereka hitung-hitungan berpolitik.

2. Sebatas Objek
Sebagian besar partai politik berupaya menyasar millennials. Namun, sebatas
demi mendapatkan dukungan. Generasi millennial diolah sedemikian rupa
karena jumlahnya yang sangat besar. Namun, upaya penetrasi itu tidak
mudah. Persepsi negatif terhadap partai politik, turut menyulitkan upaya
mempengarui pilihan politik, khususnya kepada mereka yang terdidik. Di satu
sisi, sikap demikian harus dipandang sebagai bentuk protes terhadap
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

akuntabilitas partai politik. Tak salah jika mereka menganggap partai politik
mendekat jika ada maunya saja seperti jelang suksesi.

Ruang partisipasi bagi kalangan millennial, disimplifikasi sebatas aktualisasi


hak memilih di ajang suksesi. Padahal, partisipasi mengandung makna yang
luas. Partisipasi politik merupakan prinsip dasar berdemokrasi. Partisipasi
politik itu harus terus didorong untuk mengukuhkan demokrasi deliberatif.
Aktualisasinya tidak sebatas kebebasan menggunakan hak pilih. Namun,
keterlibatan secara langsung dalam kegiatan politik seperti mengawasi proses
kompetisi politik dan mempengarui kebijakan politik.

Sejauh ini, belum terlihat langkah institusionalisasi maupun prosedural di


partai politik dalam meningkatkan partisipasi politik rakyat, khususnya bagi
generasi millennial. Hal ini harus dipikirkan mengingat gejala apatisme dan
ketidakpercayaan terhadap partai politik sangat tinggi. Fenomena apatisme
politik merupakan sinyal yang mengarah terjadinya defisit demokrasi. Politisi
harusnya menyadari, remaja kelak menjadi orang dewasa, yang akan
menggantikannya. Karenanya, mereka harus dibekali pengetahuan,
kesempatan, dan partisipasi dalam berpolitik. Proses yang mereka lalui akan
meningkatkan kecakapan dalam berpolitik. Harapannya, cakap berpolitik
berbasis nilai, etika, dan moral.
Kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik dan ruang partisipasi yang sempit,
harusnya juga dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi partai politik.
Partai politik akan dibelit defisit kepemimpinan di masa yang akan datang
yang pada akhirnya menurunkan derajat demokrasi. Seperti yang nampak saat
ini, partai politik seakan hanya menjadi perahu bagi para petualang politik
yang berambisi merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan kekuatan
uang. Dominasi elit menjadikan partai politik tak terlembaga, sebatas
subordinasi kepentingan para pentolannya dan orang-orang yang memiliki
kekuatan uang. Akibatnya, institusionalisasi bergerak lamban.

Meski demikian, patut pula diapresiasi jika ada sedikit kaum millennial yang
terlihat dalam aktivitas politik, meski tidak terlibat dalam partai politik.
Mereka menjadi bagian dari gerakan civil society yang menuntut perubahan
dan kondisi yang diharapkan. Aspirasi disuarakan dengan menggelar kreasi
simpatik dan mencerdaskan seperti kegiatan seni dan budaya, stand up
comedy, diskusi, hingga demonstrasi damai. Agar pesan-pesannya
tersampaikan luas, mereka menggunakan media sosial yang menjadi bagian
dari kehidupannya. Ada juga yang menggelar kampanye kreatif anti politik
uang, anti korupsi, anti politisi busuk, dan sebagainya. Ada partai yang dihuni
kaum muda. Sebut saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikomandoi
Grace Natalie. PSI merekrut beberapa politisi muda untuk menjadi pengurus
partai. Namun, apa tujuan utama mereka berpolitik? Apakah motifnya
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sekadar merebut kekuasaan? Dan, bagaimana komitmen mereka dalam


mengaktualisasi politik berbasis nilai dan ideologi? Jawaban atas pertanyaan
itu harus dibuktikan, bukan retorika belaka. Karena, saat ini banyak politisi
yang cakap berkata-kata, namun praktik politiknya jauh dari landasan nilai,
etika maupun ideologi. Sebagian besar menempuh cara-cara pragmatis dan
menempatkan politik sebagai ranah memperbaiki nasib. Mereka hanya
bermodal akses politik, tanpa memiliki loyalitas dan militansi sebagai politisi
ideolog yang konsisten memperjuangkan kepentingan kolektif.

Tak heran jika di antara mereka memilih tindakan kontraproduktif. Misalnya,


ramai-ramai mempreteli upaya pemberantasan korupsi. Simak saja beberapa
politisi yang lantang mendesak pembubaran KPK atau berupaya
mengkerdilkan kewenangan KPK lewat jalur politik. Padahal, korupsi adalah
kejahatan luar biasa, merusak sendi-sendi kehidupan, melemahkan legitimasi
politik, dan mendistorsi demokrasi. Perilaku politisi demikian yang membuat
khalayak mengasingkan diri dari politik dan muak dengan politisi. Dalam
kondisi demikian, dibutuhkan kehadiran politisi muda yang idealis dan
progresif. Mereka harus berperan dalam menciptakan iklim politik yang lebih
demokratis dan anti korupsi. Berpolitik tidak melulu terkait upaya merebut
dan mempertahankan kekuasaan. Berpolitik juga mengandung dimensi etis,
yang menuntut pertanggungjawaban, jujur, berintegritas, sense of crisis, dan
tidak mementingkan golongan. Di tengah apatisme politik saat ini, upaya
mendorong generasi millennial agar melek politik perlu dilakukan. Misalnya,
memanfaatkan media sosial sebagai saluran sosialisasi dan pendidikan politik
karena begitu dekat dengan kehidupan generasi millennial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB II
PENGERTIAN MEDIA SOSIAL
PERKEMBANGAN DAN ETIKA BERMEDIA SOSIAL

Media sosial (media sosial) atau sosial media menjadi fenomena yang makin
mengglobal dan mengakar. Keberadaannya makin tidak bisa dipisahkan dari cara
berkomunikasi antarmanusia. Sebagai bentuk aplikasi dalam komunikasi secara
virtual, media sosial merupakan hasil dari kemajuan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT). Akankah
fenomena media sosial itu bersifat temporer atau sementara saja? Tidak ada
yang bisa memastikan. Yang pasti, inovasi inovasi di dalam TIK akan terus
melahirkan beragam aplikasi media sosial dan perangkat gadget pendukungnya.

Aplikasi-aplikasi media sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat
komunikasi yang “dibenamkan” di dalam smartphone, tablet, laptop, dan PC.
Kini, dengan semakin luas, cepat dan lebarnya koneksi internet, konsumen makin
dimudahkan dalam mengakses aplikasi media sosial. Dalam kondisi komunikasi
seperti itulah memudahkan para pengguna dalam bersosialisasi di media sosial.
Komunikasi politik adalah salah satu yang mengambil manfaat dari keberadaan
media sosial. Dalam media sosial, beragam paradigma komunikasi muncul. Ada
model komunikasi yang sifatnya satu arah, di mana satu pihak memberikan
informasi kepada pihak lain, ada pula model komunikasi yang sifatnya
partisipatoris, di mana pihak-pihak yang berkomunikasi melakukannya secara
dialogis. Pada model partisipatoris, pengguna media sosial saling berbagi
informasi, pendapat, pandangan, pengetahuan, pengalaman, keinginan dan
membangun kerangka tindakan untuk mencapai kemajuan bersama.

1. Pengertian Media Sosial


Secara umum, definisi media sosial adalah media online. Seperti dalam
Wikipedia, media sosial merupakan sebuah media online dimana para
penggunanya bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi. Jadi pengertian
media sosial disini adalah sebuah saluran atau sarana untuk pergaulan sosial
yang dilakukan secara online melalui jaringan internet. Para pengguna media
sosial atau bisa juga disebut dengan user ini bisa melakukan komunikasi atau
interaksi, berkirim pesan, baik pesan teks, gambar, audio hingga video, saling
berbagi atau sharing, dan juga membangun jaringan atau networking. Contoh
media sosial sendiri yang hingga saat ini paling umum digunakan adalah blog,
wiki dan juga jejaring sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Chris Brogan (2010:11) dalam bukunya yang berjudul Sosial Media
01 Tactic and Tips to Develop Your Business Online mendefinisikan Sosial
media sebagai berikut:

“Sosial media is a new set of communication and collaboration tools that


enable many types of interactions that were previously not available to the
common person”. (Sosial media adalah satu set baru komunikasi dan alat
kolaborasi yang memungkinkan banyak jenis interaksi yang sebelumnya tidak
tersedia untuk orang biasa).

Sosial media menurut Dailey (2009:3) adalah konten online yang dibuat
menggunakan teknologi penerbitan yang sangat mudah diakses dan terukur.
Paling penting dari teknologi ini adalah terjadinya pergeseran cara
mengetahui orang, membaca dan berbagi berita, serta mencari informasi dan
konten. Ada ratusan saluran sosial media yang beroperasi di seluruh dunia
saat ini, dengan tiga besar facebook, LinkedIn, dan twitter. (Badri, 2011:132)

Pengguna media sosial dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan


menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling
umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pendapat lain
mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang mendukung
interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang
mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Andreas Kaplan dan Michael
Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi
berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web
2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated
content”.

Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page
pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi
dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar antara lain Facebook, Myspace,
dan Twitter. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media
broadcast, maka media sosial menggunakan internet.

Menurut Carr dan Hayes, definisi atau pengertian yang telah dirumuskan
seringkali merujuk media sosial pada tiga hal utama, yaitu:
1. Teknologi digital yang menekankan pada user-generated content atau
interaksi.
2. Karakteristik media.
3. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain sebagai
contoh model interaksi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Saat teknologi internet dan mobile phone makin maju maka media sosial pun
ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter
misalnya, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja hanya dengan
menggunakan sebuah mobile phone. Demikian cepatnya orang bisa
mengakses media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap
arus informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.
Karena kecepatannya media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan
media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita.

Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang seperti


bisa memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisional seperti
televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang
banyak, maka lain halnya dengan media. Seorang pengguna media sosial bisa
mengakses menggunakan sosial media dengan jaringan internet bahkan yang
aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan
sendiri tanpa karyawan. Kita sebagai pengguna sosial media dengan bebas
bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video,
grafis, dan berbagai model content lainnya. Menjamurnya pengguna media
sosial hingga sampai saat ini, juga tidak lepas dari peran serta para ahli dalam
memberikan gagasan, pandangan ataupun teorinya terkait media sosial.
Beberapa gagasan ataupun teori dalam media sosial, secara sederhana dapat
berupa sebuah definisi media sosial atau pengertian media sosial. Sumbangsih
pemikiran para ahli mengenai pengertian media sosial, patut untuk di
apresiasi peran serta dari para ahli dalam memberikan arah teknologi
mutakhir ini.

2. Karakteristik Media Sosial


Menurut Hadi Purnama (2011:116) sosial media mempunyai beberapa
karakteristik khusus diantaranya :
1. Jangkauan (reach): daya jangkauan sosial media dari skala kecil hinga
khalayak global.
2. Aksesibilitas (accessibility): sosial media lebih mudah diakses oleh publik
dengan biaya yang terjangkau.
3. Penggunaan (usability): sosial media relatif mudah digunakan karena
tidak memerlukan keterampilan dan pelatihan khusus.
4. Aktualitas (immediacy): sosial media dapat memancing respon khalayak
lebih cepat.
5. Tetap (permanence): sosial media dapat menggantikan komentar secara
instan atau mudah melakukan proses pengeditan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki beberapa karakteristik, yaitu :


1. Kualitas distribusi pesan melalui media sosial memiliki berbagai variasi
yang tinggi, mulai dari kualitas yang sangat rendah hingga kualitas yang
sangat tinggi tergantung pada konten.
2. Jangkauan teknologi media sosial bersifat desentralisasi, tidak berifat
hierarki
3. Frekuensi menggambarkan jumlah waktu yang digunakan oleh pengguna
untuk mengakses media sosial tiap harinya.
4. Aksesibilitas menggambarkan kemudahan media sosial untuk diakses
oleh pengguna.
5. Kegunaan menggambarkan siapapun yang memiliki akses internet dapat
mengerjakan berbagai hal dengan menggunakan media sosial seperti
mem-posting foto digital, menulis online dan lain-lain.
6. Segera menggambarkan waktu yang dibutuhkan pengguna media sosial
untuk berkomunikasi dengan orang lain secara instan.
7. Tidak permanen menggambarkan bahwa pesan dalam media sosial dapat
disunting sesuai dengan kebutuhan.

3. Ciri dan Jenis Media Sosial


Gamble, Teri, dan Michael dalam Communication Works sebagaimana dikutip
Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri - ciri sebagai berikut :
1. Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa
keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
2. Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
3. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya
4. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi

Karakteristik Media Sosial Media sosial memiliki ciri-ciri yang tidak lepas dari
berbagai ciri-ciri dari media sosial yang banyak digunakan hingga saat ini.
Berikut beberapa karakteristik yang terdapat pada media sosial :

1. Partisipasi.
Mendorong kontribusi dan umpan balik dari setiap orang yang tertarik
atau berminat menggunakannya, hingga dapat mengaburkan batas
antara media dan audience.
2. Keterbukaan.
Kebanyakan dari media sosial yang terbuka bagi umpan balik dan juga
partisipasi melalui sarana-sarana voting, berbagai, dan juga komentar.
Terkadang batasan untuk mengakses dan juga memanfaatkan isi pesan
(perlindungan password terhadap isi cenderung dianggap aneh).
3. Perbincangan.
Selain itu, kemungkinkan dengan terjadinya perbincangan ataupun
pengguna secara dua arah. Keterhubungan. Mayoritas dari media sosial
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

tumbuh dengan subur lantaran terjadi suatu kemampuan yang dapat


melayani keterhubungan antar pengguna, melalui suatu fasilitas tautan
(links) ke website, sumber informasi dan bagi pengguna-pengguna
lainnya.

Menurut Mayfield yang di kutip oleh Muhammad Badri (2011:133)


menyebutkan saat ini ada tujuh jenis sosial media, namun inovasi dan
perubahan terus terjadi. Sosial media yang ada saat ini :

1. Jejaring sosial seperti facebook, myspace dan bebo. Situs ini


memungkinkan orang untuk membantu halaman web pribadi dan
terhubung dengan teman-temannya untuk bebagi konten komunikasi.
2. Blog, merupakan bentuk terbaik dari media sosial, berupa jurnal online
dengan pemuatan tulian terbaik, yaitu tulisan terbaru ada di halaman
terdepan.
3. Wikis seperti Wikipedia dan ensiklopedia online website. Wikis
memperoleh siapa saja utuk mengisi atau mengedit informasi
didalamnya, bertindak sebagai sebuah dokumen atau database komunal.
4. Podcasts, menyediakan file-file audio dan video dengan berlangganan
melalui layanan seperti Itunes dari Apple.
5. Forum, area untuk diskusi online, seputar topik dan minat tertentu.
Forum sudah ada sebelum media sosial dan menjadi komunitas online
yang kuat dan populer.
6. Komunitas konten seperti flickr (untuk berbagi foto), del.icio.us (link
bookmarked) dan youtube (video). Komunitas ini mengatur dan berbagi
jenis konten tertentu.
7. Microblogging, situs jejaring sosial dikombinasikan blog, dimana sejumlah
kecil konten (update) didistribusikan secara online dan melalui jaringan
mobile phone, twitter adalah pemimpin layanan ini.

Teknologi media sosial mengambil bentuk, termasuk majalah, forum internet,


weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video,
rating dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori di bidang riset
media (kehadiran sosial, kekayaan Media) dan proses sosial (self-presentasi,
self-disclosure). Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk
berbagai jenis media sosial dalam artikel mereka Bisnis Horizons diterbitkan
pada tahun 2010.

Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:


1. Proyek kolaborasi
Situs ini memungkinkan pengguna untuk dapat mengubah, menambah,
atau menghapus konten sedikit – konten yang tersedia di website ini.
contoh wikipedia
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Blog dan microblog


Pengguna bebas untuk mengekspresikan sesuatu dalam blog ini seperti
ventilasi atau mengkritik kebijakan pemerintah. misalnya twitter
3. Konten
Pengguna situs ini pengguna mengklik setiap konten saham – konten
media, seperti video, ebook, gambar, dan lain – lain. Situs jejaring sosial
misalnya youtube
4. Situs jejaring sosial
Aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan
membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain.
Informasi pribadi yang bisa menjadi seperti foto – foto. Contoh facebook
5. Virtual game world
Sebuah dunia maya, di mana lingkungan 3D mengreplikasikan, di mana
pengguna bisa datang dalam bentuk yang diinginkan dan berinteraksi
dengan orang lain baik di dunia nyata. untuk game online misalnya.
6. Virtual sosial world
Virtual dunia di mana pengguna merasa hidup di dunia maya, seperti
dunia game virtual, berinteraksi dengan orang lain. Namun, Dunia Virtual
Sosial lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan, seperti Second Life.

Media sosial memiliki berbagai ragam dan jenis sesuai dengan pengaplikasian
serta kegunaannya. Berikut adalah jenis-jenis media sosial beserta fungsi,
kegunaan dan contoh-contoh nya:

1. Media Sosial Video Sharing (Berbagi Video)


Media sosial ini berfungsi sebagai wadah untuk menampilkan video yang
diunggah oleh pengguna/user serta menyediakan streaming video yang
beragam secara audio visual. Video yang disediakan sangatlah banyak,
beberapa contohnya adalah video musik, hiburan, berita dll. Sejauh ini,
media sosial video sharing yang paling populer adalah Youtube. Beberapa
pengguna/user di youtube bahkan dapat meraup untung yang besar
dengan menampilkan iklan-iklan di video mereka. Adapun beberapa
contoh media sosial video sharing yang lain adalah vimeo, daily motion
dan mivo.tv
2. Aplikasi Media Sosial Mikroblog
Aplikasi mikroblog termasuk yang paling mudah digunakan dibanding
program-program media sosial lainnya. Cukup hanya dengan menginstall
aplikasinya dan adanya jaringan internet saja sudah cukup untuk
mengakses Aplikasi Media Sosial Mikroblog ini. Di Indonesia terdapat dua
Aplikasi Media sosial Mikroblog yang sangat populer antara lain twitter
dan tumblr.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Aplikasi Media Sosial Berbagi Jaringan Sosial


Aplikasi ini memungkinkan orang-orang untuk berkomunikasi,
berhubungan, dan berorganisasi secara online. Pada penerapannya, tidak
disarankan untuk menggunakan Aplikasi Jaringan Sosial menyangkut
urusan pekerjaan atau profesi. Aplikasi Jaringan Sosial ini lebih
mengutamakan berkomunikasi atau berhubungan secara santai dan
pribadi seperti mengakrabkan diri kepada sanak saudara, keluarga, teman
dll. Contoh Aplikasi Media Sosial Berbagi Jaringan Sosial yang populer di
indonesia adalah Facebook, path dan google+.
4. Aplikasi Berbagi Jaringan Profesional
Pengguna atau user dari aplikasi berbagi jaringan profesional biasanya
adalah kaum terpelajar seperti mahasiswa, pengamat dan peneliti. Tidak
jarang juga beberapa siswa-siswa mengakses aplikasi ini. Mereka yang
mengakses aplikasi berbagi jaringan profesional ini bisa disebut juga
kalangan akademik yang berpengaruh dalam pembentukan opini
masyarakat. Oleh karena itu, jenis aplikasi ini sangat cocok untuk
menawarkan dan menyebarkan misi dibidang perdagangan yang banyak
memerlukan telaah materi serta hal-hal yang memerlukan perincian data.
Aplikasi ini juga efektif untuk menyebarkan dan mensosialisasikan
perundang-undangan atau peraturan-peraturan lainnya. Beberapa
aplikasi jaringan profesional yang cukup populer di Indonesia antara lain
LinkedIn, Scribd dan Slideshare.
5. Aplikasi Berbagi Foto
Di Indonesia aplikasi berbagi foto ini sangat populer. Salah satu contoh
yang paling berpengaruh adalah Instagram. Saat ini ketenaran instagram
hampir mengalahkan jejaring sosial facebook karena aplikasi ini hanya
fokus menampilkan foto, jadi konten tulisan dan foto tidak campur aduk
seperti pada jejaring sosial facebook. Aplikasi berbagi foto lain yang
banyak digunakan oleh orang-orang terutam di Indonsia antara lain
Pinterest, Picasa dan Flickr.

Jenis-Jenis Media Sosial Menurut Kotler dan Keller bahwa terdapat tiga
macam platform yang utama untuk media sosial :

1. Online Communities And Forums.


Komunitas online dan forum tersebut datang dalam segala bentuk dan
ukuran dimana banyak dibuat oleh pelanggan ataupun kelompok yang
pelanggan tanpa adanya bunga komersial ataupun dengan afiliasi
perusahaan. Sebagian hal ini disponsori oleh perusahaan yang
anggotanya berkomunikasi dengan perusahaan dan dengan satu sama
lain yang melalui posting, instant, messaging, dan juga chatting yang
berdiskusi mengenai minat khusus yang dapat berhubungan dengan
produk perusahaan dan merek.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Blogs.
Terdapat tiga juta pengguna blog dan mereka yang sangat beragam, yang
beberapa pribadi untuk teman-teman dekat dan keluarga, lainnya
dirancang untuk menjangkau dan juga mempengaruhi khalayak luas.
3. Sosial Networks.
Jaringan sosial telah menjadi kekuatan yang penting baik dalam bisnis
konsumen dan juga pemasaran bisnis ke bisnis. Salah satunya dari
facebook, messanger, twitter dan juga Blackberry dll. Jaringan yang
berbeda tersebut menawarkan manfaat yang berbeda pula untuk
perusahaan.

Selain itu, menurut Puntoadi (2011: 34) bahwa terdapat beberapa macam-
macam media sosial adalah sebagai berikut :

1. Bookmarking.
Berbagai alamat website yang menurut pengguna bookmark sharing
menarik minat mereka. Bookmarking memberikan sebuah kesempatan
untuk menshare link dan tag yang diminati. Hal demikian bertujuan agar
setiap orang dapat menikmati yang kita sukai.
2. Content Sharing.
Melalui situs-situs content sharing tersebut orang-orang menciptakan
berbagai media dan juga publikasi untuk berbagi kepada orang lain.
YouTube dan Flikr merupakan situs content sharing yang biasa dikunjungi
oleh khalayak.
3. Wiki
Sebagai situs yang memiliki macam-macam karakteristik yang berbeda
misalnya situs knowledge sharing, wikitravel yang memfokuskan sebuah
diri informasi tempat, dan konsep komunitas lebih eksklusif
4. Flickr
Situs yang dimiliki yahoo mengkhususkan sebuah image sharing dengan
kontributor yang ahli di setiap bidang fotografi di seluruh dunia. Flickr
menjadikan “photo catalog” yang setiap produk dapat dipasarkan.
5. Sosial Network
Aktivitas yang menggunakan fitur yang disediakan oleh situs tertentu
menjalin sebuah hubungan, interaksi dengan sesama. Situs sosial
networking tersebut adalah linkedin, facebook, dan MySpace.
6. Creating Opinion
Media sosial tersebut memberikan sarana yang dapat berbagi opini
dengan orang lain di seluruh dunia. Melalui hal tersebut, creating opinion,
semua orang dapat menulis, jurnalis dan sekaligus komentator.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Peran, Fungsi dan Kelebihan Media Sosial


a. Peran Media Sosial
Sosial media merupakan salah satu media yang online yang memilki banyak
para pengguna yang berada di seluruh dunia ini mudah untuk berbagi ,
berartisipasi dan juga membantu blog , membuat forum, pembuat wiki dan
juga membuat dunia virtual. Seperti halnya yang kita ketahui bahwa
jejaring sosial dan juga wiki serta blog adalah bentuk media sosial yang
sering kali di gunakan oleh kebanyakan orang. Ada beberapa orang yang
pengatakan bahwa media sosial merupakan media online yang akan
memudahkan untuk melakukan interaksi sosial dan juga media sosial yang
memakai teknologi serba canggih yang memilki sistem web yang akan
menjadikan dialog interatif.

Sosial media yang merupakan situs yang mana setiap para penggunanya
bisa membagi atau mencari informasi pribadi atau juga page pribadi yang
akan terkoneksi pada orang lain atau teman – temannya. Sosial media juga
merupakan ebuah alat yang bisa di jadikan alat promosi yan sangat efektif
dan juga efisien. Hal ini di karenakan mudahnya sosial media di akses oleh
siapa saja. Sehingga jaringan romosi yang akan di lakukan lebih luas. Ada
banyak sekali jenis sosial media yang ada sekarang ini seperti halnya
twitter, facebook, blog dan juga lainnya yang mempunyai manfaat seperti
media cetak akan tetapi lebih murah dan juga lebih cepat.

Mengetahui hal itu, para politisi, pengusaha memilih melakukan


komunikasi politik dan pemasaran produk pada sosial media dari pada
media cetak. Peran sosial media yang cukup menarik perhatian para
pengguna sosial media. Peran yang tak kalah menariknya adalah mudahnya
orang berkomunikasi tanpa mengena jarak dan waktu serta dapat berbagai
tentang foto, video dan juga tautan. Sosial media memilki beberapa
kelebihan seperti membangunn hubungan, kesederhanaan, jangkauan
global serta terukur.

Media sosial merupakan alat promosi bisnis yang efektif karena dapat
diakses oleh siapa saja, sehingga jaringan promosi bisa lebih luas. Media
sosial menjadi bagian yang sangat diperlukan oleh pemasaran bagi banyak
perusahaan dan merupakan salah satu cara terbaik untuk menjangkau
pelanggan dan klien. Media sosial sperti blog, facebook, twitter, dab
youtube memiliki sejumlah manfaat bagi perusahaan dan lebih cepat dari
media konvensional seperti media cetak dan iklan TV, brosur dan
selebaran.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki kelebihan dibandingkan dengan media konvensional,


antara lain:
 Kesederhanaan
Dalam sebuah produksi media konvensional dibutuhkan keterampilan
tingkat tinggi dan keterampilan marketing yang unggul. Sedangkan
media sosial sangat mudah digunakan, bahkan untuk orang tanpa
dasar TI pun dapat mengaksesnya, yang dibutuhkan hanyalah
komputer dan koneksi internet.
 Membangun Hubungan
Sosial media menawarkan kesempatan tak tertandingi untuk
berinteraksi dengan pelanggan dan membangun hubungan.
Perusahaan mendapatkan sebuah feedback langsung, ide, pengujian
dan mengelola layanan pelanggan dengan cepat. Tidak dengan media
tradisional yang tidak dapat melakukan hal tersebut, media tradisional
hanya melakukan komunikasi satu arah.
 Jangkauan Global
Media tradisional dapat menjangkau secara global tetapi tentu saja
dengan biaya sangat mahal dan memakan waktu. Melalui media sosial,
bisnis dapat mengkomunikasikan informasi dalam sekejap, terlepas
dari lokasi geografis. Media sosial juga memungkinkan untuk
menyesuaikan konten anda untuk setiap segmen pasar dan
memberikan kesempatan bisnis untuk mengirimkan pesan ke lebih
banyak pengguna.
 Terukur
Dengan sistemtracking yang mudah, pengiriman pesan dapat terukur,
sehingga perusahaan langsung dapat mengetahui efektifitas promosi.
Tidak demikian dengan media konvensional yang membutuhkan waktu
yang lama.

b. Fungsi Media Sosial


Media sosial sebagai sistem komunikasi, maka fungsi-fungsi terkait dengan
sistem komunikasi, yaitu :
 Administrasi
Pengorganisasian proofil karyawan perusahaan dalam jaringan sosial
yang relevan dan relatif dimana posisi pasar pengguna sekarang.
Pembentukan pelatihan kebijakan media sosial, dan pendidikan untuk
semua karyawan pada penggunaan media sosial. Pembentukan sebuah
blog organisasi dan integrasi konten dalam masyarakat yang relevan.
Riset pasar untuk menemukan dimana pasar pengguna.
 Mendengarkan dan Belajar
Pembuatan sistem pemantauan untuk mendengar apa yang pasar anda
inginkan, apa yang relevan dengan mereka.
 Berpikir dan Perencanaan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Bagaiman pengguna akan tetap didepan pasar dan begaiman anda


berkomunikasi ke pasar. Bagaiman teknologi sosial meningkatkan
efisiensi operasional hubungan pasar.
 Pengukuran
Menetapkan langkah-langkah efektif sangat penting untuk mengukur
apakah metode yang digunakan, isi dibuat dan alat yang anda gunakan
efektif dalam meningkatkan posisi dan hubungan pasar anda.

Fungsi media sosial dapat kita ketahui melalui sebuah kerangka kerja
honeycomb. Pada tahun 2011, Jan H. Kietzmann, Kritopher Hermkens, Ian P.
McCarthy dan Bruno S. Silvestre menggambarkan hubungan kerangka kerja
honeycomb sebagai penyajian sebuah kerangka kerja yang mendefinisikan
media sosial dengan menggunakan tujuh kotak bangunan fungsi yaitu :

1. Identity
Identity menggambarkan pengaturan identitas para pengguna dalam
sebuah media sosial menyangkut nama, usia, jenis kelamin, profesi, lokasi
serta foto.
cenversations
2. Conversations menggambarkan pengaturan para pengguna
berkomunikasi dengan pengguna lainnya dalam media sosial.
3. sharing
Sharing menggambarkan pertukaran, pembagian, serta penerimaan
konten berupa teks, gambar, atau video yang dilakukan oleh para
pengguna.
4. presence
Presence menggambarkan apakah para pengguna dapat mengakses
pengguna lainnya.
5. relationships
Relationship menggambarkan para pengguna terhubung atau terkait
dengan pengguna lainnya.
6. Reputation
Reputation menggambarkan para pengguna dapat mengidentifikasi orang
lain serta dirinya sendiri.
7. groups.
Groups menggambarkan para pengguna dapat membentuk komunitas
dan sub-komunitas yang memiliki latar belakang, minat, atau demografi.

Fungsi Media Sosial Media sosial dalam perannya saat ini, telah membangun
sebuah kekuatan besar dalam membentuk pola perilaku dan berbagai bidang
dalam kehidupan manusia. Hal ini yang membuat fungsi media sosial sangat
besar. Adapun fungsi media sosial diantaranya sebagai berikut:
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media sosial adalah media yang didesain untuk memperluas interaksi


sosial manusia dengan menggunakan internet dan teknologi web. Media
sosial berhasil mentransformasi praktik komunikasi searah media siaran
dari satu institusi media ke banyak audience (one to many) ke dalam
praktik komunikasi dialogis antara banyak audience (many to many).
2. Media sosial mendukung demokratisasi pengetahuan dan juga informasi.
Mentranformasi manusia dari pengguna isi pesan menjadi pembuat
pesan itu sendiri.

Selain itu, terdapat pendapat lain menurut Puntoadi (2011:5) pengguna


media sosial berfungsi sebagai berikut :

1. Keunggulan membangun personal branding melalui sosial media adalah


tidak mengenal trik atau popularitas semu, karena aduensilah yang akan
menentukan. Berbagai sosial media menjadi media untuk orang yang
berkomunikasi, berdiskusi dan bahkan menberikan sebuah popularitas di
media sosial.
2. Media sosial memberikan sebuah kesempatan yang berfungsi interaksi
lebih dekat dengan konsumen. Media sosial menawarkan content
komunikasi yang lebih individual. Melalui media sosial pula berbagai para
pemasar dapat mengetahui kebiasaan dari konsumen mereka dan
melakukan suatu interaksi secara personal serta dapat membangun
sebuah ketertarikan yang lebih dalam.
3. Media Penyampaian pesan secara cepat dan luas tentu bisa membantu
seseorang untuk mempromosikan bisnisnya.
4. Media sosial berperan dalam membangun hubungan ataupun relasi,
bahkan dari jarak jauh karena media sosial memiliki jangkauan global.
5. Media sosial dapat berperan dalam membantu system administrasi,
memberi dan mendapatkan informasi, melihat peluang dan pasar,
perencanaan dan lain sebagainya.

c. Kelebihan Media Sosial


Media Sosial memiliki kelebihan dibanding media-media lainnya antara lain:
 Media sosial mudah digunakan.
Media sosial mudah digunakan dibanding media konvensional, hanya
membutuhkan komputer atau smartphone dan koneksi internet,
sementara pada media konvensional dibutuhkan keterampilan tinggi dan
keterampilan marketing yang unggul.
 Media sosial dapat membangun hubungan.
Dibanding dengan media tradisional yang hanya melakukan komunikasi
satu arah, media sosial dapat menyediakan wadah untuk berkomunikasi
dan berinteraksi dengan sesama pengguna secara mudah dan tak
terbatas.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

 Media sosial dapat menjangkau segala tempat secara global dengan


cepat dan mudah. Media tradisional pada penerapannya juga dapat
menjangkau secara global, namun diperlukan biaya dan waktu yang tidak
sedikit. Oleh karena itu Media sosial memiliki keunggulan dibidang
jangkauan secara global.
 Dengan sistem tracking yang mudah, pengiriman pesan dapat terukur
dengan baik. sehingga pengguna, instansi/perusahaan dapat mengetahui
keefektifan pengiriman data dan informasi secara langsung. Jika
dibandingkan dengan Media Tradisional, Media Sosial membutuhkan
waktu yang lebih singkat dalam pengiriman pesan.

Sosial media sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat merupakan salah satu
penyebab boomingnya sosial media. Para web developer pun kini berlomba-
lomba untuk mengembangkan berbagai sosial media yang dapat dinikmati
oleh segala kalangan. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Path, youtube
dan media sosial lainnya.

Manfaat Media sosial, antara lain :


1. Media Komunikasi
Manfaat yang paling utama kita rasakan dalam menggunakan media
Sosial adalah untuk Berkomunikasi.Komunikasi itu sendiri berarti adanya
interaksi dengan seseorang atau lebih, baik secara langsung(bertatap
Muka, telfon) atau tidak langsung(Melalui sms,surat). Biasanya dulu untuk
berkomunikasi dengan seseorang yang sangat jauh kita
menggunakanTelepon dan Handphone. Komunikasi tersebut bisa kita
lakukan jika hanya ada Nomor HP dan pulsa. Karna semakin berkembang
dan majunya teknologi, untuk berkomunikasi saat ini tidak perlu
Menggunakan Nomor HP dan Pulsa, Hanya menggunakan Koneksi
internet kita sudah bisa melakukannya. Seperti Facebook, Twitter,
Instagram dll. Sudah semakin berkurang orang menggunakan Pulsa untuk
berkomunikasi dan beralih menggunakan Paket Internet. Dari segi
keuntungan, komunikasi dengan internet lebih menguntungkan, baik dari
kecepatan dan biaya.
2. Ekspresi Diri
Ekpresi diri merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengungkapkan perasaan. Didalam diri manusia ada berbagai macam
persaan seperti sedih, bahagia, marah dll. Nah, untuk mengekspresikan
perasaan tersebut orang-orang menggunakan Media sosial sebagai ajang
pelampiasan perasaan. Ada 3 jenis cara yang bisa dilakukan untuk Meng-
Ekspresikan diri, Bisa menggunakan Tulisan, Foto dan Video.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Mencari Informasi
Dengan adanya Media Sosial, Manfaat yang dapat kita rasakan
selanjutnya adalah kemudahan dalam mencari Informasi. Kalau dulu
biasanya jika kita ingin mencari informasi harus melalui koran, buku,
majalah, televisi.Namun sekarang ini sudah dimudahkan melalui media
sosial.. Nah, Ada berbagai jenis Informasi yang ada seperti Infomasi ;
Kesehatan, Pendidikan, Berita, Teknologi dll. Kelebihan dari Informasi
Media Sosial adalah Updatenya yang begitu cepat, bisa hitungan jam,
menit bahkan detik, informasi sudah bisa disebar luaskan.
4. Media Belajar
Untuk Belajar, kita tidak perlu repot-repot untuk membeli buku. Pelajaran
apapun yang ingin kita pelajari sudah ada di media sosial. Baik itu
Pelajaran ; Komputer, Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Hukum dll, bisa
kita dapatkan dari Intenet.
5. Menambah Teman
Biasanya untuk menambah teman kita harus bertatap muka dan bertemu
secara langsung telebih dahulu dan memperkenalkan diri, sekarang tidak
harus melakukan hal tersebut kita bisa manambah teman melalui
Facebook, Google+ dll. Sehingga, kita bisa mengenal banyak orang dari
berbagai daerah. Tentunya ada interaksi yang dilakukan terhadap teman
yang sudah kita tambahkan pertemanan. Namun, Secara kedekatan
Emosional, tentunya yang bertemu secara langsung akan lebih terasa.
6. Media Untuk Berbagi
Media Sosial juga dimanfaatkan oleh seseorang untuk berbagi informasi,
tulisan, foto dan video dengan sangat mudah. Misalkan facebook,
biasanya untuk berbagi dengan teman, kita menandai mereka satu
persatu atau membagikan ke beranda masing-masing.
7. Membangun Komunitas
Manfaat yang tidak kalah menariknya adalah kita bisa membangun
komunitas pada media sosial. Biasanya, untuk membangun komunitas
orang-orang memanfaatkan Facebook dan Google+. Komunitas yang
dibangun bisa Dalam Bentuk Halaman(FansPage) atau Grup (group).
Komunitas yang kita bangun bisa mencapai jumlah anggota yang sangat
banyak ; bisa ratusan, ribuan dan bahkan jutaan. Ada berbagai komunitas
yang bisa kita bangun seperti : Komunitas Pecinta Alam, Keagamaan,
Blogger, Hacker dll.
8. Mencari Uang
Media Sosial Bisa dimanfaatkan seseorang untuk mencari uang dengan
cara menyediakan jasa. Baik itu jasa pembuatan Website, Desain, Video
Editing dll. Ada juga orang memanfaatkan Blog untuk mencari uang, yaitu
dengan memanfaatkan fasilitas Google Adsense untuk pemasangan iklan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

9. Mencari Amal
Media Sosial bukan hanya untuk mencari uang ataupun penghasilan yang
orientasinya hanya untuk dunia saja. Namun kita bisa gunakan untuk
mencari amal kebaikan untuk akhirat. Ada Berbagai Macam Cara yang
bisa kita lakukan untuk mencari amal seperti ; dengan cara membuat
kata-kata Motivasi, Insppirasi, Tausiyah, Video Tausiyah dan Poster
Dakwah. Contohnya Halaman Inovasi Dakwah dan grup Islam Agama
ku adalah Halaman/grup yang bertujuan untuk menyampaikan Ajaran
Islam.
10. Media Promosi
Kehebatan selanjutnya media sosial adalah tempat untuk
Mempromosikan seusuatu hal. Baik itu promosi produk dan jasa yang
bergerak didunia nyata dengan cara bermain didunia maya.trik promosi
dengan media sosial sangatlah berpengaruh terhadap kemajuan dari
produk dan jasa.
11. Menghibur Diri
Media Sosial Bisa kita gunakan untuk menghibur diri. Hiburan yang bisa
kita dapatkan dari media sosial seperti kata-kata, foto dan video
lucu. Kata-kata dan foto lucu bisa kita dapatkan dari komuitas
halaman meme comic Indonesia, perang gambar dan sejenisnya
12. Media Penyimpanan
Yang tidak kalah pentingnya manfaat media sosial adalah tempat untuk
menyimpan foto dan video. Apapun yang telah dipublikasikan akan
tersimpan di internet. Andaikan foto dan video telah terhapus pada
memori, kita masih bisa mendapatkannya kembali dari media sosial yang
pernah kita upload. Untuk Media Sosial yang dikhususkan sebagai media
penyimpanan adalah Google Drive, untuk yang gratisan akan diberikan
space penyimpanan sebesar 15 GB. sedangkan yang berbayar
Unlimited(tidak ada batas penyimpanan).

Seiring kemajuan Teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan


media sosial, di masa mendatang akan muncul berbagai fitur baru dalam
sosial media yang akan menambah jumlah manfaat yang bisa di dapatkan dari
media sosial.

Pesatnya perkembangan media sosial, semua orang bisa memiliki media sendiri.
Seorang pengguna dapat mengakses media sosial dengan menggunakan jaringan
internet tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa
karyawan. Pengguna media sosial dengan bebas bisa mengedit, menambahkan,
memodifikasi baik teks, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten
lainnya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah tentang orang-
orang biasa yang berbagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk
menciptakan kreasi, pemikiran, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi
teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuah komunitas. Selain
kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, adalah alasan
mengapa media sosial berkembang pesat. Tak terkecuali, keinginan untuk
aktualisasi diri dan menciptakan kebutuhan personal branding.

Perkembangan media sosial sangat cepat, itu dapat dilihat dari banyaknya
jumlah anggota yang dimiliki masing – masing situs jejaring sosial. Kerangka
Honeycomb mendefinisikan bagaimana sosial media layanan fokus pada
beberapa atau semua tujuh blok bangunan fungsional (identitas, percakapan,
berbagi, kehadiran, hubungan, reputasi, dan kelompok). Blok bangunan ini untuk
membantu memahami perlunya media penonton keterlibatan sosial. Sebagai
contoh, pengguna LinkedIn peduli tentang identitas, reputasi dan hubungan,
sedangkan blok bangunan utama berbagi YouTube, percakapan, reputasi dan
kelompok. Banyak perusahaan membangun wadah sosial sendiri yang mencoba
untuk menghubungkan tujuh blok bangunan fungsional sekitar merek mereka. Ini
adalah komunitas yang melibatkan orang-orang di sekitar tema yang lebih
sempit, seperti di sekitar panggilan tertentu, merek atau hobi, dari platform
media sosial seperti Facebook atau Google+

Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat halaman web
pribadi, dan kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi
dan berkomunikasi. Di antara yang terbesar jaringan sosial lainnya Facebook,
MySpace, Plurk, dan Twitter. Jika menggunakan media cetak dan media
penyiaran tradisional, media sosial penggunaan internet. Sosial media
mengundang siapapun yang tertarik untuk berpertisipasi untuk berkontribusi
secara terbuka dan umpan balik, komentar, dan berbagi informasi dalam waktu
singkat dan terbatas.

Saat ini, internet dan teknologi ponsel menjadikan media sosial yang lebih
canggih. Untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan di
mana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan ponsel dapat dengan
cepat mengakses dan menyebarluaskan informasi. Fenomena media sosial
mengakibatkan arus utama informasi tidak hanya di negara maju, tetapi juga di
Indonesia. Masa depan media sosial sulit diprediksi. Yang pasti keberadaannya
makin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal itu terjadi berkat
manfaat dan fungsi media sosial yang telah membuat kehidupan manusia lebih
mudah, efektif dan efisien.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan medos melalui internet meningkat signifikan setiap tahunnya. Jika


pada tahun 1995 tercatat hanya ada 1 juta situs di internet, maka pada tahun
2010 jumlahnya sudah mencapai 1,97 miliar. Pada tahun 2014 ini data
termutahir menunjukkan pengguna internet dunia diperkirakan sudah
melampaui 2,2 miliar atau sekitar 30 persen dari total populasi di dunia.
Kemudian untuk pengguna Facebook, pada tahun 2012 baru mencapai 1 miliar
dan pada tahun 2014 ini sudah mencapai 1,2 miliar pengguna. Sedangkan
YouTube, pada tahun 2013 lalu rata-rata memiliki lebih dari 850 juta pengguna
setiap bulannya.

Catatan angka-angka di atas hendak berbicara bahwa dari tahun ke tahun


pengguna internet dan media sosial bakal makin banyak. Di Indonesia sendiri
diprediksi penggunanya dalam beberapa tahun ke depan akan meningkat tajam.
Dalam lingkungan pendidikan saja, dengan diterapkannya Kurikulum 2013, maka
dalam aktivitas dan proses mengajarnya guru dituntut untuk banyak
menggunakan internet dan media sosial untuk memperkaya materi pelajaran.
Tidak terkecuali para murid dan orang tuanya, juga dituntut untuk aktif menggali
informasi melalui internet dan media sosial. Kehadiran media sosial di Indonesia
cukup berpengaruh terhadap sistem komunikasi Indonesia. Bukal hal yang aneh
mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2016 adalah sebanyak
65 juta jiwa. Yang menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna internet
terbesar ketiga di dunia. Dari jumlah itu, hampir 80% nya yaitu sekitar 51,3 juta
jiwa adalah pengguna jejaring sosial Facebook.

Peran media sosial dalam Komunikasi Massa di Indonesia sangat kentara


belakangan ini. Media sosial sering dijadikan sebagai media Komunikasi
Politik dalam mempengaruhi opini publik, misalnya untuk memenangkan
kandidat calon pejabat pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati,
Walikota, dkk. Peran Sosial media juga cukup kentara dalam Komunikasi
Bisnis baik dalam bentuk Komunikasi Persuasif atau Komunikasi visual; misalnya
penggunaan Facebook Ads. Efek media sosial juga memberikan pengaruh
pada Komunikasi Organisasi seperti pembentukan grup-grup tertentu di
Telegram, Whatsapp, dll.

1. Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah pengguna media
sosial terbesar di dunia. Pengguna Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain dari
Indonesia menempati porsi yang cukup besar dari keseluruhan pengguna media
sosial tersebut.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

a. Media Lama
Media lama adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk merujuk pada
suatu bentuk media massa yang tidak banyak mengandalkan teknologi
internet dalam aktivitasnya sehari-hari. Media lama yang beberapa di
antaranya adalah televisi, radio, surat kabar dan lain sebagainya merupakan
salah satu jenis media yang paling banyak diakses dan dimiliki oleh orang di
dunia atau di Inodnesia secara khusus. Media lama, apabila dibandingkan
dengan perkembangan media baru menurut beberapa pihak merupakan fase
yang tidak menarik. Akan tetapi media lama tidak dapat ditinggalkan begitu
saja secara harfiah.

Media lama mulai banyak yang ditinggalkan oleh orang-orang kita, akan tetapi
media lama tidak seutuhnya ditinggalkan. Perkembangan teknologi nyatanya
mampu memberikan terobosan-terobosan baru pada perangkat-perangkat
media lama sehingga menghasilkan daya saing tersendiri, misalnya munculnya
TV LED, radio streaming, e-paper, dan lain sebagainya. Peralihan dan
perkembagnan teknologi tersebut menyesuaikan tema masa kini dan
peralihan menuju media baru di Indonesia masih memiliki banyak hambatan
karena masalah infrastruktur dan masalah ekonomi.

b. Media Baru
Media baru adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menyebutkan
suatu jenis media yang berbeda dengan media sebelumnya, dengan ciri khas
utama adalah mengandalkan pada jaringan internet sebagai media distribusi
utama pesan-pesan yang ada dalam media tersebut.

Secara historis, istilah media baru mulai muncul sejak munculnya era internet.
Media baru merupakan sebuah jenis media yang dihasilkan dari proses
digitalisasi dari perkembangan teknologi dan sains. Hal yang bersifat manual
menjadi otomatis dan dari semua yang rumit menjadi ringkas sehingga
semakin memudahkan pengguna. Media baru bisa pula disebut sebagai
sebuah teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi dan terhubung ke
dalam jaringan internet.

Dennis Mcquail, menjelaskan bahwa ciri-ciri media baru adalah


interkonektivitas, adanya akses terhadap khalayak individu, interaktivitas,
kegunaan beragam untuk berbagai macam jenis manusia. Interkonektivitas
berarti adanya hubungan antara satu perangkat dengan perangkat yang lain,
sementara interaktivitas berarti di dalam media baru memiliki peluang untuk
melakukan interaksi antara pengguna dengan pengguna yang lain.

Salah satu hal yang dapat disebut dengan media baru adalah internet
(walaupun tidak secara harfiah seluruh internet adalah media baru). Internet
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

adalah sebuah jaringan komputer yang meliputi seluruh dunia dan beroperasi
berdasarkan protokol tertentu yang disepakati bersama. Sejak internet
muncul, perkembangan media sosial mulai pesat. Dunia media sosial hadir
menggantikan media komunikasi konvensional karena kemudahannya dalam
terhubung ke berbagai orang di belahan dunia dengan cepat, tanpa batas, dan
juga mudah.

c. Media Sosial
Media sosial pada umumnya adalah sebuah media yang digunakan untuk
bersosialisasi (berhubungan, baik secara personal, kelompok dan lain
sebagainya) antar penggunanya. Beberapa istilah yang ada dalam media sosial
antara lain adalah Sosial Network, SNS dan Communication Network. Secara
garis besar media sosial dan jaringan sosial menggunakan sistem yang sama
yaitu media daring yang terhubung dengan internet. Pada media sosial dan
jaringan sosial, ada banyak orang yang saling terhubung satu sama lain tanpa
dibatasi dengan batas geografis, ruang, bahkan waktu dengan tujuan untuk
saling berkomunikasi, berbagi sesuatu, berpendapat, menjalin pertemanan,
bahkan pada beberapa kasus untuk mencari belahan hatinya.

Media sosial dan jejaring sosial memiliki perbedaan tertentu, terutama pada
media yang digunakan. Media sosial merupakan media interaksi online sepert
blog, forum, aplikasi chatting sampai dengan sosial network. Contoh dari
media sosial meliputi e-mail, chat, dan lain sebagainya. Sementara jejaring
sosial atau sosial network merupakan bagian dari media sosial yang
merupakan sebuah jejaring online yang memuat interaksi dan relasi
interpersonal yang berupa aplikasi atau situs web yang memungkinkan
pengguna untuk berkomunikasi dengan cara betukar informasi, berkomentar,
mengirim pesan personal, mengirim gambar, video, dan lain sebagainya.

Media sosial merupakan suatu jenis media tersendiri, akan tetapi fungsi
media massa masih dapat kita temui pada media sosial ini, walaupun tidak
seluruhnya sama. Sementara SNS (Sosial Networking Sites) merupakan
terminologi yang lebih khusus untuk menjelaskan tentang situs mana yang
digunakan untuk melakukan aktivitas jejaring sosial tersebut. Contoh jejaring
sosial sekaligus SNS adalah Facebook, Pinterest, Instagram, Youtube, Twitter,
Path, Tumblr, dsbnya.

Aktivitas media sosial didukung dengan dengan adanya jaringan komunikasi


yang menghubungkan dua perangkat atau lebih komputer yang mampu
melakukan transfer data, instruksi dan informasi menggunakan jaringan-
jaringan internet sehingga pengguna media sosial dapat saling terhubung
dengan baik selama jaringan yang mereka gunakan terus menyala dengan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sempurna. Dari adanya media sosial ini tentunya terdapat efek media
sosial atau pengaruh media sosial yang juga perlu untuk diwaspadai.

Beberapa teknologi yang digunakan dalam komunikasi media daring selama


ini antara lain adalah web, e-mail, chatting, instant messaging, FTP, web
folders, video conference, newsgroup, dsbnya.

2. Perkembangan Media Sosial di Indonesia


Media sosial di Indonesia mulai pesat mengikuti perkembangan akses internet
pada para pengguna di Inodnesia, terlebih lagi dengan perkembangan
infrastruktur internet yang ada di Indonesia seperti misalnya akses wifi,
jaringan fiber dan lain sebagainya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2012, kurang lebih 63 juta masyarakat
Indonesia terhubung dengan internet dan sebanyak 95 persen aktivitas yang
mereka lakukan adalah adalah membuka media sosial. Bahkan Indonesia
sampai diprediksi akan menjadi negara dengan pengguna sosial media paling
aktif dan paling banyak. Salah satu alasan yang paling kuat mengapa hal
tersebut bisa terjadi adalah karena perangkat-perangkat
internet mobile semakin terjangkau harganya bagi masyarakat sehingga
memungkinkan penetrasi jaringan pada user yang lebih luas.

Perkembangan gawai turut mendukung perkembangan akses media sosial di


Indonesia. Telepon genggam pintar seperti Android, iOS, dan lain sebagainya,
beserta beragam model IoT seperti phablet, tablet, dan lain sebagainya turut
menyumbang pada semakin luasnya akses internet dan media sosial bagi
masyarakat di Indonesia. Saat ini media sosial tidak hanya digunakan sebagai
platform komunikasi dan sosialisasi, tetapi juga digunakan untuk kepentingan
politik, pemerintahan, dan lain sebagainya sebagaimana yang terjadi pada
kasus pemilu presiden pada tahun 2014 yang sebagian besar kampanye
sangat masif dilakukan melalui internet dan media sosial. Konstruksi realitas
sosial terhadap suatu informasi atau peristiwa tertentu sangat mudah
dilakukan dengan media sosial.

Masyarakat Indonesia semakin hari semakin aktif dalam dunia media sosial,
dengan tingkat penetrasi yang mencapai puluhan juta orang, sehingga konten-
konten apapun dapat viral dengan mudah seperti misalnya peristiwa-
peristiwa unik sampai pada hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak
pernah terpikirkan akan viral. Petisi-petisi online juga semakin marak yang
menunjukkan bahwa pengguna media sosial tidak hanya menyadari fungsi
media sosial untuk berinteraksi, tetapi juga untuk melakukan gerakan-gerakan
atau mendukung gagasan-gagasan tertentu agar mereka dapat berkontribusi
dalam mengatur perkembangan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan media sosial juga semakin beragam. Tidak hanya aktivitas


mencari teman, bersosialisasi, dan lain sebagainya, tetapi media sosial di
Indonesia juga digunakan untuk melakukan promosi produk tertentu atau
pada prinsipnya melakukan bisnis tertentu. Dengan demikian para pebisnis
akan memiliki kemudahan dalam melakukan aktivitas distribusi sehingga biaya
produksi akan semakin rendah. Tidak hanya berjualan, media sosial juga
difungsikan untuk aktivitas politik.

Melihat besarnya potensi pengguna di Indonesia tersebut sampai membuat


perusahaan media sosial mulai membuka cabang-cabang atau kantor resmi
untuk memudahkan komunikasi dengan pemerintah ataupun dengan para
penggunanya yang ada di Indonesia. Pembukaan kantor resmi ini tentu
menguntungkan karena selain memudahkan pengguna media sosial tersebut
untuk menyampaikan keluhannya, juga membuka peluang pekerjaan bagi
orang-orang tertentu.

3. Jenis Media Sosial yang Populer di Dunia dan Pengguna terbanyak di


Indonesia
Jejaring media sosial sudah banyak sekali jenisnya, membuat pengguna bebas
memilih media sosial yang sesuai kebutuhannya. Intinya, sosial media hanya
memiliki satu fungsi yaitu untuk menjalin komunikasi secara online. Beberapa
jenis media sosial yang sangat populer dengan jumlah pengguna terbesar di
Indonesia dan menduduki peringkat atas dalam daftar pengguna media sosial
paling aktif yang ada di dunia. antara lain :

a) Media Sosial Facebook


Media sosial buatan Mark Zuckerberg ini memang menduduki peringkat
pertama media sosial yang paling banyak di gunakan di dunia. Saat ini
Facebook merupakan media sosial paling populer di dunia. Sejak
diluncurkan pada tahun 2004 silam Facebook sudah dilengkapi berbagai
fitur yang memanjakan para penggunanya, mulai dari yang awam soal
internet sampai yang sudah ahli sekalipun tidak akan mengalami kesulitan
menggunakan Facebook sebagai sara berbagi informasi di dunia maya.
Kepopuleran Facebook inilah yang mengantarkan Mark Zuckerberg
menjadi salah satu orang terkaya di dunia diusia yang masih muda.

b) Media Sosial Twitter


Pada peringkat kedua media sosial yang paling populer di dunia
adalah Twitter. Media sosial yang mirip dengan microblog ini tercatat
sebagai media sosial yang paling aktif penggunanya. Sejak diluncurkan
tahun 2006 Twitter tumbuh dengan pesat dan saat ini sudah mencapai
284 juta pengguna.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Twitter adalah tempat yang tepat bagi pengguna sosial media yang suka
membagikan status yang singkat jelas dan padat. Hampir seluruh
pengguna internat menggunakan Twitter, diantaranya selebritis, politikus,
dan juga relawan mereka semua menggunakan media sosial ini untuk
kepentingan masing-masing.

c) Media Sosial Google Plus


Media sosial ini merupakan kepunyaan Google Inc. Seperti yang kita tahu,
saat ini Google adalah tempat untuk mencari sumber informasi yang
paling mudah, cukup dengan mengetik kata kunci di mesin pencari kita
akan di kasih ribuan website yang memuat informasi tersebut. Google
plus adalah jejaring sosial yang dibesut oleh Google pada tahun 2011,
kepopuleran Google+ juga sudah mendunia. Untuk membuat akun media
sosial ini juga sangat mudah, cukup membuat akun Google maka secara
otomatis akan otomatis mempunyai akun Google+.
Google+ menyediakan layanan profile, Google map, Google buzz dan
beberapa yang lain yaitu Circles, Hangouts, dan banyak lagi. Tetapi tidak
banyak orang yang aktif di Google+.

d) Media Sosial Instagram


Instagram merupakan media sosial tempat berbagi foto atau video yang
paling populer saat ini. Pada awalnya Instagram hanya tersedia di aplikasi
IOS (iphone/ ipad), tapi saat ini sudah tersedia untuk berbagai OS yang
lain seperti android, symbian, windows phone, dan lainnya. Kelebihan
dari media sosial Instagram adalah bisa mengedit foto agar terlihat lebih
bagus dan profesional. Fitur yang tersedia di media sosial ini hampir sama
dengan media sosial yang lain yaitu ada hashtag, ada comment,
ada mention, ada like, ada follow, banyak masih banyak lagi yang lainya.
Hampir setiap hari ada jutaan foto dan video yang telah di unggah di
Instagram.

e) Media Sosial Pinterest


Situs jejaring sosial ini memungkinkan pengguna untuk berbagi foto,
acara, minat dan hobi. Bukan hanya sekedar berbagi foto atau file biasa,
tapi mengelompokkan foto tersebut ke dalam kategori sesuai dengan
objek foto tersebut. Hal menarik lainnya dari Pinterest adalah pengguna
bisa meng-upload foto ke pinboard, lalu meng-sharenya ke dalam website
atau media sosial lainnya. Di Indonesia atau di negara Asia lainnya
Pintererst kurang populer jika dibandingkan dengan media sosial lain.

f) Media Sosial Tumblr


Tumblr merupakan media sosial yang memungkinkan peggunanya untuk
membagikan post yang berbentuk blog mini yang bisa dilihat
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

di dashboard pengguna lain yang mengikuti. Pengguna bisa


mengkonesikan Tumbrl dengan media sosial lain seperti Facebook,
Twitter, atau Google plus sehingga ketika pengguna mem-posting sesuatu
di Tumbrl akan secara otomatis akan masuk dan tampil di media sosial
lain. Seperti layaknya layanan web lain, Tumbrl juga bisa mendesain
tampilan dengan HTML. Jadi pengguna bebas mendesain tampilan profil
Anda sesuai dengan keinginan. Yang membedakan antara Tumblr dengan
blog/website profesional adalah Tumblr merupakan blog yang berbasis
jejaring sosial. Oleh karena itu yang dipost lebih bersifat kehidupan
pribadi. Untuk pengguna yang suka ngeblog sambil santai bersosial,
Tumbrl adalah media yang tepat.

g) Media Sosial Flickr


Flickr adalah media sosial khusus untuk berbagi foto. Pada media sosial ini
memungkinkan pengguna untuk men-tag dengan kata kunci populer,
sehingga foto atau video yang kita upload akan tersebar luas di mesin
pencari. Keanekaragaman foto yang di bagikan di Flikr membuat para
pemilik blog menjadikannya referensi untuk mencari gambar yang
berkualitas. Jadi bagi pengguna yang menyukai fotografi, melukis atau
membuat video bisa juga memanfaatkan media sosial ini untuk
menyalurkan hobi.

h) Media Sosial Linkedln


Media sosial Linkedln memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan
jaringan bisnis. Singkatnya dengan memiliki akun Likedln pengguna bisa
terhubung dengan orang-orang profesional yang ada di jaringan bisnis
dunia. Likedln menyediakan lebih dari 20 bahasa layanan termasuk
bahasa Indonesia. Yang menarik di Likedln adalah para pengusaha bisa
mencari langsung tenaga pekerja yang potensial untuk kemajuan
perusahaannya, begitu juga sebaliknya para pencari kerja bisa melihat
profil calon perusahaan atau menajer HRD.

i) Media Sosial Ask.Fm


Situs jejaring sosial ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan
jawaban atas pertayaan yang pengguna ajukan kepada orang lain. Fungsi
utamanya kurang lebih sama dengan Yahoo answer. Bila pengguna
mempunyai pertanyaan yang tidak bisa sendiri, bisa mem-posting
pertanyaan itu ke Ask.fm untuk mendapatkan jawaban. Biasanya yang
menjawab pertayaan di Ask.fm adalah ahli dalam bidangnya. Tapi
pengguna harus tetap berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan, karena
pertanyaan Anda bersifat publik jadi siapapun bisa membaca dan
berkomentar. Bertanyalah hal yang bersifat wajar, karena sudah banyak
kasus di mana pengguna di buly karena pertanyaan yang di ajukan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

j) Media sosial “Chat” Apps


Aplikasi chat ini bersifat lebih pribadi dan biasanya hanya ada di aplikasi
ponsel seperti Nokia, iOS, Android, Blackberry, Symbian, Windows Phone.
Banyak orang yang mengunakan layanan media sosial ini untuk
menggantikan fitur sms dalam berkomunikasi. Aplikasi chat ini lebih
praktis dari sms, atau email karena aplikasi ini bisa di akses dari jaringan
kartu sim dan juga koneksi wifi. Pengguna bisa berkomunikasi dengan
sahabat, teman, dan keluarga dimanapun berada. Perbedaan cara
berkomunikasi pada masing-masing aplikasi chat tidak terlalu banyak,
semuanya rata-rata menyediakan fitur percakapan personal dan juga
percakapan group. Yang berbeda adalah cara penambahan kontak teman
(dengan pin/user ID/nomor telepon) dan juga perbedaan dari segi
hiburan (emoticon/sticker, file sharing, voice call dan video call).

Media sosial, menjadi sebuah keniscayaan, saat kehadiran internet


menghubungkan berbagai tempat dan ruang yang menghilangkan jarak
geografis. Berbeda tempat, kota, Negara bahkan benua dapat terhubung dan
mengenal satu sama lain. Menurut Solis dan Breakenridge, media sosial
merupakan demokratisasi konten dari media dan menggesernya peran manusia
dalam membaca dan menyebarkan informasi termasuk di dalamnya
menciptakan dan berbagi konten. Media sosial merupakan pergeseran dari
model mekanisme siaran dari banyak ke banyak yang berakar dari format
percakapan antara penulis dan rekan-rekannya dalam saluran sosial mereka.
Masyarakat pengguna media sosial memiliki kesempatan untuk menyiarkan
pikiran, pendapat, dan keahliannya secara global. Dalam banyak kasus suara-
suara ini cukup berpengaruh, karena diantara yang bersuara tersebut adalah
para wartawan dan pakar industri (Solis dan Breakenridge, 2009:17). Jika dahulu
sebelum adanya media sosial, masyarakat hanya menjadi penonton, dengan
adanya fasilitas internet dan aplikasi-aplikasi yang ada di dalamnya
memungkinkan masyarakat menjadi pembuat konten yang mampu
mempengaruhi masyarakat lainnya. Masyarakat menjadi pemain sekaligus.

Media sosial, kata Solis, bisa memberdayakan masyarakat menjadi


influencer baru. Media sosial memegang peranan yang kuat dalam
mempengaruhi masyarakat sehingga mengubah peta permainan kegiatan public
relations. Merujuk bahwa media sosial sebagai “kebijaksanaan kerumumunan”,
ia dapat menjadi kelompok yang sangat kuat. Kekuatan media sosial ini
merupakan pemberdayaan suara otoritatif dari kelas sosial baru yang tidak bisa
diabaikan (Solis dan Breakenridge, 2009: 1).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Tracy L. Tuten (2008: 20) media sosial mengacu pada


komunitasonline yang partisipatif, ada percakapan, dan mencair. Komunitas ini
memungkinkan anggota untuk menghasilkan, menerbitkan, mengontrol,
mengkritik, meningkatkan, dan berinteraksi dengan konten yang bersifatonline.
Istilah ini dapat mencakup setiap komunitas online yang mempromosikan
individu juga menekankan hubungan individu dengan masyarakat.
Memungkinkan semua anggota untuk berkolaborasi dan didengar dalam sebuah
ruang tertentu, melindungi, menyambut pendapat, dan berkontribusi sebagai
peserta. Frase media sosial sendiri menurut Tracy merujuk pada situs jejaring
sosial, dunia maya, berita sosial, situs bookmark, wiki, forum, dan situs
pendapat.

Sampai batas tertentu, menurut Tracy, semua format masyarakat ini adalah
jaringan sosial karena semua fitur interaksi dan pemeliharaan hubungannya
berdasarkan jumlah peserta. Kini, salah satu tempat berkumpul masyarakat
adalah dunia maya.

Di dunia maya, jaringan sosial telah berevolusi, sebagian masyarakat


menghabiskan waktu untuk kenyamanannya dengan sebuah aplikasi media sosial
untuk menangkap motif dan mengembangkan sebuah hubungan online
menggunakan komunitas sosial, serta komunikasi melalui pesan instan dan pesan
teks. Menurut Varinder Taprial dan Priya Kanwar (2012:8) media sosial adalah
media yang memungkinkan seseorang untuk bersosialisasi atau berinteraksi
secara online dengan berbagi konten, berita, foto dan lain-lain dengan orang lain.
Mengutip dari berbagai sumber, Varinder dan Priya seperti dikutipnya dari
kamus Merriam-webster online mendefinisikan media sosial sebagai bentuk
komunikasi elektronik yang membuat komunitas online bisa berbagi informasi,
ide, pesan pribadi, dan konten lain.

Sementara mengutip dari Wikinvest, bahwa media sosial menggambarkan situs


web yang memungkinkan pengguna untuk berbagi konten, media, dan lain-lain
melalui situs jaringan sosial popular seperti facebook, MySpace, juga Youtube,
Photobucket, Flickr termasuk di dalamnya sumber-sumber referensi online
seperti dig, Wikipedia atau microblogging Twitter. Hal senada, seperti dinyatakan
oleh David Phillips dan Phillip Young saat mendefinisikan web 2.0 yang menjadi
dasar dari media sosial, yaitu sebuah platform yang membantu transfer
pengetahuan dan percakapan dalam sebuah tempat ketika orang-orang dapat
dengan mudah mencampur dan mencocokan keduanya. Tempat ini begitu
sangat besar dan signifikan seperti Facebook, Bebo, Wikipedia, dan Blog (2009:
103).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, media sosial merujuk pada


sejumlah aplikasi berbeda yang memungkinkan setiap orang bisa berkumpul,
berinteraksi, berbagi dokumen, foto, video, saling berkomentar, atau saling
bertukar dan mengirim pesan tanpa terbatasi oleh ruang dan jarak. Aplikasi
tersebut dimediasi oleh komputer yang dihubungkan dengan jaringan internet.
Sehingga memungkinkan setiap orang dari berbagai tempat yang berbeda bisa
saling berinteraksi dan menjalin hubungan.

Komunikasi media sosial bersifat many to many, berbeda dengan media massa
yang bersifat one to many. Dalam konteks komunikasi pemasaran diibaratkan
sebagai media untuk melakukan word of mouth, tempat konsumen
merekomendasikan atau menceritakan produknya tanpa ada pretensi promosi
kepada lingkungan sosial online-nya.

Menurut Yuswohady, pola ini memiliki kekuatan menjual seribu bahkan sejuta
kali lebih hebat dibanding ocehan salesman (2008:5). Sama halnya dengan
publikasi sebagai media komunimasi public relations yang paling efektif. Media
sosial dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan publikasi kepada publik.
Dengan sifat komunikasi many to many, penceritaan orang ketiga tentang
produk/ jasa/ lembaga memiliki daya dorong yang kuat untuk melambungkan
seseorang/ produk/ lembaga.

Audiens dengan audiens dapat saling menguatkan atau sebaliknya. Jika cerita
positif tentang seseorang itu diceritakan oleh audiens sebagai orang ketiga,
disitulah letak kekuatannya, sehingga mampu menaikan reputasi dan
mengangkat citra seseorang/ produk/ lembaga. Hal ini menjadi lumrah terjadi
dalam komunikasi media sosial, many to many. Saling berjejaring sehingga
memiliki efek viral.

1. Aplikasi Media Sosial


David Phillip dan Philip Young (2009:11) menuliskan sejumlah aplikasi media
sosial sebagai geograpi. Geograpi media sosial sebagai panduan utama untuk
menyelami dan memahami media sosial. Melalui media sosial menjadikan tur
komunikasi menjadi sangat cepat. Menurut David Philip dan Philip Young ada
berbagai jenis aplikasi yang dapat dikategorikan sebagai media sosial. Media
sosial tersebut meliputi: blog, chatting, e-mail, game, pesan instan, papan
pesan, monitoring dan evaluasi, siaran media sosial, konferensi online,
podcasting, RSS, Survei online, Usenet, Video-sharing, lingkungan virtual,
komunitas virtual, VoIP, Website, widget, wiki.

Setiap saluran dalam daftar di atas memiliki perbedaan secara praktis


dandapat digunakan oleh orang-orang dengan berbagai cara. Aplikasi-aplikasi
media sosial tersebut dapat diakses melalui komputer atau PC melalui koneksi
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

internet. Bisa juga diakses melalui perangkat lain seperti gadget. Saluran ini
memiliki kegunaan beragam seperti surat personal, buku harian, buku, surat
kabar dan majalah seperti halnya dalam media cetak.

Saluran-saluran komunikasi media sosial tersebut, pada masa yang akan


datang, memungkinkan tidak lagi digunakan, karena sifat dari teknologi yang
cepat berkembang. Oleh karena itu, ke depan saluran komunikasi media sosial
harus tetap melakukan penyesuaian sesuai dengan trend perkembangan
media sosial. Seperti diketahui, sebagian dari yang disebutkan di atas kini
sudah tidak lagi atau jarang digunakan oleh pengguna internet. Untuk
Indonesia sendiri, podcasting dan VoIP tidak terlalu popular, sehingga jarang
digunakan. Saat ini yang paling umum digunakan oleh lembaga ataupun
perseorangan sebagai sarana berkomunikasi dengan audiens adalah jenis
media sosial yang memungkinkan terjalinnya pertemanan dan partisipasi aktif
dari audiensnya yaitu jejaring sosial.

Melalui jejaring sosial seseorang juga memungkinkan berbagi berbagai macam


dokumen sebagai bahan atau bagian dari pesan komunikasi. Pengguna dapat
berbagi foto di Picmix atau Instagram, atau berbagi pesan video di Youtube
atau Vimeo, sementara untuk berbagai pesan tulisan dapat dilakukan melalui
blog. Selain di media tersebut, mereka juga membagikannya di media jejaring
sosial seperti melalui Facebook, Twitter ataupun google+ dan lainnya agar
konten-konten yang diciptakan dapat diterima, dibaca, atau diketahui oleh
publik. Lebih jauhnya, melalui komunitas yang dibangun dapat mempersuasi
anggota-anggotanya.

Gun-gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012:72-74) menyarikan dari buku


Online Public Relations dari David Philips & Philip Young (2009) secara detail
yang termasuk aplikasi media sosial adalah sebagai berikut.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Tabel 1. Aplikasi media sosial


Jenis website yang dapat dibuat oleh perorangan atau
organisasi. Hampir semua blog bersifat terbuka, tetapi ada
kalanya suatu organisasi membuat blog khusus untuk
kalangan internet. Biasanya, pembaca dapat memberikan
Blog/ weblog
komentar tentang isi ataupun pemilik blog. Selain
tulisan,blog dapat berisi gambar, files, suara, video, dan lain-
lain.
Teknologi ini memungkinkan dua orang atau lebih
melakukan pertukaran pesan berupa teks, suara atau
disertai gambar secara langsung (in real time). Boasanya,
Online chat
berupa ini juga terdapat (dipasang) dalam sebuahwebsite.
Jadi, sebuah organisasi memiliki orang-orang yang
melayani online chat untuk para pengakses web.
Sosial bookmark (marka buku) adalah untuk merekam
halaman web melalui daftar online yang dapat diurutkan,
Delious
diindex, dibagi bersama dengan kolega atau masyarakat
luas.
Metode store and forward untuk membuat, mengirim,
E-mail menyimpan, dan menerima pesan melalui system
komunikasi elektronik.
Website dan layanan web untuk mengunggah dan
mengunduh foto. Web ini juga memungkinkan foto tersebut
Flickr
dapat disertakan pada halaman web lainnya,blog, wiki atau
lainnya.
Games hadir seiring dengan hadirnya komputer. Diawali
dengan permainan Pacman, saat ini dapat kita
Games
temuigames dengan berbagai tema, bahkan dapat
dimainkan secara online.
Bentuk dari komunikasi yang bersifat real-time antara dua
orang atau lebih dalam bentuk teks. Media ini adalah bentuk
Instant
komunikasi yang sudah lama ada. Yahoo! Messenger adalah
Massaging
salah satu yang banyak digunakan, selain MSN, Skype,
Jabber, ICQ, dan AIM.
Semacam forum melalui internet untuk mendiskusikan dan
menuliskan pesan untuk peserta forum. Dapat juga disebut
sebagai web forum, message boards, discussion boards,
discussion groups, discussion forum at au bulletin boards.
Message
Biasanya, grup atau forum tersebut terbentuk dengan tema-
Boards
tema titrant atau untuk kalangan tertentu. Besaran grup
bervariasi, dari kecil hingga besar. Topik-topik khusus yang
biasanya dibicarakan membuat grup tersebut memerlukan
seseorang atau lebih dikenal dengan moderator untuk
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mengatur atau mengawasi jalannya diskusi. Kita mengenal


adanya google’s groups atau Yahoo Groups yang pada
akhirnya popularitas dari grup ini menginspirasi hadirnya
pemikiran awal tentang teori media sosial kontemporer.
Bentuk dari blog yang biasanya hanya memuat 140-220
hurup. Twitter adalah contoh dari micro blog yang sangat
dikenal, selain FriendFeed, Jaiku and Pownce. Layanan ini
juga dapat kita temui pada website jaringan sosial popular,
Micro blog
seperti Facebook dan MySpace sebagai “status
update”. Banyak organisasi dan perorangan
menggunakanmicro blog untuk berkomunikasi kepada
berbagai pihak.
Media baru membuka peluang press release untuk
dipublikasikan melalui internet. Bentuk baru ini
New Media
memungkinkan sebuah press release disertai berbagai
Release
tambahan isi, seperti foto, grafik, video, rekaman suara,
komentar, dan lain sebagainya.
Pertemuan secara online yang memungkinkan beberapa
pihak yang berada berjauhan untuk dapat saling
berkomunikasi adalah dengan online conference. Banyak
Online
situs yang melayani keperluan tersebut, seperti Skype,
Conferencing
Convenos, GoToMeeting, dan lainnya. Cara pertemuan ini
dapat menghemat biaya dan waktu, karena para pihak yang
bertemu tetap berada pada tempatnya masing-masing.
Survey secara online dapat dilakukan melalui websiteatau
dengan menggunakan e-mail oleh suatu organisasi. Ada
Online juga pihak yang menyediakan jasa
Surveys survey onlineseperti Confirmit, InstantSurvey, Keypoint, Mer
linplus,Net-MR, Snap, Sphinxsurvey, SurveyWriter.com, The
Survey System dan Websurveyor.
Banyak website atau mesin pencari yang memasang iklan
kecil (menyertakan URLs). Jika kita melakukan ‘klik’ pada
Pay Per click
iklan tersebut, maka organisasi atau pihak yang memasang
iklan tersebut akan dibebankan biaya.
Podcast adalah audio file (semacam MP3 File) yang
disertakan dalam halaman web, dengan ‘snow
Podcast notes’pendengar dapat memberikan komentar atau respons
terhadap program. Seperti radio, maka program dapat
didengarkan melalui PC/ laptop/ iPod atau telepon seluar.
RSS (Really Simple Sindication) adalah system yang akan
mengidentifikasi adanya konten baru dalam sebuah situs.
RSS
Seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan beberapa
mesin pencari memberikan layanan RSS.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mesin pencari adalah yang paling banyak digunakan oleh


semua website karena kemampuannya untuk mencari
informasi. Google adalah mesin pencari yang sering
digunakan. Di samping itu, ada juga mesin pencari dengan
Search kegunaan khusus. Cara menggunakannya adalah dengan
Engine mengetikan kata atau kalimat tertentu, lalu mesin pencari
akan memunculkan daftar halaman yang memuat kata atau
kalimat tersebut, termasuk link di dalamnya. Mesin pencari
lainnya yang juga banyak digunakan adalah Yahoo atau
mesin pencari dengan spesifikasi khusus.
Sejenis micro website yang memungkinkan semua orang
untuk saling berinteraksi, bertukar informasi, berkomentar,
Sosial
berdiskusi, mengunggah foto, music, video, dan laman ini
Networking
adalah bagian yang paling popular dari sekian banyak
Service Sites
layanan dalam internet. Contoh fenomenal adalah
kehadiran facebook.com
Youtube adalah contoh dari laman video sharing yang paling
Video
diminati. Siapa saja memiliki kesempatan untuk
Sharing
mengunggah dan mengunduh video.
Berbagai lembaga komersial, nirlaba dan perorangan saat ini
memiliki website sebagai sarana komunikasi kepada pihak
lain. Untuk website pribadi, yang paling banyak digunakan
adalah sistus jejaring sosial. Website yang sering diakses
oleh pengguna komputer, ponsel dan jaringan area local
adalah melalui web browser seperti internet eksplorer,
Websites
Firefox, atau Google Chrome. Namun,
banyak platform untuk komunikasi akan membuat
halaman web dalam format lain termasuk IPTV. Banyaknya
penggunaan website memunculkan industry yang secara
signifikan memberikan layanan seputarwebsite,
website, yaitu mendesain, mengisi, dan sebagainya.
Wiki adalah bentuk dari website. Dalam laman ini tersedia
berbagai informasi dan referensi yang dibuat oleh
sekelompok orang yang mendapat hak untuk menulis dan
Wiki mengedit isi wiki, hak tersebut ditentukan oleh pemilik
atau wiki master. Wiki menjadi popular bagi banyak orang
karena berbagai uraian tentang berbagai hal dalam
Wikipedia.com
Sumber: Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012:74)

2. Karakteristik Media Sosial


Karakteristik yang dimiliki oleh media sosial berbeda dengan media massa
tradisional. Dengan tingkat keterjangkauan yang besar serta tidak terhalang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

oleh ruang dan waktu. Media sosial memiliki banyak kelebihan. Kelebihan ini
sebagian karena karakteristik media sosial sebagai media yang berada dalam
ruang digital. Mengadaptasi dari Nasrullah (2012: 72) Media sosial sebagai
media baru (new media) memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Network. Terhubung dengan jaringan yang tidak terbatas pada satu


wilayah geografis. Melalui media sosial, Publik Relation dapat terhubung
tanpa terhalang oleh ruang dan waktu selama Publik terkoneksi dengan
jaringan internet. Melalui media sosial, pihak perusahaan/ lembaga
dapat selalu terkoneksi dengan publiknya.
b. Information. Sifatnya yang multimedia, Publik relation dapat
menyampaikan informasi secara cepat dalam berbagai bentuk, baik
teks, foto, audio, atau pun bentuk adio visual dan teks secara
bersamaan. Melalui media sosial, pihak Public Relations dapat dengan
cepat dan melakukan pembaharuan penyampaian informasi. Di samping
itu, saat menyampaikan informasi dapat langsung berinteraksi dengan
publiknya secara langsung.
c. Interface. Merupakan perangkat penerjemah saat berhubungan melalui
computer. Melalui karakter ini Public Relations dapat mencitrakan diri
dan perusahaannya semaksimal mungkin.
d. Archive. File dan berbagai dokumen infotmatif yang pernah
dipublikasikan di media sosial dapat tersimpan walaupun sudah
bertahun-tahun selama servernya masih berfungsi. Hal ini
memungkinkan Publik dapat mengakses berbagai informasi masa lalu
yang masih dibutuhkan.
e. Interactivity. Mendorong pelaku media sosial untuk berkomunikasi
secara interaktif. Public Relations yang menjadikan media sosial sebagai
alat komunikasi dapat berinteraksi dengan publiknya untuk membangun
saling pengertian secara langsung secara intensif.
f. Simulation. Melalui media sosial, Public Relations dapat melakukan
rekayasa positif dengan maksimal bagaimana mencitrakan perusahaan,
baik melalui teks, grafis, ataupun audio visual.

3. Dampak Media Sosial


Sebagai sarana dan saluran komunikasi, media sosial memiliki kekuatan
dampak. Selain berdampak pada pengubahan media sendiri, juga berdampak
pada hal-hal lain. Hal ini karena media sosial mewarisi kekuatan dampak dari
teknologi internet. Biagi (2010: 237) mencatat ada beberapa dampak, yaitu:

a) Masyarakat
Hal yang paling menonjol dari perubahan kehadiran media internet yang
menjadi basis media sosial adalah perubahan pada cara berkomunikasi
dalam setiap aspek kehidupan termasuk untuk komunikasi sehari-hari
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

juga hubungan produsen dan pelanggan. Melalui penyediaan domain


public, menjadikan setiap halaman dalam internet dapat diakses oleh
public. Masyarakat menjadi sangat mudah mengakses tempat-tempat
umum di internet setelah adanya mesin pencari. Produk begitu mudah
tersebar. Hal ini juga berlaku untuk media sosial; melalui blog, situs
jejaring sosial, atau microblog kegiatan-kegiatan ekonomi dilakukan baik
personal ataupun kolektif hingga lembaga.

Seiring dengan makin bertambahnya ‘penduduk’ media sosial, para


pelaku ekonomi pun berlomba-lomba membuka toko di dunia tersebut.
Hal ini berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.
Dimana antara produsen dan konsumen dipertemukan tanpa terhalang
oleh ruang dan waktu. Di Indonesia, seperti disebut-sebut oleh Rhenald
Kasali, sejak adanya internet hingga tahun 2013, transaksi keuangan di
media siber dua kali lebih besar dibandingkan dengan transaksi di dunia
nyata .

Perubahan dampak tersebut menurut Biagi (2010: 239) membutuhkan


waktu 30 tahun. Mengutif Saffo, direktur Institute for the Future
California karena selama 5 abad terakhir kecepatan perubahan selalu 30
puluh tahun atau sekitar 3 dekade dari penerapan teknologi baru untuk
adopsi lengkap dengan budaya. Termasuk saat teknologi internet yang
menjadi teknologi koneksi dari media sosial muncul. Butuh 30 tahun agar
teknologi tersebut bisa beradaptasi dengan masyarakat pengguna hingga
mampu melakukan perubahan pada masyarakat. Salah satu perubahan
mendasar dari masyarakat adalah perubahan cara berkomunikasi.
Dengan demikian, menjadi jelas bagaimana kekuatan media sosial dapat
mengubah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.
Termasuk isu-isu politik, demokrasi, sosial, HAM, Lingkungan, dan lain
sebagainya.

b) Budaya
Kehadiran media sosial menjadi penentu perubahan cara berkomunikasi
manusia yang semakin mudah dan efisien. Kemudahan ini akan
berdampak viral terhadap perubahan budaya masyarakat. Budaya
komunikasi, budaya ekonomi, budaya konsumen, budaya pendidikan,
budaya politik, pertahanan dan keamanan, budaya iklan, budaya baca,
dan lain sebagainya. Sehingga memunculkan istilah cyberculture. Bahkan
seperti dinyatakan oleh Saffo (Biagi, 2010: 241) kita bisa menemukan
kembali diri kita sebagai bagian dari budaya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

c) Bisnis.
Dengan kehadiran jaringan internet memungkinkan menggabungkan
perdagangan, informasi, dan hiburan. Media sosial dapat langsung
menghubungkan antara penjual dengan pembeli potensial melalui
promosi perdagangan, penerimaan iklan, dan penyediaan
kontenonline. Sejak tahun 2000 peningkatan jumlah pengiklan di internet
semakin meningkat, mereka berpacu dalam mencapai para konsumen
dengan iklan-iklan produk dan layanan di internet (Biagi, 2010: 244).
Media sosial menjadi yang paling dominan mempengaruhi bidang bisnis
dan ekonomi terkini.

d) Khalayak.
Yang paling menonjol dari dampak kehadiran media sosial dengan sifat
mata rantai dan jaringannya (internet) tertumpu pada dampak khalayak.
Dengan terus diperbaikinya dan bertambahnya jaringan internet dengan
biaya semakin terjangkau, bertambah pula pengguna internet, maka
bertambah pula khalayak. Sehingga media sosial menciptakan dunia
tersendiri, muncul beragam komunitas di media sosial. Komunitas-
komunitas ini terbentuk dengan beragam kepentingan tanpa harus
bertatap muka di dunia nyata. Mereka menjadi pasar potensial untuk
kegiatan-kegiatan yang melibatkan khalayak, seperti dijelaskan di atas;
ekonomi, pendidikan, sosial budaya, termasuk di dalamnya politik.

Masyarakat siber yang dapat dijangkau dengan koneksi internet tanpa terhalang
oleh masalah ruang dan waktu menjadi pasar bagi kegiatan apa saja yang
membutuhkan khalayak luas. Setiap hajatan politik pemilihan umum kekinian,
kegiatan pemasaran politik melalui media sosial menjadi fenomenal. Berbeda
dengan pemilu presiden tahun-tahun sebelumnya. Di samping terus
bertambahnya khalayak yang menggunakan internet, kesadaran masyarakat
akan pentingnya internet juga semakin tinggi. Di Indonesia, dengan populasi
‘penduduk’ internet yang akan menyentuh 107 juta orang (http://apjii.or.id)

Media sosial juga memiliki dampak mengubah secara khusus dalam cara
kerjanya. Meminjam istilah dari Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012:
75); sebagai berikut:

Pertama, mengubah cara kerja praktisi. Misalnya, sejak kehadiran media sosial,
kini kampanye tidak hanya dilakukan di area-area terbuka dalam
kehidupan nyata tetapi juga bisa dilakukan melalui media sosial.
Kedua, Pengembangan isi pesan yang disampaikan seperti adanya gambar, suara,
ataupun symbol-simbol yang digunakan. Misalnya, press release yang
bisa disampaikan dengan lebih menarik melalui media sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Ketiga, perubahan pada struktur organisai, budaya, dan manajemen.


Keterbukaan dan transparansi di internet akan memperluas jaringan
dan hubungan dengan berbagai pihak di luar organisasi.
Keempat, adanya peningkatan penjagaan hubungan antara organisasi dengan
publiknya karena publik dapat dengan bebas menyatakan
pendapatnya di media sosial berkaitan hubungannya dengan
organisasi.

Gun Gun dan Irwa (2012: 78-79), mengutip Wright dan Hinson (2009)
menyimpulkan tentang dampak kehadiran media baru, yaitu:
a. Menyediakan peluang untuk berkomunikasi lebih banyak, dan memberi
wadah untuk mengekspresikan ide, informasi, dan opini.
b. Membuka kesempatan baru untuk berkomunikasi langsung dengan
khalayak walaupun dapat menimbulkan risiko seperti berkembangnya
adanya informasi negative. Komunikasi menjadi lebih personal dan
dapat berlangsung tanpa perantara.
c. Meningkatkan komunikasi dan informasi secara tepat untuk berbagai
isu.
d. Membuka kesempatan untuk meraih khalayak dengan efektif dan
efisien.
e. Membuka kesempatan untuk meraih khalayak baru dari kelompok
muda atau usia yang tidak tersentuh oleh media mainstream yang biasa
digunakan oleh organisasi.
f. Blog dan sosial media membuka komunikasi secara global.
g. Media baru memungkinkan organisasi untuk memperoleh data atau
informasi secara cepat tentang bagaimana pendapat public terdapat
organisasi tersebut.

4. Efek Media Sosial Pada Komunikasi – Positif, Negatif, dan Cara Pencegahannya
Penggunaan media sosial kini tidak hanya pada waktu luang (leisure time)
saja, namun juga pada jam-jam penting atau pokok karena dimanfaatkan
sebagai sarana untuk bekerja. Batasan waktu, ruang dan jangkauan menjadi
hilang, sehingga gaungnya pun menjadi luas tanpa sekat-sekat seperti pada
efek dari media konvensional. Oleh karena itu, kearifan dalam pemakaian
media sosial harus diperhatikan karena dampaknya sulit diprediksi, apalagi
kalau kontennya melanggar kepatutan, etika, nilai-nilai dalam masyarakat,
budaya dan norma hukum.

Peran internet sebagai media komunikasi telah membuat batasan region


menjadi tak berarti. Dengan aplikasi sosial media seperti Facebook dan
Whatsapp, kita dapat berkomunikasi lintas deerah, negara secara instant dan
murah. Baik itu secara lisan, tulisan, maupun video call. Peran sosial media
dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat penting. Tak jarang kita melihat
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

seseorang yang asyik sendiri dengan smartphonenya, tanpa memperdulikan


sekitar. Hingga muncul istilah, ‘sosial media mendekatkan yang jauh dan
menjauhkan yang dekat’.

Manfaat media sosial sangat besar, namun penggunaannya harus bijaksana


agar tidak mencelakakan diri anda sendiri. Pengunaan dan pemanfaat media
sosial harus kita kontrol sebaik-baiknya. Bijak menggunakan sosial media
seperlunya. Media sosial terkadang membuat orang menjadi
bablas mengeluarkan pendapatnya yang mungkin berbahaya, merugikan
orang lang, institusi, organisasi dan lain sebagainya. Pastikan secara bijak
menggunakannya, seyogyanya tidak menyebarkan berbagai data yang terlalu
pribadi, Tidak menghujat orang lain, dan hal hal negatif lainnya.

Menjamurnya berbagai macam dan jenis media sosial saat ini, tak pelak
memberikan dampak bagi seluruh kehidupan masyarakat. Demikian terjadi,
diakibatkan siklus partisipasi masyarakat ataupun individu semakin
berakselerasi dengan pertumbuhan pengguna yang semakin tinggi. Mulai dari
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menyeluruh. Akan tetapi, media
sosial dalam sejarahnya, juga memberikan kerugian, kelemahan atau dampak
negatif yang tidak sedikit hingga menyentuh kasus kriminal yang diperantarai
dari hadirnya media sosial.

Dua aspek utama yang harus diperhatikan dalam penggunaan akun-akun


media sosial. Pertama, memakai dengan bijaksana agar tidak merugikan pihak
lain. Pengguna harus memahami etiket atau nilai-nilai yang baik dan benar
dalam menggunaan media sosial. Kedua, memakai dengan hati-hati agar tidak
menjadi korban atau dirugikan oleh pihak lain yang menyalahgunakan media
sosial. Unsur kehati-hatian itu bisa diawali dengan melakukan proteksi
berlapis-lapis demi keamanan akun, agar tidak bisa dibajak oleh pelaku
kejahatan. Ketiga,

a. Efek Positif dan Negatif Media Sosial


Media Sosial dirancang untuk dapat menjangkau banyak orang, dari
berbagai kalangan usia juga peran sosial. Berbagai informasi tersebar luas
dan dapat dengan mudah di dapatkan sehingga pengguna sosial media
seringkali mendapatkan lebih banyak informasi dalam waktu yang lebih
cepat.

Keberadaan media sosial memang dirasakan banyak manfaatnya. Namun,


penggunaan media sosial yang tidak baik, misalnya menciptakan atau
membagikan isi konten sosial media yang berisi penipuan, hoax dan
sebagainya akan menyebabkan timbulnya opini publik yang merugikan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

banyak pihak. Untuk lebih jelasnya, berikut efek yang ditimbulkan dalam
penggunaan media sosial .

Efek Positif
1. Mempererat silaturahim
Saling berinteraksi dengan sesama pengguna, menyediakan ruang
untuk berpesan positf. Penggunaan sosial media banyak digunakan
oleh para politikus, pejabat publik, tokoh agama, motivator, dan juga
ulama.
2. Menyediakan informasi yang tepat dan akurat
Informasi yang diperoleh dari media sosial baik itu informasi
perguruan tinggi, beasiswa dan juga lowongan kerja. Menambah
wawasan dan pengetahuan. Banyak akun media sosial yang membagi
wawasan dan juga pengetahuan yang dapat menarik juga
pengetahuan praktis.
3. Sumber infomasi, lebih mudah dan cepat didapatkan serta lebih
transparan. Informasi yang dapat ditemukan di sosial media sangat
beragam, mulai dari bahan pekerjaan, pendidikan, masakan, hingga
bahan ringan seperti game atau komik.
4. Media komunikasi, dengan jangkauan luas, kemudahan penggunaan,
dan biaya yang relatif murah. Contohnya dengan whatsapp saya bisa
melakukan panggilan video pada teman saya yang berada di negara
Jepang dengan biaya yang sangat murah.
5. Memperluas pergaulan, terhubung dengan teman lama ataupun
membuat pertemanan baru dengan mudah
6. Bertukar informasi ataupun data, seperti foto/ video dengan mudah
dan cepat.
7. Ajang promosi dengan jangkauan yang lebih luas, mudah, murah
namun terfokus. Seperti memperkenalkan produk kepada khalayak
ramai lewat instagram, menggunakan facebook advertising, dll.
8. Hiburan, misalnya dengan mengunjungi website berisi humor, e-novel,
e-komik atau sekedar membaca portal bacaan ringan.
9. Membangun opini atau mengemukakan pendapat secara luas. Suatu
opini yang dibagikan lewat sosial media dapat menjadi viral dan
menjangkau hingga lintas negara bahkan seluruh dunia.
10. Mempelajari sesuatu, contohnya dengan menonton video cara
membuat kue, membuat baju, atau merias, dan lain sebagainya.
11. Kesempatan menjadi orang yang berbeda. Misalnya orang yang
cenderung pemalu akan bisa lebih aktif mengemukakan pendapatnya
lewat sosial media.
12. Membangun rasa percaya diri seseorang dalam bersosialisasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Efek Negatif Sosial Media


1. Terjadi kesenjangan informasi. Baik antara pengguna sosial media yang
bisa mendapatkan berbagai informasi dengan mudah dan transparan
dengan orang yang tidak menggunakan sosial media, atau antara
pengguna sosial media itu sendiri, misalnya antara yang bergabung
dalam suaru grup dengan yang tidak bergabung
2. Kecanduan media sosial, maksudnya seseorang menjadi sangat terikat
dengan media sosial. Menghabiskan sebagian besar waktu hariannya
untuk berinteraksi dalam sosial media, hingga seringkali mengabaikan
orang disekelilingnya bahkan tugas-tugas yang seharusnya
dikerjakannya.
3. Berkurangnya intensitas dalam berinteraksi langsung dengan sesama.
4. Menimbulkan kecemburuan sosial. Misalnya dengan memposting
berbagai barang bermerek atau semacamnya di sosial media
5. Menciptakan identitas baru yang sama sekali tidak sesuai dengan
identitas diri.
6. Pencurian identitas, misalnya dengan membuat akun facebook
seorang artis dan membuatnya seolah-olah milik artis tersebut
7. Pencurian/ penyalahgunaan data seperti foto, dokumen. Misalnya
menciptakan konten berisi hoax.
8. Konsumtif, misalnya menjadi tertarik dengan berbagai iklan dan
melakukan pembelian menggunakan kartu kredit tanpa berpikir
panjang.
9. Mempermudah penyebaran virus. Misalnya dengan membuat konten
berisi link menuju laman tertentu yang disisipi virus.
10. Kejahatan dunia maya (cyber crime). Kejahatan dunia maya sangatlah
beragam. Di antaranya, carding, hacking, cracking, phising, dan
spamming.
11. Pornografi. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki
internet, pornografi pun merajalela.
12. Perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, situs penjudian kian
merebak.
13. Sarana penyebaran ideologi paling efektif dan efisien.

b. Mencegah Efek Negatif Media Sosial


Untuk mencegah efek media sosial yang negatif, kita harus memahami dan
melaksanakan etika komunikasi di internet. Pastikan ketika kita
menciptakan suatu konten, konten tersebut tidak merugikan orang lain.
Begitu pula dengan konten-konten yang dibagikan, baca dengan baik isi
konten dan pastikan kebenaran isinya sebelum membagikannya. Jangan
sampai kita membagikan hoax atau konten yang berisi penipuan dan
penyalahgunaan lainnya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Selain itu pembatasan informasi yang diterima dari media sosial juga perlu
dilakukan. Terlalu sering membaca tentang konten negatif; misanya konten
berisi amarah akan mempengaruhi jiwa/ hati kita. Membuat kita
kecanduan dengan rasa marah sehingga setiap kali terhubung dengan
media sosial, kita akan terus mencari dan membaca konten berisi amarah.

Manajemen Komunikasi melalui media sosial juga harus dilakukan. Jangan


sampai seluruh waktu harian kita hanya diisi dengan interaksi di media
sosial. Tetapkan waktu, misalnya maksimal 2 atau 3 jam sehari untuk
mengakses sosial media.

Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dengan
peran sangat signifikan dalam komunikasi modern. Infiltrasi penggunaan internet
serta perangkat teknologi komunikasi seperti tablet dan smartphone yang sangat
marak menjadi salah satu pendorong pertumbuhan situs-situs jejaring baru
pertemanan dan informasi. Hampir semua smartphone dijejali dengan lebih dari
dua aplikasi media sosial yang semua dimanfaatkan oleh pemiliknya.

Data menarik disuguhkan oleh Statistik Pengguna Internet dan Mobile Indonesia.
Pada tahun 2014 ini pengguna internet di Indonesia mencapai 15% atau 38,2 juta
dari total jumlah penduduk sekitar 251,2 juta jiwa. Sedangkan pengguna media
sosial di Indonesia juga sekitar 15% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Artinya, hampir seluruh pengguna internet memiliki akun media sosial. Para
pengguna media sosial ini mengakses akun media sosialnya ratarata sekitar 2 jam
54 menit dan sebanyak 74% mengakses akunnya melalui smartphone. Secara
global, penggunaan media sosial menunjukkan fenomena pertumbuhan yang
sulit dihentikan. Digital Insights, pada September 2013 menyebutkan jumlah
pengguna media sosial seperti Facebook telah mencapai 1,15 miliar. Tidak
sampai empat bulan, tepatnya pada akhir Januari 2014, The Next Web melansir
pengguna aktif gurita jejaring sosial ini telah mencapai 1,23 miliar.

Pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2014 ini diperkirakan mencapai 80


juta lebih atau nomor empat terbesar di dunia. Kemudahan dalam mengakses
akun media sosial telah membuat media sosial tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan masyarakat. Mereka dapat melakukannya di mana saja, kapan saja,
dengan siapa saja, dan tentang apa saja. Media sosial telah menjadi backbone
(tulang punggung) dalam komunikasi abad digital ini. Akan tetapi selain dampak
positif yang ditimbulkan berkat fungsi dan tujuannya, media sosial juga
memunculkan sisi kelam, menyimpang, dan negatif dari hubungan komunikasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial seharusnya difungsikan untuk tujuan baik, telah dimanfaatkan


untuk kepentingan-kepentingan jahat. Modus-modus kejahatan yang
memanfaatkan media sosial begitu marak, baik itu berupa fitnah, caci maki,
teror, penipuan, penjatuhan serta penghinaan pihak lain, penculikan hingga
saling adu argumen yang tidak didasarkan pada kepatutan serta kewajaran.
Semua fenomena negatif tersebut ditandai dengan pelanggaran nilai-nilai etika
berkomunikasi. Pada prinsipnya, setiap kita melakukan komunikasi baik secara
langsung dengan bertatap muka maupun tidak langsung melalui perangkat
komunikasi, kaidah-kaidah berkomunikasi yang baik tetap harus dijunjung tinggi.
Tatanan sosial yang terbangun dari komunikasi era digital melalui media sosial
sebagai tulang punggungnya akan rusak dan destruktif apabila penggunaan
media sosial tidak didasarkan pada etika berkomunikasi yang baik.

Ketika masyarakat berkomunikasi, pada dasarnya mereka sedang menciptakan


sendi-sendi trust atau rasa saling percaya. Hal itu muncul dengan sendirinya
karena pihak-pihak yang berkomunikasi menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Etika
sendiri adalah kesadaran dan pengetahuan mengenai baik dan buruk atas
perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam kehidupan bersosial
di masyarakat, istilah etika dikaitkan dengan moralitas seseorang. Orang yang
tidak memiliki etika yang baik sering disebut tidak bermoral karena tindakan dan
perkataan yang diambil tidak melalui pertimbangan baik dan buruk.

Kata etika dan moral juga sering dikaitkan dengan dunia pendidikan, karena
menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai baik yang harus dilakukan dan nilai-
nilai buruk yang harus dihindari. Tidak adanya filter atau saringan pertimbangan
nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana pemanfaatan media sosial di
era gadget. Dari aspek wujudnya di masyarakat, etika dapat dipilah menjadi dua
jenis, yakni: etika tertulis dan tidak tertulis. Etika tertulis sendiri bisa terbagi
menjadi dua, yaitu: etika tertulis berdasar kesepakatan dan etika tertulis
berdasarkan legal formal atau peraturan perundangan. Etika tertulis berdasar
kesepakatan terbentuk karena adanya kesepakatan antarpihak yang terkait atau
terlibat dan bersifat mengikat para penggunanya, seperti peraturan kesepakatan
dalam penggunaan Kaskus.

Sedangkan etika tertulis legal formal telah dirumuskan dan disahkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun etika tidak tertulis
merupakan kumpulan etiket, sopan-santun, nilai-nilai, norma dan kaidah yang
lahir dari proses interaksi antarsesama, yang harus dihormati dan dipatuhi
bersama-sama. Dengan demikian, etika sosial berkomunikasi pada prinsipnya
merupakan panduan berperilaku dan bertindak yang mengacu pada apa yang
harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Mana yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Dalam lingkup media sosial yang juga masuk kategori ruang publik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Berikut ini berapa nilai, acuan, dan pedoman yang bisa menjadi dasar
pertimbangan untuk bertindak bijaksana saat menggunakan akun-akun media
sosial:

1. Sebaiknya memberikan informasi pribadi dan keluarga secara bijak atau


tidak mengumbar informasi yang mengandung privasi. Data atau
informasi yang bersifat privasi dan penting harus dirahasiakan. Hal itu
dilakukan agar tidak menjadi sasaran orang yang berniat jahat atau
kriminal. Informasi-informasi yang sebaiknya tidak diumbar karena
sekadar ingin eksis di media sosial antara lain: nomor-nomor penting
seperti nomor rekening dan nomor telepon, alamat rumah, email, link,
permasalahan dalam keluarga, rumitnya hubungan percintaan, hingga
foto seluk-beluk dan kondisi rumah. Ingat, meskipun di Facebook pada
kolom update status ada tulisan “What’s on your mind” bukan berarti kita
bebas mengungkapkan segala hal yang kita rasakan di media sosial.
Berbeda pertimbangannya, apabila media sosial menjadi kanal untuk
kepentingan bisnis, sosialisasi dan pemasaran, maka sejumlah info
penting sesuai tujuannya di-publish ke media sosial.
2. Sebaiknya berkomunikasi secara santun dan tidak mengumbar kata-kata
kasar. Gunakan kaidahkaidah bahasa dengan baik dan benar. Misalnya,
menggunakan huruf kapital semua dan banyak menggunakan singkatan
yang sulit dimengerti. Hindari kata-kata atau idiom yang artinya kotor,
menghujat dan tidak sopan dalam bermedia sosial. Hal ini terkait dengan
aspek diksi atau pemilihan kata-kata dalam berbahasa. Contoh paling
gamblang adalah no twitwar dalam penggunaan microblogging ini, di
mana pengguna Twitter berkicau dalam pembatasan 140 karakter saja
dengan baik. Hindari mem-posting, sekadar retweet (RT), apalagi masuk
dan ikut-ikutan memanasi kancah permasalahan orang lain, karena bisa
saja hal itu justru merugikan dan mengganggu diri sendiri dan pihak lain
yang tidak berkenan.
3. Dilarang atau jangan menyebarkan konten yang bersifat pornografi dan
dapat mengganggu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), baik itu
berupa tulisan, foto, gambar, ilustrasi, suara maupun video. Apabila itu
dilakukan, maka bisa menyinggung, membuat malu, dan memicu konflik
atau pertentangan di antara sesama pengguna media sosial yang berasal
dari beragam latar belakang, tingkat pendidikan, umur, kepercayaan, dan
agama. Saling menghargai dalam perbedaan adalah prinsip yang harus
dijunjung tinggi dalam menggunakan media sosial.
4. Mengecek kebenaran konten dan informasi suatu berita atau kejadian
sebelum menyebarkannya kembali melalui media sosial. Apabila kita
hendak ikut menyebarkan kembali suatu informasi, ada baiknya
mengecek kebenaran informasi itu melalui tautan akun-akun berita dan
informasi yang tersedia. Cara terbaik yang dilakukan adalah kritis
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

terhadap konten yang diterima. Apakah informasi itu masuk akal, ilmiah,
ataukah hasil rekayasa dan dipenuhi muatan kebencian dan kebohongan.
Apabila ragu akan nilai kebenaran suatu konten, lebih baik kita tidak
meneruskan atau menyebarkan luaskannya melalui media sosial. Nilai-
nilai kepantasan agar tidak melukai perasaan pihak lain juga bisa menjadi
pertimbangan saat akan menyebarkan suatu konten, seperti misalnya
mengabarkan atau memuat konten yang justru membuat orang lain
makin berduka atau jatuh mentalnya.
5. Terkait dengan hak pemilikan intelektual orang lain, sebaiknya hasil karya
mereka dihargai dengan menyebutkan sumbernya. Hal ini dilakukan agar
nilai-nilai orisinalitas juga dijunjung tinggi di antara pengguna media
sosial, terutama dalam konteks ilmiah, seni dan budaya. Perbuatan
meniru memang sulit dihindarkan, tetapi jika sudah menyangkut atau
mendatangkan nilai ekonomi ada baiknya menyebutkan sumber pembuat
atau penciptanya. Hal ini biasanya terkait dengan hasil lukisan, gambar,
foto, lagu dan video.
6. Sebaiknya mengomentari sesuatu hal, topik, dan masalah dengan
memahami dulu isinya secara komprehensif dan tidak sepotongpotong.
Kebiasaan untuk memberi komentar dan memposting kembali suatu
berita dari judulnya, paragraf pertama, kesimpulan atau bagian akhir
tulisan saja sebaiknya dihindari. Salah komentar atau terjadinya
kesesatan logika sering terjadi apabila pengguna atau user media sosial
ceroboh dan tergesa-gesa menilai tanpa melihat konteks isinya dan
gegabah karena diliputi oleh emosi.
7. Beropini dan mengeluarkan pendapat dengan berpijak pada fakta
sebenarnya dan data yang sahih. Think before you write. Salah satu
kekuatan atau kelebihan dari media sosial adalah adanya kebebasan bagi
pengguna untuk mengeluarkan pendapat tanpa ada filter atau gate
penjaga. Nah, manfaatkan kelebihan itu dengan hati-hati agar opini yang
kita sampaikan tidak memicu perselisihan hukum karena memuat konten
yang tidak sesuai fakta dan tidak valid datanya.
8. Jangan menuduh, menyerang, beropini negatif dan memberikan
informasi tidak benar melalui media sosial. Apabila ada individu, entitas
bisnis, dan lembaga yang merasa dirugikan dan tidak dapat menerima
konten itu, maka bisa berujung pada somasi, permintaan maaf hingga
pengguna media sosial dilaporkan ke aparat kepolisian karena telah
melanggar Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE. Ada konsekuensi yang harus
ditanggung oleh pengguna media sosial, sebagaimana bunyi Pasal 45,
ayat (1) UU ITE bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bahkan apabila
pernyataan pengguna media sosial dinilai telah membuat kerugian secara
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bisnis karena telah mencemarkan merek, brand dan nama besar, maka
sering pihak-pihak yang dirugikan akan melayangkan gugatan perdata
disertai dengan tuntutan ganti rugi.
9. Jangan menggunakan media sosial saat hati dalam kondisi emosi, pikiran
jenuh dan kondisi kejiwaan yang labil. Misalnya saat sedih, marah, sakit,
stress, mabuk dan tidak mampu berpikir secara jernih. Sering kali kondisi
internal individual tersebut memengaruhi isi dari pendapat yang diunduh
atau di-update ke forum, jejaring sosial dan blog, sehingga kontennya
menjadi kabur, keliru, dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh pengguna
media sosial yang lain. Just be nice.
10. Jangan terpengaruh, sekadar ikut-ikutan, demi solidaritas buta saat
berkomentar atau beropini di media sosial. Paling tidak ada dasar-dasar
yang masuk akal apabila hendak berpendapat sehingga kita memiliki
dasar alasan yang kuat mengapa kita menyetujui atau tidak menyetujui
konten yang tengah hangat menjadi perbincangan. Sedapat mungkin kita
menunjukkan independensi dan integritas yang kuat dalam komentar dan
opiniopini yang keluar.
11. Kita secara pribadi, dalam diri masing-masing atau secara personal harus
bisa menyaring (filter) dan membatasi konten dalam media sosial. Jangan
berlebihan dalam mem-posting atau dalam istilah perilaku, overacting.
Misalnya dengan mengabarkan status kita baik itu berupa kondisi,
perasaan, keberadaan, bahkan hal-hal yang akan kita lakukan yang
bersifat pribadi dan tidak penting sekali untuk diketahui orang lain. Ingat
bahwa semua yang telah di-posting akan dikonsumsi oleh orang lain dan
di antara mereka mungkin saja ada yang bermaksud jelek kepada kita.
Aksi penipuan dan kejahatan bisa terjadi karena pelaku kejahatan
mengetahui dengan persis seluk-beluk seseorang yang menjadi target
kejahatan. Contohnya dalam penggunaan aplikasi check in place seperti
Foursquare. Pengguna akun media sosial gemar check in place untuk
memberitahu keberadaannya dan sedang melakukan apa. Hatihati, hal itu
bisa memancing orang yang hendak berbuat jahat secara mulus, karena
mengetahui seluk-beluk kita.
12. Jangan menggunakan nama samaran, nama orang lain atau membuat
akun samaran dengan tujuan apa pun. Hal itu bisa menjadi awal dari
bentuk penipuan karena menyembunyikan identitas aslinya. Biasanya,
penggunaan nama samaran ini oleh orang yang tidak bertanggung jawab
dikombinasikan dengan perbuatan tidak baik seperti menyebarkan atau
mem-forward informasi bohong, menyesatkan, fitnah, mengadu domba,
memperkeruh suasana, memanipulasi informasi, dan membunuh
karakter pihak lain.
13. Pergunakan media sosial untuk hal-hal positif, baik dari segi konten
maupun cara menyampaikannya. Sebaiknya memilih konten-konten yang
bermanfaat demi produktivitas dan menunjang kehidupan yang lebih
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

baik. Cara menyampaikan isinya pun jangan menyakiti atau


mengecewakan orang lain. Pergunakan bahasa yang sopan, efektif dan
efisien. Hindari kata-kata kasar dan jorok. Pakailah kalimat yang baik dan
benar. Jika berkomentar sebaiknya mengetahui tentang permasalahan
yang ada. Jangan sekadar ikut-ikutan berkomentar. Jadikan media sosial
sebagai sarana untuk berbagi kebaikan, optimisme, kebahagiaan, saling
tolong-menolong, dan saling menghargai.

Kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam etika tidak tertulis pada umumnya
tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu, apabila terjadi pelanggaran atau
tidak ditaati maka tidak ada sanksi yang bisa diberlakukan. Sanksi yang muncul
pada umumnya adalah sanksi sosial, seperti dikeluarkan dari grup, mendapat
unfollow, dislike, mendapat kritikan, teguran, atau masukan dari orang lain, atau
bisa juga dikucilkan (ekskomunikasi) oleh pengguna media sosial yang lain.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB III
PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK DAN STRATEGI
KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU

Komunikasi bukanlah sekedar proses tukar menukar pikiran dan pendapat,


melainkan juga merupakan suatu kegiatan seorang individu berusaha untuk
mengubah pendapat, sikap, serta perilaku orang lain. Komunikasi adalah suatu
proses pemindahan pengertian didalam bentuk gagasan, informasi dari
seseorang ke orang lain (Handoko, 2002 : 30).

Definisi komunikasi menurut Hovland yang dikutip oleh Wiryanto (2004 : 6) yaitu
“The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli
(usually verbal symbol) to modify, the behavior of other individu.” Komunikasi
adalah proses dimana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah
perilaku individu yang lain. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pikiran
atau juga perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
lambang yang bermaksud bagi kedua belah pihak, didalam situasi yang tertentu
komunikasi itu menggunakan media tertentu untuk dapat merubah sikap atau
juga tingkah laku seorang atau juga sejumlah orang sehingga terdapat efek
tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000 : 13).

Menurut Berlo (dalam Mardikanto, 1993 : 57) “komunikasi secara umum adalah
suatu proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima”. Peneliti dapat
menyimpulkan dari kedua pendapat pakar komunikasi diatas bahwa segala
bentuk interaksi-interaksi manusia adalah komunikasi, yaitu proses penyampaian
lambang-lambang yang berarti dari individu satu kepada individu yang lain, baik
dengan maksud agar mengerti atau untuk mengubah sikap dan tingkah lakunya.

1. Fungsi Komunikasi
Fungsi komunikasi antara lain sebagai berikut :
 Kendali :
komunikasi dalam bertindak untuk dapat mengendalikan prilaku anggota
didalam beberapa cara, pada tiap organisasi memiliki wewenang serta
juga garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh angotnya.
 Motivasi :
komunikasi tersebut membantu didalam perkembangan motivasi dengan
cara menjelaskan kepada para karyawan itu , apa yang harus dilakukan
bagaimana mereka itu dapat bekerja baik serta juga apa yang dapat
dikerjakan untuk dapat memperbaiki kinerja apabila itu di bawah standar.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

 Pengungkapan emosional :
pada banyak karyawan dalam kelompok kerja, mereka adalah sumber
utama untuk dalam interaksi sosial, komunikasi yang terjadi didalam
kelompok itu adalah suatu mekanisme fundamental dengan mana
anggota-anggota tersebut menunjukkan kekecewaan serta juga rasa puas
mereka oleh sebab itu komunikasi itu menyiarkan suatu ungkapan
emosional dari perasaan serta juga pemenuhan kebutuhan sosial.
 Informasi :
komunikasi tersebut memberikan informasi yang diperlukan bagi individu
maupun juga bagi kelompok didalam mengambil suatu keputusan dengan
meneruskan data didalam mengenai dan juga menilai pilihan-pilihan
alternatif (Robbins, 2002 : 310-311).

2. Tujuan Komunikasi
Ada beberapa tujuan komunikasi, antara lain sebagai berikut:
1. Agar yang disampaikan komunikator bisa dimengerti oleh komunikan.
Maka komunikator harus menjelaskan pesan utama dengan jelas dan
sedetail mungkin.
2. Supaya bisa memahami orang lain. Dengan melakukan komunikasi, setiap
individu bisa memahami individu yang lain dengan kemampuan
mendengar apa yang sedang dibicarakan orang lain.
3. Supaya pendapat kita diterima orang lain. Komunikasi serta pendekatan
persuasif adalah cara supaya gagasan kita diterima oleh orang lain.
4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan kita.

3. Syarat Komunikasi
Ketika ingin melakukan komunikasi, dibutuhkan syarat-syarat tertentu.
Adapun syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut.
1. Source: Source atau sumber merupakan bahan dasar dalam penyampaian
pesan untuk memperkuat pesan itu sendiri. Salah satu contoh komunikasi
adalah orang, lembaga, buku dan masih banyak yang lainnya.
2. Komunikator: komunikator adalah pelaku yang menyampaikan pesan bisa
beruapa seseorang yang sedang menulis atau berbicara, bisa juga berupa
kelompok orang atau juga organisasi komunikasi seperti film, radio, surat
kabar, televisi dan lain sebagainya.
3. Komunikan: komunikan merupakan penerima pesan dalam komunikasi
yang bisa berupa seseorang, kelompok ataupun massa.
4. Pesan: pesan merupakan keseluruhan yang disampaikan oleh seorang
komunikator. Pesan memiliki tema utama sebagai pengarah dalam usaha
untuk mengubah sikap serta tingkah laku orang lain.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

5. Saluran: Saluran adalah media yang digunakan oleh komunikator untuk


menyampaikan pesan. Saluran komunikasi terbagi menjadi beberapa
bagian, yaklni saluran formal atau resmu dan saluran informal atau tidak
resmi.
6. Effek: Effek adalah hasil akhir dari suatu komunikasi yang terjadi.

4. Media Komunikasi
Media komunikasi merupakan sebuah sarana atau alat yang dipakai sebagai
penyampaian pesan dari komunikator kepada khalayak. Media sangat
dominan dalam berkomunikasi ialah pancaindra manunsia seperti mata,
telinga. Media juga adalah jendela yang memungkinkan semua orang dapat
melihat lingkungan yang lebih jauh, untuk penafsir yang membantu
memahami pengalaman, untuk landasan penyampai informasi, sebagai
komunikasi interaksi yang merupakan opini audiens, sebagai penanda
pemberi petunjuk atau intruksi, sebagai filter atau penbagi fokus dan
pengalaman terhadap orang lain, cermin yang merefleksikan diri kita serta
penghalang yang menutupi kebenaran.

Media komunikasi juga dijelaskan untuk sebuah sarana yang dipakai utnuk
memproduksi, mengolah, reproduksi, serta mendistribusikan untuk
menyampaikan sebuah informasi. Media komunikasi sangat berperan penting
untuk kehidupan seluruh masyarakat. Dengan sederhana, media komunikasi
merupakan perantara dalam menyampaikan sebuah informasi dari
komunikator kepada komunikan yang memiliki tujuan agar efisien dalam
menyebarkan pesan atau informasi. Komunikasi adalah perdakapann yang
berlangsung dengand dasar persamaan persepsi.

Jenis-Jenis Media Komunikasi, Berdasarkan Fungsi Media


 Fungsi produksi
Media komunikasi sangant bermanfaat suapaya menghasilkan suatu
informasi.
 Fungsi reproduksi
Media komunikasi bermanfaat agar bisa memperoduksi ulang serta
menggandakan sebuah informasi.
 Fungsi penyampai informasi
Media komunikasi memiliki fungsi agar bisa menkomunikasikan serta
menyebarluaskan pesan terhadap komunikan sebagai sasaran informasi.

Fungsi Media Komunikasi, Menurut Marshall Mc Luhan


 Efektifitas
Media komunikasi akan membuatmudah serta kelancaran dalam
menyampaikan sebuah informasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

 Efisiensi
Media komunikasi akan mempercepat penyampaian didalam sebuah
informasi.
 Konkrit
Media komunikasi akan membantu mempercepat isi informasi atau
pesan yang mempunyai sifat abstrak.
 Motivatif
Media komunikasi akan lebih memberikan sebuah informasi yang bisa
dipertanggungjawabkan.

Fungsi media Komunikasi, Menurut Burgon Dan Huffner

 Efisiensi penyebaran informasi


Penghambatan dalam sisi biaya, pemikiran, tenaga serta waktu.
 Memperkuat eksistensi informasi
Media komunikasi yang hi-tech bisa membuat informasi atau juga pesan
yang lebih berkesan kepada komunikan.
 Menghibur
Media komunikasi bisa menyenangkan serta lebih menarik untuk audiens.
 Kontrol Sosial
Media komunikasi untuk sebuah pengawasan dalam kebijakan sosial.

Bentuk Media Komunikasi


 Media Cetak
Beragam jenis media komunikasi yang bisa dilakukan melalui sebuah
proses percetakan serta bisa dipakai sebagai sarana menyampaian
informasi atau pesan. Contoh : buku, surat kabar, majalah, serta brosur.
 Media visual atau media pandang
Penerimaan pesan yang tersampaikan melalui panca indera dan dapat
dilihat Contoh: gambar dan Foto.
 Media audio
Penerimaan pesan yang tersampaikan dengan melalu indera
pendengaran. Contoh: Radio dan Tape recorder.
 Media Audio visual aid (AVA)
Media komunikasi yang bisa dilihat serta juga bisa didengar, agar
mendapatkan informasi secara bersamaan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Komunikasi politik menjadi kajian yang menarik perhatian, bukan hanya para
sarjana komunikasi dan sarjana politik, tetapi juga bagi politisi yang aktif di
berbagai partai politk. Plano (dalam Mulyana, 2007 : 29) melihat bahwa
”komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Ini menjadi sebuah tantangan
keberhasilan para pelaku politik, partai politik, gabungan partai dan tim sukses
dalam membangun pencitraan politik melalui komunikasi politik guna meraih
simpati dan dukungan masyarakat.

Komunikasi politik adalah suatu proses penyampaian pesan-pesan politik yang


berasal dari komunikator politik (source, encoder, sender, actor) sebagai pihak
yang memulai dan mengarahkan suatu tindakan komunikasi. Lalu pesan-pesan
tersebut ditujukan kepada khalayak (receiver, komunikan), dengan
menggunakan media (channel, saluran) tertentu untuk mencapai sautu tujuan
yang telah ditentukan (political oriented).

Dalam sistem politik semua komponenkomponen tersebut merupakan proses


atau kegiatan komunikasi politik yang merupakan input yang menentukan output
daripada sistem politik. Menurut Gurevitch dan Blumler (1977), menjelaskan
bahwa dalam arti yang luas, komponenkomponen utama dari suatu sistem
komunikasi politik ditemukan pada:

1) Lembaga-lembaga politik dalam aspek-aspek komunikasinya,


2) Institusi-institusi media dalam aspek-aspek politiknya,
3) Orientasi khalayak terhadap komunkasi politik,
4) Aspek-aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.

Sehingga sistem komunikasi politik dapat dilihat dalam dua perspektif, yaitu
perangkat institusi politik dan organisasi media yang terlibat dalam persiapan
pesan bagi interaksi yang lebih horizontal satu sama lain, sedangkan dalam arah
yang vertical institusi-institusi tadi baik secara terpisah maupun bersama-sama
melakukan diseminasi dan pengolahan informasi dan gagasan dari dan untuk
masyarakat.

Peranan komuniksi politik dibutuhkan untuk melihat dampak dan hasil yang
bersifat politik. Melvin L DeFleur (dalam Muhtadi, 2008:7) memetakan Model
Transaksi Simultan (Simultaneous Transactions Model) terhadap dinamika
komunikasi politik. Dengan karakternya yang nonlinier, model ini
menggambarkan sekurang- kurangnya tiga faktor yang berpengaruh dalam
komunikasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pertama, faktor lingkungan fisik (physical surroundings), yakni lingkungan tempat


komunikasi itu berlangsung dengan menekankan pada aspek what dan
how pesan-pesan komunikasi itu dipertukarkan.
Kedua, faktor situasi sosio-kultural (sociocuktural situational), yakni bahwa
komunikasi merupakan bagian dari situasi sosial yang di dalamnya
terkandung makna kultural tertentu, sekaligus menjadi identitas dari
para pelaku komunikasi yang terlibat di dalamnya.
Ketiga, faktor hubungan sosial (sosial relationship), yakni bahwa status hubungan
antarpelaku komunikasi sangat berpengaruh, baik terhadap isi pesan
itu sendiri ataupun terhadap proses bagaimana pesan itu dikirim dan
diterima.

Menurut McNair (2003) komunikasi politik yang ditinjau dari tujuan


komunikator, seperti isu-isu pentingnya pencitraan politisi yang ditampilkan
dalam membentuk persepsi pemilih, dampak dari biasnya liputan media
terhadap hasil pemilu, dan hubungan antara opini publik dengan upaya politisi
dan organisasi media untuk membuat suatu agenda tertentu. Maka peran media
menjadi sangat penting dan strategis dalam menunjang bahkan menentukan
dinamika komunikasi politik di dalam proses sistem politik yang terdapat
“pertarungan” kepentingan serta kekuasaan antara suprastruktur politik dengan
infrastruktur politik. Termasuk pada dinamika strategi kampanye untuk
memengaruhi, mendapat, dan mempertahankan dukungan serta kekuasaan
dalam perhelatan “pesta demokrasi”. Karena menurut De Vreese (2006)
penelitian komunikasi politik bertujuan untuk mengkaji interaksi dan perubahan
dalam hubungan antara politik, media, warga negara dan suatu pemahaman,
khususnya tentang peran

Intinya, komunikasi politik pada dasarnya adalah tentang kualitas dan


kelangsungan hidup demokrasi. Komunikasi politik menjadi faktor yang sangat
menentukan dan tidak bisa dikesampingkan fungsinya dalam proses politik yang
dilakukan aktor politik sebagai komunikator politik. Maka menjadi bahasan dan
bahan refleksi serta evaluasi yang sangat penting tentang komunikasi politik
dalam sistem politik dan strategi kampanye politik.

Sebagaimana menurut Lilleker (2006) komunikasi antara lembaga yang memiliki


kekuasaan dengan rakyat (yang dikuasai) merupakan hal penting dalam sistem
politik. Bagaimanapun dalam demokrasi, komunikasi politik dianggap sangat
penting untuk membangun masyarakat, di mana negara dan rakyatnya merasa
memiliki hubungan atau berinteraksi, sehingga komunikasi politik menjadi suatu
keharusan. Karena itu dalam melakukan berbagai kegiatan (pembangunan), tidak
bisa hanya dengan serangkaian instruksi dari elit (kelompok penguasa) kepada
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

masyarakat. Tetapi harus memberikan kesempatan untuk melakukan umpan


balik dari masyarakat dan mendorong adanya partisipasi.

Komunikasi politik adalah sebuah studi yang interdisiplinari yang dibangun atas
berbagai macam ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses komunikasi
dan proses politik. Merupakan wilayah pertarungan dan dimeriahkan oleh
persaingan teori, pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati diri.
Komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-
lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari
seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka
wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku
khalayak yang menjadi target politik.
Michael Rush dan Philip Althoff mendefinisikan komunikasi politik sebagai suatu
proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem
politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistemsistem sosial dengan sistem-
sistem politik. Proses ini terjadi secara erkesinambungan dan mencakup pola
pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya
pada semua tingkatan. Komunikasi politik merupakan suatu elemen yang dinamis
dan yang menentukan sosialisasi politik dan partisipasi politik. Dalam hal ini
komunikasi politik menentukan corak perilaku insan politik.
Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan
aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan dan
kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi
anatar “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Komunikasi politik sangat
kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak
satupun manusia tiak berkmunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak analisis
dan kajian komunikasi politik.
Berbagai penilaian dan analisis orang awan berkomentar soal kenaikan BBM,
korupsi, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Komunikasi yang
membicarakan tentang politik kadang diklaim sebagai studi tentang aspek-aspek
politik dari komunikasi publik, dan sering dikaitkan sebagai komunikasi
kampanye pemilu (election campaign) karena mencakup masalah persuasi
terhadap pemilih, debat antarkandidat, dan penggunaan media massa sebagai
alat kampanye.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Unsur Komunikasi Politik


Politik Seperti halnya dengan disiplin komunikasi lainnya, komunikasi politik
sebagai body of knowledge juga terdiri atas berbagai insur, yakni:
a. Komunikator Politik
Komunikasi politik tidak hanya menyangkut partai politik, melainkan juga
lembaga pemerintahan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, sumber
atau komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi
informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik,
misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur,
bupati/walikota, DPRD, politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok kelompok penekan
dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan.
b. Pesan Politik
Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun non-verbal, tersembunyi
maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang
isinya mengandung bobot politik. Misalnya pidato politik, undang-undang
kepartaian, undang-undang pemilu, pernyataan politik, artikel atau isi
buku/brosur dan berita surat kabar, radio, televisi, dan internet yang berisi
ulasan politik dan pemerintahan.
c. Saluran atau Media Politik
Saluran atau media politik ialah alat atau sarana yang digunakan oleh para
komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya
media cetak, yaitu surat kabar, tabloid, majalah, buku. Media elektronik,
misalnya film, radio, televisi, video, komputer, internet. Media format
kecil, misalnya leaflet, brosur, selebaran, stiker, bulletin. Media luar
ruangan (out door media), misalnya baliho, spanduk, reklame, electronic
board, bendera, jumbai, pin, logo, topi, rompi, kaos oblong, iklan mobil,
kalender, kulit buku, block note, pulpoen, gantungan kunci dan segala
sesuatu yang bisa digunakan untuk membangun citra.
d. Sasaran atau Target Politik
Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi
dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau
kandidat dalam pemilihan umum. Mereka adalah pengusaha, pegawai
negeri, buruh, pemuda, ibu rumah tangga, pensiunan, veteran, pedagang
kaki lima, para tukang (kayu, batu, cukur, becak) orang cacat, mahasiswa,
sopir angkutan, nelayan, dan siswa yang akan memilih setelah cukup usia.
e. Pengaruh atau Efek Komunikasi
Politik Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya
pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik,
dimana masyarakat akan bermuara pada pemberian suara (vote) dalam
pemilihan umum.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Komunikasi Sebagai Proses Politik


Gabriel Almond mengatakan bahwa komunikasi ibarat aliran darah yang
mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi dan
kepentingan) ke jantung (pusat) pemprosesan sistem politik. Dan hasil
pemprosesan itu dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya
menjadi feedback sistem politik. Sebuah realitas, sejarah, tradisi politik akan
bisa dirangkaikan atau dihubungkan dari masa lalu untuk dijadikan acuan ke
masa depan adalah dengan jalan komunikasi. Dengan komunikasi sebagai
proses politik, berbagai tatanan politik yang tidak sesuai dengan tuntutan
masyarakat akan berubah. Misalnya tradisionalisme, berbagai adopsi tradisi
luar juga tidak akan mudah diterima begitu saja oleh masyarakat dan suatu
dan suatu saat akan mengalami kegalalan seandainya bertentangan dengan
tradisi yang sudah ada.

Ada beberapa catatan yang bisa ditarik ketika kita memperbincangkan


komunikasi sebagai proses politik.

Pertama, komunikasi memiliki peran signifikan dalam menentukan proses


perubahan politik di Indonesia. Ini bisa dilihat pada perubahan format
lembaga kepresidenan yang dahulunya sakral kemudian mengalami
desakralisasi. Itu semua diakibatkan oleh terbinanya komunikasi politik
yang lebih baik antara masyarakat dan pemerintah.
Kedua, kita pernah mewarisi komunikasi politik yang tertutup (yang
mengakibatkan ideologi politik yang tidak terbuka), penafsiran ada
pada pihak penguasa (mendominasi dan mengontrol semua bagian)
sehinga memunculkan hegemoni komunikasi dan pola komunikasi top
down (yang memunculkan sikap indoktrinatif).
Ketiga, komunikasi masih dipengaruhi oleh tradisi politik masa lalu. Tradisi
politik yang mementingkan keseimbangan, harmoni, dan keserasian
masih diwujudkan meskipun dalam kenyataan kadang justru tradisi itu
dijadikan alat legitimasi politik penguasa atas nama stabilitas.
Keterpengaruhan ini juga termanifestasikan pada budaya sungkan atau
ewuh pakewuh yang masih kental dalam tradisi komunikasi kita.
Keempat, sebagai proses politik, komunikasi menjadi alat yang mampu
mengalirkan pesan politik (tuntutan dan dukungan) ke pusat
kekuasaan untuk diproses. Proses itu kemudian dikeluarkan kembali
dan selanjutnya menjadi umpan balik(feedback). Ini artinya,
komunikasi sebagai proses politik adalah aktivitas tanpa henti. Sebagai
contoh, di Indonesia bentuk proses terhadap kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) dialirkan menjadi pesan lewat DPR ke pusat
kekuasaan (pemerintah) untuk diproses. Kemudian hasilnya
dikembalikan menjadi umpan balik dengan munculnya keputusan
pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Partisipasi politik merupakan tolak ukur dalam memahami kualitas warga


negara pada tingkat rujukan (refrensi) pandangan dan tanggung jawab atas
kemajuan dan kelangsungan hidup masyarakat atau mengetaui sistem politik
apa yang mendasari berkangsungnya pertisipasi tersebut dari sifat ataupun
orientasi politiknya. Partisipasi politik dapat dijelaskan sebagai usaha
terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin-pemimpin
mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum. Usaha
ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab nereka terhadap
kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. Partisipasi
politik berbeda-beda dari amsyarakat yang satu ke masyarakat yang lain.
Kadar partisipasi politik pun bervariasi.

Partisipasi politik dapat dijelaskan sebagai turut ambil bagian, ikut serta atau
berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan denga kekuasaan
(power), kewenangan (authority), kehidupan publik (publik live),
pemerintahan (government), negara (state), konflik dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation). Menurut Samuel P. Huntington dan
Joan M.Nelson membuat batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga
negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individu atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efekyif atau
tidak efektif”.

Dari pengertian di atas memberi informasi bahwa partisipasi politik lebih


dialamatkan kepada aktivitas masyarakat (warga negara) di dalam turut
memikirkan kehidupan negara. Patisipasi politik merupakan cerminan dari
sikap politik warga negara atau masyarakat yang berwujud dalam perilaku
baik secara psikis maupun secara fisik. Menurut Milbrath menyebutkan empat
faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik.

Pertama, karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam


kehidupan politik.
Kedua, karena faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang
berwatak sosial, yang punya kepedulian besar terhadap problem
sosial, politik, ekonomi, biasanya mau terlibat dalam aktivitas
politik.
Ketiga, karakter sosial seseorang yang meliputi status sosial ekonomi,
kelompok ras, etnis, dan agama seseorang. Bagaimanapun
lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap, dan
perilaku seseorang dalam bidang politik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Keempat, faktor situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan poitik
yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi
dalam kehidupan politik.

Perilaku politik yang berkristal dalam wujud partisipasi politik dalam


berlangsung secara konvesional sebagai mana suatu keharusan yang berada
dalam setiap sistem. Partisipasi yang berlangsung bersifat legal dan berada
dalam ikatan normatif. Partisipasi politik yang tumbuh atas kesadaran sebagai
partisipasi murni tanpa adanya paksaan. Istilah partisipasi seringkali
digunakan untuk memberi kesan mengambil bagian dalam sebuah aktivitas.
Mengambil bagian dalam sebuah aktivitas dapat mengandung pengertian ikut
serta tanpa ikut menentukan bagaimana pelaksaan aktivitas tersebut tetapi
dapat juga berarti ikut serta dalam menentukan jalannya aktivitas tersebut,
dalam artian ikut menentukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas
tersebut.

Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa,


bernegara dan berpemerintah yaitu: ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan),
ada keterlibatan secara emosional, dan memperoleh manfaat secara langsung
maupun tidak langsung dari keterlibatannya. Menuruth Keith Davis ada tiga
unsur penting partisipasi politik, meliputi: Unsur pertama, bahwa partisipasi
atau keikutsertaan sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan
perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara
jasmaniah.

Sastroatmodjo juga mengemukakan tentang bentuk-bentuk partisipasi politik


berdasarkan jumlah pelakunya yang dikategorikan menjadi dua yaitu
partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual dapat
terwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan
kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara
secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam
kegiatan pemilu.

Bentuk-bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh Almond yang terbagi dalam


dua bentuk yaitu parsipasi politik konvensional dan partisipasi politik non
konvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional meliputi pemberian
suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung
dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik
dan administratif. Bentuk partisipasi politik non konvensional meliputi
pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan
politik harta benda (pengrusakan, pengeboman), tindak kekerasan politik
terhadap manusia (penculikan, pembunuhan).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Bentuk Komunikasi Politik


Bagi David Easton, sistem politik tak lain dari bentuk interaksi yang
diabstraksikan dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai autoritatif
(berwenang) dialokasikan kepada masyarakat. Interaksi antara struktur politik
dalam suatu sistem politik itu dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem
komunikasi politik.

Ada dua bentuk komunikasi politik, yaitu:


pertama, komunikasi politik yang cenderung mengambil posisi horizontal.
Dalam komunikasi ini, posisi antara komunikator dan komunikan
(masyarakat) relatif seimbang (saling memberi dan menerima),
sehingga terjadi sharing. Bentuk komunikasi semacam ini
merefleksikan nilai-nilai demokratis.
Kedua, komunikasi politik yang cenderung membentuk pola-pola linier. Arus
komunikasi (informasinya) satu arah, cenderung vertikal (top
down). Bentuk komunikasi semacam ini merefleksikan nilai-nilai
budaya feodalistik dan pola kepemimpinan otoriter. Adanya sistem
hierarkis dalam struktur sosial, baik makro atau mikro,
menyebabkan kesenjangan dalam pembagian tugas, wewenang dan
tanggung jawab. Pada gilirannya, sistem hierarkis ini juga
mengakibatkan terhambatnya proses komunikasi.

Secara psikologis politik, pola komunikasi yang demikian mendorong orang


untuk bersikap apatis (masa bodoh) dan pada puncaknya menyebabkan
berkurangnya partisipasi politik formal, dan merebaknya aktivitas politik
“bawah tanah” (ilegal). Ditinjau dari sudut perubahab sosial (Sosial Change),
komunikasi semacam itu jelas sangat merugikan institusi sosial. Pertama,
berkurangnya partisipasi dan dukungan anggota. Kedua, tidak terbentuknya
etos kerja yang diwarnai oleh semangat kreatif, inovatif dan inisiatif, dan
sebaliknya, cenderung membentuk mental “menunggu restu”. Ketiga, tidak
adanya kontrol dari bawah, sehingga bila terjadi penyimpangan atas sistem,
maka sukar untuk “diobati”. Keempat, menyebabkan tidak adanya ledakan
spektakuler dari bakat-bakat yang tersembunyi pada diri individu. Kelima,
secara institusional, problem solving (pemecahan masalah) mejadi kurang
efektif, karena tidak adanya dialog antar anggota komunitas.

4. Saluran Komunikasi Politik


Istilah struktur komunikasi oleh Almond dan Powell (1966), juga diartikan
sebagai saluran komunikasi, diantara adalah :

a. Struktur wawan muka (face-to-face) informal, yaitu merupakan saluran


yang efektif dalam penyampaian pesan-pesan politik. Di samping struktur
yang formal dalam sebuah organisasi, selalu terdapat struktur informal
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

yang “membayangi”nya. Saluran ini bersifat bebas dalam arti tidak terikat
oleh struktur formal, namun tidak semua orang dapat akses ke saluran ini
dalam kadar yang sama.
b. Struktur sosial tradisional, yaitu sebuah saluran komunikasi yang
ditentukan oleh posisi sosial pihak yang berkomunikasi (khalayak atau
sumber). Artinya, pada lapis mana yang bersangkutan berkedudukan dan
(tentunya akan menentuka pula) akses disusunan sosial masyarakat
tersebut.
c. Struktur masukan (input) politik, yaitu struktur yang memungkinkan
terbentuknya atau dihasilkannya input bagi sistem politik yang dimaksud.
Yang termasuk struktur input adalah serikat pekerja, kelompok-kelompok
kepentingan, dan partai politik
d. Struktur output, yaitu struktur formal dari pemerintah. Struktur
pemerintahan, khususnya birokrasi, memungkinkan pemimpinpemimpin
politik mengkomunikasikan petunjuk bagi pelaksanaan peraturan-
peraturan untuk bermacam pemegang jabatan politik dengan cara yang
efisien dan jelas. e. Saluran media massa adalah saluran yang penting
dalam sebuah komunikasi politik. Media massa selalu mempunyai
peranan tertentu dalam menyalurkan pesan, informasi, dan political
content di tengah masyarakat, serta sangat terkait akan pembentukan
opini publik.

1. Sosialisai politik
Menurut David Easton dan Jack Dennis sebagai suatu proses perkembangan
seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola
tingkah laku. Kemudian Robinson oleh Alexis S. Tan ( Harun dan Sumarno,
2006: 82) merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat
dengan proses belajar pemahaman terhadap peristiwa politik. Sosialisasi
politik merupakan konsep strategis yang sangat mendasar, karena terkait
kelangsungan, karena berkaitan dengan kelangsungan hidup negara dengan
seluruh aspek yang terkandung didalamnya, sosialisasi politik dapat dilakukan
dalam saluran iterpersonal, yang meliputi, keluarga dan lingkungan yang
terdiri dari kawan-kawan dekat atau dikenal sebagai sebaya. Saluran
organisasi, yang meliputi lembaga-lembaga pendidikan, ormas, lsm, partai
politik. Kemudian saluran massa, media massa sebagai sumber informasi yang
sering digunakan untuk melakukan sosialisasi politik.

2. Pendidikan politik
Pendidikan politik sebagai usaha menenamkan, merubah atau
mempertahankan sistem nilai politik atau orientasi politik dengan
mengaktifkan proses sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan seseorang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

atau kelompok, baik kader, simpatisan dan masyarakat umum, yang dilakukan
oleh politikus, profesional dan aktivis (sebagai komunikator politik) atau oleh
lembaga (organisasi) seperti partai politik. Pendidikan sebagai suatu ktivitas
mempengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap dan prilaku berdasarkan
nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi
kehidupan umat manusia. Pendidikan politik juga dilakukan dalam berbagai
saluran yaitu saluran interpersonal, organisasi dan massa.

3. Partisipasi politik
Menurut Kevin R Hardwick sebagai perhatian dari warga negara yang
berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingannya terhadap pejabat
publik; Sedang Meriam Budiardjo mengartikan sebagai kegiatan seseorang
atau kelompok untuk ikut serta aktif dalam memilih pimpinan negara dan
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah
(public policy) (Faturrohman dan Sobari, 2002 : 185).

Menurut Samuel P. Huntington sebagai kegiatan warga negara yang


beretindak secara pribadi atau kolektif dengan maksud untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah, secara spontan atau terorganisasi,
mantap atau sporadis secara damai atau kekerasan, legal (Pemilu) atau ilegal
dan efektif atau tidak efektif.

a) Agregasi kepentingan (interest aggregation function), pada fungsi ini


terdapat proses penggabungan kepentingan, untuk kemudian
dirumuskan dan disalurkan kepada pemegang kekuasaan atau
pemerintah yang memegang kekuasaan dan yang berwenang (autority
atau legalized power) untuk dijadikan kebijakan publik (public policy).
b) Fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation function), pada fungsi
ini terjadi proses sintesis aspirasi individu-individu sebagai anggota
kelompok yang berupa ide, pendapat yang kemudian dijadikan pola dan
program politik.

Nimo (2006: 126) dalam komunikasi politik, partisipan adalah anggota


khalayak yang aktif yang tidakhanya memperhatikan apa yang dikatakan oleh
para pemimpin politik, tetapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan
para pemimpin itu, ringkasnya partisipan politik melakukan kegiatan bersama
dan bersama-sama dengan para pemimpin politik, yaitu sama-sama
merupakan komunikator politik. Sedangkan menurut Rush dan Phillip
Altohoff (2007:121123) partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai
bermacammacam tingkatan dalam tingkatan politik. Aktivitas ini bisa
bergerak dari keterlibatan sampai aktivitas jabatannya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Rekuitmen politik
Rekuitmen politik yaitu suatu usaha untuk mengajak kepada individu-individu
masuk kedalam orientasi dan nilai politik, yang pada akhirnya secara kongkrit
menjadikan anggota politik baik simpatisan sampai menjadi kader politik dan
pengurus organisasi politik.

5. Pendapat umum
Pendapat umum yang diterjemahkan dari bahasa Inggris public opinion
dikenal pada awal abad ke-18 menurut Alquin mennganggap bahwa suara
rakyat adalah suara Tuhan ”Vox populi, vox dei”. William Albig (Arifin, 2003 :
116) pendapat umum adalah hasil interaksi antara orang-orang dalam suatu
kelompok, sedang Whyte menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat mengenai
suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum. Sehingga bisa dicirikan
sebagai :
a) pendapat, sikap, perasaan, ramalan, pendirian dan harapan-harapan dari
individu, kelompok dalam masyarakat tentang masalah yang
berhubungan dengan kepentingan umum atau persoalan sosial;
b) hasil interaksi, diskusi, atau penilaian sosial antarindividu berdasarkan
pertukaran pikiran secara sadar dan rasional;
c) pendapat umum akan dapat dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh
media massa;
d) bisa dilakukan pada penganut paham demokratis (keterbukaan).

6. Citra Politik
Citra Politik menurut Roberts (1977) (Arifin, 2003 : 105) bahwa komunikasi
tidak secara langsung menimbulkan pendapat dan perilaku tetrtentu, tetapi
cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang
lingkungan, citra (image) adalah gambaran seseorang (figur) yang tersusun
melalui persepsi yang bermakna melalui kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Menurut Dan Nimmo (2000 : 6-7) citra politik terjalin melalui pikiran dan
perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan pemahaman
terhadap peristiwa politik tertentu.

Komunikasi politik kekinian dapat juga kita lihat dari penggunaan media yang
dipakai. Media komunikasi politik dapat dibagi menjadi lima jenis tergantung
pada bagaimana komunikasi mengalir melalui media tersebut seperti model
berikut ini (Shahreza dan El-Yana, 2016).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Gambar 1. Model pola – pola media komunikasi politik

Penjelasan mengenai model-model tersebut merupakan dinamika yang terjadi


dalam proses komunikasi politik di era digital. Dengan adanya ruang publik di
media sosial antara tokoh politik, masyarakat, media massa bisa berinteraksi
dari tahap komunikasi linear, sirkular dan intraksional terjadi melalui jalur
media baru. Selanjutnya dibawah ini adalah penjelasan dari model saluran
media tersebut diatas (Shahreza dan El-Yana, 2016).

Tabel 2. Penggunaan Media (saluran) dalam Komunikasi Politik

1. One to One (Interpersonal Media)  Dengan satu arah atau dua arah
komunikasi, komunikasi tatap
muka, lalu menggunakan
perantara tokoh (pemuka
masyarakat) atau Opinion Leader
yang akhirnya diteruskan ke
jaringan bawahan (masyarakat)
dimana peran pengaruh dan
kekuasaannya digunakan (two
flow step communication).
 Dengan mendatangi langsung
masyarakat (khalayak) dengan
memangkas prosedural
birokrasi.Bisa dikatakan dengan
istilah kunjungan sampel (diambil
dibeberapa tempat yang menjadi
perwakilan dari populasi), ini bisa
disebut dengan istilah “Turba”
yang artinya turun kebawah atau
dengan istilah “blusukan”.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

 Termasuk dengan penggunaan


surat pribadi, telepon pribadi, dan
saluran lain untuk melakukan
korespodensi dan pembicaraan,
seperti SMS, PO BOX, dan
sebagainya.
2. One to Many (Mass Media)  Bentuk pertama, yaitu secara
langsung, seperti kandidat politik
berbicara di depan rapat umum
atau seperti seorang presiden
muncul di depan khalayak besar
reporter dalam konfrensi pers.
 Bentuk kedua, terjadi jika ada
perantara ditempatkan antara
komunikator dan khalayak. Akan
terjadi satu arah, media, teknologi,
sarana, dan alat komunikasi
lainnya (buku, Surat kabar cetak,
Televisi atau Radio). Contoh pidato
kepresidenan yang disiarkan ke
seluruh dunia melalui televisi.
3. Gabungan One to One dan One to  Melakukan komunikasi atau
Many (Organization Communication) diskusi antara pimpinan dan
bawahannya. Seperti seorang
presiden kepada staf, penasehat
dan para mentri yang membawahi
departemen.
 Karena organisasi politik itu besar
maka untuk melakukan one to one
mustahil, maka dilakukan dengan
sarana one to many, seperti:
pengedaran memorandum,
melakukan sidang rutin tahunan,
bulletin, laporan berkala intern
dan lokakarya.
4. Many to Many (New Media)  Politisi, pejabat dan kandidat
politik menggunakan jejaring
komunikasi (Network
communication) ke banyak arah.
 Melalui media sosial banyak
politisi atau kandidat politik
memliki akun Facebook, Twitter,
youtube, blog atau situs pribadi
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

yang langsung dapat berinteraksi


dengan khalayak banyak (netizen)
dengan meng-follow, meng-add
akun pribadi komunikator
tersebut tersebut.
 Para komunikator politik bisa
ditemui di dunia maya oleh
netizen, melakukan update status
yang berisi gagasan, pandangan
dan sikap dengan meͲmention
langsung ke tujuan, termasuk
melalukan pembicaraan pribadi
(chatrooms), membuka website
pribadi (sosial media websites)
dan juga pengguaan aplikasi smart
phone seperti Black Barry
Massenger (BBM), Whatsup (WA),
dan lain-lain, serta penggunaan
group-group atau komunitas di
media sosial dan applikasi untuk
melakukan kordinasi,
menyebarkan informasi
(broadcast), kadang media
konvensional juga mengambil/
mengutip statusͲstatus dari media
sosial dan dipublikasikan dan
sebagainya.
5. Many to One (Agenda Setting)  Reputasi Politikus dimainkan oleh
peran media massa dengan
meluasnya minat masyarakat
(opini publik).
 Reputasi Politikus dinaikkan dan
juga dijatuhkan (dikaburkan)
melalui lambngͲlambang yang
beredar di media massa. Isu bisa
sengaja dirancang (framing) atau
dengan memanfaatkan momen
kondisi kekurangan atau masa lalu
kandidat yang negatif dengan
melakukan agenda setting oleh
media baik media tradisional
ataupun media baru yang terkenal
dengan istilah “bullying”.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di era teknologi digital, interaksi antar aktor komunikasi politik tidak lagi
dominan atas ke bawah namun juga bawah ke atas. Di zaman ini, partisipasi
publik ikut berperan mengolah pesanpesan politik. Media massa utama
menjadi jembatan komunikasi, dalam menyebarkan pesan pesan yang luas
dan mendapat dukungan dan perhatian masyarakat.

Perubahan komunikasi politik dalam strategi kampanye mengalami


perkembangan, khususnya dengan memanfaatkan kekuatan media seperti stiker,
pamflet, spanduk, dan baligo serta papan reklame dari ukuran kecil hingga
ukuran besar, yang terpasang menghiasi jalan-jalan layaknya seperti iklan
komersil pada musim “pesta demokrasi”. Kemudian strategi kampanye yang
memanfaatkan kekuatan media massa seperti surat kabar (koran) yang banyak
diakomodasi oleh surat kabar lokal. Termasuk kampanye di media massa
elektronik terutama televisi menjadi wahana kompetisi iklan politik yang sangat
menarik.

Menurut Lilleker (2006) fungsi utama dari komunikasi politik adalah untuk
membuat masyarakat memikirkan suatu masalah dengan cara yang
menguntungkan bagi pembuat dan pengirim pesan politik. Ini berarti bahwa
setiap organisasi politik yang bermaksud untuk memengaruhi publik secara
politik, harus berusaha untuk mengontrol ide-ide yang dominan dalam ruang
publik. Sebagai contoh, sebelum Pemilu tahun 2014 diselenggarakan untuk
menentukan jumlah perolehan kursi kekuasaan di legislatif, sudah didahului
dengan ramainya iklan politik di televisi oleh calon presiden (capres) dan calon
wakil presiden (cawapres) baik secara berpasangan (satu paket), maupun iklan
capres yang masih belum memiliki cawapres. Apalagi para kontestan capres dan
cawapres serta ketua umum parpol merupakan pemilik perusahaan media
televisi terbesar. Kondisi tersebut akan terjadi saat pilcaleg dan pilpres 2019
mendatang.

Begitupun iklan layanan masyarakat atau sosialisasi program pembangunan


menjelang masa Pemilu, yang marak dimanfaatkan pajabat publik seperti
menteri yang memanfaatkan kepentingan politiknya untuk mencalonkan
menjadi anggota legislatif. Sehingga media massa menjadi pentas panggung
politik yang penting dan strategis, karena dibutuhkan dan dimanfaatkan para elit
politik untuk membangun, memelihara popularitas serta pencitraannya.

Hal tersebut sesuai dengan hasil riset Lembaga Survei Indonesia (Rilis LSI, 2014)
salah satunya yaitu: (1) Sering muncul opini bahwa berita oleh media masa
dibingkai (frame) oleh kepentingan politik dan ekonomi tertentu untuk
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memengaruhi sikap dan perilaku politik pemilih sesuai dengan framing tersebut.
(2) Efeknya kemudian, bahwa berita media massa diyakini punya pengaruh
partisan, yakni menguntungkan partai tertentu, dan sebaliknya menjatuhkan
partai yang lain.

Hal tersebut merupakan suatu strategi komunikasi melalui kampanye,


sebagaimana menurut Connolly (2008) bahwa strategi kampanye merupakan
komunikasi yang diarahkan oleh seseorang atau sebuah organisasi dengan
dirancang untuk memengaruhi publik, meningkatkan pengetahuan, mengubah
sikap, maupun mendorong perilaku yang diinginkan.

Strategi komunikasi dengan kampanye, umumnya dirancang untuk merespon


kebutuhan komunikasi yang dirasakan sangat penting oleh publik. Jadi netralitas
dan indepedensi media menjadi bias, karena satu sisi media massa bersifat
komersial dan media juga sebagai agen pembangunan yang memberikan
informasi, edukasi, dan wahana aspirasi serta kontrol terhadap kekuasaan.
Namun di sisi lain media juga sebagai wahana dimanfaatkan kepentingan politik
oleh elit politik untuk memiliki kekuasaan politik. Menurut Altschull (dalam
Severin dan Tankard, 2007) bahwa:

1) Dalam semua sistem media berita mewakili pihak yang menjalankan


kekuasaan politik dan ekonomi. Surat kabar, majalah dan penyiaran
bukanlah aktor independen, meski mereka mempunyai potensi untuk
menjalankan kekuasaan independen;
2) Isi berita selalu menunjukkan kepentingan dari orang-orang yang
membiayai pers;
3) Semua sistem pers didasarkan pada kepercayaan ekspresi bebas,
walaupun didefinisikan dengan cara yang berbeda. Maka demokratisasi
hanya menjadi simbol dan slogan politik, apabila masih ada kekuasaan
yang sangat kuat dan tidak dapat dikontrol oleh kekuatan lainya.
Misalkan media massa yang berkolaborasi dengan politik atau pengusaha
(media) dengan penguasa (politik) menjadi suatu hegemoni. Sebagaimana
Gramsci dalam Latif dan Ibrahim (1996) istilah hegemoni (hegemony)
yang dihadapkan dengan istilah kekuatan (force).

Jika kekuatan diartikan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang
banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi tertentu.
Maka hegemoni berarti perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” dari
kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat penggunaan
kepemimpinan intelektual, moral, politik yang mewujud dalam bentuk bentuk
koopasi institusional dan manipulasi sistemis atas teks dan tafsirannya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Gramsci (dalam Suyanto, 2010), fenomena hegemoni politik dan media
akan tetap berlangsung apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan
pemikiran masyarakat telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup
dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi masyarakat. Bentuk
usulan komunikasi politik dalam strategi kampanye yang bisa menjadi alternatif,
dalam rangka mewujudkan demokratisasi yang berpihak kepada rakyat.

Komunikasi politik dalam strategi kampanye, bukan hanya untuk kepentingan


yang menguntungkan elit politik saja, tetapi untuk kepentingan semua pihak
termasuk rakyat sesuai dengan semangat demokratisiasi. Karena menurut
McNair (2003) hal tersebut dipahami sebagai strategi komunikasi dan taktik dari
aktor politik. Selain argumen atau perdebatan, pada saat ini gagasan tentang
komunikasi politik terlalu penting untuk diabaikan oleh para aktor yang memiliki
kepedulian bagi bekerjanya suatu demokrasi modern.

Blake dan Haroldaen dalam A Taxonomy of Concepts in Communication


menyatakan bahwa "komunikasi politik adalah komunikasi yang memiliki
pengaruh aktual dan potensial mengenai fungsi dari pernyataan politik atau
entitas politik lainnya". Sedangkan Dan Nimmo mendefinisikan "komunikasi
politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensinya (aktual
maupun potensial) mengatur kegiatan manusia di dalam situasi konflik.

Definisi komunikasi politik Blake di atas, jelas bahwa untuk mengetahui


"pernyataan politik" dan fungsi atau pengaruhnya maka media massa
merupakan salah satu saluran komunikasi yang paling penting, selain
komunikator dan isi pesan itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip komunikasi politik.

Pertama, konsistensi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi yang


disampaikan harus konsisten dengan substansi platform partai dan
konsisten terhadap paradigma partai dan solusi atas problem-problem
yang dihadapi oleh konstituen dan publik.
Kedua, replikasi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi harus
disampaikan berulang kali, sehingga konstituen dan publik paham betul
dengan content/isi platform partai dan apa yang sedang diperjuangkan
oleh partai.
Ketiga, evidence. Dalam komunikasi politik informasi yang disampaikan oleh
partai harus ada dan dapat dibuktikan kebenaran dan eksistensinya.
Begitu pula partai harus memberikan bukti-bukti konkrit atas apa yang
telah dan sedang mereka kerjakan. Kebanyakan makalah komunikasi,
menurut Halloran, tidak seimbang antara makalah mengenai akibat yang
ditimbulkan oleh komunikasi di satu sisi dan peran komunikator itu dalam
mendisain isi pesan di sisi lain.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Komunikasi massa; misalnya, lebih banyak menitikberatkan pada masalah efek


atau pengaruh media terhadap khalayak daripada apa yang sebenarnya
mempengaruhi isi media. Keadaan ini juga berlaku pada makalah media dan
politik. Pentingnya media massa dalam penyebaran politik diuraikan Reese dan
Shoemaker telah coba membuka tabir tentang faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi isi media. Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang
berpengaruh terhadap isi suatu media, di antaranya adalah pengaruh pekerja
media (penyiar atau jurnalis), pengaruh organisasi media, pengaruh ekstramedia,
dan pengaruh ideologi.

Penlitian Reese dan Shoemaker tersebut menunjukkan bahwa pengaruh "siapa"


(menurut taksonomi Lasswell) atau "kelompok yang mempengaruhi isi media"
(menurut Reese dan Sheomaker) atau juga "komunikator politik" (yang oleh
Nimmo disebut sebagai komunikator profesional) dalam menyampaikan "isi
pesan" ternyata tidak kalah pentingnya dari pengaruh lainnya, seperti "media",
"khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang dilakukan.

Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan isi media,


Nimmo secara detil membagi komunikator politik ke dalam tiga kelompok, yaitu
politikus, profesional, dan aktivis. Politikus sebagai komunikator politik dalam
pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula
bertindak sebagai ideolog. sebagai wakil partisipan, komunikator politik mewakili
kelompok tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah
masalah politik. Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang
lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini. Mereka adalah
makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide yang
ditawarkannya.8 Salah satu karya yang mengungkap landasan teoritis tentang
komunikasi politik terungkap dalam buku Political Communication, Issues and
Strategies for Research.

Buku yang disunting Steven H. Chaffee (1975) ini juga mengungkap kasus di
lapangan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan politik praktis. Dalam
operasionalisasinya, komunikasi politik dikembangkan berdasarkan sejumlah
teori tindakan komunikatif terkait rasio dan rasionalisasi masyarakat
dikembangkan para ilmuan komunikasi. Di antaranya, Jurgen Habermas menulis
Theori des Kommunikativen Handelns, secara umum menerangkan bahwa; the
theory of communicative action memiliki tiga tujuan yang terkait satu sama lain.

1) Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat pada dan


dibatasi oleh premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial.
2) Merekonstruksi konsep masyarakat dua-level yang mengintegrasikan
dunia kehidupan dan paradigma sistem.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Mensketsakan, berdasarkan latar belakang di atas, teori kritis tentang


modernitas yang menganalisis dan membahas patalogi-patalogi dengan
suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada
pengabaian proyek pencerahan.

Dalam perspektif Allan G. Johnson yang menegaskan bahwa sistem sosial dalam
struktur organisasi sebagai alternatif menguatnya pengaruh individu. Jika
perspektif ini diadopsi, maka tampaknya rasionalitas masyarakat dalam
menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi dari akses berita politik
media. Dalam realitasnya, aspek rasionalitas masyarakat dalam menentukan
pilihan-pilihan politiknya pada umumnya masih dipengaruhi pemberitaan media.
Pilihan politik yang mengedepankan rasionalitas, sejatinya diputuskan
berdasarkan hati nurani atau pilihannya secara personal tanpa intervensi
siapapun.

Menurut Allan G. Johnson, pilihan rasional ditentukan pada kepentingan diri


yang tetap dipertautkan dengan sistem sosial.11 Selain itu, media juga
mengembangkan pengkajian wacana politik dengan menggunakan analisis
wacana. Wacana (discourse) tidak hanya mencakup ucapan-ucapan dan bentuk-
bentuk komunikasi nonverbal, tetapi juga mencakup segala macam "teks" dalam
pengertiannya yang luas. Bila dilihat dari perspektif extra linguistic, kata "text"
dapat diperlebar pemakaiannya meliputi pesan-pesan yang dirumuskan melalui
sistem tanda, seperti tanda lampu lalu lintas, upacara-upacara ritual keagamaan,
atau adat masyarakat tertentu, gaya-gaya pakaian, gerak tubuh, atau juga kode
indikator yang bersifat elektronik.

Kebanyakan komunikasi, baik lisan maupun tertulis, dari yang biasa sampai yang
terinci, terdiri atas aksi-aksi yang kompleks yang membentuk "pesan-pesan" atau
"wacana" (discourse). Sedangkan studi tentang struktur pesan disebut sebagai
analisis wacana (discourse analysis).

Menurut Scott Jacobs, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam studi
ini; Pertama, analisis wacana disusun oleh para komunikator dengan cara dan
prinsip tertentu agar seseorang mengetahui arti yang ingin disampaikan.
Kedua, analisis wacana dipandang sebagai masalah aksi. Sehingga, pengguna
bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa, melainkan jugs
aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar untuk mencapai
tujuan pragmatik dalam situasi sosial tertentu. Ketiga, analisis wacana dipandang
sebagai suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual
dari prespektif mereka, atau dengan kata lain, analisis wacana tertarik pada
aturan-aturan transaksi pesan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Van Dijk (1997), kerangka teoretis yang mendasari perbincangan kita
mengenai wacana politik (political discourse) selalu tidak bisa terlepas dari
kesadaran politik (political cognition) masyarakatnya. Hal ini sangat terkait
dengan berbagai level dan dimensi dari wilayah politik (political domain).

Level yang paling dasar adalah aktor politik yang di dalamnya terdiri atas dimensi
gagasan, pandangan, wacana, dan interaksi dalam situasi politik tertentu. Level
tengah adalah institusi atau kelompok politik, termasuk di dalamnya adalah
keterwakilannya (shared representations) di dalam pergumulan politik, wacana
kolektif, hubungan, dan interaksi yang dibangun. Sedangkan level yang paling
tinggi adalah sistem politik, termasuk di dalamnya adalah dimensi keterwakilan
yang abstrak, aturan wacana (orders of discourse), dimensi sosial politik, budaya,
dan proses sejarah.

Pandangan-pandangan di atas menggambarkan kepada kita bahwa makalah


tentang wacana politik, baik langsung maupun tidak langsung, baik melalui
media, seperti analisis isi, melalui survei, maupun melalui wawancara,
merupakan analisis multilevel. Artinya, analisis wacana politik tidak semata-mata
membicarakan hal-hal yang diucapkan atau dituliskan (talk and text), tetapi juga
mencakup semua konteks yang melingkupinya.

Analisis terhadap wacana media biasanya menggunakan pendekatan analisis


ragam tingkat (multilevel analysis). Dalam konteks ini, Fairdough menyatakan
bahwa seorang peneliti, di samping memperhatikan hal-hal yang bersifat
tekstual, ia juga harus memperhatikan hal-hal yang bersifat kontekstual dan
ekstramedia. Ia mengemukakan konsep analisis antarteks (intertextuality
analysis) dengan istilah "Analisis Wacana Kritis" (Critical Discourse Analysis).

Pendekatan ini disebut "wacana" (discourse) karena merupakan konsep yang


digunakan oleh para ahli dan peneliti ilmu sosial dan ahli bahasa. Sedangkan
disebut "kritis" (critical) karena keberadaannya diakui, baik dalam praktik sosial
secara umum maupun dalam penggunaan bahasa secara khusus, memiliki
hubungan sebab-akibat yang telah disadari sekalipun dalam kondisi yang normal.
Wacana ini selalu merujuk pada penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Menurut Van Dijk, Critical Discourse Analysis lebih menekankan pada aspek
sosiohistoris yang melingkupi struktur teks. Dengan demikian, tujuan analisis ini
adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai aspek-aspek sosiokultural yang
melingkupi seluruh teks, termasuk juga memahami berbagai hal menyangkut
struktur organisasi dan cara kerja dalam produksi teks. Sementara itu, media kini
mengubah kehidupan masyarakat sehingga membentuk hiper realitas yang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

menjadi bagian fungsional dalam berbagai struktur masyarakat, terutama


hadirnya televisi dan internet yang mengambil alih fungsi sosial manusia.

Media perlu dikontrol untuk memberikan pendidikan politik, berupa


membangun kesadaran masyarakat melalui saluran informasi media. Dengan
demikian jelas bahwa media memiliki peran penting dalam sirkulasi pesan-pesan
politik kepada masyarakat. Melalui media, seorang politisi dapat membangun
pencitraan dirinya sehingga memiliki tingkat keterpilihan tinggi.

1. Kampanye Politik
Kampanye adalah suatu proses kegiatan individu atau kelompok yang
dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek
atau dampak tertentu. Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik
dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat
(Arifin, 2003:23).

Salah satu jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye
politik yang ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui hubungan
tatap muka maupun dengan menggunakan berbagai media, seperti surat
kabar, radio, televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan selebaran serta
medium interaktif melalui komputer (internet). Penyampaian pesan politik
melalui media massa merupakan bentuk kampanye yang handal dalam hal
menjangkau khalayak luas.

a. Jenis dan Metode Kampanye


Menurut Charles U Larson sebagaimana dikutip Gun Gun Heryanto
terdapat 3 Jenis Kampanye yaitu :Product Oriented Campaign kampanye
yang berorientasi pada produk, umumnya terjadi di lingkungan bisnis.
Candidate Oriented Campaign kampanye yang berorientasi pada kandidat,
disebut sebagai political campaign (kampanye politik), Ideologically
Campaign adalah jenis kampanye yang berorientasi kepada tujuan tujuan
yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial
b. Tujuan Kampanye
Tujuan kampanye adalah untuk menciptakan perubahan pada tataran
pengetahuan kognitif. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan
sikap.
Kampanye pemilu berbeda dengan kampanye politik. Dalam proses
mendialektikakan kampanye pemilu ke kampanye politik dengan apa yang
dilakukan oleh media, menggambarkan bahwa kampanye pemilu dan
kampanye politik itu sebenarnya berbeda. Menurut Firmanzah kampanye
pemilu berbeda dengan kampanye politik, yang terjadi adalah kampanye
politik dibonceng oleh media sebagai kampanye pemilu, bahwa penonjolan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

berita oleh media merupakan cara untuk curi start dalam kampanye
pemilu. Kampanye pemilu itu sebenarnya tujuannya adalah menggiring
pemilih ke bilik suara, orientasi pasar, orientasi dari hasil kerja kandidat.

c. Kampanye dan Elektabilitas


Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria
pilihan.Untuk meningkatkan elektabilitas maka sangat tergantung pada
teknik kampanye yang dipergunakan. Ada kampanye yang menyentuh
kepentingan rakyat, ada juga yang tidak. Ada kampanye berkedok sebagai
survey, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang yang sulit membuat
keputusan dan sekaligus mematahkan semangat lawan.
d. Kampanye Pencitraan Politik
Citra politik adalah suatu gambaran tentang politik yang memiliki makna,
walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas politik yang sebenarnya.
Citra diri ini dapat terbentuk melalui pengalaman langsung (melalui
pergaulan dan aktivitas yang lama dengan politisi tersebut) juga melalui
pengalaman tidak langsung, yaitu media massa, karena media massa
memiliki pengaruh dalam membentuk citra dan mengangkat status
seseorang.

2. Pembentukan Pendapat Umum


Pendapat umum adalah kompleks perferensi yang dinyatakan sejumlah orang
tertentu mengenai isu yang mengyangkut kepentingan umum (Bernard
Henessy). Apa yang dimaksud dengan pandangan umum adalah pandangan
berbagai kalangan masyarakat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
kehidupan bersama mereka dalam suatu masyarakat. tercakup di sini adalah
persetujuan atau tidak adanya persetujuan atas kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah.

Proses pembentukan pendapat berkaitan erat dengan proses sosialisasi


politik, partisipasi dan pengrekrutan politik. Robert Lane dan David Sears
berpendapat, bahwa pendapat umum memberikan pengarahan. Ini berarti,
bahwa beberapa individu akan menyetujui satu pandangan tertentu,
sedangkan individu yang lain menentangnya. Memang tentang isu yang sama
sering terdapat pendapat yang pro dan kontra.

Di samping itu terdapat pula orang yang sama sekali tidak mempunyai
pendapat tentang hal yang bersangkutan. Keterlibatan seseorang dalam
penentuan pendapat tidak mengadaikan bahwa orang yang bersangkutan
tahu banyak tentang masalah yang bersangkutan. Anda mungkin mau
mengikuti pemilihan umum yang dimaksudkan untuk menetapkan para wakil
rakyat. Tetapi anda belum tentu tahu siapa yang menjadi wakil anda di Dewan
Perwakilan Rakyat.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memberikan pengaruh dalam proses interaksi sosial serta hubungan
sosial yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya. Proses interaksi
sosial dan hubungan sosial yang melibatkan komunikasi berakibat pada pola
komunikasi contohnya pola komunikasi interpersonal maupun pola komunikasi
organisasi. Berikut beberapa pengaruh penggunaan media sosial dalam berbagai
tingkatan komunikasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Kiran Bala dalam
artikelnya bertajuk Sosial Media and Changing Communication Patterns.

1. Media sosial dan komunikasi intrapersonal


Media sosial memegang peranan yang sangat penting dalam mengekspresikan
diri dan mempresentasikan diri. Apapun yang menurut kita penting, akan
dikomunikasikan dengan orang lain. Ekspresi inilah yang digunakan untuk
membentuk semacam citra atau gambaran di mata orang lain dan cenderung
mengarah pada narsisme. Media sosial diciptakan untuk interaksi sosial dan
memungkinkan terjadinya komunikasi secara lebih cepat, murah, kapanpun
dan dimanapun. Di satu sisi, media bermanfaat dalam berkomunikasi dengan
orang lain, namun di sisi lain, karena terhubung secara virtual setiap saat
dengan status mutakhir dari situs media sosial menyebabkan pengguna media
sosial justru tidak berkomunikasi satu sama lain di dunia nyata.

Pengguna media sosial cenderung lebih sibuk berkomunikasi dengan


pengguna media sosial lainnya dalam dunia maya bila dibandingkan dengan
orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya orang tua atau anak atau
kakak atau adik. Manusia seperti terjebak dalam dunia maya. Hal ini
menyebabkan tidak adanya kedekatan dan dapat menurunkan kuantitas dan
kualitas komunikasi interpersonal. Adalah benar apabila dikatakan bahwa
media sosial merupakan salah satu dari hambatan-hambatan
komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal karena melalui media
sosial kita tidak dapat membaca komunikasi non verbal sebagai pelengkap
dari proses komunikasi interpersonal.

Selain itu, kehadiran media sosial juga berpengaruh terhadap


penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, dalam artian isi pesan yang
disampaikan secara tertulis melalui media sosial baik formal maupun non
formal telah menyebabkan pengguna media sosial melakukan akronimisasi
agar dapat sesuai dengan batasan karakter ditentukan oleh platform media
sosial. Pesan tertulis dalam media sosial menyebabkan pengguna sosial harus
mengintepretasikan tulisan dengan tepat karena apabila tidak maka
komunikasi yang efektif melalui media sosial tidak akan dapat tercapai.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media sosial dan komunikasi kelompok


Ketika teknologi media baru belum seperti sekarang, manusia cenderung
untuk berinteraksi dengan manusia lainnya yang berada dalam kelompok atau
organisasi tertentu secara regular. Namun dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang termasuk didalamnya perkembangan media
sosial maka jumlah orang yang berinteraksi menjadi lebih besar.

3. Media sosial dan komunikasi publik


Generasi muda dengan rentang usia antara 15-25 tahun menggunakan media
baru khususnya media sosial untuk tetap terhubung dengan yang lainnya
dalam isu-isu politik. Selain generasi muda, kesadaran penggunaan media
sosial juga dilakukan oleh para politisi. Kini hampir setiap pimpinan partai
politik, anggota partai politik, anggota parlemen, kalangan eksekutif serta
jajaran pemerintahan lainnya telah menggunakan kekuatan media sosial
untuk menyampaikan ide dan gagasan serta menyosialisasikan kebijakan
publik yang telah dibuat.

4. Media sosial dan komunikasi massa


Kehadiran media sosial turut berdampak pada media massa dalam berbagai
aspek seperti format program, isi, perlakuan, serta bahasa. Sebagaimana yang
telah kita ketahui, banyak sekali surat kabar nasional serta saluran televisi dan
radio melakukan pengawasan isi atau isu-isu yang sedang popular diantara
situs jejaring sosial untuk mendapatkan berita mutakhir di seluruh dunia.
Pemutakhiran berita atau informasi yang dilakukan setiap 24 jam setiap hari
pada berbagai situs berita menyebabkan terjadinya persaingan dengan media
massa tradisional. Untuk menghindarinya, media massa tradional maupun
media baru saling bekerja sama guna menjangkau massa yang lebih besar
serta menguatkan pesan-pesan komunikasi yang menjadi minat target
khalayak.

Kata strategi berasal dari bahasa Yunani klasik, yaitu “ stratos” yang artinya
tentara dan kata “agein” yang berarti memimpin, dengan demikian, strategi
dimaksudkan adalah memimpin tentara. Lalu muncul kata strategos yang artinya
pemimpin tentara pada tingkat atas. Jadi, strategi adalah konsep militer yang
bisa diartikan sebagai seni perang para jenderal (The art of general) Cangara
(2009 : 292). Pada dasarnya dalam strategi ada prinsip yang harus dicamkan,
yakni tidak ada sesuatu yang berarti dari segalanya kecuali mengetahui apa yang
akan dikerjakan oleh musuh, sebelum mereka mengerjakannya. Clausewitz
(1780-1831) dalam Cangara (2009 ; 292) merumuskan strategi sebagai seni yang
menggunakan sarana pertempuran untuk mencapai tujuan perang.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Marthin Anderson (1968) dalam Cangara (2009 ; 292) merumuskan strategi


sebagai seni yang melibatkan kemampuan intelegensi/ pikiran untuk membawa
semua sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan dengan memperoleh
keuntungan yang maksimal dan efisien. Orang Yunani memahami strategi lebih
dari sekedar berperang dalam pertempuran. Seorang Jenderal yang baik harus
menentukan jalur suplai yang tepat, memutuskan kapan untuk berperang dan
kapan tidak, dan mengelola hubungan angkatan bersenjata dengan penduduk,
politis dan diplomat.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia dalam Arifin (2011: 130), strategi
merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sesuatu.
Strategi juga bisa bermakna sebagai rencana yang berskala besar dengan
orientasi kepada masa depan untuk berinteraksi dengan lingkungan persaingan
guna mencapai sasaran-sasaran tertentu. Strategi mencerminkan cara seseorang
tentang bagaimana, kapan dan dimana seseorang harus bersaing, melawan siapa
dan untuk maksud dan tujuan apa.

Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku berjudul “Dimensi-dimensi


Komunikasi” (1981 : 84) menyatakan bahwa :
“.... strategi komunikasi merupakan panduan dari perencanaan komunikasi
(communication planning) dan manajemen (communications management)
untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi
komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis
harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda
sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi”.

Pendapat Effendi tersebut mendefinisikan strategi sebagai salah satu cara, siasat
atau taktik operasional yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
perkembangannya, konsep strategi terus mengalami perubahan dan
perkembangan. Masalah-masalah dalam strategi sering diakitkan dengan
metode, teknik dan taktik, begitupula dalam perumusan strategi komunikasi.
Strategi komunikasi (Effendi, 2000) baik secara makro (Planned
multimedia strategy) maupun mikro (single communication medium strategy)
mempunyai fungsi ganda, yaitu :

a. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif


dan instruksi secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil
yang optimal.
b. Menjembatani kesenjangan budaya (cultural gap) akibat kemudahan
dioperasionalkannya media massa yang selalu ampuh dan jika dibiarkan
akan merusak nilai-nilai budaya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Strategi komunikasi yang dikemukakan oleh Arifin (Effendi : 2000) agar dapat
menghasilkan komunikasi efektif, harus dilakukan hal-hal yakni (1) mengenal
khalayak, (2) penyusunan pesan (3) penentuan teknik penyampaian pesan dan
(4) memilih media.

1. Mengenal khalayak
Khalayak dalam pemilihan umum dikenal dengan pemilih, pemilih dalam hal
ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Memahami
faktor-faktor yang melatar belakangi pemilih dalam menyuarakan
pendapatnya merupakan sesuatu yang penting, baik dalam teori maupun
praktik (Quist &Crano) dalam Firmanzah (2012 : 99). Salah satu model
psikologis yang dapat digunakan dalam menganalisis perilaku pemilih dalam
menentukan pilihannya adalah model kesamaan dan daya tarik. Menurut
model ini setiap individu akan tertarik pada suatu hal atau seorang yang
memiliki sistem nilai, dan keyakinan yang sama dengan dirinya sendiri. Dalam
bahasa lain, semakin dua pihak berbagi karakteristik yang sama akan semakin
meningkat pula rasa saling tertarik satu sama lain.

Terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh kontestan menurut perspektif ini.
Pertama, kontestan pemilu beruasaha memetakan dan kemudian mencoba
memahami karakteristik disetiap kelompok masyarakat. Kemudian setiap
kontestan berusaha menciptakan karakteristik yang sesuai dengan harapan
masyarakat. Kedua, kesamaan karakteristik ini dapat digunakan sebagai
instrumen untuk mencari pendukung. Tema kampanye dan slogan politik
harus memiliki derajat kesamaan yang tinggi dengan apa yang dialami
masyarakat agar masyarakat tertarik dengan kandidat tersebut. Semakin isu
politik mencerminkan apa yang dialami masyarakat, semakin besar pula
kemungkinan kontestan bersangkutan memenangkan pemilu. pemilih dapat
dibagi dalam tiga kategori, yakni konstituen, non-partisan dan pendukung
pesaing.

Ketertarikan pemilih pada kontestan dapat dijelaskan dengan menggunakan


model kedekatan (proximity) atau model ‘spatial’ (Downs, 1957) pada model
ini pemilih akan cenderung memberikan suaranya kepada partai politik atau
seorang kontestan yang dianggap memiliki kesaaman serta kedekatan sistem
nilai dan keyakinan. Dua hal yang bisa dijadikan ukuran dalam kedekatannya
dengan partai politik atau kontestan yaikni; kesamaan mengenai cara
pemecahan masalah (policy-problem-solving), dan kesamaan dalam paham
serta nilai dasar ideologi (ideology) dengan salah satu partai politik atau
seorang kontestan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pada dasarnya pertimbangan pemilih dipengaruhi oleh tiga faktor :


a. Kondisi awal pemilih, menyangkut sosial budaya pemilih, nilai tradisional
pemilih, level pendidikan, dan ekonomi pemilih.
b. Media massa. Data, informasi, dan berita media massa, ulasan ahli,
permsalahan terkini, dan perkembangan tren situasi.
c. Partai politik atau kontestan. Catatan kerja, reputasi, marketing politik,
program kerja, dan sistem nilai.

Memahami khalayak pemilih dalam pemilihan umum dapat di lakukan dengan


cara segmentasi,targeting dan positioning politik. Kontestan pemilu harus
mampu mengidentifikasikan kelompok-kelompok yang terdapat dalam
masyarakat untuk memudahkan memahami karakteristik setiap kelompok
masyarakat, aktivitas ini dikenal dengan segmentasi. Setiap kelompok
masyarakat memerlukan metode pendekatan dan komunikasi yang berbeda,
seperti masyarakat pedesaan memerlukan metode pendekatan komunikasi
yang berbeda dengan masyarakat perkotaan karena kondisi latar belakang
yang berbeda. Segmentasi diperlukan untuk menyusun program kerja partai,
terutama cara berkomunikasi dan membangun interaksi dengan masyarakat.
Tanpa segmentasi, kontestan akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik,
program kerja, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik.

Dengan mengimplementasikan segmentasi berarti partai politik atau


kontestan menggunakan pendekatan politik yang berbasis informasi
(information-based) yaitu partai politik mencari, menyerap dan mengolah
informasi tentang kondisi yang ada dalam masyarkat.(Firmanzah : 2012).
Melalui segmentasi kontestan dapat menyusun profil pemilih yang akan
menjadi target politik nantinya, aktivitas ini di sebut targeting secara politik.
Menyusun target politik didasarkan pada standar pengukuran jumlah dan
besaran potensi pemilih. Kelompok masyarakat yang memiliki populasi besar
merupakan target politik yang menggiurkan untuk didekati, karena merekalah
penyumbang perolehan suara dalam jumlah besar.

Standar pengukuran lainnya adalah arti penting dan efek kelompok dalam
memengaruhi opini publik, meskipun kelompok masyarakat tidak memiliki
besaran yang signifikan pengaruh mereka dalam mempengaruhi opini publik
menjadikannya layak didekati oleh kontestan pemilu.

Setelah targeting dilakukan langkah selanjutnya adalah positioning, yaitu


menempatkan pesan politik dan produk politik kepada segment yang dipilih
secara tepat dan sesuai untuk menciptakan identitas kontestan dimata
khalayak pemilih. (Firmanzah :2012).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Firmanzah dalam Marketing Politik (2012), teknik segmentasi dapat


dilakukan dengan mengelompokkan masyarakat berdasarkan karakteristiknya,
yaitu :

a. Geografis. Masyarakat disegmentasi berdasarkan geografis dan kerapatan


(density) populasi. Misalnya produk dan jasa yang dibutuhkan oleh orang
yang tinggal dipedasaan akan berbeda dengan produk politik yang
dibutuhkan oleh orang perkotaan. Begitu juga antara pegunungan dengan
pesisir, masing-masing memiliki kebutuhan yang berbeda satu dengan
yang lain.
b. Demografi. Konsumen politik dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin,
pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial. Masing-masing
kategori memiliki karakteristik yang berbeda tentang isu politik satu
dengan yang lain. Sehingga perlu untuk dikelompokkan berdasarkan
kriteria demografi.
c. Psikografi. Memberikan tambahan metode segmentasi berdasarkan
geografi. Dalam metode ini segmentasi dilakukan berdasarkan kebiasaan,
lifestyle, dan perilaku yang mungkin terkait dalam isu-isu politik.
d. Perilaku. Masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan proses
pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan
isu politik, loyalitas, dan perhatian terhadap permasalahan politik.
Masing-masing kelompok memiliki perilaku yang berbeda-beda, sehingga
perlu untuk diidentifikasi
e. Sosial budaya. Pengelompokkan masyarkat dapat dilakukan melalui
karakteristik sosial dan budaya. Klasifikasi seperti suku, etnik, dan ritual
spesifik seringkali membedakan intensitas, kepentingan dan perilaku
terhadap isu-isu politik.
f. Sebab-Akibat. Metode ini mengelompokkan masyarakat berdasarkan
perilaku yang muncul dari isu-isu politik. Sebab-akibat ini melandaskan
metode pengelompokkan berdasarkan perspektif pemilih (voters).
Pemilih dapat dikelompokkan berdasarkan pemilih rasional, tradisional,
kritis, dan pemilih mendua.

Pada segmentasi politik, sangat perlu memperhatikan unsur pemilih. Tipe


perilaku pemilih menurut Dan Nimmo dalam (Arifin : 2013) terdiri atas:

1) Tipe rasional, pemberi suara rasional yang turut mempengaruhi suara


kebanyakan warga Negara, berminat terhadap politik, aktif berdiskusi dan
mencari informasi politik serta dapat bertindak konsisten tanpa
terpengaruh oleh tekanan atau kekuatan politik.
2) Tipe reaktif, pemberi suara yang memiliki ketertarikan emosional dengan
partai politik. Ikatan emosional sebagai identifikasi partai, yakni sebagai
sumber utama aksi diri dan pemberi suara yang reaktif.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Tipe responsif, pemberi suara yang mudah berubah dan mengikuti waktu,
peristiwa politik, dan kondisi-kondisi sesaat.
4) Tipe aktif, pemberi suara yang terlibat aktif dalam menafsirkan
personalitas, peristiwa, isu, dan partai politik, dengan menetapkan dan
menyusun maupun menerima serangkaian pilihan yang diberikan.

Arifin dalam “politik pencitraan dan pencitraan politik”


(2013:109) mengemukakan adanya satu tipe lagi yaitu tipe transakasional,
yaitu individu-individu yang mengambil keputusan dari sejumlah opsi
berdasarkan “transaksi” berupa “hadiah atau fasilitas”. Meskipun simpatisan
atau anggota dalam satu partai, ia dapat memilih kandidat dari partai lain
berdasarkan transakasi yang dikenal sebagai aplikasi dari “politik uang (money
politiks) yang berlangsung dalam pasar gelap politik. Selain itu terdapat
klasifikasi khalayak berdasarkan kelas (strata) seperti kelas bawah, kelas
menengah dan kelas atas. Dan adapula klasifikasi yang lain seperti kelompok
buruh, pengusaha, petani, nelayan, cendekiawan, agamawan, perempuan,
pemuda dan sebagainya. Namun ada juga tindakan politik atau perilaku
pemilih yang sengaja tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam
pemilu, merupakan bentuk kegagalan sosialisasi politik dan komunikasi politik.
Juga sebagai bentuk tidak efektifnya pemasaran politik atau kampanye politik
terutama dalam pemilu.

Jenis-jenis segmentasi untuk kepentingan pengembangan program partai


yaitu pertama segmentasi eksperiential politik yakni mengklasifikasikan
masyarakat berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami terhadap
partai-partai politik. Kedua Segmentasi perilaku ekonomi, menyegmentasikan
sebuah daerah berdasarkan atribut yang menumbuhkan atau menjatuhkan
perekonomian yang dapat berguna dalam pembuatan program
pemberdayaan masyarakat, dalam taraf ekonomi. Ketiga Segmentasi
lingkungan sosial, melalui segmentasi sosial, kandidat dapat melihat potensi
antara anggota masyarakat, dan potensi pertalian antaranggota
masyarakat. (Wasesa : 2011).

2. Penyusunan Pesan
Penentuan isi pesan dimaksudkan pengemasan tema dan materi yang
dibutuhkan dalam mempengaruhi khalayak atas penyampaian pesan tersebut,
sehingga mampu membangkitkan perhatian. Hal ini sesuai dengan AA
Procedures atau From Attention To Action Procedure. Artinya membangkitkan
perhatian (attention) untuk selanjutnya menggerakkan khalayak melakukan
sesuatu (action) sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Selain itu dikenal
pula AIDDA yakni adaption process yang terditi dari attention, interest, desire,
decision dan action.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Artinya dimulai dengan membangkitkan perhatian (attention), kemudian


menimbulkan minat dan kepentingan (interest), sehingga banyak memiliki
hasrat (desire) untuk menerima keputusan dan mengamalkannya dalam
tindakan (action) (Arifin : 2013).

Menurut Wilbur Schramm yang dikutip oleh Lynda Lee Kaid dalam
bukunya Political Communication Research (2004), pesan yang akan
disampaikan oleh seorang komunikator, hendaknya memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :

a. Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga


pesan memiliki nilai dalam menarik perhatian khalayak yang dituju.
b. Pesan haruslah menggunakan simbol-simbol yang didasarkan pada
pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga memilki
kesamaan pengertian.
c. Pesan haruslah membangkitkan sugesti pribadi akan suatu kebutuhan
(dalam hal ini kebutuhan akan kondisi politik yang stabil) sehingga dapat
menyarankan cara-cara untuk mencapai kebutuhan itu.
d. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan
yang layak bagi situasi kelompok dimana terdapat kesadaran saat
digerakkan untuk memberikan jawaban yang dikehendaki.

Strategi mengemas pesan politik sangat berperan dalam mengarahkan cara


masyarakat memaknainya. Pesan yang diangkat harus sesuai dengan isu-isu
politik yang sedang berkembang dalam masyarkat. Pesan politik harus mampu
membuka dan mengungkapkan telah terjadinya suatu masalah yang sedang
dihadapi masyarakat. Selanjutnya pesan tidak hanya berupa wacana namun
mengandung solusi, pesan politik harus mampu menjawab kebutuhan
masyarakat agar bisa memperoleh perhatian publik. Tujuan utama pesan
politik adalah menggerakkan masyarakat, agar mudah dipahamai pesan pesan
politik harus dikemas sesuai dengan lapisan dan segmen masyarakat.

Untuk masyarakat awam, yang memiliki latar belakang pendidikan rendah


pesan politik harus dikemas sesederhana mungking tanpa menghilangkan
esensi pesan politiknya, sebaliknya untuk masyarakat golongan terpelajar
pesan dikemas dengan data dan informasi yang akurat. Selain itu pesan yang
akan disampaikan harus memiliki identitasnya tersendiri, tidak hanya sesuai
dengan ideologi partai. (firmanzah : 2012)

Pesan politik dalam pemilihan umum, merupakan produk politik yang


dipasarkan kepada konsumen dalam hal ini pemilih. Produk politik
berupa intangible produk atau produk tidak nyata yang sangat terkait dengan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sistem nilai, didalamnya melekat janji dan harapan akan masa


depan. Niffenegger (1989) membagi produk politik dalam tiga kategori,
(1) party platform (platform partai), (2) past record (catatan tentang hal-hal
yang dilakukan dimasa lampau), dan (3) personal characteristic (ciri
pribadi). Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform, yang
berisikan konsep, gagasan-gagasan, identitas ideologi partai dan program
kerja partai. Apa yang pernah dilakukan partai politik atau kandidat di masa
lampau berkontribusi dalam pembentukan produk politik. Ciri seorang
pemimpin atau kandidat memberikan citra simbol, dan kredibilitas sebuah
produk. (firmanzah 2012 : 200).

Menyusun suatu produk politik dapat dimulai dengan menciptakan branding


atau merek politik yang menjadikannya berbeda dengan yang lain. Branding
politik adalah sesuatu yang melekat dalam benak khalayak terhadap partai
politik. Kata kunci branding politik adalah menciptakan kebutuhan yang
berguna bagi khalayak, branding politik dapat menjadi diferensiasi bagi
parpol/politisi yang satu dengan lainnya. Dalam proses branding, perlu adanya
rehabilitasi merek demi mendapatkan loyalitas khalayak. Politisi harus
melakukan pembaharuan, pencerahan, atau apapun namanya agar konstituen
mereka selalu mendapatkan keuntungan dari partai pilihannya minimal setiap
bulan sekali perlu di lakukan. Selain itu perlunya publik relation dalam
mewakili organisasi politik untuk membicarakan nilai-nilai politik, Lima
langkah dalam membentuk nilai merek yaitu:

1) Inovasi, melakukan inovasi program-program politik. Inovasi program


yang berkesinambungan dan terukur akan mampu merebut simpati
masyarakat pemilih.
2) Asosiasi merek, membangun asosiasi merek dengan sesuatu yang relevan
dimasyarakat, yang mampu diasosiasikan sebagai solusi yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
3) Pembaruan fungsi produk dan atau program, memperbaharui
dan mengembangkan program yang sudah ada, dengan memberikan nilai
baru pada program yang sudah ada, dengan berbasis pada hasil evaluasi
program yang ada.
4) Konsep paradoksal, dengan konsep paradoksal nilai merek akan semakin
kuat, konsep paradoks yang unik akan memicu perhatian publik
dibandingkan konsep biasa.

3. Teknik Penyampaian Pesan


Teknik penyampaian pesan menurut cara pelaksanaannya dibedakan atas :
a. Redundancy (Repetition) yakni cara mempengaruhi khalayak dengan
jalan mengulang pesan kepada khalayak. Manfaat yang diperoleh dengan
teknik ini adalah bahwa khalayak akan lebih memperhatikan pesan itu.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

b. Canalizing adalah memahami dan meneliti pengaruh kelompok terhadap


individu dan khalayak. Agar komunikasi ini berhasil, maka haruslah
dimulai dengan memenuhi nilai-nilai dan standard kelompok dan
masyarakat, kemudian secara berangsur-angsur mengubahnya ke arah
yang dikehendaki.
Bentuk yang kedua adalah teknik penyampaian pesan menurut isi pesan,
yang terdiri atas :

 Informatif adalah teknik penyampaian pesan yang bertujuan


mempengaruhi khalayak dengan jalan memberikan penerangan.
Penerangan berarti menyampaikan pesan berdasarkan fakta-fakta
dan data-data yang benar serta pendapat-pendapat yang benar
pula.
 Persuasif berarti mempengaruhi dengan jalan membujuk. Dalam
hal ini khalayak digugah baik pikiran maupun perasaannya.
Metode yang digunakan dalam teknik ini adalah komunikator
tidak memberi kesempatan kepada komunikan untuk berpikir
kritis, bahkan jika perlu komunikan dapat terpengaruh secara
tidak sadar (suggestif).
c. Educatif merupakan salah satu mempengaruhi khalayak dengan
menyampaikan pesan-pesan berisi pendapat-pendapat, fakta-fakta dan
pengalaman-pengalaman yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya. Dilakukan dengan sengaja, teratur dan berencana, dengan
tujuan mengubah tingkah laku manusia kearah yang diinginkan.
d. Koersif yakni teknik penyampaian pesan untuk mempengaruhi khalayak
dengan cara memaksa. Sehingga pesan yang disampaikan oleh
komunikator selain berisi pendapat-pendapat juga berisi ancaman-
ancaman. Teknik ini biasa dimanifestasikan dalam bentuk peraturan,
perintah dan intimidasi. Agar pelaksanaannya lebih efektif, biasanya
dilindungi oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan yang cukup tangguh.

Teknik penyampaian pesan politik terkait juga dengan proses


penempatan. Place atau penempatan berkaitan erat dengan cara hadir atau
distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan
para pemilih. Ini berarti sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta
karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis. Secara
geografis identifikasi dapat dilakukan dengan melihat konsentrasi penduduk
disuatu wilayah, penyebarannya dan kondisi fisik geografisnya. Sedangkan
pemetaan berdasarkan demografis yaitu pemilih dikelompokkan berdasarkan
tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, kelas sosial, pemahaman akan dunia
politik, kepercayaan agama dan etnis. Pemetaan juga perlu dilakukan
berdasarkan keberpihakan pemilih. (Firmanzah : 2012)
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Proses penempatan juga terkait dengan sistem distribusi atau penyaluran


pesan. Distribusi produk politik sangat erat kaitannya dengan mekanisme
jangkauan dan penetrasi produk politik sampai kedaerah dan pelosok.
Masyarakat yang berada sangat jauh akan dapat merasakan bahwa produk
politik suatu kontestan lebih baik dibandingkan dengan kontestan lain.
Pemilihan media seperti internet, radio, TV, koran, majalah, brosur, pamflet,
yang diedarkan kedaerah merupakan salah satu bentuk fisik dari distribusi
dalam konteks marketing politik. Selain itu kunjungan partai politik dan
kontestan kedaerah-daerah juga bisa dikategorikan distribusi politik.
Pemilihan daerah mana yang perlu dikunjungi merupakan suatu
permasalahan yang tidak sederhana. Apakah produk politik cukup
didistribusikan melalui media atau harus datang dan bertatap muka secara
langsung dengan masyarakat, juga harus diperhatikan dalam distribusi politik.
(Firmanzah :2012).

4. Penggunaan Media
Penggunaan media lebih kepada pertimbangan tentang saluran yang paling
efektif yang akan digunakan dalam mentransfer pesan kepada khalayak.
Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan media langsung (face to face) dan
media massa. Penggunaan media terkait dengan kegiatan promosi produk
politik. Promosi menurut Shimp, Terrence (2003) adalah meliputi praktek
periklanan, personal selling, publisitas dan point of purchase
communication (P-O-P). Point Of Purchase Communication adalah komunikasi
di tempat pembelian. Elemen promosi, termasuk displai, poster, tanda-tanda
dan variasi bahan-bahan di toko lainnya, yang di desain untuk mempengaruhi
pilihan pelanggan pada saat pembelian.

Promosi merupakan cara partai dalam melakukan promosi platform partai


dan ideologi selama kampanye pemilu. Berupa periklanan, kehumasan dan
promosi untuk sebuah partai yang di mix sedemikian rupa sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, dalam hal ini pemilihan media perlu
dipertimbangkan. Tidak semua media tepat sebagai ajang untuk melakukan
promosi, perlu dipikirkan media apa yang paling efektif dalam mentransfer
pesan politik. Pemilihan media merupakan salah satu faktor yang penting
dalam penetrasi pesan politik ke publik. Mengetahui adanya perbedaan
tingkat penetrasi media (internet, TV, radio, media cetak seperti koran dan
majalah dalam suatu wilayah penting dilakukan demi menjamin efektifitas
pesan politik yang akan disampaikan.

Promosi bisa dilakukan melalui debat politik di TV, melakukan pengerahan


massa dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah “Tabligh-Akbar” atau
“Temu Kader”. Lambang, simbol, dan warna bendera partai yang disebar
melalui pamflet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

merupakan media promosi intitusi politik. Kegiatan promosi ini seharusnya


tidak hanya dilakakuan pada masa menjelang kampanye, tetapi harus terus
dilakukan agar publik selalu merasakan kehadiran intitusi politik, selalu
memberikan perhatian, menampung dan memecahkan persoalan publik
sehingga tumbuh kepercayaan publik dalam proses interaksi itu terhadap
institusi politik. (Arifin : 2013)

Selain media antarpersonal dan media massa berkembang media baru atau
media sosial yaitu internet (international networking). Internet merupakan
sistem jaringan yang menghubungkan seluruh dunia. Dengan membawa
pengaruh yang besar dalam komunikasi antarpersona, meliputi (1)
pengumpulan informasi, (2) penyimpanan informasi, (3) pengolahan
informasi, (4) penyebaran informasi, dan (5) balikan informasi (umpan balik).
Dengan pengaruh itu masyarakat dapat melakukan kegiatan jarak jauh,
seperti berpencitraan politik jarak jauh. Seperti penggunaan telpon seluler
(SMS), twitter, facebook, danblog. Penggunaan media sosial dalam berpolitik
pencitraan ini dikenal dengan kampanye online.(Arifin : 2013)

Strategi pemilihan media perlu mempertimbangkan unsur biaya atau harga


yang harus dikeluarkan dalam proses kampanye atau sosialisasi politik. Harga
mencakup banyak hal, mulai ekonomi, berupa biaya iklan, publikasi, biaya
‘rapat akbar’ sampai kebiaya administrasi pengorganisasian tim kampanye.
Harga psikologis, mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih
merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain.
Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa
kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi
kebanggaan negara.(Arifin : 2013)

Didukung berkembangnya sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis


seperti sekarang ini, maka fungsi dan peranan saluran media massa baik cetak
maupun media elektronik, radio, internet dan ditambah dengan banyaknya
saluran stasiun televisi yang bermunculan baik secara nasional atau TV lokal
daerah ikut menggiatkan atau menyebarluaskan pesan-pesan.

Pemberitaan atau informasi melalui berbagai bentuk komunikasi pemasaran,


dan pemasaran politik, program kampanye politik melalui saluran media
publikasi, public relations, promosi, kontak personal dan kreativitas periklanan
politik (political advertising) yang terpapar secara luas tanpa sekat atau
bahkan melampaui batas-batas negeri atauborderless country kepada seluruh
para pemirsanya tanpa terkecuali.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dikaitkan dengan pembahasan penyebarluaskan arus informasi dalam era


globalisasi tersebut terdapat mitos yang mampu menciptakan ketiadaan
ruang, jarak dan waktu sebagai akibat kebebasan masyarakat memperoleh
informasi secara bebas, langsung tanpa tekanan, tidak ada lagi batasan
teritorial, tidak ada lagi sesuatu peristiwa atau kejadian tanpa kecuali yang
dapat ditutup-ditutupi oleh setiap negara, lembaga lainnya dan termasuk
upaya perorangan ingin menyembunyikan sesuatu informasi demi
kepentingan sepihak. Pendekatan kampanye politik atau political campaign
approach untuk mendukung penggiatan pemasaran politik atau political
marketing activity tersebut sebagai upaya selain bertujuan, sebagai berikut:
1. Membentuk preferensi bagi pihak setiap pemilih dalam menentukan
suaranya. Ingin merangkul simpati pihak kelompok-kelompok atau the
third influencer of person and groupsseperti tokoh masyarakat, agama,
adat, eksekutif dan artis atau selebritis terkenal lainnya.
2. Memiliki daya tarik bagi kalangan media massa baik cetak maupun
elektronik, termasuk memanfaatkan penggunaan atribut kanpanye,
poster, spanduk, iklan politik di media-massa, termasuk melalui situs atau
blog internet untuk mempengaruhi pembentukan opini publik dan citra
secara positif demi kepentingan membangun popularitas tinggi atau
menebar pesona sang kandidat dan aktivitas parpol yang bersangkutan
sebagai kontestan yang siap berlaga dalam setiap siklus pelaksanaan
Pemilihan Umum
3. Kekuatan media massa dalam melakukan rekayasa opini dan
pembentukan opini publik inilah yang kerap dimanfaatkan dalam politik
pencitraan oleh kandidat, partai politik, yang berkepentingan terutama
menjelang pemilu. Keberhasilan suatu strategi komunikasi politik oleh
partai politik dalam merencanakan dan melaksanakan, akan ikut
berperan pada hasil perolehan suara partai politik dalam pemilu.

Menurut Firmanzah (2012: 244) strategi komunikasi politik sangat penting


untuk dianalisis. Soalnya, strategi tersebut tidak hanya menentukan
kemenangan politik pesaing, tetapi juga akan berpengaruh terhadap
perolehan suara partai. Strategi memberikan beberapa manfaat melalui
kegiatan taktiknya yang mampu membangun dan menciptakan kekuatan
melalui kontinuitas serta konsistensi. Selain itu, arah strategi yang jelas dan
disepakati bersama akan menyebabkan perencanaan taktis yang lebih mudah
dan cepat. Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan
manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, untuk
mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang
hanya menunjukkan arah usaha, melainkan harus mampu menunjukkan
bagaimana taktik operasionalnya (Effendi, 2000: 300).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Strategi komunikasi politik dibuat dan di realisasikan demi mencapai tujuan


politis. Komunikator politik harus cerdas dalam memilih konsep yang akan
digunakan. Dalam hal strategi komunikasi politik, marketing mengajarkan
bagaimana partai politik bisa mendiferensiasikan produk dan image
politiknya, dengan begitu, masyarakat luas akan dapat mengenali identitas
masing-masing partai dan kontestan perorangan.

5. Teori Kritis Dalam Media Baru Dan Komunikasi Verbal


Teori-teori dalam tradisi ini sangat concern pada bagaimana kekuasaan,
penindasan, dan hak istimewa yang merupakan produk dari bentuk-bentuk
tertentu dari komunikasi seluruh masyarakat, membuat tradisi kritis menjadi
signifikan dalam bidang teori komunikasi saat ini. Pandangan Karen dan Foss
(2008 : 46), ada tiga fitur penting yang menjadi asumsi penting untuk bisa
memahami secara jernih perspektif ini, yaitu :

1. Tradisi kritis berusaha untuk memahami sistem, struktur kekuasaan dan


keyakinan atau ideologi yang selama ini dianggap sebagai taken for
granted – dan telah mendominasi masyarakat, dengan sebuah
pandangan khusus untuk kepentingan “melayani” siapakah struktur-
struktur kekuasaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan seperti, misalkan,
“who does and does not get to speak”; “what does and does not get
said”; dan “who stands to benefit from a particular system”, merupakan
pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan oleh tradisi kritis dalam setiap
kajian-kajian yang dilakukan

2. Teori-teori dalam tradisi ini sangat tertarik untuk mengungkapkan


kondisi-kondisi sosial yang menindas dan penggunaan kekuasaan dalam
rangka untuk meningkatkan emansipasi, atau menciptakan masyarakat
yang bebas dari dominasi dan penindasan. Teori ini, salah satunya,
memang diarahkan untuk mengetahui terjadinya penindasan oleh satu
kelompok dominan terhadap kelompok lain . Sebab, dalam pandangan
tradisi ini, hanya dengan memahami dan mengetahui penindasan yang
terjadi, kita dapat menghilangkan apa yang disebut dengan ilusi ideologi
serta untuk mengambil tindakan dalam mengatasi kekuasaan yang
menindas untuk membebaskan masyarakat.

3. Teori kritis merupakan upaya sadar untuk memadukan teori dan praxis
(tindakan). Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk
mencapai perubahan kondisi yang dapat mempengaruhi masyarakat,
atau sebagaimana dikatakan Della Pollock dan J. Robert Cox, “to read the
world with an eye towards shaping it”. Penelitian kritis bertujuan untuk
mengungkapkan cara di mana kepentingan-kepentingan antar kelompok
saling bersaing dan berbenturan, serta di mana konflik diselesaikan untuk
mendukung kelompok-kelompok tertentu atas yang lain.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pesan (messages) digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperkuat


penindasan terhadap kelompok lainnya dalam masyarakat, adalah salah satu
kajian yang menarik dalam ilmu komunikasi. Khususnya teks media, digunakan
oleh kelompok tertentu untuk kepentingan dominan dan penindasan
terhadap kelompok tertentu.

Selain itu perlunya evolusi atau perubahan besar dalam penyampaian pesan
melalui media baru yang di harapkan masyarakat yang flexibel dan luwes
dalam era digital yang sudah dirasa sangat berpengaruh dalam dunia sehari-
hari kita. Pada era modern, ilmu komunikasi kemudian menjelma menjadi
sebuah bidang kajian lintas disiplin (interdisciplinary), yang secara tegas
menantang semua bentuk batasan-batasan konvesional, baik teoritis maupun
metodologis.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB IV
MEDIA BARU DAN TRANSFORMASI
KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

Sejalan dengan iklim kebebasan dan perkembangan teknologi komunikasi kajian


dan praktek komunikasi politik juga semakin menarik. Praktek komunikasi politik
tidak lagi monoton dan dikontrol oleh pemerintah. Praktek komunikasi politik
saat ini selain bentuk yang makin dinamis dan atraktif, juga kualitasnya sudah
makin baik. Sekarang ini praktek komunikasi politik tidak hanya terjadi menjelang
Pemilu lima tahunan, tetapi berlangsung hampir setiap saat sejalan dengan
pemilihan Gubernur, Bupati/walikota dipilih secara langsung. Praktek tersebut
bisa dilihat dari kampanye, debat kandidat, pencitraan sampai pada jajak
pendapat.

Dalam dunia politik sarat dengan praktik komunikasi politik, mulai dari
pemasaran politik hingga lobi dan negosiasi. Hal ini kian meneguhkan
penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan dalam praktik politik
modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi elektoral seperti sekarang.
Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi
ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis. Komunikasi politik
strategis untuk dikuasai dan diimplementasikan di era media baru.

Gun Gun dan Shulhan menggaris bawahi bahwa perjalanan komunikasi politik
sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama, ditandai dengan
dominannya retorika sebagai aktivitas komunikasi politik. Pada generasi pertama
ini aktor politik mengandalkan kemampuan seni berbicara (art of speech)
misalnya debat publik untuk memengaruhi kebijakan hingga kritik terhadap
sistem yang disampaikan melalui kekuatan berbicara. Generasi kedua,
dijadikannya media massa sebagai saluran politik. Media massa seperti radio,
televisi, koran, majalah, dan sebagainya kerapkali digunakan untuk kampanye,
propaganda politik, publicrelationspolitik, dan lain-lain.

Aktivitas itu disebarkan kepada khalayak melalui media massa yang bersifat
serentakatau one-to-many. Generasi ketiga, ditandai dengan perkembangan new
media. Hal ini diperkuat dengan semakin banyaknya media sosial seperti situs
jejaring sosial (sosial network site) dan weblog interaktif dalam jalinan
komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruang publik baru (new public sphere) dengan
menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern sudah tak
terbantahkan lagi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Ramainya penggunaan internet melahirkan peradaban baru komunikasi politik


termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyber democracy, cyber
protest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi
politik. Contoh kasus kontemporer adalah Wikileaks dengan gerakan hachtivism
yang digagas Julian Assange. Gerakan ini menjadi fenomena komunikasi politik
yang tak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik.

Sesuai dengan cermatan Blumler dan Kavanagh (1999), tentang kemunculan


“third age of political communication”, media cetak dan penyiaran mulai
kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru
dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Hadirnya media baru menjadi
dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.

Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen


seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru
yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang
mudah dan interaktif. Penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin
intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang
terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia.

Tercatat pengguna internet di Asia sebanyak 922.329.554, sekitar 44% pengguna


internet ada di Asia, sementara 56% tersebar di kawasan lain seperti di Afrika
ada 118.609.620 pengguna (5,7%), di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7%),
di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3%), di Amerika Utara ada
272.006.000 pengguna (13%), di Amerika Latin ada 215.939.400 pengguna
(10,3%), dan Oceania/Australia ada 21.293.830 pengguna (1%). Jelas bahwa
pengguna internet terbesar ada di Asia. Tercatat di data internetworldstat. com
pada 2016 ada sekitar 59 juta pengguna internet di Indonesia.

Banyaknya aktor politik yang juga memiliki akun di Facebook, Twitter, dan
sejumlah sosial media lain menandakan fenomena pencitraan itu tidak bisa
dihindari dalam laju perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian,
hadirnya teknologi seharusnya turut memperbaiki kualitas komunikasi politik
dalam demokrasi Indonesia.

Seiring perkembangan Tekhnologi Informasi saat ini yang begitu pesat, dapat
dinikmati oleh berbagai kalangan, berkomunikasi mungkin tidak sesukar dulu,
pengaruh perkembangan tehnologi informasi dan komunikasi telah mengubah
cara komunikasi manusia. Salah satu dari tekhnologi informasi dan komunikasi
tersebut adalah sosial media yang sedang menjadi trend di masyarakat
khususnya kaum muda dalam berkomunikasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kegiatan para pemimpin politik tidak bisa dilepaskan dari kegiatan berpolitik.
Disamping itu para pemimpin itu memanfaatkan segala jenis media massa baik
media tradisional maupun media baru (sosial media) seperti twitter, facebook,
youtube.

Kata politik memang mengandunng banyak arti, begitupun konsep komunikasi


politik. Paling tidak kita sependapat dengan Laswell (1963) yang merumuskan
formula bahwa politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana
caranya (who gets whats, when, how) Artinya siapa yang melakukan aktivitas
politik dengan maksud mencapai bersama pada waktu tertentu dengan cara
memanfaatkan pengaruh (influenze), wewenang, kekuasaan atau kekuatan
(Arifin, 2011:3)

Di era kekinian, beragam media komunikasi digunakan untuk menyampaikan


pesan-pesan politik termasuk didalamnya media baru, sebenarnya apa peran
penting sosial media dalam komunikasi politik. Bagaimana peran sosial media
dalam komunikasi politik? Menurut Rusadi Komunikasi politik itu adalah untuk
meghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern
golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan
sektor kehidupan politik pemerintah. Menurut Astrid, Komunikasi politik adalah
komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa,
sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat
mengikat semua warganegaranya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama
oleh lembaga-lembaga politik.

Secara filosofis kajian komunikasi politik adalah kajian tentang hakikat kehidupan
manusia untuk mempertahankan hidup dalam lingkungan berbangsa dan
bernegara. Dalam komunikasi politik yang dimaksud dengan komunikator yaitu
individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan, individu-individu yang
berada dalam suatu institusi, asosiasi, partai politik, lembaga-lembaga pengelola
media massa dan tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan komunikan dalam
komunikasi politik adalah dapat bersifat perorangan (individual), kelompok
(group), dapat berupa institusi, organisasi, masyarakat, partai politik, dan dapat
pula negara atau pemerintah negara lain.

Isi pesan (konten) dalam komunikasi politik berada pada struktur formal, dan
mengalir berdasarkan jenjang struktur kekuasaan sampai pada sasaran. Media
komunikasi politik memiliki arti yang cukup penting, karena media komunikasi
menjadi pusat perhatian penguasa sebagai alat untuk mendapatkan legitimasi
rakyat didalam melakukan kebijaksanaan dan sekaligus memperkuat kedudukan
penguasa melalui pesan-pesan komunikasi yang telah diinterpretasikan kedalam
simbol-simbol kekuasaan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Lasswell memandang bahwa suatu proses komunikasi selalu mempunyai efek


atau pengaruh. Sehingga, model Lasswell ini menstimuli riset komunikasi di
bidang komunikasi politik. Model ini menunjukkan bahwa pihak komunikator
pasti mempunyai keinginan untuk mempengaruhi pihak penerima. Oleh karena
itu, komunikasi dipandang sebagai upaya persuasi. Upaya penyampaian pesan
akan menghasilkan akibat baik positif maupun negatif.

Menurut Lasswell hal ini hanya ditentukan oleh bentuk dan cara
penyampaiannya. Tidak semua komunikasi bersifat dua arah, dengan suatu aliran
yang lancar dan umpan balik yang terjadi antar pengirim dan penerima. Dalam
suatu masyarakat banyak informasi yang disaring oleh pengendali pesan, yang
menerima informasi dan menyampaikannya kepada publik dengan beberapa
perubahan atau penyimpangan. Fungsi penting komunikasi adalah menyediakan
informasi mengenai negara- negara kuat lainnya di dunia. Penting bagi suatu
masyarakat untuk menemukan dan mengendalikan faktor- faktor yang
mengganggu komunikasi yang efisien.

Menurut pendapat Laswell tersebut komunikasi tentunya merupakan


penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media
komunikasi tertentu dan untuk menghasilkan efek tertentu, kaitannya dengan
media tertentu dalam maklah ini akan dibahas adalah menggunakan media baru
yaitu berupa sosial media seperti facebook, twitter, youtube, dsb. Sejauh mana
peran media baru tersebut dalam komunikasi politik yang dilakukan oleh para
pemimpin politik atau aktor-aktor politik guna mendapatkan kekuasaan.

Sosial Media Media sosial atau sosial media adalah sebuah media online, dengan
para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan
isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. media sosial adalah
media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan
teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.

Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial


sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas
dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content”. Dari berbagai jenis sosial media, Blog dan
Jejaring sosial adalah sosial media yang paling sering digunakan. Jejaring sosial
merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian
terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.

Kehadiran media baru khususnya media sosial telah memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai seorang individu maupun
masyarakat secara umum. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi baru
telah mengubah perilaku manusia dalam menggunakan teknologi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Hal ini mengakibatkan manusia menemukan cara-cara baru dalam pencarian


informasi yang dilakukan tidak hanya melalui komunikasi dua arah dan proses
komunikasi simetris (anggota komunikasi yang berinteraksi dapat untuk
berinteraksi secara real time dan setiap partisipan secara simultan berperan
sebagai pengirim pesan dan penerima pesan).

Peran sosial media dalam komunikasi politik Komunikasi politik adalah sebuah
public sphare, yaitu suatu tempat dimana para anggota komunitas dapat secara
kolektif membentuk pendapat umum. Komunikasi politik yang baik
membutuhkan partisipasi dari aktor politik, media dan publik. Jenis situs dan
sosial media yang dimanfaatkan bagi proses komunikasi politik ataupun
kampanye salah satunya adalah facebook. Informasi-informasi yang ditanam
dalam facebook sebagai media sosial dalam proses komunikasi politik atau
kampanye adalah informasi pribadi, ide, gagasan serta visi misalnya. Informasi
lain yang paling utama dan dominan adalah opini.

Sebagai sarana dalam komunikasi politik, politikus dapat berkomunikasi dua arah
dengan penggunanya dan pada ujung-ujungnya adalah membentuk opini, yang
kemudian opini inilah diolah dan dimanfaatkan bagi pelaku politik dan timnya
dalam mendulang suara dari masyarakat luas. Perolehan suara adalah target
utama dalam setiap perilaku politik. Dan biasanya para pelaku politik yang
populer di sosial media adalah yang paling banyak dukungan dan terbanyak
suara.

Merujuk pada sejumlah konsep tentang peran sosial media, paling tidak sosial
media bisa menjadi sarana penyebar informasi sebagai mana yang diungkapkan
oleh Ingmar the lange, “Sosial media selain menjadi alat penyampaian informasi,
bisa juga menjadi alat yang ampuh untuk melakukan promosi dan distribusi
“citra” yang menjadi “jualan” para komunikator politik. “...new media
technologies impact our life culture by offering new lifestyles, creating new jobs
and eliminating others, demanding regulations and presenting unique new sosial
issues.” (Straubhaar, 2012)

Pernyataan Straubhaar ini sangat menjelaskan bahwa tekhnologi media baru


yang biasa disebut sebagai sosial media sangat penting. Sosial media sangat
berperan dalam proses penciptaan yang membutuhkan kepiawaian para
komunikator politik dalam mengendalikan tekhnologi internet. Salah satu contoh
konkrit, tatkala Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden Amerika
Serikat pada tahun 2008, dia memanfaatkan secara penuh kekuatan internet,
khususnya media sosial sebagai alat kampanye politik. Pada edisi 7 November
2008, New York Times menulis, "Penggunaan medium baru yang akan mengubah
politik selamanya”. Medium itu adalah Internet. Selain memanfaatkan email dan
website, Obama memang dikenal fokus menjadikan media sosial untuk
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memobilisasi relawan dan tentu saja menjangkau pemilih muda. Berbeda dengan
rivalnya, John McCain yang hanya fokus beriklan di televisi, Obama
menghabiskan jutaan dollar untuk beriklan di Facebook dan Google sekaligus
menjaring sumbangan dari para pendukungnya melalui medium tersebut.

Ketika kembali mencalonkan diri untuk periode kedua pada tahun 2012, Obama
masih menempuh cara yang sama. Dia menyampaikan informasi penting kepada
pendukungnya melalui Facebook. Para pendukungnya juga bisa melihat
informasi lain tentang Obama, seperti buku favorit, film favorit, hobi, atau acara
televisi kesukaan. Yang menarik dari media sosial adalah demografi penggunanya
yang rata-rata berusia muda. Selain itu, tentu saja, popularitasnya di miliaran
penduduk bumi. Hal ini pula yang membuat efektivitas iklan di media sosial
kadang-kadang lebih efektiv dibanding di televisi. Dalam konteks pemilu AS,
misalnya, konsultan politik Joe Trippi pernah menulis di New York Times bahwa,
video Obama di YouTube lebih efektif dibanding iklan televisi, karena penonton
memilih untuk menontonnya secara sukarela atau menerima rekomendasi dari
teman. Hal ini berbeda dengan televisi, iklan muncul sebagai pengganggu saat
kita menonton acara kesukaan.

Mass Communication and Society (Kushin and Yamamoto), disebutkan bahwa


perhatian terhadap kampanye di media sosial di pemilihan presiden Amerika
Serikat tahun 2008 cukup signifikan. Dalam penelitian itu dikatakan, 27 persen
orang dewasa di bawah 30 tahun mendapatkan materi kampanye dari jejaring
sosial, sedangkan orang berumur 30 sampai 39 tahun hanya 4 persen, dan lebih
dari 40 tahun hanya 1 persen. Hal ini, sekali lagi, menegaskan bahwa media sosial
sangat tepat sebagai medium untuk membidik kawula muda. Keterlibatan
kawula muda dalam pembautan materi kampanye ini juga memunculkan nuansa
lain berupa kampanye kreatif yang mengundang decak kagum, keren dan kadang
juga jenaka. Media sosial merupakan instrumen baru komunikasi di zaman kini
dengan dimensi kecanggihan yang jauh melebihi alat komunikasi seperti pada
masa lalu.

Melalui jejaring media sosial, komunikasi bisa melibatkan banyak orang tanpa
berhadap-hadapan secara fisik. Namun di satu sisi juga menjadi tantangan bagi
masyarakat Indonesia yang sebelumnya memiliki tata nilai tersendiri dalam
komunikasi. Tata nilai yang terbangun berdasarkan kultur masyarakat Indonesia
selama ini seperti terabaikan dalam komunikasi media sosial kini. Dapat kita lihat
di halaman-halaman media sosial, tak dapat dibedakan lagi orangtua dan yang
muda terlibat dalam pertengkaran. Begitu juga perdebatan terjadi antara orang-
orang yang berbeda tingkat pengetahuan dan pendidikan serta pengalaman.
Kadang-kadang pernyataan dan komentar sudah menggunakan kata-kata kasar
dan tak memperhatikan azas kepatutan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menghadapi hal demikian, masyarakat perlu meningkatkan kemampuan


menyaring informasi dan lebih hati-hati dalam menyikapi berbagai isu dan
persoalan yang dikemukakan. Keberadaan media sosial sebagai media
komunikasi bebas hambatan telah menyatu dengan era kebebasan berpendapat
dan berbicara. Setiap orang merasa berhak menyatakan sikap dan pendapatnya.
Kondisi ini tentu perlu kita sikapi dengan bijak, jangan sampai kemajuan
teknologi menghancurkan dengan cepat nilai-nilai kesantunan dan etika serta
jalinan silaturahmi masyarakat kita yang sudah ada.

Dalam komunikasi politik saat ini, terutama di tengah dinamika politik jelang
pilkada serentak 2018, Pilcaleg dan pilpres 2019 mendatang, keberadaan media
sosial hendaknya menjadi jalan untuk lebih meningkatkan silaturahmi
kebangsaan kita. Demikian juga para elit dan aktor politik selayaknya tidak terlalu
mengedepankan ambisi kekuasaan dengan mempolitisir situasi dan keadaan. Elit
politik sebaiknya menahan diri untuk memelintir dan merekayasa berbagai fakta
serta mempermainkan emosi dan psikologi masa melalui media massa dan
media jejaring sosial yang ada.

Persatuan dan kesatuan bangsa ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan dalam
perbedaan pilihan. Proses dan perjalanan bangsa dalam memperkuat kehidupan
berdemokrasi, berbangsa dan bernegara yang sudah berangsur maju ini juga hal
yang terlalu mahal untuk kita pertaruhkan. Demokrasi yang kita ingin tentulah
demokrasi yang berkeadaban untuk mencapai rakyat yang sejahtera dan
berkeadilan serta membebaskan dari segala ketakutan dan kecemasan. Peran
media baru sangat dominal digunakan oleh para pelaku politik untuk
berkomunikasi guna meraih pendukungnya. Media sosial menjadi media yang
efektif bagi pelaku politik dalam komunikasi dan kampanye politik. Pelaku politik
mampu membangun komunikasi politik dengan para pendukungnya. Arus
informasi yang begitu cepatnya, para aktor politik harus lebih memperhitungkan
peranan sosial media yang ada, karena media sosial memiliki dua sisi yaitu efek
negatif dan positif, terkait citra atau opini yang beredar di masyarakat.

Partai politik (elit partai, anggota, relawan) maupun dengan pihak terkait, harus
bisa mengendalikan informasi yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga melalui
medium baru ini para aktor politik dapat memperoleh apa yang diinginkannya
(who gets what) yaitu berupa dukungan dari konstituennya dalam mendapatkan
kekuasaan. Dengan adanya media sosial ini harus bisa meningkatkan silaturahmi
kebangsaan dan memperkuat demokrasi, berbangsa dan bernegara. Jangan
sampai perbedaan pilihan dalam politik dapat menghancurkan semangat
kesatuan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media baru merupakan produk konvergensi berbagai teknologi media yang telah
ada. Internet sebagai media baru menggabungkan radio, film, koran, dan televisi
dan mendistribusikannya melalui ‘push’ technology. M. Poster (1999)
menyatakan bahwa internet melampaui batas-batas model media cetak dan
siaran yang memungkinkan many-to-many conversation; resepsi, alterasi
(alteration), dan redistribusi objek kultural secara simultan; mendislokasi tindak
komunikatif dari batas-batas bangsa; memberikan kontak global yang seketika
itu juga (instantaneous global contact) (dalam Nimmo, 2005, p.138).

Di tahun 2017, internet kini memasuki usianya yang ke-48 tahun. Kehadiran
media baru atau internet tersebut telah merevolusi komunikasi manusia di dunia
ini. Dengan kehadiran internet tersebut, apa yang telah dikatakan oleh Marshall
Mcluhan (1964) menjadi kenyataan, yaitu dunia menjadi global village. Arus
informasi berjalan tanpa bisa dikontrol atau disensor oleh pemerintah manapun.
Internet membawa gelombang demokratisasi, yang tidak bisa dihindari. Melalui
internet, tukar menukar ide dan gagasan tentang kehidupan politik dapat dengan
mudah dilakukan. Misalnya walaupun rakyat Cina hidup dalam pemerintahan
otoriter, tetapi dengan internet mereka tetap saja dengan mudah mengakses
informasi, ide, dan gagasan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan. Hal ini
ditegaskan oleh Schudson (2004).

Internet, sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, berpeluang


merevolusi sistem, struktur, dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal
(dalam Firmanzah, 2008). Jadi internet memiliki kemampuan yang luar biasa
dalam membawa perubahan politik di suatu negara –mampu merevolusi sistem
politik, dari otoriter menjadi demokratis. Kehadiran media baru telah membawa
revolusi besar dalam industri media dan cara masyarakat menikmati dan
menggunakan media. Media baru telah mengubah banyak hal, termasuk di
dalamnya adalah demokratisasi

1. Masyarakat Massa Versus Masyarakat


Jaringan Sifat media baru yang berjaring (networked) ternyata menciptakan
khalayak yang berbeda dengan media lama (old media). Media lama
melahirkan masyarakat massa (mass society), sedangkan internet sebagai
media baru melahirkan masyarakat jaringan (network society). Dengan
kehadiran media baru, media massa atau komunikasi massa mendapat kritik
keras dari Steve Chaffee & Miriam Metzger (2001) yang mengatakan the end
of mass communication, yang dikarenakan media baru membawa perubahan
mendasar dalam bagaimana media distrukturkan, digunakan, dan
dikonseptualisasikan (dalam Baran & Davis, 2003, p. 361).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Konsepsi masyarakat dan masyarakat jaringan membawa tidak hanya


konsekuensi perubahan dalam hal kecepatan informasi, namun lebih dari itu
media massa konvensional berpeluang untuk memainkan ruang media baru
untuk desiminasinya dengan menyelusup kedalam situs-situs jejaring sosial.
Dominasi media massa tentu tetap belum terbantahkan dalam hal
mengaktualisasikan “gerakan atau kesadaran” masyarakat jaringan menjadi
gerakan yang lebih masif, demikian juga sebaliknya masyarakat jaringan
mempunyai kemampuan untuk “self empowering” –sebagai bentuk agenda
publik- yang tidak dapat dipandang secara remeh oleh media.

Dalam mass society theory, Denis McQuail (2005, p. 94-95) menyatakan


bahwa media massa sangat dominan, dimana media sebagai faktor penyebab
(a causal factor). Sifat arus informasi dalam masyarakat massa bersifat satu
arah (one-way transmision). Media digunakan untuk manipulasi dan kontrol.
Sedangkan masyarakat jaringan, menurut Jan van Dijk (2006, p.20)
menekankan pada bentuk dan organisasi pemrosesan dan pertukaran
informasi. Selanjutnya Dijk menyatakan masyarakat jaringan dapat
didefinisikan sebagai a sosial formation with an infrastructure of sosial dan
media networks enabling its prime mode of organization at all levels
(individual, group/organizational and societal). Dijk juga mendeskripsikan
tipologi masyarakat massa dan masyarakat jaringan dalam tabel berikut:
Tabel 3. Tipologi Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Konsep masyarakat jaringan yaitu lebih ditekankan pada interaktivitas dalam


pemrosesan informasi dan penting untuk dipahami dalam masyarakat
jaringan adalah relationship, saling terhubung satu sama lainnya. Jadi
masyarakat jaringan itu memiliki sosiabilitas (sociability) yang tinggi.
Pertumbuhan bentuk masyarakat berjaringan di Indonesia memberikan
gambarakan yang cukup mencengangkan. Ledakan pengguna internet sebagai
“ruang” untuk menmbangun relationship dapat ditelusur berdasarkan
pengguna internet Indonesia Pada tahun 2009 Indonesia tercatat memiliki
peringkat ke empat di negara-negara Asia, di bawah Chima, Jepang, India dan
Korea Selatan.

Jumlah pengakses internet di Indonesia mencapai angka 30 juta orang, yang


menempatkan ke dalam peringkat 5 besar di Asia. Indonesia menempati
peringkat utama pengguna Twitter di Asia dengan jumlah pemakai sebesar 5,6
juta pengguna. Selanjutnya untuk pengguna facebook indonesia juga
menempatkan penduduknya dalam peringkat yang tak kalah mencengangkan.
Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika serikat dengan jumlah
pengguna sebesar 3,5 juta.

Ledakan penggunaan internet tersebut setidaknya merupakan modal politik


(the political capital) yang luar biasa bagi masa depan demokratisasi di
Indonesia. Melalui akses informasi tanpa batas, maka partisipasi politik warga
negara akan semakin meningkat. Internet pun meningkatkan kualitas literasi
politik warga negara, yang berdampak pada kualitas partisipasi politik.
Misalnya melalui internet warga negara dapat menyampaikan aspirasi
politiknya kepada pemerintah, anggota dewan, dan partai politik. Selain
menciptakan masyarakat jaringan dan pengembangan masyarakat informasi,
media baru menciptakan demokrasi digital (digital democracy) atau demokrasi
berbasiskan internet.

Dalam demokrasi digital, ada electronic polls, electronic referenda, dan


electronic voting yang menghadirkan era demokrasi langsung (direct
democracy) seperti partisipasi warga negara di ruang terbuka Athena
(Athenian agora) dengan piranti modern (dalam Dijk, 2006, p.107).
Komunikasi berbasiskan media baru memiliki dampak yang cukup menjanjikan
dalam mengembangkan partisipasi politik. Dengan karakteristik media baru
yang bersifat langsung dan interaktif, kualitas partisipasi politik dengan media
baru jauh lebih berkualitas
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Baru dan Ruang Publik Sebagai Kanal Demokratisasi


Internet menghadirkan ruang publik bebas (free public sphere) kepada warga
negara (publik). Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere: An
Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Jurgen Habermas (1962/1989)
dalam mengemukakan konsep publik sphere (Öffentlichkeit). Ruang publik
merupakan tempat tersedianya informasi ada dan komunikasi terjadi serta
tempat diskusi dan deliberasi publik yang didalamnya dibahas persoalan-
persoalan publik. Akses ke ruang publik ini bersifat bebas, karena ini
merupakan tempat kebebasan untuk berkumpul (the freedoms of assembly),
sehingga asosiasi dan ekspresi dijamin. Ini merupakan tempat komunikasi
ideal (an idealized communication venue).

Keputusan-keputusan kewarganegaraan diputuskan melalui proses diskusi,


inilah yang menjadikan ruang publik menjadi aspek fundamental dalam sistem
demokrasi (Schuler & Peter, 2004, p.3-4; McQuail, 2005, p.181). Jadi ruang
publik itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan demokrasi. Tidak ada
demokrasi tanpa ruang publik. Denis McQuail menyatakan bahwa ruang
publik merupakan tempat dimana civil society berkembang. Ruang publik
berada diantara negara dan privat untuk pembentukan sosial (sosial
formation) dan aksi voluntir (voluntary action). Di ruang tersebut, civil society
memiliki kebebasan tanpa ancaman serta mereka dapat menentang
masyarakat otoriter (authoritarian society), menurut penulis, ini maksudnya
negara (McQuail, 2005, p.182). Media Use Old Media New Media Interactive
pattern of political communication Passive pattern of political communication
“One- to- many” model “Many-to-many” model Quality of participation Better
Ordinary.

Dalam demokratisasi, ruang publik dapat berfungsi sebagai stimulator


perwujudan demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif adalah demokrasi
yang dibangun berdasarkan pada penilaian politik yang „rasional‟. Menurut
Claus Offe dan Ulrich Preuss, ada tiga kriteria bagi keputusan politik yang
rasional yaitu mengedepankan fakta, berorientasi pada`masa depan, dan
mempertimbangkan kepentingan banyak orang (dalam Held, 2006, p.273).
Jadi demokrasi deliberatif mensyaratkan partisipasi yang berkualitas, bukan
yang emosional. Demokrasi deliberatif mendorong keterbukaan dan kritisisme
dalam proses politik. Dalam situs portal berita, seperti kompas.com,
tempointeraktif.com, mediaindonesia.com, republika.co.id, dan lain
sebagianya, bukan hanya dapat mengakses infromasi politik terkini, tetapi
juga masyarakat diberikan kesempatan untuk mengomentari materi
pemberitaan dan sekaligus menjadi anggota forum diskusi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Melalui internet, masyarakat dapat mengorganisir diri dalam formasi atau


pembentukan dalam atau menjadi anggota cyber interest groups (kelompok
kepentingan maya) dalam suatu jenis mailing list (milis), web site, blog page,
ataupun situs jejaring sosial. Di dalam situs cyber interest groups tersebut,
masyarakat dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi membahas
pertanyaan atau materi diskusi yang menjadi fokus pembicaraan, biasanya
tema diskusi berkaitan dengan perkembangan semua aspek atau isu-isu
kehidupan keseharian, terutama biasanya perkembangan politik terkini. Atau
di dalam situs tersebut anggota situs dapat mempsoting opini individual,
video, foto dan file yang diajadikan bahas diskusi. Internet mampu
membentuk demokrasi dialogis dengan landasan kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Internet juga meningkatkan kesetaraan komunikan politik
(komunikator dan komunikate).

Di Indonesia, pengguna internet, khususnya jejaring sosial, begitu powerful


dalam memberdayakan ruang publik, sehingga berwujud menjadi gerakan
politik (political movement). Penulis mendeskripsikan contoh kasus dari ruang
publik maya (cyber public sphere) menjadi aksi politik. Salah satu contoh
adalah gerakan facebooker yang berawal dari dunia maya selanjutnya
berbentuk aksi politik. Mei 2017, ribuan facebookers melakukan mimbar
bebas di Bundaran HI. Mereka menyatakan dukungannya terhadap KPK terkait
pengusutan kasus korupsi e-ktp yang melibatkan beberapa anggota dan
mantan anggota DPR RI. Masih banyak contoh-contoh kasus lainnya, dimana
facebook dijadikan sarana diskusi publik dan konsolidadi kekuatan gerakan
politik. Fenomena ini mungkin yang pertama di dunia. Jejaring sosial telah
mentransformasi bentuk konsolidasi gerakan politik.

3. Masa Depan Demokratisasi Berbasiskan Media Baru


Perkembangan demokratisasi dan penggunaan internet di Indonesia, ternyata
tidak sepenuhnya didukung oleh regulasi atau aturan hukum yang mendukung
kebebasan berpendapat. Regulasi tersebut yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi
Elektronik. Kedua aturan tersebut memuat pasal-pasal karet yang sangat
mengancam kebebasan berpendapat. Dalam KUHP, ada 7 pasal karet atau
multitafsir yaitu Pasal 310 (pencemaran nama baik), Pasal 311 (fitnah), Pasal
315 (penghinaan ringan), Pasal 317 (pengaduan fitnah), Pasal 318
(persangkaan palsu), dan Pasal 320 (pencemaran nama baik orang mati). Dan
dalam UU No.11 Tahun 2008 yaitu Pasal 27 ayat 3, "Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Salah satu contoh penerapan pasal 27 ayat 3 UU ITE, dalam kasus Prita
Mulyasari yang terjadi pada tahun 2009. RS Omni Internasional menuntut dan
mempidanakan Prita Mulyasari atas kasus pencemaran nama baik melalui e-
mail di mailing list-nya. Pada tanggal 9 Desember 2009, Pengadilan Negeri
Tanggerang menjatuhkan hukuman ganti rugi sebesar Rp 204 juta dan pidana
hukuman penjara enam bulan pada Prita. Realitas tersebut merupakan
paradoks demokrasi, yang jika dibiarkan akan mengacam keberlangsungan
demokratisasi di Indonesia, bisa jadi kedepan lebih banyak korban akibat UU
tersebut, termasuk kasus yang melanda artis Luna Maya yang disomasi oleh
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya (Jakarta). Dengan menggunakan
pasal yang sama dengan tuntutan Prita Mulyasari, Luna dituntut akibat
menulis isi hatinya (curhat) di Twitter tentang perilaku wartawan yang lebih
hina dari pelacur.

Dalam kasus ini, Pemerintah, terutama Departemen Komunikasi dan


Informasi, bersama DPR dituntut memiliki political will untuk segera merevisi
pasal-pasal tersebut dan semua peraturan yang sekiranya akan mengancam
kebebasan berpendapat di internet. Jika tidak ini menjadi presenden buruk
demokratisasi di Indonesia Selanjutnya tentang masa depan peran internet
dalam memantapkan proses demokratisasi di Indonesia semakin strategis.
Sejak kini internet sudah menjadi life style bagi sebagian besar warga negara
Indonesia. Selain proliferasi penggunaan internet yang diakibatkan
pengembangan ekspansif infrastruktur jaringan dan gadget dan tarif yang
murah yang disediakan oleh ISP (Internet Service Provider), pada tahun 2010
lalu, pemerintah mencanangkan program internet masuk desa dengan
realisasi 32 ribu jaringan dari 72 ribu desa.

Pemerintah ingin mewujudkan desa pintar. Dengan infrastruktur jaringan


internet yang semakin tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia,
pemerintah diharapkan di pemilu-pemilu mendatang dapat menerapkan
electroning voting, seperti di Amerika. Gagasan ini menurut pandangan
penulis tidak utopis, dikarenakan literasi penggunaan internet warga negera
terus semakin membaik. Ini artinya tinggal political will pemerintah, apakah
mau memodernisasi sistem pemilu atau tidak. Dengan kekuatan yang ada,
sepertinya di masa akan mendatang, keinginan Indonesia untuk dapat
memasuki tahap pematang demokrasi dapat segera terwujud. Internet hadir
dengan membawa misi peningkatan literasi atau pendidikan politik yang
mampu membentuk well-informed citizen, sehingga warga negara dapat
terlibat lebih aktif dalam ruang publik politik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media dan Demokrasi


Demokrasi dan media memiliki hubungan yang resiprokal. Di satu sisi
demokrasi membutuhkan media sebagai alat komunikasi politik, baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat, di sisi lain media hanya dapat berfungsi
bagi kepentingan masyarakat luas dalam sistem politik yang demokratis.
Sistem politik yang demokratis dimaksudkan untuk membedakannya dari
sistem otoritarian atau totalitarian.

Hubungan saling membutuhkan antara media dan demokrasi dapat ditelaah


dari dua sudut pandang secara simultan, yaitu: sudut pandang makro dan
sudut pandang mikro (Mughan & Gunther, 2000). Sudut pandang makro
melihat struktur dalam sistem media dan bagaimana sistem tersebut
mempengaruhi politik. Pada umumnya, karakter sistemik yang paling
berpengaruh adalah pola peraturan pemerintah, pola kepemilikan media, pola
program acara, struktur audiens, dan karakter penonton (viewership).
Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada investigasi efek komunikasi
politik pada tingkat individual. Dengan demikian, sukses-tidaknya media
dalam membangun demokrasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
media itu sendiri.

Sekadar contoh, pada tingkat mikro, walaupun media sudah berusaha untuk
menfokuskan pemberitaan yang terkait dengan kepentingan masyarakat
secara kritis, namun jika masyarakat tidak memiliki cukup kapabilitas untuk
menerima informasi tersebut secara rasional, maka berita tersebut menjadi
tidak banyak bermakna. Faktor yang mempengaruhi kapabilitas individual ini
mencakup ketertarikan pada isu publik, kemampuan literasi, punya akses
terhadap media, dan lain-lain. Idealnya, dalam demokrasi setiap warga negara
sudah memiliki kesadaran politik yang cukup. Dengan kata lain dia tidak hanya
mampu memahami isu-isu politik, melainkan sadar dan terdorong untuk
mencari informasi yang dia gunakan sebagai pedoman untuk menentukan
pilihan politiknya. Faktor-faktor inilah yang ada pada tingkat mikro.

Pada tingkat makro, media awalnya ditentukan oleh sistem politik. Sistem
politik yang otoriter akan membentuk corak media yang terkungkung. Sistem
politik yang demokratis akan menghasilkan media yang liberal (Hackten, 1981;
Siebert, Peterson, & Schramm, 1963). Namun realitas politik di dunia saat ini,
khususnya setelah perang dunia ke dua, media lebih tepat ditempatkan dalam
konteks politik demokrasi. Walaupun harus diakui bahwa keberadaan media
dalam konteks politik demokrasi, tidaklah serta merta akan menjadi tulang-
punggung proses menuju demokrasi yang substantif.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sejalan dengan itu, pada tingkat makro terdapat dua model pengaturan
media, khususnya media penyiaran, yaitu: public service model3 dan
commercial model4, seperti yang ada di Inggris dan Amerika Serikat. Pembeda
yang paling utama antara keduanya adalah: public service broadcasting lebih
fokus pada berita dan isu-isu publik, features, dokumenter, art, musik,
permainan, sementara commercial broadcasting lebih menekankan hiburan
(Mughan & Gunther, 2000: 10). Sehingga kedua model ini akan memberikan
kadar kontribusi positif yang berbeda pada demokrasi. Pada intinya, sistem
penyiaran publik lebih menyediakan kesempatan bagi tumbuhnya
demokratisasi lewat fungsi media.

Sementara media dalam sistem otoritarian sudah pasti tidak akan berpihak
pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena media telah diambil alih oleh
politisi sebagai alat propaganda. Sementara itu, dalam demokrasi media juga
belum tentu berpihak pada kepentingan masyarakat: keberpihakan itu
misalnya dapat ditunjukkan lewat orientasi pemberitaannya.
Ketidakberpihakan media pada demokrasi ini disebabkan oleh media telah
banyak mengabdi pada kepentingan bisnis. Pada akhirnya media konvensional
(khususnya televisi) yang awalnya diharapkan dapat berperan sebagai ujung
tombak sarana komunikasi politik dan ruang, malah tergerus oleh
kepentingan pemilik modal.

Media konvensional pada hakekatnya merupakan lembaga bisnis. Walaupun


eksistensinya pada awalnya ditentukan oleh faktor politik dan teknologi,
namun dalam keberlangsungan hidupnya lebih ditentukan oleh faktor
ekonomi. Di tengah ironi media dalam demokrasi inilah muncul kekuatan baru
berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi media baru
dalam konteks ini menjadi variabel independen untuk mengubah corak
komunikasi politik dalam demokrasi. Media baru, khususnya internet dan
world wide web, merupakan hasil revolusi teknologi komunikasi dan
informasi. Media baru ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang termasuk
bidang ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan politik. Walaupun masih baru,
tetapi harapan besar ditujukan pada media ini untuk berbagai segi kehidupan
karena karakter memampukan (enabling) yang dimilikinya.

2. Struktur Media Baru


Internet dan world wide web merupakan dua elemen utama yang
memungkinkan teknologi media baru tersebut menjadi media komunikasi.
Dengan kecanggihan aplikasi teknologi baru itu terbentuklah beberapa format
media. Media baru adalah semua bentuk media yang menggabungkan tiga
unsur C, yaitu: computing and information technology (IT), communication
network, dan convergence (ditigalized media and information content (Flew,
2005: 2).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media baru yang dapat juga disebut digital media, memiliki ciri-ciri di mana
informasi menjadi mudah dimanipulasi, berjejaring, padat, mudah diperkecil,
dan seolah tidak punya pemilik. Sebagian kalangan mengangap media baru
berbeda dengan media sosial. Media sosial merupakan seluruh bentuk media
jejaring di internet yang berfungsi untuk menciptakan jejaring komunitas
virtual, seperti Facebook dan Twitter. Pada kesempatan ini media sosial
dipandang sebagai bagian dari media baru. Artinya media sosial adalah salah
satu bentuk media baru.

Dalam konteks politik, media baru yang paling banyak diaplikasikan selain
homepage atau website dan e-mail adalah bentuk-bentuk media jejaring
tersebut. Media jejaring atau media sosial ini memiliki ciri politis karena dapat
menyatukan para pengguna secara virtual layaknya sebuah organisasi dalam
kehidupan nyata (riil). Antony Mayfield (2008) dari organisasi iCrossing
menjelaskan bahwa, media sosial lebih tepat dipahami sebagai a group of new
kinds of online media, yang memiliki karakteristik berikut:

1. Participation: social media encourages contributions and feedback from


everyone who is interested. It blurs the line between media and
audience.
2. Openness: most sosial media services are open to feedback and
participation. They encourage voting, comments and the sharing of
information. There are rarely any barriers to accessing and making use of
content – password protected content is frowned on.
3. Conversation: whereas traditional media is about “broadcast” (content
transmitted or distributed to an audience) sosial media is better seen as a
two-way conversation.
4. Community: sosial media allows communities to form quickly and
communicate effectively. Communities share common interests, such as a
love of photography, a political issue or a favourite TV show.
5. Connectedness: Most kinds of sosial media thrive on their connectedness,
making use of links to other sites, resources and people.

Sejalan dengan itu, setidaknya hingga saat ini media sosial dapat dibedakan ke
dalam enam jenis (Mayfield, 2008), yaitu:
1. Sosial networks (Friendster, MySpace, Facebook, Bebo),
2. Blogs (blogspot, wordpress, multiply),
3. Wikis (Wikipedia), podcasts (iTunes),
4. Forums (mailing list, website),
5. Content communities (flickr, del.icio.us, YouTube), dan microblogging
seperti Twitter.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Keseluruhan bentuk media sosial ini telah digunakan secara simultan, dan
saling terhubung. Struktur media baru yang memberi kontribusi pada ruang
publik adalah yang dapat memfasilitasi proses perbincangan politik secara in-
group. Maka media yang lazim dipakai adalah sosial networks, blog, dan
mailing list.

Peter Dahlgren (2005: 153) menyatakan bahwa bentuk ruang publik virtual di
media baru (net-based public sphere), bisa diklasifikasi dalam lima kategori,
yaitu:
1. E-government,
2. Advocacy/activist domain,
3. Civic forums,
4. Parapolitical domain, dan
5. Journalism domain.

Dengan sifatnya yang virtual, interaktif, konvergen, dan global, maka internet
hadir sebagai ruang publik yang lebih luas. Media baru membentuk ruang
publik berskala internasional. Aplikasi teknologi informasi dan komunikasi
bagi politik dan demokrasi dapat dibagi dalam empat kategori (van Dijk,
2000: 40), yaitu:
1. Allocution, menyangkut aspekaspek: computerized election campaigns,
computerized election information, computerized civic service and
information centers
2. Consultation, menyangkut aspekaspek: mass public information system,
advanced public information system (internet)
3. Registration, menyangkut bidang: registration system for government
and public administration, computer-assisted citizens enquiries,
electronic polls, electronic referenda, electronic elections
4. Conversation, mencakup bidang: bulletin board systems, discussion lists,
electronic mail and teleconferencing, electronic town halls, group
discussion support system.

3. Platform Media Baru


Interaktif Struktur platform media baru menjadi faktor paling menentukan
kualitas interaktif untuk komunikasi politik warga. Sebagian besar platform
media baru masih berfungsi untuk mengekspresikan opini secara dialogis,
kalau bukan personal. Masih sangat terbatas design media baru yang
sungguh-sungguh menghidupkan interaktivitas secara merata. Artinya
diperlukan usaha tambahan untuk menciptakan ruang interaktif sesuai
dengan sistem design bahasa pemograman komputer.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Twitter, Facebook, dan blog/website sebagai bentuk media baru paling tren
menawarkan potensi untuk ruang interaktif tersebut. Dulu sempat ada sebuah
web blog yang sengaja dirancang untuk diskusi politik yaitu Politikana.com,
tetapi sudah tidak beroperasi lagi. Saat ini, diskusi yang menekankan unsur
interaktif ini terlihat pada kolom komentar yang tersedia baik pada website
media, blog, Facebook, Twitter, maupun Youtube.

Sebagai gambaran berikut ditunjukkan satu contoh diskusi di salah satu web
berita media nasional. Dalam diskusi terkait ricuh pemungutan suara di
Hongkong karena banyak yang tidak dapat memberikan suara mereka, para
netizen membahas dengan serius. Dari 284 orang yang terlibat dalam diskusi
tersebut, terdapat 685 komentar hingga satu hari setelah kejadian tersebut.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ada upaya saling jawab antar
para komentator tersebut yang memberi kualitas interaktif pada diskusi ini.

4. Ruang Publik Baru


Internet masuk ke Indonesia pada tahun 1990-an ketika B. J. Habibie
menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (1978- 1998). Habibie sekaligus
merupakan menteri pertama yang punya website di internet. Pada tahun
1986 Dewan Riset Nasional yang dipimpin oleh Habibie merekomendasikan
agar dilakukan pengembangan layanan sains dan teknologi informasi di tanah
air yang kemudian mengkristal dengan terbentuknya jaringan informasi
internet IPTEKnet pada tahun 1989 yang dikelola di bawah Badan Penilaian
dan Penerapan Teknologi (Sen and Hill, 2007).

Pada tahun 1998/99, warung internet (warnet) mulai bermunculan di dekat


kampus UGM, UNY, dan UAJY Mrican di Yogyakarta. Seiring dengan penetrasi
internet dari dunia bisnis yang begitu gencar, dunia pendidikan khususnya
perguruan tinggi juga berlomba-lomba untuk go online. Dari fasilitas research
archive di perpustakaan hingga fasilitas wireless zone sudah tidak asing lagi di
dunia kampus saat ini. Maka tidak heran juga pengguna internet di Indonesia
hingga kuarter pertama tahun 2010 mencapai 30 juta orang dengan tingkat
penetrasi pada tingkat 12,5% (www.internetworldstats.com), bahkan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memprediksi tahun ini (2017)
terdapat 109 juta pengguna internet di Indonesia. Artinya, ada tren
peningkatan partisipasi masyarakat Indonesia di internet secara signifikan
setiap tahunnya.

Media konvensional juga sudah melakukan digitalisasi. Institusi pendidikan,


lembaga pemerintah, dunia bisnis, hingga outlet boutique kecil bisa punya
ruang jualan secara online. Konvergensi dan digitalisasi menjadikan
masyarakat dapat lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan dan merespon
informasi yang mereka butuhkan. Khusus media konvensional yang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

berorientasi pada berita selalu menyediakan ruang (comment boards) di


mana komentar dan tanggapan bisa disampaikan. Komentar tersebut tidak
ditujukan untuk redaksi, tetapi merupakan ekspresi politik yang kemudian
dapat memicu tanggapan dari orang lain.

Jadi, secara tidak langsung ditigalisasi media konvensional dapat mendorong


diskusi politik secara online. Pada skala yang lebih luas, komunitas blogger dan
forum diskusi politik online yang punya website sendiri merupakan ruang
diskusi politik (political talk) yang paling representatif. Beberapa bentuk ruang
diskusi online yang ada seperti: www.kompasiana.com, www.
forum.detik.com, dan www.kaskus.com, dan yang lainnya, termasuk yang
dibuat dalam platform media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Inilah struktur ruang publik yang transformatif yang bisa diakses secara bebas
oleh siapapun (publik) di mana pun. Ruang publik transformatif ini
meruntuhkan struktur ruang publik lama yang cenderung membatasi tidak
hanya partisipasi, tetapi juga informasi lewat proses gatekeeping.

Penggunaan media baru dalam komunikasi politik yang lebih tren saat ini adalah
e-government, kampanye lewat internet, komunikasi politik online warga, serta
relasi horizontal antara warga negara dengan warga negara lain baik dalam
bentuk kelompok virtual maupun dalam konteks pendidikan politik antarwarga.
Menjelang pemilu mendatang muncul sejumlah kelompok masyarakat terdidik
yang berupaya untuk memperkuat kesadaran politik warga negara lewat
diseminasi informasi politik secara online yang menjadikan para netizens sebagai
target.

1. E-Governement: Government to Citizen


E-government mengacu pada penggunaan teknologi informasi, seperti wide
area networks, internet, dan mobile computing, oleh lembaga-lembaga
pemerintah yang mampu mentransformasi hubungan antara pemerintah
dengan warga negara, bisnis, dan sesama elemen pemerintah lainnya.

E-government sering dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: government


to government (G2G), government to business (G2B), dan government to
citizen (G2C) (Bonham, et. al., 2001). Sisi transformatif dalam egovernment
adalah warga negara dapat secara langsung menyampaikan aspirasinya
kepada pemerintah tanpa harus dibatasi ruang dan waktu lewat website
berbagai lembaga pemerintahan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Demikian juga halnya pemerintah lebih intens dan efisien dalam


menyampaikan informasi-informasi yang diperlukan oleh masyarakat dengan
berbagai kecanggihan fasilitas media baru atau media sosial. Pelaksanaan
komunikasi antara pemerintah dan masyarakat dapat dilakukan dua puluh
empat jam sehari. Beberapa website pemerintah yang cukup lengkap dengan
layanan kemasyarakatan adalah DKI Jakarta (www.jakarta.go.id), Bandung
(http:// bandung.go.id), Sumatra Barat (www.sumbarprov.go.id/), dan Riau
(www.riau.go.id), dengan fasilitas mulai informasi mulai dari layanan
komunikasi lewat email, download dokumen, agenda pejabat, staf, dan serta
pengurusan perizinan.

Satu hal yang menarik perhatian adalah disediakannya kolom Aspirasi atau
rubrik untuk menyampaikan aduan dan kritik dari masyarakat. Tren ini seolah
membangkitkan kembali spirit demokrasi langsung (participatory democracy)
zaman Yunani kuno. Di samping itu, e-government dapat mewujudkan budaya
pemerintahan yang bersih, transparan, dan dapat dipercaya (accountable).
Wujud e-government ini berupa website pemerintahan di seluruh lini.

2. Kampanye Politik Online: Political Elite to Citizen


Kampanye online ini bisa dilakukan secara perseorangan, bisa juga secara
organisasional dari partai-partai politik. Kampanye online sangat marak
dilakukan pada saat menjelang Pemilu, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Seiring dengan perkembangan aplikasi internet dalam politik mulai muncul
tren pemilihan ketua organisasi atau partai politik menggunakan media online
untuk mensosialisasikan pribadi kandidat dan program kerjanya. Dalam
konteks Pemilu contoh yang sangat tepat adalah keberhasilan senator Barack
Obama dalam pemilu presiden di Amerika Serikat yang menjadikannya
sebagai Presiden AS yang baru. Dua tujuan utama yang dicapai dari media
baru tersebut adalah penggalangan sumbangan dan mobilisasi sukarelawan
politik.

Di Indonesia, para politisi, partai politik menggunakan media sosial guna


menyebarluaskan informasi politik kepada masyarakat atau untuk sekedar
mempertahankan jaringan yang sudah terbangun, khususnya lewat platform
Twitter. Beberapa contoh sebagai berikut: @jokowi_do2 (Joko Widodo),
@iskan_dahlan (Dahlan Iskan), @aniesbaswedan (Anies Baswedan),
@prabowo08 (Prabowo Subianto), @hattarajsa (Hatta Rajasa), dan
@presidenSBY (Susilo Bambang Yudoyono). Sejumlah partai politik membuat
website informatif, akun Facebook dan twitter. Sebagai contoh PDI-P ada di:
idid.facebook.com/DPP.PDI.Perjuangan; twitter.com/PDI_Perjuangan; dan
website pdiperjuangan.org/?view=mosaic.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Partai lainnya seperti Golkar: partaigolkar.or.id/; dan Partai NasDem:


partainasdem.org serta PKB: pkb.or.id/, dan lain-lain. Meskipun demikian
partai politik belum maksimal dalam memanfaatkan kekuatan media baru ini,
sebagaimana terlihat pada website partai yang tidak atraktif dan tidak
interaktif. Kampanye politik yang selama Pemilu 2014 terjadi justru lebih
banyak dilakukan oleh masyarakat akar rumput sebagai simpatisan dan
relawan terhadap kandidat dan partai politik tersebut. Contoh dari kampanye
relawan Jokowi seperti http://baranews.co/,
https://idid.facebook.com/JOKOWI4ID, dan aplikasi Jokowi4Presiden di
GooglePlay.

3. Media Aspirasi Rakyat: Citizen to Elite


Salah satu bentuk perubahan struktur pada komunikasi politik adalah pola dan
peran warga negara sebagai aktor politik itu sendiri. Komunikasi politik lewat
media konvensional lebih menempatkan warga sebagai target yang harus
dipengaruhi, agar menguntungkan bagi elit yang berkepentingan. Warga
bersikap sangat pasif. Bukannya hanya interaksi dengan elit politik,
komunikasi antarwarga pun pada regim media lama ini cenderung langka.

Media baru membentuk struktur komunikasi yang memampukan warga


negara sebagai aktor politik, lepas dari bersentuhan dengan negara atau tidak.
Bentuk komunikasi politik warga masyarakat secara online dapat berupa
bentuk-bentuk berikut (disarikan dari Gibson et al., (2005):

1) Discussing politics in a chat group;


2) Joining an email discussion about politics;
3) Sending an e-postcard from a political organization’s website;
4) Signing an online petition;
5) Sending an email to a politician;
6) Sending an email to local or national government;
7) Sending an email to a political organization;
8) Participating in an online question and answer session with a political
official.

Kendala implementasi media baru untuk komunikasi politik masyarakat di


Indonesia yaitu: digital divide. Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan
kebijakan informasi dan telekomunikasi yang berorientasi pada pemerataan
akses teknologi sebagai bagian dari misi pembangunan nasional. Agar akses
universal atas teknologi informasi tersebut berdaya guna, maka secara
simultan diperlukan pendidikan tentang teknologi informasi (new media
literacy), baik lewat jalur formal maupun informal.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Pendidikan Politik: Citizen to Citizen


Pada Pemilu 2014 lalu, pemilih Indonesia mendapat sumber informasi politik
secara transparan dan kritis, khususnya yang berkaitan dengan calon
presiden, para calon legislatif yang jumlahnya mencapai 6000-an orang untuk
DPR RI. Gerakan sosial ini diprakarsai oleh sejumlah kelompok yang peduli
dengan perubahan politik pada lembaga legislatif yang selama ini dipandang
sangat korup. Maka ada niat untuk membuka informasi sebanyak mungkin
terkait dengan calon anggota DPR tersebut sehingga masyarakat tidak salah
pilih. Sejumlah gerakan grassroot ini diprakarsai oleh masyarakat diberbagai
daerah di Indonesia, yang sadar akan peran strategis media baru dalam
kehidupan masyarakat secara khusus pada bidang politik. Sifat aksesibilitas
media baru yang tanpa batas dengan karakter pemilih pemula yang sadar
teknologi, menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya konsilidasi demokrasi
elektoral di Indonesia.

Kehadiran internet dalam masyarakat kita banyak merubah berbagai aspek


kehidupan. Internet tidak lagi hanya sebagai pelengkap atau sekedar membantu
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi internet telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari yang seolah harus hadir dalam berbagai kegiatan. Di era
masyarakat modern seperti sekarang ini, kehadiran internet sebagai media
komunikasi modern telah membuat dunia menjadi semakin mudah digenggam.
Hampir semua orang memiliki perangkat komunikasi yang memungkinkan untuk
berkomunikasi dengan semua orang diseluruh dunia melalui media sosial.

Facebook, Twitter, YouTube, dan lain sebagainya bukan lagi sesuatu yang “aneh”.
Berbagai platform media sosial inilah yang telah menjadikan dunia hanya sebesar
ujung jari. Pesan dapat dikirimkan secara instant dan massal hanya dalam
hitungan detik. Kemudahan media sosial untuk diakses dan dijangkau oleh
semua orang telah menjadikan media sosial sebagai sarana baru untuk
berkomunikasi dan telah dimanfaatkan secara positif maupun negatif oleh
berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Berbagai pengaruh media sosial
dalam kehidupan sehari-hari dan kaitannya dengan komunikasi antar manusia
telah banyak dikaji secara ilmiah oleh para peneliti.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Gambar 2. Annual Growth Pengguna Media Sosial di Dunia

Hadirnya internet telah memunculkan istilah-istilah baru seperti cyberspace


(ruang komunikasi di internet), cybercrime (kejahatan yang dilakukan dengan
internet), cyberbullying (intimidasi dunia maya), dan juga cyberpolitic atau politik
di dunia maya.

Cyberpolitic yaitu kegiatan politik seperti komunikasi politik yang memanfaatkan


media internet sebagai sarananya. Biasanya para pelaku politik menggunkan
internet terutama media sosial sebagai alat kampanye dan memperkenalkan
dirinya, atau menyebarluaskan kebijakan-kebijakan politik, dan kegiatan
komunikasi politik lainnya.

Kajian mengenai penggunaan internet dalam dunia politik sebenarnya telah


dimulai sejak kemunculan internet sendiri dan mulai menjadi isu hangat sejak
tahun 1900-2000 dan terus bertambah ppuler dari waktu ke waktu. Para ahli
memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang masuknya internet dalam dunia
politik. AOL membuat survey mengenai keterlibatan politik, 84 persen terdaftar
sebagai pemilih dan 45 persennya mendapatkan informasi mengenai calon
kandidat secara online. Untuk kalangan muda, studi AOL yang dilakukan pada
505 remaja dengan akses internet di rumah, 41 persen dilaporkan memiliki minat
uang lebih beaar pada kejadian yang diterimanya secara online. Dan mereka
merasa bahwa secara online memiliki dampak positif daripada dengan menonton
televisi (57 dibanding 39 persen).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Rheingold (1993) percaya bahwa orang-orang akan menjadi lebih terlibat dalam
proses demokrasi, seperti melalui debat online, dan Rash (1997) menyatakan
bahwa internet akan membuka kesempatan untuk partai-partai baru dan
mengembangkan ideologinya. Saphiro and Leone (1999) menghubungkan
internet dengan "the control revolution" dimana kontrol berganti dari institusi
besar menjadi individual. Ini seharusnya menjadi 6 keistimewaan dari internet
yang dapat meningkatkan kontrol individual, yaitu (1) many-to-many interactivity
(2) digital content, membuat komunikasi bersifat fleksibel dalam artian
bagaimana itu disimpan, digunakan, dan dimanipulasi (3) desain dari internet
sebagai jaringan berbasis paket (4) kemampuan dapat dioperasikan siapa saja,
sehingga informasi dapat mengalir bebas melalui jaringan tanpa kemacetan dan
rintangan (5) kapasitas broadband dan (6) akses yang universal.

Internet telah menjadi alat yang powerful bagi partai politik, organisasi
nonpemerintah, dan kampanye yang berkaitan dengan dewan perwakilan dan
kelompok aktivis lokal (Browning and Weitzner, 1996; Corrado, 2000; Davis,
1999; Rash, 1997). Hal itu memungkinkan aktor politik memonitor atau
mengawasi catatan pemilihan, menilai kontribusi kampanye dan keuangan,
memimpin fokus grup online, meningkatkan akses pemilih, menyimpan berita
terbaru dan terlama, mendapatkan donasi kampanye lebih cepat dan lebih
efisien (seperti melalui online payment dan kredit), dan sebagainya. Studi UCLA
(2000) membandingkan pengguna internet dengan yang bukan pengguna
internet, dan pengguna internet sedikit lebih perhatian dan terlibat dalam
kelompok atau organisasi, lebih memungkinkan bersosialisasi dengan anggota
rumah atau untuk tau nama tetangga, dan memiliki tingkat yang sama dalam
bersosialisasi dengan teman, waktu tidur dan jumlah teman diluar rumah.

Menurut Katz and Rice (2002) pengguna internet lebih banyak berorganisasi
pada komunitas dan organisasi yang bersifat untuk bersenang-senang, tetapi
tidak dengan organisasi keagamaan. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa
internet justru menyebabkan hal yang kurang baik terhadap partisipasi
masyarakat dalam berpolitik. Hill and Hughes (1998) menyatakan bahwa
pengguna internet dan aktivis yang menggunakan internet untuk alasan politik
kebanyakan adalah orang yang muda. Walaupun pengguna internet dan aktivis
lebih berpendidikan daripada publik secara umum (yang tidak menggunakan
internet), mereka lebih banyak mengumpulkan dan lebih tahu tentang isu politik
terkini. Namun, karena terlalu banyak informasi mengenai politik di internet,
justru akan semakin sulit untuk mencari tahu kebenaran yang ada di dalam
informasi internet tersebut dan akan menyebabkan pengambilan keputusan
yang salah. (Van Dijk, 1999).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Starobin (1996) mengatakan bahwa internet dapat melemahkan legitimasi


pemerintahan. Dengan banyaknya informasi dan ketidakvalidan informasi yang
ada di internet juga dapat meningkatkan permasalahan, pengalihkan perhatian
tentang korupsi atau penurunan nilai tentang pemilu, dan konsekuensinya
adalah mengurangi jumlah partisipasi politik.

Beberapa teoritis berpendapat bahwa internet menghancurkan kelompok


komunitas asosiasi sukarela yang diperlukan untuk suksesnya proses demokrasi
(Putnam, 2000; Turkle, 1996). Kritik lain tentang internet ditakutkan dapat
mengurangi dan menghilangkan kekuatan masyarakat akan proses politik
tradisional (Carpini, 1996; Rash, 1997).

Van Dijk menekankan mungkin beberapa akan berpendapat bahwa kebebasan,


seperti kebebasan berpendapat akan menungkat karena kemampuan
interaktivitas yang disediakan oleh teknologi ini, tetapi pemikiran yang lebih
pesimis memprediksi bahwa kebebasan akan membahayakan dengan
menurunkan privasi unruk individi seperti citizen yang terdaftar, konsumen yang
disaring untuk setiap karakteristik personal dan tumbuhkan kesempatan untuk
kontrol pusat (1999). Internet juga akan menghilangkan lapisan yang menyaring
tentang informasi politij yang biasanya dilakukan oleg gatekeeper pada media
mainstream seperti televisi, koran atau radio.

Kebebasan berbicara dapat ditingkatkan maupun dihalangi oleh internet. Secara


teoritis, semua orang dapat membuat blog dan memposting apapun disana.
Saphiro dan Leone (1999) mengatakan kebebasan berbicara mungkin merugikan
karena perkembangan internet. Yang pertama karena orang (pelaku politik)
mengalami kesulitan untuk menemukan audiens yang benar-benar ingin
Mendengarkan/menyimak mengenai isu politik yang diberikan. Dan yang kedua,
tidak semua orang memiliki sumber untuk menbayar iklan dengan kata lain
beberapa kebebasan berbicara dibatasi karena tidak memiliki akses.

Contoh nyata di Indonesia saat ini, banyak politisi yang menggunakan internet
dan media sosial dalam berkampanye dan menyosialisasikan program kerjanya
kepada masyarakat. Karena itu, bukan hal yang mengherankan jika saat ini di
media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram banyak berisi konten-
konten politik. Hal tersebut sebagai salah satu cara komunikasi politik yang
dilakukan oleh para pelaku politik. Tapi yang perlu diwaspadai adalah kebebasan
menulis informasi di internet justru dapat merugikan bagi para pelaku politik
dengan adanya berita-berita hoax yang juatru menjelek-jelekan para aktor
politik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Memang, internet membantu orang untuk lebih mengerti dan lebih tau tentang
politik. Munculnya pandang optimis dan pandangan kritis yang mempertanyakan
'benarkan internet akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
perpolitikan' dapat digunakan sebagai referensi publik, sebagai pengguna
internet agar tetap dapat bersikap kritis dan bijak dalam menggunakan teknologi
bernama internet ini agar dapat memperoleh keuntungan dari hadirnya internet,
bukannya justru mempersulit dan merugikan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB V
MEDIA SOSIAL DALAM KOMUNIKASI
POLITIK DI INDONESIA

Koneksi internet tanpa batas ruang dan waktu. Keterhubungan ini membuka
komunikasi dua arah. Individu tidak lagi sebatas konsumen informasi, namun
berpeluang untuk memproduksinya. Salah satu modanya adalah berpendapat
dan berorasi di media sosial. Komunikasi politik di media sosial berjejaring
(khususnya Facebook) dipermudah oleh keterhubungan citra visual, tekstual, dan
verbal. Komunikasi politik dalam hal ini berarti cara menyampaikan pesan politis
atau berpolitik dengan mempengaruhi orang lain. Komunikasi sendiri berarti
mekanisme perpanjangan informasi, pemikiran dan/atau kekuasaan.

Televisi (TV), yang juga mampu menghadirkan ketiga citra tadi, merupakan salah
satu instrumen perpanjangan kuasa yang berpengaruh di Indonesia sejak 50
tahun lalu. Perkembangan komunikasi politiknya dapat dibagi dalam tiga fase,
sebagai (1) corong negara, (2) corong pasar, dan (3) corong pengusaha.
Kehadiran media sosial menambahkan fase lain sebagai (4) corong individu. Hal
ini tentu mempengaruhi perubahan isi informasi, rezim, publik, dan ruang
komunikasi antara rezim dan publik.

1. Media Televisi sebagai Corong Negara


Televisi Republik Indonesia (TVRI) berdiri sebagai “sebuah instrumen
komunikasi Orde Lama dalam pembangunan mental, spiritual, dan fisik
bangsa Indonesia yang sosialis. (KEPPRES No. 27 tahun 1963). Setelah Orde
Lama tumbang, Orde Baru mengarahkan TVRI untuk memajukan persatuan
dan kesatuan nasional, stabilitas nasional, dan stabilitas politik . Terlepas dari
perbedaan fundamental kedua orde, ia tetap berfungsi sebagai corong untuk
mencangkok ideologi dan mempropagandakan tujuan nasional. Pemberitaan
menjadi tayangan dogmatis sebagai usaha penyamaan persepsi.

Publik terdefinisi secara abstrak, bangsa. Pemerintah, melalui TVRI, merasa


bertanggung jawab sebagai “ayah” untuk menyaring informasi dan mendidik
massa yang “masih bodoh”. Ruang yang terbentuk bersifat patriarkis dan
searah. Fakta yang disebar berupa wacana keberhasilan kebijakan
pemerintah, hasil pembangunan, ataupun diskusi antara para petani dan
nelayan dengan presiden.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Televisi sebagai Corong Pasar


Kebosanan terhadap kualitas acara TVRI menstimulasi beberapa pengusaha di
lingkaran pemerintahan untuk menginisiasi saluran televisi swasta guna
menghadirkan hiburan alternatif yang “berkualitas”. Di akhir 80-an, Rajawali
Citra Televisi Indonesia (RCTI) milik anak presiden Soeharto, Bambang
Trihatmodjo, memulai siaran komersial pertamanya di Jakarta. Hal ini diikuti
oleh kemunculan stasiun TV swasta lainnya.

Pada awal kemunculannya, isi siaran TV swasta selalu berada dalam


pengawasan TVRI. Mereka diwajibkan untuk melaporkan muatan acara secara
berkala (KEPMENPEN RI No. 111 tahun 1990). Sementara itu, hak pewartaan
berita eksklusif milik TVRI, yang lain hanya berkewajiban untuk merelainya
pada waktu yang bersamaan. Walaupun begitu, TV swasta menemukan celah
dengan menarasikan informasi dalam bentuk tuturan (features) dan reportase
penyelidikan. Publik terekspos dengan realita “kebakaran di daerah kumuh
yang bakal didirikan kondominium, pemogokan para buruh, demo mahasiswa
dan LSM di gedung DPR/MPR, pembunuhan, banjir, atau kasus-kasus
pengadilan.”

Ruang komunikasi yang dimonopoli TVRI melemah oleh beragam alternatif


fakta dan siaran hiburan. TV swasta berlomba-lomba menarik penonton
dengan memberikan program yang mereka minati. Ketertarikan ini memberi
timbal-balik rating sebagai daya tawar bagi pihak ketiga untuk memasang
iklan. Publik dibombardir oleh hiburan dan iklan yang menawarkan berbagai
komoditas dan standar gaya hidup baru. Ruang komunikasi dogmatis beralih
menjadi ruang transaksional antara pembeli dan penjual.

3. Media sebagai Corong Pengusaha


Pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 meruntuhkan otoritas
pemerintah terhadap fakta. Relai berita TVRI seketika dihentikan dan UU
penyiaran no. 32 tahun 2002 secara resmi menghapus kewajiban tersebut.
Pemerintah, melalui TVRI dan Badan Pertimbangan dan Pengendalian
Penyiaran Nasional (BP3N), tidak lagi menguasai dan mengendalikan
informasi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tersusun oleh warga negara
kompeten yang netral (non-partisan dan non-media) mengambil alih fungsi
ini. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab publik untuk mengawasi dan
mengembangkan kualitas penyiaran terdefinisi dengan lebih jelas.

Walaupun begitu, pemain TV swasta tidak banyak berubah. Raja-raja media


yang tumbuh sejak Orde Baru masih menguasai sebagai pemilik, penyandang
dana, pemegang saham, atau “tangan tak terlihat” *7+. Pergantian orde
membuat intervensi pemerintah melemah dan regulasi berpihak pada
pengusaha TV. Mereka semakin tidak terkendali, Oligopoli terjadi. Beberapa
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pengusaha memiliki lebih dari satu stasiun TV. Misalnya, PT Media Nusantara
Citra (MNC) milik Hary Tanoe menguasai RCTI, TPI, dan Global TV; PT Trans
Media Corporation milik Chairul Tanjung menguasai Trans TV dan Trans7; atau
PT Cakrawala Andalas Televisi milik Anindya Bakrie menguasai ANTV dan TV
One.

TV swasta seolah memiliki kendali akan “fakta” dan menyesuaikannya dengan


pandangan politik pemiliknya. Terjadi aliansi antara penguasa media dan
kekuatan politik. Surya Paloh (pemilik Metro TV) dan Aburizal Bakrie (ayah
Anindya Bakrie), misalnya, memanfaatkan stasiun TV miliknya dalam
kampanye presiden di tahun 2004 dan 2009 untuk mewakili kepentingan
golongan. Pada kampanye presidensial 2014 pun, beberapa stasiun TV swasta
terlihat sengit membeberkan “fakta” pro-kontra calon presiden unggulannya
dengan kadar yang berbeda, bahkan hasil pemungutan suara resmi sempat
berbeda.

Fakta tidak lagi tunggal, tetapi majemuk sesuai dengan TV yang


memberitakan. Publik dibingungkan dengan realitas yang simpang siur. Ruang
transaksional berubah menjadi ruang pembentukan opini yang semakin
menyegmentasi publik. Kecurigaan publik terhadap netralitas TV swasta
muncul. Dan mereka mencari alat komunikasi politik alternatif, sebagian
menemukan media sosial berjejaring sebagai salah satu opsi tandingannya.

4. Media Sosial sebagai Corong Individu


Penetrasi ponsel cerdas (smart phone) membuat media sosial mudah
dijangkau oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Di tahun 2014, sekitar
23% dari jumlah populasi menggunakan ponsel cerdas, sementara itu
pengguna media sosial berjejaring Facebook mencapai 69 juta jiwa. Dengan
angka yang signifikan, Facebookmemiliki massa kritis untuk membuatnya
fungsional. Massa ini terikat kontrak sosial secara elektronik sebagai warga.

Media sosial (Facebook, twitter, dll) menitikberatkan pada keautentikan


warganya dalam memproduksi dan mendistribusikan muatan (content)
melalui jejaring “teman”. Setiap warga memiliki hak suara untuk berbagi
berita, menyatakan opini, atau mengungkapkan emosinya yang membentuk
informasi. Setelah berjejaring, ia dapat menyebarluaskannya, dan ditanggapi
oleh jejaringnya menjadi informasi baru. Setiap individu berpeluang
berkomunikasi politik dengan mengonsumsi dan memproduksi informasi.

Ada dua komponen utama media sosial yang terkait dengan komunikasi
politik, yaitu “ruang” privat individu untuk berekspresi, dan informasi publik.
Kedua komponen ini saling mempengaruhi. Hal ini menjadikan media sosial
sebagai sebuah panggung tempat mendengar-melihat dan didengar-dilihat,
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sebuah ruang penampakan. Ruang publik di media sosial akhirnya berisi


agregat ruang-ruang privat individu-individu yang menginvasinya. Kota media
sosial menjadi “a collective shield or armor plate, an extension of the castle of
our very skins”.

Individu dalam dunia media sosial direpresentasikan oleh sebuah avatar,


sebuah persona. Individu membangun keunikan personanya dengan
mengoleksi “citra” – potongan-potongan informasi di ruang privat individu.
Hal ini terkait dengan aktivitas yang dilakukan, informasi yang dibaca, opini
yang disampaikan, hingga preferensi dalam kehidupan sehari-hari – misalnya,
musik, film, atau makanan. Penggalan-penggalan ini membentuk sebuah
gambaran ideal seorang individu yang ingin ditampilkan kepada individu lain.
Dengan hadirnya persona, definisi rezim, publik, dan ruang relasi diantaranya
dipertanyakan ulang. Rezim, oleh media ini, tidak lagi dipandang sebagai satu
badan dengan satu suara, namun terpenggal-penggal persona per persona.
Begitu pula publik yang makin tersegmentasi menjadi individu-individu unik.

Fokus pandangan politik beralih dari ideologi yang diusung golongan menjadi
citra yang dibawa oleh seorang persona. Komunikasi dua arah juga membuat
ruang relasi antara publik dan rezim menjadi intim dan personal. Walaupun
berwujud ideal, citra hanyalah sebuah representasi yang memiliki jarak
dengan realita. Representasi memiliki cacat dengan berasumsi bahwa tanda
dan realita itu sebanding apa yang diperlihatkan citra merupakan
realita. Padahal, citra akan mendegradasi realita dalam empat tahap:

1) mencerminkan realita,
2) menutupi dan menyalahgunakan realita,
3) menutupi ketidakhadiran realita, dan akhirnya
4) citra tidak menanggung realita tadi dan menjadi simulakra sejati.

Simulakra adalah salinan tanpa aslinya, sehingga ia tidak memiliki tempat


dalam realita. Simulakra tidaklah menutupi kebenaran, tetapi menampilkan
kebenaran yang tidak ada. Dalam bahasa populer, simulakra hampir
bermakna serupa dengan “hoax”–kebohongan yang dirupa sebagai
kebenaran. Simulakra telah ramai didiskusikan semenjak hadirnya televisi
dan konsumerisme massal sebagai alat propaganda. Sepotong fakta yang
dibungkus opini dapat menjadi tajuk utama di layar kaca. Atau, sepotong
realita yang diberitakan secara berlebihan dapat mengubur realita lain di saat
bersamaan. Ia menciptakan “hiperrealitas” –realita yang lebih nyata dari
realitanya itu sendiri.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Simulakra menjadi lebih kompleks ketika sebuah proses penyalinan dan


penyebaran dapat berlangsung dengan cepat, misalnya, pada media sosial
berjejaring. Walaupun ada kesempatan, ternyata hanya 1% penggunanya
yang secara aktif memproduksi muatan, sementara itu 9% berinteraksi
dengan muatan tadi dan 90% lainnya merupakan pembaca pasif. Interaksi ini
pun tumpang tindih antara muatan orisinal individu dan yang bersumber dari
media massa, atau campuran keduanya. Hiperrealita media massa dapat
dipercepat proses simulakranya oleh jejaring. Ataupun sebaliknya, muatan
dari individu yang belum diverifikasi dapat langsung dikutip sebagai opini
publik. Keduanya saling meminjam “fakta” dari yang lain.

5. Media Sosial sebagai Katalisasi Penyebaran Informasi Politik


Media sosial hanyalah sebuah katalis yang memberi keleluasaan untuk
memelihara weak ties – hubungan pertemanan yang efektif untuk
penyebaran informasi, namun lemah dalam mengembangkan ikatan modal
sosial. Ruang komunikasi, mungkin, tidak lagi didominasi oleh corong negara,
pasar, atau pengusaha. Mereka hadir beriringan dan tidak saling
mengeliminir.

Ruang corong individu pun tak luput dari masalah kesubjektivitasan yang
dapat mempertajam friksi antar individu atau antara individu dengan rezim
yang lebih personal dan emosional – antara kami dan kalian. Antara kubu pro-
Jokowi dan kubu pro-Prabowo, kubu anti-Jokowi dan anti-Prabowo, kubu
Islam Liberal dan anti-Islam Liberal, antara pro-ANIES dan pro-AHOK. Masih
perlu waktu agar bijak dalam menggunakan media ini sebagai alat komunikasi
politik.

Kemudahan penyebaran dan berpartisipasi juga membawa clicktivism – rasa


aktivisme dengan klik, misalnya, sebuah petisi daring. Pada September
2015, Uber, sebuah perusahaan transportasi daring asal Amerika yang
mempertemukan persediaan dengan permintaan mobilitas, meluncurkan
petisi untuk “melawan” aksi penertiban hukum oleh pemerintah. Sekitar
25,000 orang setuju dengan argumen bahwa ribuan orang akan kehilangan
pekerjaan dan alternatif transportasi. Sementara itu, menurut pemerintah,
Uber belum berizin resmi beroperasi sehingga lolos pajak dan tak
mengasuransikan penumpangnya. Hal ini menyamarkan pembelaan
keberadaan komuter sosial atau cair hukum terhadap hal yang
menguntungkan pribadi dengan dalih terbatasnya ketersediaan transportasi
umum.

Kecepatan produksi-konsumsi memberikan tekanan kepada aktualitas


informasi. Publik seolah tidak diberikan waktu untuk merefleksikan informasi,
karena akan selalu diperbaharui. Individu menjadi reaktif untuk menyuarakan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

opininya dengan segera. Opini mengalahkan verifikasi. Fakta tak lagi menjadi
dogma milik pemerintah atau transaksi pengusaha, melainkan berada di
tangan individu. Karenanya, kita dituntut lebih kritis dan skeptis terhadap
informasi dengan:

1) Mempelajari isi berita,


2) Memeriksa keutuhan informasi,
3) Mengenali sumbernya,
4) Mengevaluasi bukti-bukti yang ditawarkan,
5) Menyelidiki kemungkinan penjelasan lain, dan
6) Menanyakan kegunaan informasi tersebut.

Kecepatan arus informasi malah mempersulit kejelasan sebuah fakta yang


harus disaring dari opini, emosi, dan fakta lain yang mengalihkan. Fakta
identik dengan paradoks kucing Schrodinger yang tidak akan benar-benar
nyata sebelum kita membuka kotaknya dan melihat sendiri bahwa kucingnya
hidup atau mati.

1. Fleksibilitas Pemanfaatan Media Sosial dalam Interaksi dan Komunikasi


Keluwesan media sosial berhubungan dengan pemanfaatan penggunaan yang
semakin mudah. Setiap orang tanpa kesulitan dapat menggunakan media
sosial untuk mencari, memperoleh dan memanfaatan informasi yang beragam
dalam koridor kebebasan berkomunikasi. Media sosial sebagai entitas
pengolah dan penyebar informasi yang fleksibel dimanfaatkan oleh pengguna
yang tidak tersegmentasi dalam kelompok sosial, ekonomi dan politik.

Fleksibilitas media sosial mampu membangun dan meningkatkan hubungan


antar individu maupun kelompok di dunia maya, yang tidak dibatasi oleh
perbedaan status di masyarakat. Bentuk popular media sosial berbasis
internet antara lain, adalah Blog, Twitter, Facebook, Wikipedia, dan MySpace.
Media sosial berkembang seiring meningkatnya aplikasi berbasis internet yang
bersifat dua arah (Web 2.0) sehingga pengguna mudah berpartisipasi, berbagi,
dan menciptakan isi untuk membangun kesamaan makna.

Media sosial memiliki hakikat untuk memberikan keleluasaan bagi pengguna


untuk berinteraksi lebih intensif tanpa jarak dan waktu yang seringkali
menjadi penghambat. Pesan dapat mengalir dengan cepat kepada pihak yang
berkepentingan ataupun entitas yang memiliki perhatian terhadap berbagai
pemberitaan. Sosial media memang mempermudah para penggunanya untuk
berbagi dan menciptakan pesan melalui jejaring sosial, media online, forum
dunia maya dan dunia virtual (Mayfield, 2008: 6).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial yang termasuk media baru memiliki kesamaan saluran tertentu
yang dibedakan berdasarkan jenis, kegunaan, konten dan konteks (Rice,
dalam Mc.Quail, 2010: 143). Lima macam media baru tersebut adalah:

1) Media komunikasi interpersonal, mencakup telepon dan email, yang


secara umum kontennya bersifat pribadi, mudah hilang dan hubungan
yang tercipta lebih penting dibandingkan informasi yang disampaikan,
2) Media interaktif, yang didasarkan pada komputer dan video game
memiliki kekuatan pada interaktivitas dan dominasi proses
3) Media pencari informasi, misalnya internet, yang dipandang sbg
perpustakaan dan sumber data, yang aktual dan mudah diakses,
4) Collective participatory media, meliputi penggunaan internet untuk
tujuan berbagai dan menukar informasi, ide, pengalaman dan
pembangunan hubungan personal,
5) Substitution of Broadcast media, merupakan referensi utama dalam
menggunakan media untuk menerima atau mengunduh konten yang
telah disiarkan atau didistribusikan oleh media lain sebagaimana program
televisi yang telah disiarkan.

Berdasarkan Pew Research tahun 2015, pengguna media sosial memiliki


keberagaman dari aspek umur, jenis kelamin, stutus sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, ras, etnisitas, penduduk desa dan perkotaan (Perrin, 2015 : 3).
Keberagaman pengguna media sosial yang memiliki kesamaan dalam mencari
informasi merupakan sasaran penyebaran informasi para integrator sosial
yang berupaya membangun konten homogen sesuai dengan kepentingannya.

Pada konteks ini, meskipun mempunyai kesempatan untuk mengemukakan


pendapat, tetapi para pengguna dalam posisi pasif sebagai penerima
informasi, sehingga pembuat pesan leluasa untuk terus menerus
memproduksi pesan untuk mendapatkan keuntungan. Keleluasaan para
pembuat pesan yang positif maupun negatif semakin kuat karena perangkat
untuk mengakses atau menggunakan media sosial semakin murah dan
terjangkau oleh masyarakat meskipun dalam kualitas yang terbatas.

Data dari APJII tahun 2016 menerangkan bahwa rata-rata pengakses internet
di Indonesia menggunakan perangkat genggam. Rinciannya adalah 67,2 juta
orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan computer,
63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari smartphone, sedangkan 2,2
juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer. Melihat
pengakses internet menggunakan perangkat genggam, sudah barang tentu
terkait pula dengan pengguanaan media sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki fungsi antara lain untuk memperluas interaksi sosial
manusia menggunakan internet dan teknologi web, mentransformasikan
praktik komunikasi searah media siaran dari satu institusi media ke banyak
audience (one to many) menjadi praktik komunikasi dialogis antar banyak
audience (many to many).

Perkembangan dalam diseminasi informasi yang sangat progresif dalam


lingkup kebebasan komunikasi antara lain mentransformasi seseorang sebagai
pengguna isi pesan, menjadi pembuat pesan itu sendiri. Media sosial sebagai
media penyebaran pesan sebagai jurnalisme warga, membutuhkan
penyesuaian standar jurnalistik agar produk yang dihasilkan sesuai dengan
kaidah dasar jurnalisme. “Jurnalisme warga perlu perlindungan, karena
menjangkau halhal yang bersifat sangat lokal yang jarang bisa disentuh oleh
jurnalisme arus utama,” kata Eni Mulia, Direktur Eksekutif Perhimpunan
Pengembangan Media Nusantara (Kompas, 30 Maret 2017, halaman 12).

Pengguna media sosial yang beragam dan berasal dari tingkat sosial, ekonomi
dan politik yang berbeda, diikat oleh satu kebiasaan dan perilaku yang
berhubungan dengan kultur literasi malas membaca dan mencari kebenaran.
Situs Berita Satu mengungkapkan, kondisi masyarakat Indonesia pada
umumnya tidak lekat dengan budaya membaca dan menulis, ingin yang
serbainstan, serta daya kritis masih rendah. Gejala ini tidak hanya dimiliki oleh
mereka yang berpendidikan rendah, kelas menengah dengan pendidikan
tinggi pun banyak yang seolah kehilangan akal sehat manakala menerima
materi informasi yang tidak akurat. Informasi itu diamini hanya karena sesuai
dengan sentimen pribadi atau kelompoknya tanpa pikir panjang tentang
apakah benar, apakah membahayakan, apakah memecah belah atau tidak,
informasi kemudian dibagikan kepada yang lain (Berita Satu, 2017).
Keberagaman pengguna ini diikat oleh suatu kepentingan yang merujuk
kepada ketidaksukaan atau kecintaan terhadap suatu entitas yang mereka
percaya dapat memberikan hal yang lebih baik.

Gerakan sosial politik dunia maya kemungkinan ada yang diikat oleh
kepentingan politik dalam memburu kekuasaan dan tujuan bisnis di level elite
atau masyarakat tingkat atas. Di sisi lain dalam posisi sebagai massa pada
umumnya, bukan mustahil mereka diikat oleh nilai-nilai sektarian, semangat
sub-nasional, komunalisme dan semangat permurnian kepercayaan yang
menguat, tentu ada juga ikatan lain yang muncul dalam penggunaan media
sosial adalah kepentingan-kepentingan lain yang merujuk kepada perasaan
senasib sebagai warga yang kurang beruntung, mereka yang terpinggirkan
oleh sistem sosial ekonomi dan politik yang dibangun oleh kekuasaan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kelompok pengguna bahkan ada yang sama sekali tidak menghiraukan etika
kehidupan bernegara karena perilaku hedonisme yang menggejala. Pengguna
media sosial yang heterogin dari aspek sosial budaya, ekonomi dan politik itu,
tidak dapat disangkal bahwa mereka dapat bertindak sebagai pribadi ataupun
kelompok yang memanfaatkan media sosial untuk kepentingannya yang
beragam dan berhubungan dengan opini publik demi memenuhi kebutuhan
informasi menyenangkan meski tidak benar dan menyesatkan. Majalah
Tempo mengemukakan kecenderungan hoax adalah berita buruk, orang ramai
diharapkan tidak sesuka hati menyebarkan berita tidak sahih. Kenyataannya,
tanpa pemeriksaan yang cermat, sebagian orang turut menikmati berita
bohong karena isi kabar tersebut memenuhi harapannya tentang keadaan
orang atau lembaga yang menjadi korban hoax (Sahidah, Tempo 2017:62)

Penggunaan media sosial dalam struktur politik yang melekat pada elite
cenderung untuk memenuhi kesenangan semata terhadap informasi tentang
lawan politiknya, melampiaskan dendam politik, membangun konflik,
meminimalisir konflik, mencari dukungan massa untuk meraih atau
mempertahankan jabatan publik, pencitraan, dan perilaku lain yang bermuara
kepada kepentingan politik. Informasi dan pesan yang disebarkan tersebut
sebagai respon terhadap pemberitaan positif maupun negatif, bisa tidak
sesuai kenyataan, penuh rekayasa ataupun tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Media sosial pada level massa sebagai basis suara kelompok politik, dipakai
sebagai alat untuk mencari informasi yang dapat memenuhi kebutuhan yang
bersifat positif, seperti memberikan pembelajaran, pemahaman luas terhadap
kehidupan bernegara dan menyuarakan harapan untuk kehidupan yang lebih
baik. Media sosial memiliki sisi lain yang dipakai untuk mencari informasi yang
bersifat negatif terhadap individu maupun kelompok yang tidak disukai,
misalnya pesan yang memanaskan pertikaian antar kelompok, kebencian
terhadap mereka yang tidak disukai, mengunggulkan kelompoknya dan
bersifat etnosentrisme, sektarianisme, komunalisme, semangat sub- nasional
dan pesan atau berita negatif lainnya yang memberikan kepuasan dalam jerat
konflik yang laten maupun manifes. Dalam pemberitaan di Surat Kabar Tribun
Timur, tampak perbedaan penggunaan media sosial oleh elite, pada konteks
ini. Walikota Makassar dan masyarakat pada umumnya. Dalam pemberitaan
itu, pada intinya, banyaknya keluhan tentang saluran drainase yang tersumbat
disampaikan masyarakat melalui media sosial, dan Walikota Makassar Dani
Poemanto, juga menanggapinya melalui media sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Secara esensial, media sosial yang fleksibel untuk berkomunikasi dan


berinteraksi di dunia maya, dimanfaatkan oleh pengguna yang tidak terikat
oleh status sosial ekonomi dan politik. Pengguna media sosial pada umumnya
memiliki perilaku yang sama dalam kultur malas mencari kebenaran.

2. Perbedaan Stratifikasi Politik dalam Penggunaan Media Sosial


Perkembangan teknologi komunikasi memiliki implikasi mencerdaskan,
memperluas wawasan, tetapi sekaligus berpotensi merusak nilai sosial
ekonomi dan politik yang sudah melembaga. Salah satu perwujudan dari
teknologi komunikasi adalah media sosial yang semakin mudah digunakan
untuk berinteraksi dan menyebarkan informasi. Media sosial yang berkaitan
dengan digitalisasi informasi menjadi kekuatan untuk menjangkau khalayak
maupun pengguna.

Pasar digital Indonesia pada 2014 mencapai US$ 12 miliar, meningkat US$ 8
miliar dibandingkan 2013. Diprediksi pada tahun 2020, Indonesia bakal
menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara (http://www.
indotelko.com/?c=in&it, akses 27 Oktober 2017). Media sosial sering
dihubungan dengan kebebasan demokrasi informasi karena mengubah
seseorang dari pembaca konten, menjadi penerbit konten. Ini merupakan
pergeseran dari mekanisme siaran, berakar pada percakapan antara penulis,
orang, dan teman sebaya.

Unsur fundamental media sosial adalah pertama, media sosial melibatkan


saluran sosial yang berbeda dan online menjadi saluran utama. Kedua, media
sosial berubah dari waktu ke waktu, artinya media sosial terus berkembang.
Ketiga, media sosial bersifat partisipatif. “penonton/ khalayak” mempunyai
hak bicara dianggap kreatif, sehingga dapat memberikan komentar (Evans,
2008: 34) Keterlibatan pengguna yang merangkap sebagai sebagai khalayak,
merupakan fleksibilitas dalam dalam penyebaran pesan.

Secara umum media sosial dapat menghilangkan batas privasi, karena budaya
pengungkapan pribadi yang aktif tanpa seleksi kebenaran, etika dan nilai-nilai
sosial yang ada di masyarakat. Seringkali terjadi penyalahgunaan data yang
diungkapkan melalui ruang publik membawa implikasi buruk terhadap
hubungan antar manusia dan lingkungannya. Kecenderungan mengungkapkan
informasi yang sepele dalam pesan singkat sebagaimana melakukan update
status, merupakan kedangkalan yang menjadikan, ”media sosial hanya cocok
untuk hiburan daripada pekerjaan yang profesional” (Andrew, 2007).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial dalam perspektif etika pengelolaan pesan, seperti kehilangan


kewibawaan karena pengguna yang sesukanya dalam memanfaatkan sebagai
media penyebaran pesan. Setiap orang dapat mempublikasikan apapun yang
mereka inginkan sehingga sulit untuk mengidentifikasi sejauh mana kontribusi
berharga atau memiliki otoritas sebagai sumber informasi yang layak.

Media tradisional atau media massa yang memiliki filter ketat untuk menjaga
kualitas pesan, memiliki etika dan norma yang sangat ketat dalam urusan
penyebaran informasi. Kecermatan dan ketelitian serta sederet aturan
tersebut yang memposisikan media massa sebagai media tradisional.
Keunggulan yang dmiliki bersifat elitis, namun media massa dinilai oleh
kelompok progresif dalam pemberitaan sudah ketinggalan, dan masuk dalam
perangkap birokrasi institusi media yang terikat oleh jam kerja, batas
penayangan pemberitaan dan sederet aturan lain yang menghambat
kecepatan diseminasi pesan kepada khalayak. Berlainan dengan, ”media sosial
yang menghilangkan keseimbangan kerja, dan memiliki potensi untuk
memperpanjang hari kerja dan dan aspek-aspek lain kehidupan” (Carr,
2010:11).

Media sosial disebut pula sebagai media baru karena memiliki karakter
interaktif, dan berbeda dari media utama, sedangkan media utama
dikategorikan sebagai media lama. Media utama juga didukung pula oleh
kekuatan teknologi komunikasi. Media lama tetap memiliki khalayak dan
sebagai rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kategorisasi media lama
dan media baru bukan karena media lama yang konvensional penuh dengan
etika dan peraturan itu menghilang, tetapi ada media baru, yaitu media sosial
yang membawa perubahan dalam penyebaran pesan kepada khalayak.

Media baru menawarkan digitilasasi, konvergensi, interaksi dan pembuatan


jaringan kerja dalam pembuatan pesan. Kemampuannya menawarkan
hubungan interaktif, memungkinkan pengguna media baru memiliki pilihan
informasi apa yang dikonsumsi, sekaligus mengendalikan keluaran informasi
yang dihasilkan serta melakukan pilihan-pilihan yang diinginkannya.
“Kemampuan menawarkan suatu hubungan interaktif inilah yang merupakan
konsep sentral dari pemahaman tentang new media (Flew, 2002: 11-22).

Media sosial mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi pendapat


masyarakat. Upaya pengagalangan untuk memperoleh dukungan yang cepat
menjadi kekuatan media sosial dalam kecepatan penyampaian pesan. Media
utama berusah untuk membangun ruang pemberitaan (news room) yang
adaptif terhadap perkembangan teknologi komunikasi. News room
merupakan ruang berita, semua jurnalis dan pekerja media bekerja
mengumpulan berita yang akan dipublikasikan melalui di media cetak, atau
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

audio visual. Surat Kabar Kompas menuliskan Newsroom Baru Hadapi Media
Sosial. Untuk mengimbangi kekuatan media sosial, digunakan Model Data-
Driven Journalism menyajikan paket berita multi media secara cepat, efisien,
dan murah. Newsroom konvergen untuk mendukung industri pemberitaan.
Perpaduan media dengan teknologi multi media. Berbagai informasi dalam
bentuk teks, audio, dan visual dapat dipertukarkan untuk penyiaran media
cetak, elektronik (audio dan video), serta online.

Seorang jurnalis dapat menggunakan sumber dari situs web yang gratis di
internet misalnya google, dan memanfaatkan media sosial seperti facebook,
twitter dan youtube (Lau Joon Nie, Asisten Direktur Newsplex Asia). Dic
Costolo, CEO twitter menyatakan Indonesia sangat vital bagi twitter. Akhir
tahun 2013 meraih keuntungan sebesar 20,5 triliun rupiah, kuartal kedua
tahun 2014 pendapatan total twitter sebesar US$ 312 juta dolar Amerika
Serikat. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dari pemasukan iklan. Situs
microblogging itu diakses sekitar 270 juta pengguna aktif, dengan 500 juta
cuitan tiap hari (Kavita Media, 26 Oktober 2017). Secara umum media sosial
memiliki pemasukan dari iklan sangat memadai karena para pemilik usaha
mengetahui bahwa pengguna ataupun khalayak media sosial sangat banyak,
sehingga produk yang diiklankan juga dengan cepat dikenal masyarakat luas.

Dalam perspektif pemberitaan yang ideal, media sosial seringkali


mengabaikan kebenaran faktual, empati dan keseimbangan, sumber yang
tidak jelas, dan berbagai nilai pemberitaan lain yang tidak layak dikonsumsi
publik. Khalayak pada media utama semakin berkurang jumlahnya. Media
massa mainstream, memiliki posisi kuat dalam menumbuhkan wawasan
khalayak. Surat kabar, majalah, radio, dan televisi memberikan informasi
bermutu kepada masyarakat. “Media yang dipakai penguasa sebagai
instrumen politik pemerintah untuk menyebarkan dan mempromosikan
program sosial ekonomi pemerintah sebagai tujuan nasional” (Biagi, 2005:
350).

Keterlibatan pemerintah seringkali lebih banyak memposisikan pers sebagai


media yang harus dikontrol. Kontrol terang-terangan maupun terselubung
terhadap media massa bertujuan menjaga keamanan dan stabilitas politik.
Media wajib melaksanakan tugas pembangunan dan pemerintah campur
tangan dalam membatasi pengoperasian media melalui aneka macam
regulasi. Kecenderungan negara menguasai rakyat melalui penyebaran
informasi, diulas oleh Durkheim, yang menyebutkan, “negara sering
mempunyai gagasan baru untuk mengarahkan masyarakat sejauh mungkin”
(dalam Giddens, 1986 :126).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam bingkai kebebasan komunikasi, media arus utama terperangkap dalam


kontrol pemilik media demi kepentingan politik. Penyebaran informasi
merupakan langkah politis untuk mengendalaikan hak masyarakat untuk
memperoleh informasi realistis dan akurat dari sumber yang kredibilitasnya
diakui (McQuail, 1991:109). Media massa memiliki fungsi sebagai arus utama,
mestinya independen dan mampu menggambarkan realitas sosial yang terjadi
di masyarakat. “Pers harus menghormati hak asasi setiap orang, karena itu,
pers dituntut profesional dan terbuka” (Sukardi, 2008: 109). Permasalahan
mengenai pers yaitu pers bebas yang memicu konflik antara media massa
dengan masyarakat yang disebabkan oleh pemberitaan yang memihak. Posisi
media seharusnya bersikap “konsisten dalam peliputannya, yaitu impartial,
fair, balance dan tetap menjadi pelindung masyarakat yang terpingirkan oleh
sistem yang menekan dunia saat ini” (Eisy, 2007: 46).

Perkembangan teknologi komunikasi dan demokratisasi informasi,


memberikan hak masyarakat untuk memilih sumber informasi yang dapat
memenuhi kebutuhan secara cepat. Media sosial mewartakan gambaran
faktual dengan prinsip keseimbangan dan kejujuran, bukan sebatas mengejar
kecepatan dalam pemberitaan dan menyebarkan berita bohong demi
mempengaruhi kelompok kelompok di masyarakat

3. Perbedaan Stratifikasi Politik dalam Penggunaan


Media Sosial Media sosial yang memiliki kekuatan dalam penyebaran
informasi politik menjadi pertimbangan bagi elite dalam kekuasaan negara
dan partai politik untuk membangun komunikasi politik dengan
pendukungnya. ”Komunikasi politik merupakan proses interaktif mengenai
transmisi informasi kalangan politisi, media berita dan publik (Norris,
1999:163).

Pesan dalam komunikasi politik menyangkut; cara kandidat, pemerintah,


pelobi, maupun kelompok kepentingan dalam mencapai tujuan strategis, dan
mengendalikan opini publik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.
Melalui media sosial, komunikasi politik tidak lagi dominasi linier berjalan satu
arah, tetapi bersifat interaktif terbuka di alam maya. Komunikasi virtual ini
muncul sebagai gambaran kekuatan media sosial sebagai media baru.
Pemanfaatan media baru memungkinkan pengguna dapat membentuk
jaringan integratif seluasluasnya, dan dapat menunjukkan identitas berbeda
dari pengguna di dunia nyata (Flew, 2002: 25). Pilihan menggunakan media
sosial untuk membangun jaringan komunikasi politik yang kuat merupakan hal
yang wajar dalam upaya meraih dukungan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Terbentuknya jaringan komunikasi politik dengan menggunakan media sosial


merupakan alasan praktis untuk menumbuhkan partisipasi yang mendorong
kontribusi dan umpan balik, keterbukaan tanpa jarak antar sumber berita dan
khalayak yang dapat menguatkan diskusi (Burke, 2000: 380).

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan politik memiliki tujuan untuk


mempertahankan kekuasaan atau sebaliknya memperoleh kekuasaan.
Pengguna media sosial memiliki perbedaan dalam proses penyebaran
informasi politik. Kaum elite bisa saja bertindak sebagai sumber informasi
yang faktual, tetapi bisa juga melakukan rekayasa pesan demi memperoleh
dukungan. Pada level massa, menggunakan informasi dari media sosial untuk
menguatkan identitas kelompok dalam jikatan komunalisme, sektarianisme
maupun semangat sub nasional.

Transaksi informasi politik ada yang terus berlangsung secara vertikal antara
elite dan massa, atau secara horisontal diantara massa maupun antar elite
dalam stratifikasi politik masyarakat. Enam lapisan stratifikasi politik, yaitu:

1) Proximate decession maker,


2) Influential,
3) Aktivis,
4) Attentive public,
5) Voters,
6) Kelompok nonpartisipan.

Setiap lapisan memiliki relasi dan komunikasi politik yang terbuka, sehingga
bisa saja tidak ada jarak yang tegas, khususnya yang menyangkut satu lapisan
ke atas dan satu lapisan ke bawah (Putnam, 2013:10-14). Berdasarkan
pemaparan Susanto (2013), lapisan pertama, proximate decession maker
terdiri dari pejabat partai politik tingkat tinggi dan para anggota legislatif,
yang terlibat langsung dalam dan memiliki otoritas membuat kebijakan
pemerintahan dan negara.

Lapisan kedua, influential, merupakan individu ataupun kelompok yang


mempunyai pengaruh kuat dalam politik, dan pendapatnya diperhitungkan
oleh pembuat keputusan yerdiri dari para pemilik modal dan birokrat papan
atas, banker, pemimpin kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan
mengontrol politik, dan mereka yang dapat membentuk opini publik.

Lapisan ketiga adalah aktivis, biasanya memiliki pengalaman panjang


menghadapi hambatan dan tantangan menjalankan roda organisasi. Mereka
yang paling berhak mengisi jabatan-jabatan di partai politik dan memiliki
kesempatan pertama menduduki posisi dalam pencalonan anggota legislatif
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

maupun pejabat politik. Kelompok ini adalah warga negara yang aktif dalam
kehidupan politik dan pemerintahan. Mereka terdiri dari partai politik,
birokrat tinggi menengah, editor surat kabar lokal, dan para penulis.

Kelompok pengamat (attentive public) sebagai kumpulan orang kritis,


memiliki banyak informasi, wawasan luas, tapi tidak mau terjun langsung
dalam politik. Voters dalam lapisan ini adalah pemberi suara dalam pemilihan
umum, memiliki sumber politik kolektif yang penting karena jumlahnya besar,
tetapi sebagai individu tidak memiliki pengaruh penting.

Kelompok terakhir adalah Nonpartisipan, yang sama sekali tidak berpartisipasi


dalam politik karena kemauan sendiri, atau diasingkan oleh penguasa. Mereka
memiliki jarak kekuasaan dengan elite politik. Berdasarkan stratifikasi politik
tersebut, penggunaan media sosial di setiap lapisan memiliki perbedaan
walaupun secara umum mempunyai kesamaan untuk mendukung tujuan
dalam persaingan politik yang laten maupun manifest. Secara rinci stratifikasi
politik dan penggunaan media sosial dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Stratifikasi Stratifikasi Politik dan Penggunaan Media Sosial

Pada tabel dapat disimpulkan bahwa lapisan pertama sampai ketiga memiliki
kecenderungan sebagai pengorganisasi pesan dan membangun opini publik di
media sosial. Ketiga kelompok ini juga mempunyai kepentingan untuk memburu
jabatan publik maupun jabatan politik. Kelompok ke-empat sampai ke-enam
memiliki posisi sebagai penerima informasi dan memberikan umpan balik
sebagai bentuk dukungan dan penguatan opini negatif terhadap entitas politik di
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

luar kelompoknya. Kelompok ke-lima dan keenam juga memiliki kesempatan


sebagai pemberi informasi tetapi frekuensinya jauh lebih kecil disbanding
sebagai penerima informasi maupun meneruskan informasi Posisi di media sosial
dan tujuan politik dalam paradigma komunikasi transaksional maupun interaktif
bisa berubah-ubah mengingat pengirim pesan dapat berganti sebagai penerima
pesan dalam interaksi di media sosial.

Pesan pada media baru dibangun dengan kerjasama khusus antar pihak-pihak
yang berkomunikasi. Proses beroperasi pembentukan pesan dilakukan secara
horisontal diantara aktor-aktor politik dan juga vertikal ke atas sebagai respon
opini publik terhadap mereka yang berwenang (Chekuvanol, et.al., 2013:4).
Pemahaman makna terhadap pesan politik dari pengguna media sosial sangat
dinamis, sehingga posisi dan tujuan ketika memanfaatkan media sosial bisa
dengan cepat berubah. Dalam upaya membangun kesamaan makna, kelompok
pertama sampai ketiga memposisikan penyebaran informasi sebagai alat untuk
memperoleh dukungan melalui komunikasi yang integratif. Sejalan dengan
Komunikasi dalam perspektif politik, sebagai alat menafsirkan peristiwa, dan
membentuk tanggapan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Keberhasilannya ditentukan oleh cara membingkai pesan yang diterima
masyarakat (Győri, 2016 : 14).

Berpijak pada pendapat tersebut, jaringan komunikasi politik yang membuka


jalan untuk saling bergantung, dan menciptakan ikatan diantara individu dan
kelompok dalam satu entitas politik diperlukan membangun pemahaman
bersama demi mencapai tujuan politik dalam demokrasi bernegara. Prinsip
utama demokrasi adalah persamaan, kebebasan, dan kontrol dalam
pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Penggunaan media sosial sebagai
pendukung komunikasi politik merupakan perwujudan dari kehendak rakyat
dalam menggunakan hak politik.

Media sosial (media sosial) telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi
kehidupan masyarakat Indonesia. Mewarnai berbagai bidang kehidupan,
membentuk culture komunikasi baru. Bahkan media sosial menjadi sumber yang
paling cepat dalam memberikan informasi terkait kontestasi politik. Sampai hari
ini masyarakat pengguna media sosial masih merasakan panasnya “perang”
media sosial jelang pilkada, pilcaleg dan isu seputar pemilihan presiden
mendatang.

Perdebatan politik masih dominan mewarnai laman media sosial kita. Seperti
ditulis Tempo, penelitian Semiocast – lembaga riset media sosial yang berpusat
di Paris, Prancis – menemukan fakta bahwa jumlah pemilik akun Twitter di
Indonesia menduduki peringkat terbesar kelima di dunia. Sedangkan untuk
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pengguna facebook, menurut laporan majalah Forbes, meski kini telah


dikalahkan oleh India, jumlah pengguna Facebook di Indonesia masih menduduki
salah satu posisi teratas di dunia bersama dengan Brasil, India, Meksiko, Inggris
Raya, dan negara asal Facebook Amerika Serikat.

Seiring perkembangan zaman, keperluan pada internet tak hanya milik orang-
orang kota atau kalangan eksekutif saja. Namun sudah menjalar, hingga ke
pelosok-pelosok pedesaan. Para pengguna jejaring sosial berasal dari berbagai
kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang-orang dewasa. Kenyataannya
ketika isu-isu tertentu dimunculkan di jejaring sosial, informasi itu tersebar
dengan cepat kepada seluruh anggota jejaring sosial. Sehingga dalam waktu yang
singkat, isu dimaksud mendapat tanggapan publik.

Jejaring sosial cepat menyentuh sanubari publik. Informasi berbagai negara


dengan cepat tersebar ke publik, Hal ini tidak lepas dari peran jejaring sosial
seperti facebook dan twitter sebagai katalisator revolusi yang bergerak begitu
cepat. Pada gilirannya, komunikasi di dunia virtual ini bertransformasi menjadi
gerakan nyata yang melibatkan berbagai kalangan. Jejaring sosial di kalangan
masyarakat, khususnya para anak muda ini tentunya memberikan peluang-
peluang tersendiri. Salah satunya di bidang komunikasi politik, baik bagi
pemerintah, aktifis maupun politikus. Apatah lagi menjelang pemilihan kepala
daerah, dan juga pemilihan legislatif dan pemilihan presiden nantinya.

Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Politik, pada masa mendatang


komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Jika kita cermati, apa yang
diungkapkan pakar komunikasi ini pun beberapa tahun yang lalu mulai tampak
dan semakin menarik. Media massa baik televisi, surat kabar dan juga internet,
akan menjadi media utama kampanye politik menjelang pemilihan umum,
seperti presiden, legislatif, gubernur, bupati dan wali kota.

Para politisi, baik presiden, anggota legislatif, calon kepala daerah, tampak
bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka juga terlihat aktif
sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan Facebook, baik
dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya, membangun citra atau
menyampaikan komunikasi-komunikasi politik. Tujuannya, tentu saja meraih
dukungan khalayak, guna menduduki jabatan yang mereka inginkan. Terlepas
apakah pengelolanya adalah mereka sendiri atau yang khusus ditugaskan untuk
itu. Namun ada juga media yang mengatakan akun sebagian pengikut dari tokoh
tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif. Politisi ini dapat
menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka
sekaligus mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tak menyukai mereka di
media sosial tersebut.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Masyarakat pengguna media sosial di Indonesia, secara terbuka mengkritisi


bahkan menghujat langsung para politikus yang dianggap gagal dalam
menuntaskan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Ini menandakan
masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator
politik harus lebih profesional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesan-
pesan politiknya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, yang didapat malah bisa
saja sebaliknya. Khalayak menjadi kurang simpati, dan meruntuhkan citra diri
sang politikus.

Dalam pengamatan penulis, masih banyak akun-akun media sosial para politikus
dan calon kepala daerah yang menyampaikan pesan komunikasi politik dengan
pola-pola lama. Mereka seakan masih terfokus dan jadi penganut teori
komunikasi politik jarum hipordemik atau hypordemic needle theory. Di mana,
pesan yang disampaikan di media begitu perkasa, pesan politik apapun yang
disampaikan kepada khalayak, apalagi melalui media massa termasuk media
sosial, pasti akan berdampak positif berupa citra yang baik, penerimaan atau
dukungan. Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus
menafikan fakta-fakta, nilai-nilai, bahkan logika. Tak jarang, pesan-pesan politik
yang disampaikan terkesan nyeleneh dan dipaksakan. Bahkan ada yang malah
terkesan lebay. Untuk khalayak yang pasif dan awam, boleh saja cara-cara ini
masih ampuh. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang kian kritis, kian
dewasa dan mulai cerdas, yang mulai bisa membedakan antara hanya lip service,
pencitraan dan kebenaran.

Di negara-negara barat dan negara-negara maju lainnya teori jarum hipordemik


dengan pola-pola lamanya, sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Di samping
dianggap sudah klasik, dengan tokoh-tokohnya LA Richard (1936) Raymon Bauer
(1964) Schramm & Robert (1977), pola-polanya juga dianggap sudah tak sesuai
lagi dengan kondisi masyarakat yang kian cerdas. Sebagai gambaran, Bob Dole
adalah calon presiden pertama di dunia yang menggunakan situs internet dalam
kampanye politik. Ia terutama ingin mendapatkan dukungan dari pemilih muda
lewat pesan-pesan politiknya. Situsnya pun dikunjungi oleh lebih dari dua juta
orang. Di sisi lain, isi pesan-pesan yang disampaikan masih terkesan
serampangan, dengan pola-pola jarum hiperdemik. Hasilnya, bukannya seperti
yang diharapkan, dalam pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 1996 itu, Dole
dikalahkan lawannya Bill Clinton. Dalam perkembangannya, para komunikator
politik Amerika pun beralih pada pola the obstinate audience theory atau juga
dikenal dengan teori khalayak kepala batu. Di mana para komunikator
komunikasi politik tidak lagi percaya khalayak pasif dan dungu serta tak mampu
melawan keperkasaan media. Khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali
tidak pasif.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam komunikasi politik, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap
terhadap terpaan semua pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan transaksi
pesan, pesan yang masuk akan diseleksi, kemudian akan disaring diterima atau
ditolak melalui filter konseptual. Adapun pola penyampaian pesannya, fokus
pada pengamatan terutama pada komunikan. Melalui pendekatan psikologis dan
sosiologis. Salah satu di antara tokoh politik kita yang telah menerapkan pola ini
diantaranya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Bogor Bima Arya.

Para politisi, baik calon kepala daerah dan calon anggota legislatif, bahkan dalam
proses pilpres tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka
juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter
dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya,
membangun citra atau menyampaikan pesan komunikasi-komunikasi politik.
Tujuannya, tentu saja meraih dukungan khalayak, guna menduduki jabatan yang
mereka inginkan. Terlepas apakah pengelolanya adalah mereka sendiri.

Lebih lanjut Deddy Mulayana mengungkapkan bahwa para pejabat, politisi atau
tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial. Namun ada juga media
yang mengatakan akun sebagian pengikut dari tokoh tersebut diduga palsu dan
sebagian akun lagi tidak aktif. Terlepas dari itu semua, meskipun para politisi ini
dapat menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka
sekaligus mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tak menyukai mereka di
media sosial tersebut. Tentu saja ini merupakan fenomena sosial yang harus jadi
pertimbangan para politikus yang aktif menggunakan media sosial tersebut.

Gebrakan jejaring sosial ini juga telah merambah kedalam kehidupan sosial-
politik. Pada tingkat tertentu, media ini menjadi kekuatan sosial yang tak boleh
diabaikan. Dengan akun-akun pribadi atau anonim, banyak pengguna jejaring
sosial ini ikut menyampaikan dan mengkritisi berbagai fenomena sosial,
mengomentari pejabat-pejabat yang kurang mereka sukai, ikut serta mengontrol
kebijakan-kebijakan publik dan menggalang opini publik untuk membela
kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Paling tidak ini juga menandakan masyarakat sudah semakin kritis, yang
menuntut komunikator-komunikator politik harus lebih profesional, cerdas dan
bijak dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Alih-alih mendapatkan
keuntungan, yang didapat malah bisa saja sebaliknya. Khalayak menjadi kurang
simpati, dan meruntuhkan citra negatif pada diri sang politikus. Tak peduli
apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menafikan fakta-fakta, nilai,
bahkan logika. Tak jarang, pesan-pesan politik yang disampaikan terkesan
nyeleneh dan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk
khalayak yang pasif dan awam, boleh saja cara-cara ini masih ampuh.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di era virtual, media sosial menjadi kekuatan publik yang sangat besar sehingga
ia tidak bisa diremehkan. Media sosial telah benar-benar mampu menjadi
jembatan suara-suara publik yang sesungguhnya. Melalui jejaring sosial, banyak
orang menjadi “wartawan” atau “jurnalisme warga” yang menceritakan berbagai
persoalan mulai dari yang kecil sampai yang besar, dari persoalan pribadi sampai
persoalan publik. Tentu saja, tidak hanya saat ini, pada masa mendatangpun
komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik, seiring dengan muncul
berbagai media terutama media sosial. Apalagi, dalam dunia politik di Indonesia,
jumlah massa mengambang terutama di kalangan generasi muda kian
bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka
untuk mempengaruhi mereka sebagai pemilih pemula.

Seiring jumlah massa mengambang terutama di kalangan generasi muda kian


bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka
untuk mempengaruhi rakyat. Rakyat semakin cerdas, pemimpin yang hanya
sekadar menggunakan pencitraan akan ditinggalkan. Pemimpin otentik dan
dekat dengan rakyat akan semakin digandrungi. Media sosial memberi harapan
sebagai media alternatif yang akan terus mengawal dan menjadi alat publik
untuk mengadvokasi dan mengkomunikasi kepentingan politik mereka.

1. Media Sosial dan Kualitas Demokrasi


Media sosial menjadi bagian penting di setiap hajatan politik pemilu. Saking
pentingnya, setiap kandidat menyiapkan tim khusus untuk menanganinya.
Tim ini bekerja 24 jam untuk memantau setiap informasi yang berkembang.
Belum lagi gerakan swadaya dari simpul-simpul relawan. Biasanya mereka
adalah loyalis-loyalis kandidat yang memang terpanggil untuk membangun
citra postif serta membuat unggul kandidatnya. Fakta inilah yang membuat
atmosfer media sosial terasa memanas selama kampanye. Masyarakat Kita
selalu dipertontonkan perdebatan sengit di media sosial yang diistilahkan
sebagai cyber war.

Semua pihak saling beradu argumen untuk menunjukkan kandidat pilihannya


adalah yang terbaik, terhebat, tersuci, dan ter- lainnya. Selain itu memang ada
tim yang dibentuk untuk melempar isu, mengembangkan, dan meng-
counternya. Jadi wajar saja, bila muncul isu apa pun tentang kandidat pasti
akan memantik cyber war.

Fenomena pemilukada di berbagai daerah menunjukkan bahwa pilkada di


Indonesia telah memasuki babak baru dalam perkembangan strategi
pemenangan politik. Media sosial telah menjadi bagian penting kontestasi
politik. Fakta inilah yang kemudian membuat politisi mulai aktif di media
sosial, baik lokal sampai nasional. Bahkan Presiden Jokowi pun giat dan
gencar membangun komunikasi politik di media sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kita semua bisa melihat bagaimanan aktifnya presiden Jokowi di Twitter,


Facebook, sampai Vlog. Bahkan Vlog yang dibuat Jokowi menjadi viral di
Indonesia. Hal ini jelas mengindikasikan, bahwa para politisi memang
memahami bahwa media sosial adalah media komunikasi paling efektif di
masyarakat saat ini.

a. Rasional Voter
Fenomena perang media sosial ini bisa dibilang juga akan mewarnai
pilkada serentak 2018, pilcaleg dan pilpres 2019. Terutama di daerah
perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna media sosial aktif. Media
sosial telah menjadi sebuah kapital politik. Hal ini tidak terlepas dari
pesatnya pertumbuhan pengguna internet indonesia, yang sudah
menembus angka 132,7 juta (APJII, 2016).

Strategi pemenangan dituntut beradaptasi dengan perkembangan media


baru ini. Kandidat harus berani membangun komunikasi di media sosial.
Bukan tidak mungkin kedepannya politisi yang tidak mau berkomunikasi di
media sosial, dianggap belum siap untuk jadi seorang pemimpin di
Indonesia. Saat ini, setiap ada keluhan masyarakat pasti disampaikannya di
media sosial. Semakin cepat pemimpin merespon keluhan itu, maka akan
semakin tinggi respect masyarakat. Oleh karena itu. Komunikasi di media
sosial, harus intensif dan berkelanjutan. Mau dikelola sendiri atau tim, yang
penting terus terjalin komunikasi aktif dan solutif di media sosial. Selain
siap membangun komunikasi di media sosial. Dalam konteks kontestasi
politik, perlu juga dipahami bahwa yang menjadi sasaran di media sosial
adalah rasional voter.

Seringkali kita lihat tim kampanye kandidat sibuk saling perang opini yang
tujuannya untuk memenangkan kandidatnya di media sosial. Memang
terlihat seru, tapi sebenarnya itu keluar dari substansi komunikasi
politiknya. Komunikasi politik di media sosial mengedepankan komunikasi
yang berdasarkan kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas. Rangsangannya
bersifat edukatif dan informatif, karena memang yang menjadi sasaran di
media sosial adalah pemilih rasional. Kalau kandidat atau tim sibuk
melakukan komunikasi yang hanya menunjukkan timnya banyak dan eksis
di media sosial, justru akan bias dan menjauhkan dari sasarannya.

Dalam konteks politik voter, komunitas ini tetap diisi oleh 3 kategori
pemilih. (1) Tradisional, (2) Transaksional, (3) Rasional. Dari 3 kategori ini
yang memang bisa di influence di medos adalah pemilih rasional. Ketika
bisa meyakinkan mereka, maka mereka pasti akan memilih, bahkan
bergerak dengan sendirinya untuk memenangkan kandidat. Tanpa harus
ada iming-iming uang atau jabatan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Hal inilah yang pernah diterapkan oleh Barrack Obama. Strategi


komunikasinya berhasil menarik simpati para internet citizen. Bahkan
Obama mampu mengumpulkan sumbangan ratusan juta dollar melalui
media sosial. Itulah yang terjadi bila kita sudah menarik simpati para
rasional voter. Mereka akan benar-benar berjuang bersama kita. Karena
itu, pendekatannya adalah program, visi misi, rekam jejak, dan integritas
kandidat. Dalam artian, tidak bisa asbun (asal bunyi) di media sosial. Harus
satu kata dengan perbuatan. Bila ada satu hal saja yang tidak sesuai fakta,
pasti akan langsung mereduksi popularitas dan elektabilitas kandidat. Bila
itu terjadi, harus sangat kerja keras untuk mengembalikan simpati publik.

Faktanya masih banyak kandidat atau tim suksesnya yang keliru dalam
menerapkan pola strategi komunikasi politik di media sosial. Banyak yang
beranggapan, semakin ramai di media sosial semakin bagus untuk
popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Oreantasinya hanya
banyaknya viewer, commentt, dan like, seringkali melupakan
substansi. Memang benar adanya, menjadi viral atau banyak disukai itu
penting. Tapi, jangan lupa bahwa targetnya adalah rasional voter.
Contentnya juga harus berbobot dan bernilai. Misalnya mencanangkan
terobosan program baru yang memang realistis dan terukur, sehingga
membuat para rasional voter tertarik untuk mendiskusikannya,
memberikan masukan, dan kemudian mengkampanyekannya.

Intinya seorang kandidat dan tim media sosialnya harus lebih menonjolkan
tentang apa yang sedang dan pernah dilakukan untuk masyarakat. Bukan
hanya sekedar tentang foto dan tagline. Misalkan seorang kandidat
berlatar belakang pengusaha. Publish tentang perannya dalam
pengembangan kewirausahaan di masyarakat, yang memang sudah
dilakukan jauh hari sebelum pilkada dimulai. Dengan begitu masyarakat
pun akhirnya tahu langkah konkrit apa saja yang pernah dibuat kandidat.
Apa saja legacy yang sudah diberikan kepada masyarakat. Ada ukurannya
yang jelas untuk dinilai. Hal-hal seperti inilah yang dimunculkan. Sebuah
bukti yang akhirnya menarik simpati dan keberpihakkan para rasional
voter.

Sedangkan untuk tradisional dan transaksional voter meskipun mereka


aktif di media sosial, tapi untuk urusan menentukan pilihan pendekatannya
tetap konvensional. Jangan sampai yang sering meramaikan media sosial
kandidat, justru para tradisional dan transaksional voter, yang
keberpihakannya tetap harus diselesaikan dengan cara-cara “lama”.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

b. Kualitas Demokrasi
Media sosial memang telah menambah warna politik Indonesia. Interaksi
dengan masyarakat pun lebih terasa. Tidak ada sekat bagi politisi dan
masyarakat di media sosial, yang akhirnya membentuk dialektika yang
lebih aktif dan mendalam. Membuat masyarakat bisa mengukur secara
langsung kualitas, kapasitas, dan kapabilitas seseorang.

Komunikasi politik media sosial bisa dikatakan memiliki kualitas yang lebih
baik dari cara konvensional. Karena mengedepankan komunikasi yang
berdasarkan karakter, budaya, dan keilmuan. Sehingga tidak terlalu
mementingkan rangsangan materi. Bentuk komunikasi politik seperti ini
tentunya semakin membawa dampak positif bagi perkembangan
demokrasi Indonesia.

Media sosial membuat informasi semakin cepat dan mudah diakses


masyarakat. Hal ini berimbas positif bagi peningkatan partisipasi publik.
Sehingga ketika muncul permasalahan, masyarakat bisa segera tahu,
berperan aktif mencari solusinya, dan bisa langsung memposisikan dirinya
dengan tepat. Terbentuknya culture komunikasi media sosial bila
dianologikan dengan konsep demokrasi. Ada kesamaan sistem sosial yang
dibangun. Inti demokrasi adalah saat semua orang memiliki posisi yang
sama di hadapan negara. Culture inilah yang terbentuk secara alami di
media sosial. Setiap individu bebas untuk menentukan apa yang akan
ditulis dan diungkapkan di akunnya.

Akun media sosial, ibarat mulut manusia yang tidak bisa dikekang. Dia
bebas bersuara, berteriak, berpendapat, dan tidak bisa dipaksa tunduk
pada orang atau kelompok tertentu. Dia hanya tunduk pada aturan yang
telah disepakati, dipahami, dan dipatuhi bersama, tanpa pandang
bulu. Seperti itulah hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Selama tidak
melanggar peraturan hukum yang berlaku, semua rakyat Indonesia
memiliki hak yang sama. Bebas bersuara, menilai, dan mendapatkan
kesempatan yang sama untuk menyuarakan aspirasinya.

Culture komunikasi yang demokratis di media sosial, bisa menjadi


jembatan menuju kualitas demokrasi Indonesia yang semakin baik dan
sehat. Sehingga melalui perkembangan teknologi komunikasi yang semakin
cepat dan canggih ini. Kontestasi politik mampu melahirkan pemimpin-
pemimpin berkualitas yang bisa mewujudkan semua harapan rakyat
Indonesia.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Sosial dan Aktor Politik


Penting bagi institusi politik untuk berpartisipasi aktif dalam komunikasi
politik berbasiskan media sosial, terutama dalam kampanye Pemilu. Media
sosial sebagai sarana ideal dan basis informasi untuk mengetahui opini publik
tentang kebijakan dan posisi politik, selain untuk membangun dukungan
komunitas kepada politisi yang tengah berkampanye. Sejumlah penelitian
menunjukkan politisi di seluruh dunia telah mengadopsi media sosial untuk
menjalin hubungan dengan konstituen, berdialog langsung dengan
masyarakat dan membentuk diskusi politik. Kemampuan menciptakan ruang
dialog antara politisi dengan publik serta menarik minat pemilih
pemula/pemilih muda membuat media sosial semakin penting bagi politisi
(Stieglitz & DangXuan, 2012).

Sebelum menggunakan media sosial para politisi sudah menggunakan


internet untuk berkampanye. Internet bisa menjadi cara yang potensial dalam
mendobrak politik demokrasi massa yang opresif yang menyuarakan suara
dari bawah ke atas, yang kerap dengan power yang dimiliki, dimanfaatkan
oleh penguasa untuk kepentingan golongannya. Internet menjadi media bagi
mengalirnya informasi dua arah yang interaktif antara politisi dan
pendukungnya. Internet menjanjikan memberikan forum yang seluas-luasnya
bagi pengembangan kelompok kepentingan dan sebagai sarana penyaluran
opini (Asih, 2011).

Di Indonesia, penggunaan internet sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu


1997, di mana kontestan Pemilu saat itu: Golongan Karya, Partai Demokrasi
Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan, masing-masing memiliki situs
resmi. Informasi dalam situs tersebut meliputi program partai, pernyataan
politik, susunan pengurus pusat/daerah, AD/ART, dan kesempatan dialog
dengan pengurus. Pada Pemilu 2004 dan 2009 penggunaan internet semakin
meningkat pada partai politik, individu calon legislator, calon presiden dan
calon wakil presiden (Putra, 2011).

Media sosial memang mulai dilirik dalam kurun waktu sekitar lima tahun
terakhir. Para politisi dalam kampanye pemilihan umum pilkada dan pilpres
lalu telah aktif memanfaatkan YouTube untuk memposting video kampanye
kreatif mereka. Bahkan sempat ada game online yang memiliki alur cerita
seperti game Angry Birds, dengan tokoh utama Jokowi.

a. Penggunaan Media Sosial bagi Aktor Politik


Media sosial belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik oleh para aktor
politik di Indonesia. Tantangan pertama adalah hilangnya batas-batas
status sosial di dunia media sosial. Menurut Coutts & Gruman (2005: 254)
dalam komunikasi yang termediasi dengan komputer, maka para peserta
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

komunikasi akan mendapatkan kesetaraan partisipasi yang lebih luas


daripada tatap muka. Pendapat tersebut memang mengacu pada aktivitas
komunikasi dalam organisasi. Namun relevan apabila dibawa ke dalam
konteks komunikasi politik di era media sosial. Dengan adanya media
sosial, maka para aktor politik pun harus menyadari meskipun dia secara
riil adalah pejabat tinggi atau partai politik yang berkuasa, tetapi posisinya
di media sosial akan setara dengan user lain.

Para aktor politik harus siap-siap saja menghadapi kritik (bahkan beberapa
di antaranya cenderung pedas) user lain. Media sosial merupakan rimba
raya, dan praktis tidak ada peraturan di dalamnya (Fitch, 2009). Apabila
tantangan itu tidak dihadapi dengan bijak, maka hasilnya aktor politik
tersebut justru malah menjadi bahan cibiran di dunia maya. Diberitakan,
ada pejabat publik, beberapa kali terlibat perdebatan –dan itu mengenai
hal-hal yang tidak substantif—dengan user lain di media sosial. Selain itu
para aktor politik tidak bisa lagi menggunakan media sosial sebagai sarana
untuk “curhat”.

Media sosial telah mengaburkan pemahaman orang, apakah yang


dikatakan tersebut merupakan sikap resmi atau hanya ungkapan pemikiran
atau perasaan dia sebagai pribadi. Sikap resmi atau institutional rhetoric
dan ungkapan pribadi atau everyday talk sering tumpang tindih (Finet,
2001: 274-276). Seseorang akan salah persepsi apakah curhat yang
dilakukan oleh aktor politik di media sosial merupakan ungkapan dirinya
sebagai pribadi atau mewakili institusinya. Persoalannya aktor politik di
Indonesia masih belum menyadari bahwa dalam berkomunikasi di media
sosial memerlukan kemampuan tersendiri. Kemampuan di sini tentu tidak
hanya kemampuan teknis, tetapi mentalitas.

Kehadiran media sosial menuntut para pelaku politik untuk beradaptasi.


Namun para pelaku politik tersebut sering kesulitan dalam fase adaptasi ini
(Chavez, 2012). Ada beberapa hal yang berkaitan dengan “mentalitas lama”
(old mentalities) seperti yang disebutkan di atas – dan hal ini umumnya
dialami oleh organisasi yang menggunakan media sosial. Salah satunya
adalah mengabaikan sifat interaktif yang ada di media sosial.

Dalam era politik kontemporer, politisi harus memikirkan audiens interaktif


dan kapasitas mereka untuk menjawab, menanggapi, mendistribusikan dan
memodifikasi pesan yang mereka terima. Penelitian Asih (2011)
mengungkapkan bahwa partai politik di Indonesia mayoritas belum
memaksimalkan media sosial dan media baru. Faktor interaktifitas
diabaikan. Dari 14 parpol peserta Pemilu 2014, seluruhnya memiliki
website. Sayangnya situs web tersebut belum dimanfaatkan secara
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

maksimal sebagai media komunikasi dua arah. Hampir di semua website


parpol tidak tersedia forum yang memungkinkan komunikasi dua arah.
Kalau pun tersedia, forum ini tidak dapat diakses. Facebook dan Twitter
yang digunakan oleh politisi dan partai politik ternyata isinya hanya untuk
menginformasikan hal-hal yang baik-baik saja. Transaksi informasi yang
terjadi didominasi oleh posting-posting yang disampaikan oleh simpatisan
parpol atau politisi.

Politisi dan partai politik sekadar latah menggunakan jejaring sosial untuk
berinteraksi. Media sosial masih dimanfaatkan sebagai media kampanye,
belum interaktif, belum aspiratif. Padahal media sosial memiliki potensi
sebagai sarana untuk mendengarkan suara masyarakat. Di era interaktif
digital, produksi pesan dan citra politik malah justru menjadi hal yang
rawan untuk "diganggu". Pelaku politik harus mempertimbangkan
kemungkinan bahwa pesan-pesan mereka akan dimodifikasi oleh pihak lain
ketika pesan tersebut disampaikan melalui media sosial.

Lingkungan media digital tidak menghargai integritas informasi: ketika


informasi itu sudah dipublikasikan secara online, maka siapa pun bebas
untuk memodifikasinya (Gurevitch, et.al 2009). Para pengguna internet tak
tertarik untuk mencari rekam jejak atau program yang ditawarkan oleh
politisi. Sebaliknya, ada kecenderungan di masa kampanye Pemilu, internet
justru digunakan untuk mengolok-olok politisi dan menyerang politisi yang
tidak disukai (Momoc, 2011).

b. Media Sosial Sebagai Sarana Branding


Kelemahan partai politik dan politisi di Indonesia adalah hanya “menyapa”
konstituen biasa/pendukung biasa setiap lima tahun saja, yakni menjelang
pemilihan umum. Jika tidak mendekati pemilihan umum, partai atau politisi
hanya menyapa pendukung-pendukung yang kaya (Wasesa, 2011). Padahal
masyarakat biasa pun perlu disapa. Dalam proses branding kepada
masyarakat, dibutuhkan berbagai cara agar penyampaian pesan dapat
efektif tertanam ke benak publik. Salah satu cara yang dianggap efektif dan
efisien saat ini adalah melalui penggunan new media. Dengan
mengandalkan kemampuan internet dalam menyebarkan pesan secara
many to many, tokoh personal tersebut secara cepat dapat merasakan efek
positif yang diberikan oleh new media. Branding menggunakan new media
yang diwakili oleh media sosial dapat berefek positif untuk perusahaan
maupun dalam kasus ini adalah personal. Hal ini didukung oleh
kemampuan internet dalam menjangkau masyarakat yang sebelumnya
terabaikan lewat branding dengan cara lama.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kesuksesan branding melalui media sosial ditentukan oleh pengelolaan


media sosial secara up to date dan senantiasa menjaga komunikasi secara
konsisten dengan menggunakan struktur percakapan yang sedang
berkembang dalam lingkungan masyarakat (Lipiainen & Karjaluoto, 2012).
Menjaga pengelolaan media sosial yang selalu up to date serta melayani
publik dalam memberikan informasi tidaklah mudah. Konsistensi menjadi
kata kunci yang perlu dipahami seluruh pihak. Selain itu politisi juga
menghadapi tantangan lain terkait penggunaan media sosial sebagai upaya
pembentukan branding yakni menampilkan pribadi sesuai dengan harapan
masyarakat (Guervitch, et.al., 2009).

Berdasarkan penelitian yang berkembang, penggunaan media sosial


mempunyai beberapa keuntungan strategis. Secara garis besar keuntungan
yang dihasilkan dari branding menggunakan media berbasis internet adalah
mudah, murah, praktis, dan efektif (Anshari, 2013). Konsep mudah yang
diusung dari penggunaan media sosial adalah kemudahan yang ditonjolkan
dari sistem internet dan penggunaan media sosial. Dengan sekali tekan
“push” dari satu tempat, sebuah pesan dapat cepat menyebar dan dibaca
serta diketahui oleh seribu bahkan seluruh orang. Bayangkan dengan
pengunaan branding model lama yang memakan space di beberapa titik
pentig. Belum lagi harus menyebarknnya ke seluruh kota di Indonesia.

Lewat media sosial, penyebaran cukup dari satu titik namun jangkauan
langsung menyebar ke seluruh pelosok yang masih terjangkau daya
internet. Harga yang harus dikeluarkan juga menjadi pertimbangan utama
dari penggunaan media sosial sebagai alat branding. Cukup dengan
mengoptimalkan peran fitur di media sosial, maka pesan akan sampai
dengan sendirinya kedalam benak masyarakat. Hanya dengan kekuatan
internet satu pesan dapat tersebar ke banyak pihak, sesuai dengan sifat
internet, yakni many to many. Namun masih banyak juga tokoh politik yang
mengedepankan old fashion branding dengan pemasangan baleho,
spanduk, hingga poster yang menonjolkan kemampuan serta kelebihan
yang ditawarkan oleh dirinya jika terpilih. Hal ini dikarenakan banyak tokoh
politik yang masih percaya bahwa pemilih yang tinggal di pelosok tidak
mahir dan belum paham akan penggunaan internet.

Penggunaan media sosial dapat menghemat biaya politik. Biaya


pemasangan spanduk dan sejenisnya dapat diminimalisir dengan ketepatan
dan ketelatenan dalam memberikan informasi di media sosial. Praktis juga
menjadi keuntungan tersendiri, sifat branding yang cukup praktis karena
dapat menjangkau seluruh kalangan, tanpa perlu mengkotak-kotakan
warga.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang mencapai angka 75 Juta,


merupakan cara yang lebih praktis jika branding dipusatkan kepada
penggunaan media sosial. Namun begitu dari sisi efektifitas belum dapat
dilihat dengan tepat, dikarenakan fokus dari penelitian ini bukanlah
efektifitas dari branding menggunakan media sosial. Efektifitas baru dapat
diukur setelah usainya pemilihan tokoh politik tersebut. Namun dari
banyaknya penelitian serta contoh studi kasus yang terjadi di lapangan,
dapat dilihat bahwa penggunaan media sosial sebagai sarana branding
dapat berjalan mulus. Dengan mengambil contoh studi kasus pemilihan
gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, yang meloloskan Anies – Sandi
sebagai pemenenang. Proses kampanye hingga branding yang mereka
jalankan banyak menggunakan bantuan media sosial seperti facebook,
twitter, hingga youtube. Sehingga tidak salah jika ada kemungkinan
branding yang dijalankan dengan media sosial dapat menuai hasil yang
positif.

1. Sosialisasi Politik dan Partisipasi Politik


Perkembangan teknologi informasi yang pesat, dengan sumber dan akses
informasi yang tidak terbatas, berdampak langsung pada komunikasi politik
pengambilan keputusan. Saat ini setiap orang yang terlibat dalam aktifitas
politik, informasi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mengambil
keputusan. Media sosial memainkan peranannya, dengan memudahkan
masyarakat untuk aktif menyuarakan pendapat dan pandangan mereka yang
berbeda. Hal ini merupakan fenomena yang juga turut berpengaruh dalam
komunikasi politik.

Kehadiran teknologi smartphone dengan media sosialnya telah menjadi


alternatif bagi public untuk mengekspresikan sikap dan opininya sehingga
proses sosialisasi politik menjadi semakin Kompleks karena melibatkan
teknologi komunikasi baru yang semakin marak digunakan masyarakat
modern. Karakteristik sosial media yang cepat interaktif mempengaruhi pola
pola pola sosialisasi hingga terbentuknya budaya baru. Sementara media
massa tanah air yang diharapkan menjadi medium sosialisasi politik dan
persoalan sosial ekonomi budaya dan sebagainya telah menjadi alat politik
yang dikuasai oleh kepentingan tertentu, akibatnya informasi data dan fakta
yang diterima oleh masyarakat melalui media massa tentang berbagai isu
politik acapkali telah jadi bias, vague, tidak jelas. Berita dan isu sudah diframe
atas kepentingan tertentu oleh media yang bersangkutan. Sosialisasi politik
menjadi faktor yang sangat penting yang mempengaruhi voting behavior.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Membangun Citra Politik


Citra politik menjadi salah satu tuntutan untuk membangun kepercayaan
calon pemilihnya. Membangun citra politik sangat penting di tengah
membanjirnya informasi politik khususnya tentang pemilu. Setiap partai harus
memiliki strategi masing-masing agar dapat tertanam dibenak para pemilih
sehingga dapat dipastikan menjadi pemenang. Citra dapat dikategorikan
sebagai strategi positioning suatu partai politik diantara partai-partai lainnya.

Citra juga terkait dengan identitas sebuah partai politik dan tokoh-tokoh
politik yang terlibat di dalamnya. Citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri
publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan diri suatu
objek, orang atau organisasi. Dari ungkapan tersebut , citra itu dengan sengaja
perlu diciptakan agar bernilai positif. Citra itu sendiri merupakan salah satu
aset terpenting dari suatu perusahaan atau organisasi. Istilah lain
adalah favorable opinion.

Jelang pemilihan Kepala daerah, legaislatif dan Pemilihan presiden 2019


mendatang, pencitraan media sosial menjadi sangat penting mengingat
persaingan untuk pemilu semakin sengit, dinamis dan ketat. Semua tokoh
politik maupun partai politik berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian
dan simpati masyarakat. Masyarakat Indonesia pengguna dan penggiat media
sosial sangat antusias mengikuti perkembangan politik jelang pemilu 2019,
sebagai referensi mereka dalam mempelajari dan memilih pemimpin yang
sesuai dengan kriteria mereka. Gegap-gempita pemilu presiden mulai hangat
diperbincangan di media sosial. Para pengguna media sosial konsisten
menyuarakan sikap kritis terhadap penyelenggaraan kekuasaan baik di tingkat
pusat maupun daerah. Publik tidak lagi berharap tidak lagi fokus pro kontra
calon presiden yang akan datang, yang ada adalah sikap kritis sekaligus
proporsional terhadap pemerintah, DPR, lembaga yudikatif, partai politik, dan
para politisi bahkan unsur masyarakat sipil.

Kehadiran media sosial dimanfaatkan oleh semua pihak; pemerintah, partai


politik, politisi dan lembaga politik lainnya sebagai media komunikasi kepada
masyarakat guna menginformaksikan program-programnya. Pengguna
internet pun semakin meluas, tidak hanya kalangan atas yang bisa
menggunakannya, namun seluruh lapisan masyarakat dapat mengaksesnya,
seiring semakin mudahnya mengakses internet melalui laptop, bahkan
perangkat telepon genggam. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik
untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka,
serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Media
sosial kini telah berkembang dengan pesat. Dengan kecepatan dalam
penyebaran informasi dan komunikasi yang bersifat timbal balik.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Fasilitas situs jejaring media sosial dimanfaatkan oleh tokoh politik untuk
bersosialisasi dengan mengunggah foto-foto maupun video kegiatan atau
program yang sedang dan telah di jalankan. Tokoh politik juga seringkali
bersikap responsif melalui media sosial terhadap isu atau pemberitaan yang
negatif terkait dengan dirinya. Melalui situs jejaring media sosial, para tokoh
politik menggunakannya untuk berbagai macam kepentingan politik salah
satunya adalah kampanye politik. Kekuatan situs jejaring sosial facebook dan
twitter tidak diragukan lagi memiliki dampak yang cukup signifikan bagi
perubahan sosial masyarakat. Bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo
(Jokowi) membuat akun facebook dan Twitter pribadi untuk berkomunikasi
dengan masyarakat secara langsung.

Penggunaan situs jejaring sosial di kalangan tokoh politik menjadi perhatian


masyarakat pengguna facebook dan twitter. Hal tersebut bukan lagi menjadi
sebuah fenomena, tapi sesuatu yang wajar dan mutlak adanya di era media
baru kekinian. Melalui situs jejaring sosial facebook dan twitter ini masyarakat
dapat melihat status atau tweet terbaru yang di keluarkan oleh tokoh politik.
Tweet atau status terbaru yang dikeluarkan oleh tokoh politik ini kadang sarat
akan muatan politik.

3. Pembentukan Opini Politik


Orde reformasi telah membuka ruang di mana ekspresi politik rakyat dalam
sebuah proses politik. Bagaimana appeal media sosial dalam menggencarkan
opini rakyat terhadap suatu proses politik atau kasus dengan muatan politik
yang tinggi. Kalangan kelas menengah perkotaan adalah tulang punggung dari
mobilisasi media sosial ini. Berbekal kedekatan personal di dunia nyata,
mereka pun terbagi ke dalam cluster-cluster yang membentuk opini mengenai
isu-isu kemanusiaan di dunia maya. Salah satu yang paling menonjol adalah
isu antikorupsi. Perhatian publik terhadap pemberantasan korupsi,
mendorong mereka giat menyebarluaskan informasi di media sosial. Isu-isu
sosial dan politik mendapat banyak respons melalui media sosial. Banyak
pihak yang benar-benar memanfaatkan media sosial untuk berbagi pesan,
berimplikasi membangun opini untuk mendukung tujuan politik tertentu.

Media Sosial juga mengurangi hambatan tradisional sosio-ekonomi untuk


menjadi sosok yang terkenal. Barangkali disinilah letak nilai tambah utama
dari media sosial, di mana anda tidak harus "menjadi orang" untuk "menjadi
seseorang" di media sosial. Media sosial memiliki keleluasaan untuk dibentuk
secara mandiri oleh kalangan kaum muda. Dari aspek jangkauan pesan yang
tersampaikan pun, media sosial memperlancar apapun format hubungan yang
dibangun, selain tentunya, bagaimana komunikasi diproduksi, direproduksi,
dimediasi, dan diterima. Mereka juga diantar untuk memasuki dan terlibat
dalam rezim baru citra visual di mana budaya layar menciptakan peristiwa
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

spektakuler, seperti halnya ketika mereka merekam diri sendiri dan


menyebarluaskannya (postings) ke Blackerry, Twitter dan facebook sekaligus,
untik dibaca oleh ratusan, ribuan bahkan jutaan orang. Keadaan seperti itu,
kekuasaan negara menjadi lebih menyusut, ada kesan, berkurang daya
kontrolnya. Pesan teks di Facebook, Twitter, YouTube dan Internet telah
memunculkan reservoir energi politik yang mengemukakan relasi baru antara
teknologi media baru, politik, dan kehidupan publik. Teknologi digital ini
ternyata cukup “powerful” untuk dimanfaatkan dalam proses pembentukan
opini dan berlangsungnya kegiatan di tengah kelompok-kelompok
masyarakat.

4. Opini Publik dan Kekuasaan Politik


Penelitian dalam komunikasi, psikologi, dan sosiologi menyatakan bahwa, cara
pandang manusia akan sangat ditentukan oleh jenis dan volume informasi
yang mereka terima. Implisit dari penelitian-penelitian ini adalah bahwa kita
dapat membentuk opini publik melalui informasi yang kita berikan. Ketika
kekuatan politik ingin mendiskreditkan image politik lawan, yang perlu
dilakukan sudah cukup dengan membanjiri informasi di media sosial dengan
hal-hal buruk yang dilakukan lawan politik. Begitu juga sebaliknya, ketika ingin
membentuk image positif dari publik, cukup dengan membanjiri media massa
dengan hal-hal positif dari suatu partai atau kandidat. Sulit sekali untuk
menyembunyikan kebobrokan perilaku dewasa ini. Informasi dan berita tidak
mengenakkan akan dapat dengan mudah tersebar melalui media sosila, dan
bentuk-bentuk pemberitaan lainnya.

Pemberitaan media sosial sangatlah efektif dalam membentuk opini Sehingga


media sosial memainkan peran yang sangat penting dalam berpolitik dewasa
ini. Peningkatan posisi tawar-menawar akan sangat tergantung seberapa
besar dapat memengaruhi opini publik untuk dapat berpihak kepada
partai/calon. Hubungan itu tidak akan se-sederhana dan selinier ini. Terdapat
banyak sekali gangguan (noise) yang dapat menjauhkan dari tujuan semula.
Beberapa gangguan dapat disebabkan oleh usaha yang dilakukan partai/calon
untuk mengklarifikasi informasi, menyatakan image positifnya, dan menolak
tuduhan yang diberikan lawan politik. Selain itu juga terdapat bias persepsi
dari setiap individu. Informasi yang diberikan tidak selalu diartikan sama
seperti yang dimaksudkan oleh si pengirim informasi.

Kemampuan untuk membentuk opini publik ini membuat media sosial


memiliki kekuasaan politik. Paling tidak, media memiliki kekuasaan untuk
membawa pesan politik dan membentuk opini publik. Dalam hal ini, media
sosial menjadi kekuatan kritis dan alternatif. Karena itu, tidak mengherankan
kalau keberadaan media sosial Indonesia tidak dapat dijelaskan oleh
rasionalitas ekonomis saja. Hal ini juga terkait erat dengan hegemoni
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

masyarakat pengguna medsos untuk berkuasa. Ide, gagasan, dan isu politik
akan dapat dengan mudah ditransfer dan dikomunikasikan melalui media
sosial. Hal ini membuat kekuasaan politik tidak hanya ada di tangan partai
politik, tetapi juga siapa pun yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi
kebijakan publik. Kenyataan tentang pentingnya media sosial bagi partai
politik/politisi telah lama disadari.

1. Kekuatan Rakyat di Media Sosial


Metode kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat
umum mulai terasa hampa. Di balik keramaian massa dengan berbagai
atribut, terasa sepi makna. Keramaian ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai
berpindah ke ruang-ruang maya. Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuduh
secara frontal begitu bebas terjadi di berbagai media sosial. Untuk kalangan
yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif
ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini
tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan
teman atau koleganya di media sosial.

Di dunia maya, setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Di media
sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki
kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang. Inilah kelebihan
media sosial: efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide,
termasuk isi kampanye via media sosial, berlangsung amat cepat dan hampir
tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit, informasi tersebar
luas ke seluruh follower, begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multi-
level marketing.

Efektivitas media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif.
Karakteristik media sosial sendiri juga merupakan kekuatan. Media sosial
adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap individu saling memengaruhi.
Setiap orang memiliki pengaruh di komunitasnya. Pengguna media sosial
yang well inform tidak mudah dibohongi, tapi mudah terpengaruh dan
simpati pada hal-hal yang membuat mereka tersentuh. Ketenaran dan
kekuatan politik yang sekarang menempel pada Jokowi, misalnya, disumbang
besar oleh perbincangan di media sosial yang mengarah pada kekaguman
setiap orang pada keotentikan dan keseriusan Jokowi selama ini dalam
mengurus rakyat.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di dalam ruang media sosial hanya informasi yang sesuai fakta yang berharga.
Untuk mencapai keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali
muncul perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi
tesis yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di
media sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang
menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul "kesepakatan
sunyi" di antara pihak-pihak yang berdebat beserta para "pendengarnya".
Karena sifatnya yang memiliki rentang waktu panjang, media sosial tidak
memiliki pengaruh signifikan untuk kampanye yang sifatnya mobilisasi. Kerja-
kerja di media sosial bergerak perlahan dengan membincangkan visi, misi, ide,
ideologi. Pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak
dengan kemauan dan kesadaran sendiri.

Media sosial hanya berpengaruh signifikan bagi politikus yang bekerja


sepanjang waktu. Bukan pekerjaan instan lima tahun sekali. Mereka yang
intens menyebarkan ide-ide dan berdiskusi dalam bidang tertentu secara
mendalam sepanjang waktu akan mendapat hasilnya saat pemilu. Media
sosial tidak cocok untuk politisi "kosong", tapi hanya bagi mereka yang punya
kemampuan berpikir dan berdialektika. Media sosial juga tak cocok bagi yang
egois, melainkan bagi mereka yang memiliki kepekaan dan kepedulian
terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Hanya politisi yang
memiliki simpati dan empati terhadap permasalahan rakyat yang akan menuai
simpati dan empati publik.

Sifat kampanye di media sosial bisa merupakan kebalikan dari kampanye di


dunia nyata. Jika di dunia nyata kampanye begitu berisik, keras suaranya tapi
tanpa bukti nyata, di media sosial adalah antitesis dari berisik dan bising
tersebut, yaitu bermakna. Setiap suara punya arti, memiliki pembuktiannya
sendiri-sendiri. Politik di media sosial bisa merupakan politik sejati, yaitu
politik yang benar-benar berisi ide-ide dan aksi nyata untuk kebaikan umum.
Inilah politik yang memiliki daya dobrak. Berbagai isu sosial yang menjadi
beban masyarakat sering kali mendapatkan solusinya di media sosial. Media
sosial juga dapat di jadikan penyeimbang media cetak dan elektronik yang
sekarang tak lagi mampu mempertahankan independensi dan keadilannya.
Media cetak dan elektronik dimiliki pengusaha yang sekarang masuk sebagai
anggota partai. Kondisi ini menyebabkan media televisi tersebut menjadi
corong partai politik sang pemilik. Di sinilah urgensi media sosial sebagai
media penyeimbang.

2. Opini Mastream versus Kekuatan Media sosial

Dunia politik tidak terlepas dari opini mainstream, yaitu citra di media
manistream dan survey-survey pilkada. Opini mainstream tersebut menjadi
acuan untuk perkiraan kemenangan paslon. Akan tetapi dalam dalam
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

perkembangan media baru sekarang ini, opini mainstream tidak bisa diterima
begitu saja, karena jaringan media sosial sekarang telah menjadi kekuatan
sibernetika milik rakyat. Jaringan sibernetika ini mampu menjaring sampai ke
level personal dan terbukti mampu menggerakkan jutaan orang untuk suatu
gerakan. Kita dapat melihat contoh riil yaitu kegiatan Aksi Bela Islam 1,2,3 dan
terakhir 112.

Gerakan ini tidak lagi dijaring melalui media mainstream dan lembaga-
lembaga survey. Akan tetapi dibangun melalui WA, facebook, twitter dan
media-media sosial lainnya. Sehingga jargon kali ini berbeda dengan jargon
tahun tahun sebelumya, yaitu barang siapa menguasai media mainstream dan
lembaga survey maka akan menguasai dunia. Jargon kekinian, siapa yang
kuasai media sosial, maka kuasai dunia. Kembali pada persoalan pilpres 2019
mendatang, komunikasi sibernetika rakyat mampu membuat kategori kelas
politik terkini. Yaitu kelas penguasa melawan kelas rakyat. Sebagai contoh,
bergelombangnya aksi bela Islam yang diorganisir oleh GNPF-MUI, menjadi
contoh nyata yang kita akui bahwa organisasi Islam ini memimpin kekuatan
rakyat. Apa yang diputuskan oleh GNPF-MUI dengan Habib Rizieq sebagai
Imam Besar, mampu menggerakkan jutaan rakyat bukan hanya dari kelompok
Islam saja, akan tetapi dari kelompok non Islam yang sama-sama
berseberangan dengan kelas penguasa. Dan GNPF-MUI telah memutuskan
untuk tetap mendukung pilkada dki dengan jujur, adil dan mengajak rakyat
untuk mengawasi bersama. Dan tentunya mengajak rakyat untuk tidak
memilih Basuki-Djarot sebagai paslon yang cagubnya penista agama. Selain itu
juga menolak gubernur non muslim. Realitas ini akhirnya menegaskan bahwa
kekuatan rakyat akan memenangkan pertarungan ini. Dan sudah tergambar,
jika kelas penguasa terbukti melakukan kecurangan, maka rakyat akan mampu
bergerak dengan kekuatannya sendiri.

Mengukur kekuatan politik melalui opini mainstream lama, sudah tidak


populer lagi dgunakan dan sudah tidak menarik untuk dijadikan acuan
kemenangan politik yang sesungguhnya. Selain itu opini mainstream yang
dihasilkan melalui lembaga survey, dapat dikatakan menggunakan jaringan
responden terbina yang jarang sekali berubah dari tahun ke tahun. Yaitu
jaringan yang telah terbina di masyarakat untuk memudahkan kegiatan survey
tersebut. Akan tetapi jaringan yang digunakan media sosial, setiap hari
semakin bertambah dan mampu mengoneksikan seluruh lapisan masyarakat.
Kekuatan riil politik saat ini dilakukan melalui pemilih riil, yang mengandalkan
pemilih konsisten yang terbangun atas kesadaran pemilih yang telah cerdas.
Maka untuk mendapatkan kekuatan politik yang diharapkan, dibutuhkan
soliditas para pejuang rakyat melalui media sosial. Pertarungan politik
kekinian, selain dari pertarungan para politisi juga merupakan pertarungan
antara opini mainstream melawan kekuatan media sosial.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Bias Persepsi
Informasi yang disampaikan dalam media sosial tidak selamanya objektif atau
apa adanya. Seringkali terdapat bias informasi. Masyarakat Pengguna media
sosial seringkali menginterpretasikan secara berbeda informasi yang diterima
dari sumber informasi. Interpretasi pengguna medsos mempunyai peran yang
lebih besar ketimbang informasi dari sumber yang menulis. Hal ini membuat
informasi melenceng (umpamanya dipolitisasi, diplesetkan) apa yang
sesungguhnya terjadi atau dikatakan.

Pemilihan informasi yang diterima atau dipublikasikan akan sangat tergantung


pada nilai, paham, ideologi, dan sistem moral yang dianut oleh masyarakat
pengguna medsos. Dalam diri setiap individu pengguna media sosial terdapat
kerangka acuan (frame of reference) yang akan menentukan cara mereka
dalam berpikir dan bersikap terhadap suatu hal. Biasanya hal ini dapat
bersumber dari latar belakang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, suku, dan
keluarga yang ikut membentuk cara berpikir mereka. Karenanya informasi
yang sama dapat diartikan berbeda oleh setiap individu. Akibat berikutnya,
informasi yang dilihat dan dibaca akan diterjemahkan dan disikapi dengan
cara beragam pula. Hal ini juga dapat semakin menjauhkan jarak informasi
yang sebenarnya dengan interpretasi yang dibangun dalam masyarakat.

Hoax atau berita bohong adalah salah satu fenomena yang meramaikan
penggunaan media sosial di Indonesia. Ketua Masyarakat Indonesia Anti-Fitnah,
Septiaji Nugroho (Kompas, 9 Juni 2017), menyatakan bahwa banyak akun di
medsos yang menebar konten provokatif. Akun-akun itu menyusup ke facebook,
twitter, youtube, dan saluran media sosial lainnya. Menebar isu dan kebencian
secara masif dan terdistribusi di jejaring media sosial. Fenomena ini semakin
“menggeliat” jelang suksesi pemilihan umum. Akun-akun palsu tersebut masif
menebar fitnah dan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Hoax
tersebut, turut membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap politik hingga
mengusik harmoni sosial dan nilai dan tatanan demokrasi di tanah air. Media
sosial sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, menjadi
berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai
oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh”
demokrasi.

Pertanyaan fundamental yang muncul: media sosial akan menjadi kawan atau
lawan demokrasi? Ada 3 (tiga) aliran: pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran
pertama tak yakin media sosial bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah
sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul media sosial
akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem mendorong sisi demokratis
media sosial, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi
antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003)

Internet sebagai pendukung utama Media sosial memiliki 9 (sembilan)


karakteristik khusus yang mampu mengikis otoritarianisme, yaitu: menembus
batas fisik, nirkontrol, meningkatkan kemampuan kekuatan sipil untuk berserikat
secara bebas, meminimalisasi kontrol negara atas warganya, membuat negara
dilema (menggunakannya atau tidak), kekuatannya tak terbendung, memaksa
pemerintah untuk lebih demokratis, memberdayakan kekuatan sipil, dan
memperluas akses edukasi publik (Simon: 2003).

Ketika awal mula kelahirannya, karakter inilah yang diyakini akan mengangkat
demokrasi analog ke level yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu demokrasi digital.
Tapi kenyataan tak seindah harapan. Faktanya, rezim di beberapa negara
ternyata juga sukses memanfaatkan internet untuk memperkuat kuasa
totaliternya. Mereka memanfaatkan media sosial untuk kapitalisasi ekonomi
saja, namun membungkamnya ketika masuk domain politik. Benar yang
dikatakan David Gompert (1998), teknologi informasi adalah sine qua non dari
globalisasi dan kekuatan. Teknologi mengintegrasikan ekonomi dunia dan
menyebarkan kebebasan, tapi pada saat yang sama menjadi faktor penting bagi
militer dan bentuk-bentuk kekuatan lainnya.

Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap


internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat
ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang
menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi
masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet
mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan.
Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi
manfaat lainnya (Simon: 2003). Wajah ganda internet ini terasa hingga era media
sosial, salah satu “bayi” yang dilahirkannya sekarang ini. Jika bukan karena media
sosial, Arab Spring tak akan pernah jadi kenyataan. Tapi, “berkat” media sosial
pula kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bisa menyebarkan ideologi dan
produk terornya ke seantero dunia (Abdel Bari Atwan, ISIS, The Digital Caliphate:
2015).

Dalam The New Digital Age (2013), Eric Schmidt dan Jared Cohen, dua punggawa
Google, mengkhawatirkan terjadinya kebangkitan teroris peretas. Kelompok ini
sangat tertolong dengan adanya platform digital untuk merencanakan,
mengerahkan, mengeksekusi, dan yang terpenting merekrut anggota
kelompoknya. Di sisi lain, Schmidt dan Cohen melihat cerahnya masa depan
dunia dengan kehadiran teknologi digital. Pada wilayah politik, faktanya semakin
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

anomalis: Barack Obama yang moderat dan proglobalisasi lahir dari rahim media
sosial, tapi Donald Trump yang konservatif dan proteksionis juga lahir dari “ibu”
yang sama. Bahkan, dalam batas tertentu, Trump dimenangkan oleh “hoax”
(berita bohong), sisi gelap dari media sosial itu sendiri. Salah satu bukti, betapa
ambivalesinya media sosial.

Fenomena “hoax” ada dalam konteks ambivalen ini. Karenanya, membedah hoax
dengan fokus pada instrumen atau alatnya kurang tepat. Ini sesuatu yang
integral dalam teknologi komunikasi-informasi, dan tidak bisa dipecah-pecah
ketika demokrasi mengakomodasinya sebagai instrumennya. Yang harus
dilakukan adalah mengantisipasi sisi gelap media sosial (hoax), sekaligus
memaksimalkan sisi terangnya (demokrasi). Karena media sosial hanyalah satu
instrumen di antara sekian banyak instrumen yang mewarnai sejarah panjang
perjalanan demokrasi.

Sebelumnya telah lahir instrumen teknokratis lain, dan ke depan juga akan
digantikan oleh yang lebih inovatif. Black campaign marak terjadi di era awal
munculnya media cetak dan televisi. Namun, dengan kedua media itu demokrasi
mencapai kematangannya dan memperluas area partisipasi publiknya. Media
sosial juga dimanfaatkan secara kreatif oleh pemilih sebagai alat partisipasi
politik yang baru. Hoax merupakan implikasi tak terpisahkan dari alat partisipasi
politik baru yang bernama media sosial ini. Potensi terjadinya konflik sosial-
politik semakin mudah karena difasilitasi secara maya. Media sosial alat yang
sangat potensial untuk memperkuat sekaligus memperluas demokrasi yang
mengalami krisis partisipasi.

Media sosial juga telah menjadi energi baru yang membuat kekuatan sipil
tumbuh menjadi “Daud” sosial-politik yang mampu menandingi supremasi
“Goliath” kekuasaan. Media sosial membuat masyarakat sipil lebih mudah
menjalankan perannya sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan dan
penyangga negara. Namun, di sisi lain, potensi positifnya ini paralel dengan
potensi negatifnya untuk mencederai dan melemahkan demokrasi. Lihat saja
bagaimana Amerika Serikat marah bukan kepalang menuduh Rusia telah
mengintervensi pemilihan presiden dan mendorong kemenangan Trump. Negeri
punggawa demokrasi dengan sistem pemilihan umum paling aman dan canggih
teryata bisa dibobol dengan kecanggihan tekhnologi. Tekhnologi yang oleh
Gedung Putih digunakan sebagai pagar mengamankan penyelengagran pilpres,
teryata menjadi kuda Troya yang merusaknya dari dalam. Ini sisi gelap media
sosial yang bukan hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara-negara besar.
Gerakan anti hoax harus dijalankan sebagai bagian dari tanggung jawab gerakan
sipil.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sejak era klasik demokrasi selalu memiliki cara beradaptasi dengan perubahan
zaman, termasuk revolusi teknologi komunikasi-informasi. Demokrasi terbukti
memiliki cara, pola pendekatan, dan energi khas untuk memaksimalkan sisi
positif sebuah instrumen baru, sekaligus meminimalisasi sisi negatifnya. Dan
pada setiap era baru teknologi komunikasi-informasi, demokrasi selalu membuka
dirinya untuk dikoreksi kelemahan-kelemahannya, direvisi kesalahannya, dan
“disulam” bagian-bagiannya yang “bolong”. Energi subtil demokrasi yang
membuatnya bisa bertahan melewati bermacam era peradaban. Gerakan-
gerakan sipil anti hoax yang kini digalakkan adalah bagian dari cara demokrasi
beradaptasi dengan instrumen baru yang bernama media sosial. Pada akhirnya
akan terbentuk sebuah fatsun berdemokrasi di dunia digital (media sosial hanya
salah satunya), sebagaimana dahulu sudah dialami era media cetak dan
elektronik. Demokrasi akan dapat menciptakan keseimbangan baru dalam
korelasinya dengan instrumen baru yang digunakannya, baik dengan cara
melihat ke dalam dirinya maupun mempengaruhi ke luar dirinya.

1. Pengertian dan Konsep Buzz


Buzz secara etimologis (arti kata) adalah dengungan/berdengung. Buzzing
adalah suara getaran cepat dan gosip yang terus menerus didengungkan, atau
suara bersenandung seperti lebah atau seperti percakapan umum dalam nada
rendah, atau ekspresi umum, kejutan atau persetujuan.
Untuk membuat suara yang rendah, terus menerus,bersenandung atau bunyi
berdesis, seperti itu dibuat oleh lebah dengan sayap mereka. Edwin SA,
seorang pakar media sosial dari trenologi mengartikan buzz sebagai
‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’ (trenologi.com).

Buzzer sendiri, meminjam istilah dari Twitter buzzer adalah pengguna media
sosial yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain dengan
menyebarkan tulisan. Ia harus mempunyai kemampuan mempengaruhi orang
lain. Pengertian serupa diungkapkan oleh Silih Agung Wasesa dan Jim
Macnamara (2010:395), bahwa buzz lebih mirip dengungan suara lebah,
walaupun tampaknya seperti dengungan tidak beraturan, sekarang Public
Relations memperlihatkan bahwa dengungan tersebut beraturan dan memiliki
pola yang bisa dikembangkan. Ia sendiri mengistilahkannya dengan
istilah buzzword.

Menurut Silih dan Jim, dengungan suara lebah adalah dengungan yang
memiliki banyak makna, tentu saja buat lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi
lebah setiap dengung memiliki arti, sekalipun kita menandainya sama.
Sebetulnya bukan hanya pada lebah, pada setiap kita pun memiliki dengungan
yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota
kelompok yang tidak sama.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Buzz menjadi salah satu kata kunci dalam pemasaran dan public relations
politik terkini, tak pelak metode ini digunakan pada pilpres 2014 lalu dan terus
berkembang sampai sekarang. Metode ini marak digunakan para politisi,
parpol, Tak kercuali pula masing-masing calon presiden (capres) mendatang
untuk mendapatkan dukungan yang fantastis di media sosial. Bukan sekedar
dukungan, juga ‘promosi’ dari para pendukungnya.

Buzzing sukarela dilakukan oleh simpatisan/pendukung juga dapat digerakan


secara terstruktur oleh team kampanye ataupun relawan politik. Kicauan para
baser (buzzer)—sebutan bagi orang yang melakukan buzzing—di media sosial
salah satu yang meramaikan hajatan pemilihan umum (pilkada, pilcaleg,
maupun pilpres). Kata kunci-kata kunci tertentu sering menjadi trending topik
di facebook, di microblogging Twitter. Saling sindir, saling lempar isu,
kampanye politik, kampanye negatif, kampanye hitam, twitwar, dan tagar
capres menjadi hal yang banyak dilakukan oleh para baser.

2. Antara Buzz dan Pemasaran Politik


Pesan merupakan inti dari komunikasi. Sebagai komponen inti komunikasi,
pesan-pesan komunikasi dalam strategi dan taktik komunikasi selalu
mengalami perubahan dan inovasi. Jika pada awalnya, bahasa pemasaran
cenderung ‘kasar’, langsung menembak sasaran untuk melakukan eksekusi
produk. Lambat laun bahasa pemasaran cenderung bersahabat, tidak
langsung menggunakan produk tetapi dengan menggunakan bahasa
komunikasi konteks tinggi. Seperti iklan rokok yang tidak langsung mengajak
untuk merokok, tetapi menggunakan symbol-simbol lain seperti keberanian,
persahabatan, inspirasi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain, reputasi iklan
sedang terus mengalami penurunan (www.inspirasi.co.id), seperti dikatakan
oleh Sumardy, praktisi komunikasi dan iklan. Sumardi mengatakan bahwa
Iklan telah dimatikan oleh word of mouth (WOM) marketing. Sumardy telah
berhasil melakukan strategi pemasaran tertinggi tersebut, yaitu Word of
Mouth. Menurut Tanadi Santoso (tanadisantoso.com), WOM adalah tindakan
yang dapat memberikan alasan supaya semua orang lebih mudah dan lebih
suka membicarakan produk kita. Dalam bahasa sehari-hari disebut getok
tular atau dari mulut ke mulut.

Di Era media digital, konsep Word of Mouth banyak digunakan untuk


kegiatan-kegitan marketing dan Public Relations yang menuntut adanya
penceritaan oleh orang ketiga. Di media sosial bahasa marketing dan public
relations menyatu, walaupun bahasa marketing masih sering ditemui, tetapi
penggunaan bahasa public relation yang halus sering mengisyaratkan dan
menggiring audiens untuk melakukan pmbelian produk. Melalui orang ketiga,
mereka menceritakan sisi positif partai atau seseorang. Hal ini juga yang
terjadi dalam konteks pilpres 2014 lalu. Prabowo ataupun Jokowi menjadi
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

politisi yang banyak diperbincangkan oleh orang ketiga. Sebagai orang ketiga
atau orang yang tidak termasuk ke dalam tim sukses, mereka menggunakan
bahasa mereka sendiri untuk mempromosikan capresnya masing-masing
sehingga bahasanya tidak seragam, bercampur antara bahasa public relations
dan marketing.

Berkaitan dengan metode tersebut dalam kegiatan Public Relations


khususnya, Silih dan Macnamara mengatakan bahwa dlam konteks PR,
hasil buzzword menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan audiens
target. Dalam kontes yang lebih luas, inilah apa yang disebut oleh
Breakenridge di buku PR 2.0, New Media, New Tools, New audiences (FT
Press, 2008), sebuah situasai dimana audiensi target sudah menjadi
narasumber informasi itu sendiri. Terlalu lama untuk sekadar mengandalkan
media massa konvensional, karena masyarakat tidak lagi seantusias 5 tahun
yang lalu dalam membaca media massa, terutama media cetak. Kegiatan
public sudah berubah, dimana sebagian besar lebih cenderung mendengarkan
perbincangan yang terjadi diantara mereka sendiri. Mereka menciptakan kata-
katanya sendiri, pemahaman sendiri dan terutama yang dihasilkan oleh
komunitas mereka sendiri. Itulah kata-kata mereka. Menyingkatnya dengan
istilah Buzzword (2010:396).

Dengan penceritaan oleh orang ketiga tersebut, mereka tidak hanya pandai
menyampaikan tetapi juga menguasai ‘product knowledge’, mereka menjadi
narasumber-narasumber baru yang mandiri, menyampaikan informasi capres
yang mereka idolakan. Materi yang mereka sampaikan di media sosial sangat
beragam, dari mulai ketokohan, argumentasi kenapa harus menjatuhkan
pilihan pada calon, rekam jejak, kegiatan-kegiatan harian, sampai bicara
silsilah keluarga calon presiden.

Menurut Silih (2011:118), orang ketiga dalam public pelations politik sengaja
diciptakan sebagai penyampai pesan utama. Oleh karena itu, buzzword tepat
berdiri sebagai public relations, sementara iklan politik yang disampaikan
orang ketiga dijadikan sebagai pemberi testimoni. Orang ketiga
dalam buzz public relations berbicara berdasarkan keyakinan dan kompetensi
orang tersebut, mereka berdiri di atas komunitas sosialnya. Mereka berbicara
dari sudut pandangnya sendiri terhadap kapabiltas capres. Dalam hal ini peran
merekasebagai buzzer mensinergikan antara panggung, actor, dan peran yang
harus dimainkan.

Panggung merupakan tempat-tempat sosial. Media massa, media sosial, atau


kelompok target audiens. Sedangkan aktor adalah orang-orang yang bisa kita
jadikan juru bicara tidak resmi, dan mereka memiliki visi dan kepentingan
yang sama. Buzzer dalam hal ini menjadi aktor yang memainkan peran di
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

segala ruang di atas; media massa, sosial media, atau kelompok target
audiens. Berikut perbedaan iklan politik dan public relations politik:

Tabel 5. Perbedaan Iklan dan publikasi


Political Advertising Political Public Relations
1. Kredibilitas pesan lebih kuat
1. Jangkauan luas dan seketika, karena lebih banyak
terutama jika menggunakan memanfaatkan third party
televisi nasional. endorser, atau third program
2. Pesan dapat lebih terkontrol endoser.
karena kita membeli space di 2. Biaya relative lebih rendah
Kelebihan
media massa. karena kita tidak harus
3. Penyampaian pesan membeli space di media
dikembangkan melalui massa.
kreatifitas iklan yang 3. Keterampilan penyampaian
menggugah. pesan dikembangkan melalui
simulasi di lingkungan sosial.
1. Proses penciptaan kredibilitas
membutuhkan waktu lebih
1. Kredibilitas pesan lebih rendah
karena pesan harus dibangun
karena disampaikan secara
berdasarkan keyakinan.
langsung oleh pihak yang
2. Memiliki jangkauan yang
bersangkutan.
Kelemahan sama luasnya, tapi tidak bisa
2. Alokasi anggaran lebih besar
secara langsung bersamaan,
karena membeli space di
melainkan
media massa, baik above the
harusclustering sesuai
line ataupun below the line.
dengan karakter target
audiens.
Sumber: Silih Agung Wisesa (2011: 120)

Dalam konteks politik siber (cyber politic), buzz public relations lebih banyak
dilakukan oleh orang ketiga melalui media sosial baik blog, jejaring sosial,
forum, video sharing, microblog, atau pun instagram. Orang ketiga tersebut,
selain isi pesannya beragam, mereka juga berasal dari berbagai latar belakang,
budaya, agama, pendidikan. Mereka disatukan oleh visi yang sama tanpa
terhambat oleh jarak.

Pemilu 2014 lalu, dinamika dan hiruk pikuk politik lebih terasa di ruang-ruang
media sosial. Oleh karena itu, wajar jika pengamat dan media mengatakan,
pilpres tahun 2014 menjadi fenomenal karena diramaikan dan
melibatkan buzzer yang di media sosial. Iklan politik yang disampaikan
melalui buzz walaupun dengan bahasa yang sangat halus, seperti dinyatakan
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sumardy, mengalami penurunan reputasi, sementara publikasi—dalam hal


ini word of mouth—atau seperti dimaksud penulis sebagai buzz memiliki
reputasi yang sangat baik.

Kegiatan buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial, memenuhi
karakteristiknya yang membutuhkan waktu cukup lama. Berbeda dengan iklan
yang bisa dengan singkat melakukan pencitraan. Bagian tulisan ini merupakan
sejumlah kasus-kasus buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial
yang dianalisis berdasarkan konsep-konsep yang telah dijelaskan di atas, baik
media sosial, buzzword, ataupun public relations.

3. Klasifikasi Buzz
Menurut Dudi Rustandi (2014: 54) kegiatan buzzing dapat diklasifikasikan
sebagai buzz berbayar atau dalam konteks komunikasi konvensional dapat
disebut sebagai iklan. Juga ada buzz gratis sebagaimana halnya world of
mouth dalam pemasaran konvensional. Di samping itu, proses kemunculannya
ada yang disengaja, tidak disengaja, ada yang dikoordinir juga tak
terorganisasi tapi muncul begitu saja sebagai gerakan populis.

Iklan sendiri bermetamorfosis menjadi bentuk lain seperti infobiz atau


advertorial yang hampir serupa dengan publikasi dalam media konvensional.
Namun untuk buzz sendiri tidak bisa dilacak apakah sebagai iklan atau
publikasi berbayar atau bukan. Karena tidak menggunakan kode khusus
seperti halnya advertorial dalam media konvensional. Dari pengamatan
penulis, terdapat publikasi berbayar dengan penyewaan space pada beberapa
media, cetak, elektronik, ataupun digital. Dengan pengertian buzz sebagai
sebuah percakapan atau dengungan. Inti dari buzz adalah bagaimana agar
produk atau program dari suatu lembaga diceritakan oleh pihak lain. Tujuan
penceritaan tersebut adalah agar produk atau program lembaganya dikenal
oleh audiens atau konsumen.

Metode yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk


mengenalkan produk dan lembaga mereka agar diceritakan oleh banyak orang
dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan yang kontroversial, undangan
kepada para blogger atau mereka yang aktif di media sosial agar bisa
diceritakan oleh mereka. Menceritakan sebanyak-banyaknya pengalaman
mereka agar bisa dibaca oleh netizen yang berada dalam jejaringnya.
Buzz berbayar, misalnya dapat dicermati dari akun-akun populer yang
memiliki banyak follower di twitterland. Akun tersebut bisa berupa akun yang
dikelola secara profesional dalam bentuk usaha informasi seperti halnya
media mainstream. Bisa juga oleh akun populer yang dikelola secara personal
atau team tapi belum profesional.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sebagai media yang difungsikan untuk menceritakan produk atau program,


karakter yang dimunculkan oleh buzzer berbayar tersebut berbeda dengan
iklan yang dimunculkan oleh media mainstream. Karakter ‘iklan’nya tidak
menunjukan diri sebagai iklan tapi sebagai cerita yang mengalir seolah-olah
tanpa beban ‘iklan’. Karena struktur kalimat dari twit sejak awal sudah
dikonstruk sebagai promosi/iklan, maka kesan yang muncul dalam twitter
sebut sebagai iklan. Sementara buzz, kalimat yang dimunculkan dalam setiap
kicauan tidak dikonstruk sebagai promosi, tetapi sebagai sebuah pengalaman,
cerita yang mengalir saat berhubungan dengan sebuah program, produk, atau
kegiatan lembaga, maka konstruksi kesan pun tidak mengarah kepada iklan
saat ada kalimat promo yang muncul. Inilah yang membedakan buzz dengan
iklan. Oleh karena itu, buzz dalam media konvensional dapat dipastikan sama
dengan publikasi. (Dudi Rustandi, 2014: 55-56)

4. Strategi Buzzing
Menyangkut proses keseluruhan bagaimana tujuan buzzing public
relations tercapai. Dudi Rustandi (2014:56) mengutif Silih dan Jim dalam buku
‘Strategi Public Relations’ menilainya cukup sederhana. Menurutnya
stretegi Buzzing dilakukan melalui kombinasi antara Character,
Consideration, dan Communication. Character merupakan komunitas dimana
audiensi target berkembang dan merasa nyaman, consideration adalah
pertimbangan masyarakat untuk mengambil keputusan ataupun mengubah
pendapat, dan communication adalah pola komunikasi di antara komunitas
utama, komunitas pendukung dan masyarakat dalam arti luas (Silih & Jim,
2010: 397).

Membahas bagaimana strategi 3C (Character, Consideration, Communication)


tersebut diimplementasikan dalam kegiatan edukasi PR dan Promosi
pemasaran, Silih dan Jim mencontohkan secara praktis
bagaimana buzzing bekerja. Menurutnya, secara simple titik buzzing terbagi
dua, yaitu Pertama, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik yang melestarikan
terjadinya sebuah pendapat. Kedua, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik
pendukung yang bisa dijadikan “perantara” buzz hingga mampu mengubah
persepsi audiensi target. Supporting spot ini dijadikan jembatan penghubung
antara 3 C (Silih dan Jim, 2010: 398). Buzz point adalah titik-titik sosial
yang mampu menciptakan pembicaraan. Pembicaraan itu akan menular ke
anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas.

Titik-titik di atas diterjemahkan oleh Silih dan Jim sebagai berikut :


1) Komunitas kelas menengah yang mudah terpengaruhi,
2) orang-orang yang dijadikan referensi oleh kelas menengah,
3) lokasi representative tempat terjadinya pertemuan mereka yang mampu
membuat keterpengaruhan kelas menengah oleh referens.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Apa yang disampaikan oleh Silih dan Jim tersebut dalam konteks kegiatan kopi
darat (offline), kini berlaku di era daring. Jika pada awalnya, perusahaan
tersebut tidak sadar kenapa itu bisa terjadi dan sulit untuk mempertahankan
buzz ini, seperti yang dinyatakan oleh Silih. Di era siber, buzz lebih sering dan
banyak diciptakan oleh lembaga laba ataupun laba baik besar, kecil, swasta,
pemerintah, nasional atau multinasional.

Untuk merealisasikan 3-C (Character, Consideration, Communication), Silih


dan Jim menyarankan agar terlibat langsung di suatu komunitas agar
mengetahui dan faham suara-suara tentang produk yang sedang ada di
pasaran. Jika suara-suara sumbang yang muncul, perusahaan bisa cepat
mengantisipasinya. Menurut Silih, suara tersebut bisa seperti rayap yang bisa
menggerogoti reputasi perusahaan. Namun jika suara positive, bisa lebih
didorong lebih jauh. Sehingga bisa menghasilkan dengungan yang positif.
Inilah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional seperti KFC,
Toyota, Honda, Yamaha, atau dalam kasus politik Prabowo dan Jokowi sama-
sama melakukan metode ini.

5. Metode berkaitan dengan cara melakukan buzzing


Buzzing dilakukan dengan beragam cara, baik dari sisi penceritaan atau media
yang digunakan. Tujuan buzzing sendiri adalah agar produk atau program
cepat dikenal oleh konsumen. Bukan hanya dikenal, penceritaan melalui
orang terpecaya atau oleh oleh banyak orang di dunia maya akan mendorong
seseorang untuk mengenal, mengetahui, faham, butuh, hingga pada akhirnya
melakukan pengambilan keputusan untuk menggunakan produk atau
program yang diceritakan oleh orang lain.

Di era informasi, kebutuhan akan pengetahuan produk dilakukan secara


mandiri melalui pencarian di media siber. Alih-alih menanyakan kepada front
office atau customer service dari produk tertentu, selain akan bersifat
subjektif karena faktor kepentingan yang sangat besar juga cara pencarian
informasi seperti itu tidak efektif dan efisien. Sementara dunia siber
menyimpan banyak arsip tentang informasi yang sedang dibutuhkan.
Informasi ini hadir karena setiap orang dengan sifat dan sikap senang
berbaginya menciptakan informasi-informasi tersebut dalam bentuk catatan
di berbagai aplikasi media siber seperti blog, web, atau media jejaring sosial.
Dengan berselancar di dunia maya, seorang netizen bisa mendapatkan
pengetahuan produk dari berbagai macam sudut pandang, bisa
membandingkan kelebihan dan kekurangan, harga, kualitas dan lain
sebagainya.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Informasi tidak akan didapat jika kontennya tidak tersedia. Konten-konten


tersebut hadir karena ditulis oleh orang secara sukarela. Konten-konten
tersebut tidak diciptakan oleh produsen produk, tetapi pihak ketiga yang
pernah berinteraksi dengan produk tersebut. Kini, media siber menjadi bagian
tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan bisa dikatakan
menjadi jantungnya informasi manusia. Saat semua individu atau lembaga
menyadarinya, konten-konten tersebut tidak hanya diciptakan oleh seseorang
yang senang berbagi/bercerita saat berhubungan dengan produk yang muncul
tanpa terstruktur, tanpa terencana. Namun juga sengaja diciptakan oleh
organisasi secara terstruktur dan terancana untuk mengenalkan sekaligus
membangun citra produk. Mereka tidak hanya menggunakan konsultan PR
tetapi juga menghimpun komunitas agar organisasi beserta produknya
diceritakan oleh blogger, facebooker, atau yang aktif ngetwit.

Dengan menggunakan tanda pagar (hastag) tertentu, produk akan dikenal


dengan mudah oleh para peselancar media siber. Hastag sendiri menyebar
karena sifat keterjangkauan dan koneksi pesan yang saling menerpa. Secara
umum tanda pagar atau tag merupakan kata kunci yang digunakan agar lebih
memudahkan saat pencarian suatu produk. Saat peselancar dunia maya
mencari kata kunci yang dimaksudkan maka akan mengarah pada tagar yang
telah ditulis oleh banyak pengguna media sosial aktif.

6. Buzz Politik di Media Sosial

Perhelatan pilpres 2019 mendatang akan diwarnai dengan buzz dan


buzzing yang begitu kuat. Hal ini nyata akan terjadi, jika kita bercermin pada
pemilu 2014 lalu. Buzz dan buzzing begitu berperan penting dalam
membentuk opini dan wacana di media sosial tentang calon presiden
Prabowo Soebianto dan Joko Widodo. Perhelatan politik di masa datang,
Buzz dan buzzing akan kian masif dan terstruktur seiring teknologi informasi
yang kian berkembang serta adanya ruang baru sebagai saluran komunikasi
politik, yaitu media sosial.

Salah satu yang mendominasi perpolitikan kekinian adalah diramainya pesan-


pesan politik yang berseliweran di media sosial. Para politisi, parpol dan
lembaga politik lainnya giat melakukan komunikasi politik melalui media
sosial. Komunikasi politik terjadi bukan hanya dari pihak pertama; para politisi
dan tim sukses atau relawannya kepada audiens tetapi juga diantara audiens
sendiri sebagai orang ketiga.

Opini personal mudah menyebar, jejaring pertemanan yang membuat satu


opini cepat menyebar. Sehingga berdampak viral. Hal inilah yang membuat
percakapan cepat menjalar, sehingga media sosial menjadi salah satu
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

media word of mouth atau publikasi dan iklan gratis untuk kegiatan
komunikasi politik dan kampanye. Metode yang popular dalam
menyampaikan pesan-pesan politik sebagaimana halnya word of
mouth dalam kegiatan marketing atau publikasi kini popular disebut buzz atau
buzzing .

Komunikasi politik yang dilakukan oleh para pendukung di media sosial


menjadi gaya baru yang fenomenal dalam dunia perpolitikan di Indonesia
kekinian. Fenomena ini berlangsung pada perhelatan pemilu presiden tahun
2014, dimana para simpatisan masing masing capres memberikan pengaruh
cukup besar terhadap keterpilihan figur calon dukungan mereka. Simpatisan
sebagai pihak ketiga, dalam konteks pemasaran (politik), telah melakukan
kegiatan buzzing, mempercakapkan, word of mouth, atau iklan secara gratis.
Kedua Capres diuntungkan dengan banyaknya simpatisan yang
mempercakapkan mereka. Mereka diibaratkan ‘relawan’ yang tidak
terkoordinir dengan team, mereka berada di luar ring, karena sifatnya betul-
betul sukarelawan.

Selain yang sukarela karena simpati terhadap salah satu capres, terdapat
juga buzzer yang dikelola oleh team sukses. Mereka adalah para pekerja
professional yang mempercakapkan capres tertentu namun tidak menunjukan
identitasnya sebagai tim sukses. Amin Rais menyebutnya sebagai cybertroops
namun juga ada yang terang-terangan menunjukan identitas diri mereka
seperti misalnya Jasmev sebagai pasukan media sosialnya dari Joko Widodo.

Pada dasarnya, buzz dalam konteks pemilihan presiden tahun 2014 lalu
merupakan pesan komunikasi politik team kampanye masing-masing kandidat
Presiden. Buzz ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi hasil rekayasa pesan
team media masing-masing Capres. Walaupun pada dasarnya terdapat
relawan atau pendukung yang sama sekali tidak terkait secara struktural
dengan team kampanye, hal tersebut merupakan efek dari buzz-buzz yang
diciptakan oleh team kampanye di media sosial masing-masing calon
presiden. Capres dikonstruksi oleh buzzer sehingga yang muncul adalah capres
yang telah terkonsrtuk baik secara positif ataupun negatif.

Pada era internet, buzz-buzz dengan mudah diciptakan melalui media sosial
yang terkoneksi ke dalam jaringan global (internet), buzz-buzz bisa dengan
cepat diciptakan dan tesebar ke setiap komunitas. Media sosial dan para
pengguna di dalamnya, menjadi partisipan aktif bagaimana melakukan
pencitraan, mempromosikan, bahkan memasarkan politisi yang didukungnya
dengan efektif dan efisien, sehingga dampaknya, bagaimana dukungan yang
terus menguat baik terhadap figur politisi tersebut. Misal, Joko Widodo pun
memiliki team sukses yang secara khusus bergerak di media sosial menjelang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pencalonannya sejak menjadi calon gubernur DKI Jakarta pun menjelang


pencalonnya sebagai Presiden, misalnya JASMEV atau Jokowi Advanced Sosial
Media Volunteers. Walaupun dengan penggunaan nama ‘volunteer’ atau
sukarelawan, Jasmev berperan sebagai team kampanye yang mengambil
segmentasi khusus di media sosial.

Perbedaannya, Jasmev tidak melakukan kampanye Joko Widodo – Jusuf Kalla


secara terpusat pada teamnya saja, tetapi menularkan pengaruh terhadap
pengguna media sosial lainnya yang tidak terlibat sama sekali dalam team
kampanye. Sehingga kampanye yang dilakukan oleh team Joko Widodo tidak
terkesan berasal dari juru kampanye, tetapi dari masyarakat umum. Kesannya
menjadi kuat jika Jokowi benar-benar diinginkan menjadi Presiden oleh
seluruh rakyat Indonesia. Joko Widodo yang memiliki kapasitas sebagai
walikota dibuatkan panggung agar memiliki kapasitas sebagai gubernur oleh
orang ketiga/buzzer, dan setelah menjadi gubernur dibuatkan panggung agar
ia memiliki kapasitas sebagai Presiden. Panggung yang dimaksud adalah
beragam publikasi yang dikaitkan dengan Joko Widodo; harapan, pernyataan,
ulasan ketokohan, rekam jejak, prestasi, atau latar belakangnya.

Seperti diketahui, popularitas Joko Widodo selain karena dukungan yang


penuh dari media massa juga adanya pasukan cyber yang dikelola langsung
oleh JASMEV untuk mengampanyekannya sehingga sosok Joko Widodo
bertambah popular. Begitu juga dengan Prabowo yang popularitasnya masih
tertinggal jauh dari Joko Widodo, semakin hari terus mengejar popularitas
Joko Widodo. Salah satunya didukung team media sosial.

Niken Satyawati, satu dari blogger yang menulis sosok Joko Widodo secara
konsisten. Dari laman-laman tulisannya, Niken menulis semua hal tentang
Joko Widodo; mulai dari Teh Jokowi, peluang menjadi Gubernur, prestasi,
Ibunya, dan lain sebagainya. Dwiki Setyawan melalui laman blog juga menjadi
salah satu blogger yang menulis tentang Joko Widodo. Buku berjudul ‘Jokowi
Bukan untuk Presiden’ merupakan buzz yang dibukukan. Penulisnya adalah
orang ketiga atau yang tidak terkait dengan tim sukses. Baik itu yang sudah
simpatik dengan rekam jejak Joko Widodo ataupun mereka yang tertarik agar
tulisannya dibukukan.

Pada sisi lain, sosok Prabowo yang sudah muncul ke permukaan wacana untuk
mencalonkan diri menjadi Presiden. Para buzzer yang tergabung dalam
komunitas relawan juga membuat web/ blognya dengan khusus seperti
relawan Prabowo-Hatta melalui bloggersatu.com, relawannusantara.com.
indonesiabangkit.org, korps08.blogspot. com, mediaprabowo, dan lain
sebagainya. Di samping itu beberapa media Partai Keadilan Sejahtera menjadi
salah satu media yang melakukan buzzing Prabowo-Hatta. Juga relawan Joko
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Widodo-Jusuf Kalla tidak jauh beda, mereka memiliki kelompok-kelompok


buzzer di kompasiana.com, blogdetik, atau blog lainnya seperti
http://kawanjokowi.org, dukungjokowi.com, dan tersebar di sejumlah blog-
blog personal.

Selain melalui blog yang dikelola oleh masing-masing relawan, mereka juga
bergerak secara individu dan terkoordinir melalui akun-akun media sosial.
Seperti diketahui, kedua capres didukung oleh banyak relawan. Di era media
sosial, para relawan tidak hanya bergerak di dunia nyata, juga di dunia maya
sebagai tempat terhubung dengan orang-orang tanpa terhalang oleh ruang
dan waktu. Mereka juga menciptakan grup-grup di akun media sosial.
Berbagai grup relawan menjadi ajang pertemuan, seperti pada grup Facebook
dan Twitter. Facebook dan Twitter menjadi media yang dapat saling
menghubungkan satu sama lain. Facebook dan Twitter juga menjadi media
untuk membagikan berbagai tautan tulisan berbagai blog/ web/ atau berita
tentang kedua capres tersebut. Melalui media sosial, relawan buzzer tersebut
saling mempengaruhi satu sama lain, saling menguatkan antar sesama fans
capresnya melaui status-status facebook serta twit bahkan menjurus menjadi
twitwar—perang twit antar kubu.

Menjelang pemilihan, kampanye berubah menjadi ‘perang’. Akun-akun media


sosial yang berafiliasi terhadap capres seperti @GarudaPrabowo, @Gerindra
@jokowi4me, @FansGerindra @PDI_Perjuangan, @Relawan_Jokowi, juga
@Jokowi4p yang hadir untuk membantu masing-masing kampanye Capres.
Dalam pandangan Yose Rizal seperti dikutip oleh marketing.co.id
persaingannya relatif ketat antara sentiment negatif, netral, dan positif
(marketing.co.id). Di samping akun-akun yang terafiliasi tersebut terdapat
juga akun-akun yang dikelola secara komunal seperti @PartaiSosmed,
@99army, @Triomacan2000 yang menjadi bagian dari kepentingan kampanye
salah satu dari kedua capres. Di samping akun tersebut, tersebar ribuan akun
individu yang menjadi bagian dari relawan masing-masing capres.

Sebagai strategi kampanye, team Prabowo-Hatta lebih menekankan alur


konten yang mengikuti aturan pusat seperti, tidak diperkenankan melakukan
kampanye negatif atau black campaign. Namun demikian, kenyataan di
lapangan, tidak sedikit pendukung Prabowo yang tidak terkoordinir karena
tidak menjadi bagian dari team. Hal serupa juga terjadi pada team kampanye
Joko Widodo. Namun team Joko Widodo-JK membuat team buzzer berbeda-
beda secara peran untuk melakukan kampanye yaitu ada yang ditugaskan
melakukan negative campaign, defensive campaign, dan offensive
campaign (detik.com).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Perang buzz tentang capres tersebut tidak hanya dilakukan saat menjelang
pemilihan, juga setelah pemilihan, bahkan perang buzz terus berlanjut hingga
saat ini. Prabowo dan Joko Widodo seolah mewakili koalisi partainya masing-
masing saat pemilu presiden. Para pendukung yang masih
melakukan buzz tentang isu kedua koalisi tersebut melalui media sosial. Hal
tersebut tersebut akan terus berlanjut pada pilpres 2019 yang akan datang
dalam metode dan bentuk pergerakan yang lebih agresif, terstruktur,
terdistribusi dan masif.

Lalu bagaimana buzz-buzz tersebut berdampak terhadap para konstituen atau


calon pemilih khususnya sehingga mereka terpengaruh oleh buzz-buzz yang
mereka baca? Satu penelitian tentang kehidupan jejaring sosial pernah diteliti
oleh A. Christakis di Amerika (2010:19-29), bagaimana jejaring itu bisa
mempengaruhi satu sama lain. Seperti dikutip Dudi Rustandi (2013), yaitu:

Pertama, kita membentuk jejaring kita. Dalam konteks kasus buzzing,


kecenderungan orang membangun jejaring atau komunitas di dunia
maya karena adanya kesamaan atau homofili, persis seperti yang
diteliti oleh Yuddy. Kecenderungan keterpengaruhan seseorang secara
afektif karena adanya homofili.
Kedua, Jejaring kita membentuk kita. Selain kita yang membentuk jejaring,
jejaring kita juga membentuk kita. Kita akan saling mempengaruhi
dalam jejaring pertemanan yang kita miliki.
Ketiga, teman mempengaruhi kita. Apa yang mengalir dalam jejaring akan
mempengaruhi kita. Satu penentu aliran adalah kecenderungan
manusia untuk saling mempengaruhi dan saling meniru.
Keempat, Temannya teman mempengaruhi kita. Jika seseorang memiliki
sesuatu dan kontak dengan orang lain, kontak itu cukup untuk dapat
membuat orang kedua mempunyainya juga. Penyebarannya mungkin
memerlukan proses lebih rumit yang melibatkan penguatan oleh
banyak kontak sosial. Teman dan temannya teman akan saling
menguatkan pengaruh.
Kelima, Jejaring sosial memiliki kehidupan sendiri. Jika seseorang ditanya
kenapa memilih produk atau jasa tertentu karena dipengaruhi oleh
media sosial, tidak bisa ditanya satu individu, tetapi harus secara
menyeluruh.

Aturan diatas terjadi pada media jejaring sosial seperti pada kasus buzzing
karena seperti yang dinyatakan oleh Christakis dan James (2010: 44) emosi
menyebar dari orang ke orang karena dua sifat interaksi manusia: punya
kecenderungan biologis untuk meniru orang lain, dan ketika meniru, kita juga
jadi mengalami keadaan internal seperti mereka sehingga sifat
kencederungan terpengaruhi secara efektif dari metode komunikasi buzzing
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

menjadi sangat wajar. Jejaring pada media sosial diibaratkan kelompok-


kelompok pada dunia nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas
pesan dalam jejaring sangat tergantung pada karakteristik kelompok dalam
jejaring tersebut, seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rakhmat (2009:101),
yaitu; ukuran kelompok, jaringan komunikasi, kohesi kelompok, dan
kepemimpinan. Faktor lain berkaitan dengan karakteristik pada anggota
kelompok yaitu; kebutuhan interpersonal, tindakan komunikasi, peranan
anggota dalam jejaring.

Jika ditarik pada konteks buzz di media sosial, tingkat efektifitas


keterpengaruhan anggota pada lingkaran jejaringnya ditentukan seberapa
besar peran dia dalam kelompok tersebut (ukuran kelompok), bagaimana
seorang buzzer berinteraksi dengan teman-teman dalam jaringannya,
terdapatnya tujuan bersama untuk melakukan kampanye salah satu calon.

Jika satu orang melakukan buzz kemudian di buzz ulang (sharing/ retwit) oleh
anggota dalam jaringannya karena memiliki tujuan yang sama untuk saling
menyebaran buzz kemungkinan informasi yang disampaikan berpengaruh
terhadap kognitif, afektif, sekaligus psikomotoriknya. Pada sisi lain, sifat
jaringan komunikasi yang terjadi dalam media sosial lebih egaliter, satu sama
lain, tanpa membedakan status structural dalam kelembagaan team
kampanye akan cukup efektif dalam mempengaruhi para anggota dalam
jaringannya. Apalagi jika terjadi saling apresiasi isi kampanye yang secara
bebas dilakukan oleh buzzer, ini menjadi bagian kohesi yang terjadi dalam
kelompok tersebut. Sehingga pesan-pesan kampanye, sekalipun negatif akan
diamini oleh anggota dalam jaringannya tersebut.

Hal ini sesuai dengan teori kerja buzzing yang ditulis oleh Silih Agung Wasesa
dan Jim McNamara, yaitu adanya pelestarian pendapat dalam kelompok
utama (main buzz spot) kemudian ruang pendukung di dalam jaringan
menjadi perantara agar sampai kepada audiens target (main buzz point).
Melalui Buzz point, pesan-pesan politik diciptakan dan menghasilkan
pembicaraan tentang Capres yang mereka dukung sehingga buzzing politik
menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas.

Menilik prosesnya, titik ini adalah komunitas kelas menengah yang menjadi
rujukan dalam komunitas netizen. Seperti kita ketahui banyak komunitas-
komunitas netizen yang aktif berbagi ilmu sehingga terbentuk komunitas
seperti internet sehat, Relawan TIK, Indonesia Mengajar, atau komunitas-
komunitas blogger. Dalam komunitas tersebut, mereka memiliki figure
rujukan yang dijadikan anutan, katakanlah seperti Onno W. Purbo pakar IT
yang juga ‘gaul’ dengan netizen, atau Nukman Luthfie, konsultan dan
pemerhati media sosial. Juga rujukan-rujukan intelektual seperti Yusril Ihza
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mahendra, atau politisi muda seperti Budiman Sujatmiko, Fahri


Hamzah, Nusron Wahid, atau Fadli Zon. Melalui pakar rujukan tersebut
kemudian masuk dalam komunitas, blogger yang juga menjadi bagian dari
buzzer itu dilakukan oleh masing-masing kandidat. Sehingga wajar, karena
masing-masing punya referensi, seakan para pakar yang dijadikan rujukan
oleh para netizen pun terbelah dukungannya. Buzz-buzz itu tidak muncul
dengan sendirinya, tetapi sengaja diciptakan oleh team kampanye media
sosial masing-masing capres. Apa yang dituturkan oleh Silih dan Jim dilakukan
oleh team kampanye media sosial melalui figure netizen masing-masing
capres, mereka langsung masuk ke dalam komunitas-komunitas yang tersebar
di seluruh Indonesia kemudian menciptakan buzz politik. Sehingga wajar, satu
isu mengenai capres langsung menyebar kepada anggota dalam jejaringnya.

Dalam twitter misalnya muncul tanda pagar (tagar/ hashtag) yang menjadi
trending topic.Buzz-buzz inilah yang kemudian menjadi pusat
keterpengaruhan massa digital dibandingkan dengan iklan karena sifatnya
yang langsung menuju target audiens karena tingkat kredibilitasnya yang
tinggi. Menjadi publikasi gratis atau word of mouth. Dengan menggunakan
bahasa lisan yang dituliskan melalui media sosial dan lebih personal
menjadikan pesan komunikasi menjadi efisien dan efektif. Menurut Roger
Fidler (2003:85), bahasa lisan memberi manusia cara untuk menyampaikan
pengetahuan kolektif, pengalaman, dan kepercayaan-kepercayaan kepada
generasi mendatang, namun dalam konteks ini kepada para netizen.

Komunikasi semacam ini menurut Fidler bertindak sebagai proses simbolis


yang menghasilkan, mempertahankan, memperbaiki, dan mengubah realitas.
Walaupun Fidler mengambil konteks bahasa lisan dalam dunia nyata, hal ini
mewakili percakapan di media sosial yang lebih lugas dengan menggunakan
bahasa lisan sehari-hari tanpa terikat oleh ketentuan formalitas bahasa,
seperti harus mengikuti kaidah EYD. Efisiensi berbahasa tersebut ditemukan
oleh para netizen/ buzzer untuk melakukan kampanye capresnya sesuai
dengan bahasa mereka sendiri. Percakapan melalui media sosial adalah
percakapan lisan yang biasa terjadi sehari-hari di lingkungan nonformal. Saat
menyampaikan buzz sebagai pesan komunikasi politik yang mewakili pikiran,
perasaan, dan pengalamannya lebih mengena dibandingkan disampaikan
melalui media mainstream atau media nirmassa seperti telpon/sms.

Pada sisi lain, buzz-buzz yang diciptakan dan tersebar/terdistribusikan secara


otomatis ke setiap netizen, melakukan konstruksi sosial terhadap capres, baik
secara positif ataupun negatif. Hal ini berdasar pada teori konstruksi sosial
yang dibangun oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Seperti
dinyatakan oleh Bungin (2008:11) bahwa dalam proses sosial, individu
manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

dalam dunia sosialnya. Netizen/ buzzer sebagai individu bebas, sedang


menciptakan realitas para capres sesuai dengan pengetahuan dan
kemampuannya menulis gagasan melalui berbagai saluran media sosial.
Dengan demikian, sosok capres yang muncul baik Prabowo atau Joko Widodo
sebagai realitas capres merupakan hasil ciptaan netizen kreatif melalui
kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Sehingga
menjadi wajar jika pada akhirnya muncul istilah ‘pencitraan’ untuk capres
tersebut.

Konstruksi sosial yang dilakukan oleh para netizen di media sosial akan cepat
mewujud, kerena sifatnya yang mendangkalkan pikiran seperti dinyatakan
oleh Marshall McLuhan. Orang terperangkap di dalam informasi konten yang
dibawanya. Media social membentuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita
melihatnya. Jika kita cukup sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa
diri kita, sebagai individu dan masyarakat. Efeknya tidak terjadi pada tataran
pendapat atau konsep, tetapi mengubah pola persepsi secara terus menerus.

Hal yang Yang menarik dari gegap gempita Buzz dan buzzing di media sosial
adalah fenomena unfriend dan unfollow. Banyak pengguna Facebook terpaksa
mengambil keputusan unfriend terhadap kawan-kawannya yang berbeda
pilihan dan memberi komentar yang dianggap kurang pas. Ada juga yang
memutuskan untuk unfollow, yang artinya tetap bersahabat tetapi tidak ingin
berbagi posting sahabatnya dibaca di linimasa (timeline)-nya.

Betapa dahsyatnya dampak Buzz dan buzzing politik dalam dunia maya,
perbedaan pilihan politik harus memutus persahabatan di dunia maya. Oleh
karena itu melalui strategi penyampaian pesan yang tepat, melalui komunitas
di media sosial, menggunakan komunitor yang dijadikan sumber rujukan para
netizen, dengan karakteristik yang dimiliki oleh media sosial, buzz yang
diciptakan oleh para buzzer telah melakukan konstruksi sosial terhadap capres
pada pemilu 2014 lalu. Melalui konstruksi sosial bukan hanya mengubah
pendapat tapi juga mengubah seseorang menjadi bagian dari komunitas
sosial, mereka didangkalkan pikirannya oleh pesan-pesan yang diciptakan
secara terus menerus oleh para buzzer. Wajar jika pada akhirnya,
para buzzer bukan hanya melakukan buzz mereka juga menjadi pecinta yang
aktif terhadap politisi yang didukungnya.

Deddy Mulyana, (2013; 22) dalam bukunya komunikasi Politik, pada masa
mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Media massa
baik televisi, surat kabar dan juga internet, menjadi media utama kampanye
politik menjelang pilkada, pilcaleg, dan pemilihan presiden 2019 mendatang.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media Sosial ditengah Masyarakat yang Semakin Kritis


Jika kita cermati, apa yang diungkapkan pakar komunikasi Deddy Mulayana,
beberapa tahun yang lalu penomena ini sudah tampak. Para politisi baik calon
kepala daerah dan bakal calon kepala daerah anggota legislatif, kepala daerah,
bahkan presiden tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya.
Mereka juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka,
khususnya twitter dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut
sebanyak-banyaknya, membangun citra atau menyampaikan komunikasi-
komunikasi politik. Para pejabat, politisi atau tokoh nasional yang aktif
menggunakan media sosial di Twitter, dengan jumlah pengikut yang tersebar
di seluruh Indonesia. Namun ada juga akun sebagian pengikut dari tokoh
tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif. Terlepas dari itu
semua, meskipun para politisi ini dapat menggalang dukungan lewat media
sosial, namun tak jarang juga mereka sekaligus mendapatkan serangan dari
khlayak yang tak menyukai mereka di media sosial tersebut.

Tentu saja ini merupakan penomena sosial yang harus jadi pertimbangan para
politkus yang aktif menggunakan media sosial tersebut. Jika di cermati,
banyak masyarakat pengguna media sosial mengkritisi bahkan menghujat
langsung para politikus yang dianggap gagal dalam menuntaskan persoalan-
persoalan yang terjadi dimasyarakat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
dianggap gagal dan merugikan masyarakat. Paling tidak ini juga menandakan
masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator
politik harus lebih professional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesan-
pesan politiknya.

2. Saatnya Tinggalkan pola-pola lama


Masih banyak akun-akun media sosial para politikus dan calon kepala daerah
yang menyampaikan pesan komunikasi politik dengan pola-pola lama. Mereka
seakan masih terfokus dan jadi penganut teori komunikasi politik “jarum
hipordemik atau hypordemic needle theory”. Dimana, pesan yang
disampaikan dimedia begitu perkasa, pesan politik apapun yang disampaikan
kepada khalayak, apalagi melalui media massa termasuk media sosial, pasti
akan berdampak positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan.
Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menapikkan
fakta-fakta, nilai-nilai, bahkan logika. Pesan pesan politik yang disampaikan
terkesan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk khalayak
yang fasif dan awam, boleh saja cara ini masih ampuh. Tapi tidak dengan
masyarakat yang kritis, dan cerdas. Bisa membedakan antara hanya live servis,
pencitraan dan kebenaran.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Jarum hipordemik dengan pola-pola lamanya, sebenarnya sudah lama


ditinggalkan. Disamping dianggap sudah klasik, dengan tokoh-tokohnya
LA.Richard (1936) Raymon Bauer (1964) Schramm & Robert (1977), pola-
polanya juga dianggap sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat yang
kian cerdas. Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di
dunia yang menggunakan situs internet dalam kampanye politik. Ingin
mendapatkan dukungan dari pemilih muda lewat pesan-pesan politiknya.
Situsnya pun dikunjungi oleh lebih dari dua juta orang. Isi pesan-pesan yang
disampaikan masih terkesan serampangan, dengan pola-pola jarum
hiperdemik. Hasilnya, bukannya seperti yang diharapkan, dalam pemilu tahun
1996 itu Dole dikalahkan lawannya Bill Clinton dalam pemilihan tersebut.
Dalam perkembangannya, para komunikator politik Amerika pun beralih pada
pola the obstinate audience theory atau juga dikenal dengan teori khalayak
kepala batu. Para komunikator komunikasi politik tidak lagi percaya khalayak
fasif dan dungu serta tak mampu melawan keperkasaan media. Khalayak
justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif.

Dalam komunikasi politik, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap
terhadap terpaan semua pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan
transaksi pesan, pesan yang masuk akan diseleksi, kemudian akan disaring
diterima atau ditolak melalui filter konseptual. Adapun pola penyampaian
pesannya, fokus pada pengamatan terutama pada komunikan. Melalui
pendekatan psikologis dan sosiologis. Para komunikator politik kita
sebenarnya sudah jauh melangkah kearah pola Teori empati dan homofili.
Dimana asumsinya, Komunikasi politik akan sukses, bila mampu
memproyeksikan diri kedalam sudut pandang orang lain. Komunikasi ini
didasarkan oleh kesamaan (homofili) akan lebih lancar ketimbang oleh ketidak
samaan. Tokoh tokohnya; Berlo (1960) Baniel Lierner (1978). Teori ini pun erat
kaitannya dengan citra diri sang komunikator untuk menyesuaikan pikirannya
dengan alam pikir khalayak.

Pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik.


Seiring jumlah massa mengambang terutama dikalangan generasi muda kian
bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka
untuk mempengaruhi rakyat. Rakyat semakin cerdas, pemimpin yang hanya
sekedar menggunakan pencitraan akan ditinggalkan. Pemimpin otentik dan
dekat dengan rakyat akan semakin digandrungi. Pemimpin yang berintegritas,
akan berhasil memimpin negeri kita. Pemimpin yang mau berkorban dan
mengabdi dalam artian yang sebenarnya. Pemimpin seperti inilah yang
disebut Alex Sobur (2013) sebagai “pemimpin Masa Depan”.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Sumber informasi yang mempengaruhi Pemilih Pemula


Pemilih pemula di Indonesia di dominasi generasi millennial yang identik
dengan teknologi. Salah satu ciri mereka yakni tak bisa lepas dari produk
teknologi, gadget atau gawai. Dalam gawai itu, mereka menumpah-ruahkan
ekspresi, di antaranya di sosial media. Saat ini, generasi millennial tidak lepas
dari laptop, gadget, gawai dalam beraktifitas dan mengerjakannya tugas rutin.
Mereka membuat presentasi tugas-tugas sekolah. Jari-jari mereka bergerak
lebih cepat merangkai kalimat dengan cara memencet tombol di keyboard
laptop, daripada dengan cara menulis.

Dengan gadget mereka bercakap-cakap dengan teman-temannya. Mereka


juga dapat bergosip ria dan ketawa ketiwi dengan rekan-rekannya lewat
percakapan di group whatsApp dan BBM. Untuk bermain bersama, tidak
harus berkumpul di sebuah tempat. Mereka cukup menggunakan teknologi
internet di laptop atau komputer untuk memainkan permainan virtual.
Berbeda dengan generasi dulu yang memakai telepon rumah atau via surat
jika ingin berkomunikasi. Mereka pun harus bertemu di sebuah tempat jika
ingin bermain bersama.

Kedekatan mereka dengan gadget juga menyebabkan generasi millennial


lebih senang mengetik di handphone daripada berbicara. Bahasa dan struktur
kalimatnya pun kadang acak-acakan, lucu dan kekanak-kanakan. Mereka juga
lebih senang menyatakan perasaan di Facebook maupun Twitter. Populasi
generasi millennial sangat besar. Namun, hanya sedikit yang berani tampil
progresif di ranah politik yang hingar bingar. Sebagian besar memilih apatis,
bahkan alergi dengan politik. Di tengah gaya hidup kaum millennial yang
cenderung hedonis dan pragmatis.

Generasi millennial nampaknya mengasingkan diri dari riuh politik. Sebagian


menganggap politik itu membosankan lantaran sering diwarnai dramaturgi
dan patalogi. Mereka pun masih sebatas objek politik bagi politisi dan partai
politik dalam mendulang dukungan suara. Padahal, populasi mereka sangat
besar. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, jumlah pemilih millennial
mencapai 53 juta jiwa dari 186 juta pemilih. Dengan jumlah yang begitu besar,
mereka seharusnya memiliki posisi tawar yang kuat di ajang suksesi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah populasi generasi
millennial diprediksikan pada gelaran Pemilu 2019 ada sekitar 47 – 50 persen
pemilih muda.
Pemilih pemula dapat diatasi dengan sosialisasi Pemilu. Informasi dibutuhkan
pemilih pemula adalah informasi waktu Pemilu dan informasi cara
menggunakan hak pilih. Informasi tersebut menentukan kehadiran dan
keabsahan dalam berpartisipasi. Selanjutnya, pendapat pakar dan tokoh
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

dibutuhkan pemilih untuk menganalisis dan mempertimbangkan dalam


memilih calon pemimpin. Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan seperti
dibidang pemerintahan dan ketatanegaraan. Informasi calon pemimpin yang
paling dibutuhkan oleh pemilih pemula merupakan visi dan misi. Pemilih
pemula memiliki pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan. Hal
ini sejalan dengan alasan berpartisipasi pada Pemilu (pemilukada, pilcaleg,
pilpres). Selain visi dan misi, biodata diri calon pemimpin, latar belakang dan
pengalaman calon presiden mempengaruhi pandangan pemilih dalam
memutuskan pilihanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Lembaga Kajian
forensik dan dan Informasi Kavita Media

Berita elektronik menjadi salah satu media yang paling dominan dari
pengguna internet di Indonesia (Lim 2011). Pemilih pemula sering mengakses
portal berita elektronik sebagai sumber informasi Pemilu karena kecepatan
informasi dan judul informasi yang menarik disertai rasa ingin tahu yang tinggi
oleh pemilih pemula. Selain itu, Facebook dan Twitter menjadi sumber
informasi internet yang banyak dipilih oleh pemilih pemula. Kemenangan
Obama pada pemilihan umum 2009 merupakan hasil dari penggunaan dan
pengelolaan TIK, khususnya media sosial dalam pengumpulan dari dukungan
pemilih (Aekar et al. 2006). Twitter menjadi sarana pembentukan opini publik
sedangkan Facebook sebagai penguatan jaringan yang kuat antara akun
dengan teman (Ramadhan et al. 2014).

Jelajah situs atau mesin pencari otomatis menjadi peringkat ketiga karena
kemudahan pemilih mencari informasi yang dibutuhkan dengan cepat dan
tepat. Motif pencarian informasi dan kenyamanan dalam menelusuri
informasi pada umumnya adalah bentuk kepuasan dalam mencari dan
memperoleh informasi yang digunakan untuk perubahan, kebebasan berpikir,
aktualisasi diri, dan membantu kegiatan menjadi lebih efisien dan efektif.
Informasi tersebut termasuk dengan isu isu politik terkini yang terjadi di tanah
air (Setianto 2012).

Terdapat satu kesamaan aktifitas dalam pencarian informasi yang berkaitan


dengan pengetahuan pemilih pemula seperti portal berita elektronik, web
resmi partai politik, Twitter dan Facebook menjadi media yang berpengaruh
terhadap pemilih dalam memutuskan calon pemimpin (presiden, kepala
daerah) (Kavita Media, 2017). Oleh karena itu komunikasi politik dan
pemanfaatan internet merupakan sarana komunikasi yang efisien (Fatanti
2014). Kicauan atau status dan intensitas tokoh oleh orang berpengaruh
dalam masyarakat menjadi pertimbangan pemilih pemula dalam
berpartisipasi pada pemilihan umum (pilkada, pilpres). Media sosial memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi pemilih pemula serta sikap politisi, mengatur
agenda, dan bahkan membentuk hasil dari kampanye (Caplan 2013).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB VI
GENERASI MILLENNIAL
DAN KOMUNIKASI POLITIK

A. Mengenal Generasi Millennial


Generasi Millennial adalah actor utama Indonesia masa kini dan masa depan,
secara jumlah. Mereka memiliki jumlah terbesar dan sudah melampai jumlah
generasi-generasi sebelumnya. Millennial sebuah peradaban baru perilaku, dari
sudut pandang politik dan aspek kehidupan. Istilah generasi millennial memang
sedang akrab terdengar. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan
oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe.
Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau
echo boomers. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam
menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar
menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir.

Penggolongan generasi millennial atau generasi Y terbentuk bagi mereka yang


lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya. Setiap generasi
pada zamannya mempunyai ciri dan karakteristik masing-masing. Beragam
kesamaan atau pun perbedaan di dalamnya layaknya dapat dijadikan sebagai
gambaran umum atas bagaimana mereka berperilaku. Tentunya ini sangat
penting bagi para politisi, partai politik dan lembaga poltilk lainnya harus
mengetahui secara mendalam target pemilh pemula yang ingin ia tuju.

Salah satu generasi yang paling mencolok karena terkenal dengan keragaman
yang berada di dalamnya adalah Generation Y atau yang biasa dikenal dengan
“Echo Boomers” atau pun “Millennials” (Solomon, 2009). Untuk dapat
membatasi lingkup generasi ini, terdapat pembatasan tahun kelahiran agar tetap
mempunyai karakteristik yang serupa. Kelahiran 1977 hingga 1994 dikenal
sebagai Generation Y untuk tahun 2010 atau dengan kata lain generasi ini
mencakup umur 16 hingga 33 tahun (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010).

Generasi ini dikarakteristikan sebagai remaja yang tergolong remaja yang lebih
tua dan dewasa yang muda. Secara umum, diharapkan generasi ini merupakan
generasi yang paling tinggi tingkat pendidikannya, tentunya dengan tingkat
pendapatan yang akan mengikuti. Kebanyakan dari “Echo Boomers” ini telah
memasuki dunia perkuliahan atau pun dunia kerja. Mereka juga sadar akan
teknologi dan menggunakan e-mail, telfon selular, dan juga SMS untuk
berkomunikasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Lebih dai 90% dari kelompok umur 18 hingga 29 tahun melakukan online, yang
merupakan prosentase yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Selain itu,
kelompok umur 18 hingga 24 tahun memimpin pada penggunaan layanan telfon
selular, seperti SMS sampai internet. Generasi ini juga menikmati media dan
program TV yang memang diciptakan untuk mereka, seperti MTV, Maxim,
American Idol, Big Brother 4, dan juga CSI (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010).
Millennials rata-rata mengalihkan perhatiannya dari berbagai gawai, seperti PC,
smartphone, tablet, dan televisi 27 kali setiap jamnya. Angka ini meningkat dari
17 kali per jam di generasi sebelumnya.

Ericsson melakukan riset di 24 negara dunia. Dari 10 tren tersebut beberapa di


antaranya, adalah adanya perhatian khusus terhadap perilaku generasi
millennial. Dalam laporan tersebut Ericsson mencatat, produk teknologi akan
mengikuti gaya hidup masyarakat millennial. Sebab, pergeseran perilaku turut
berubah beriringan dengan teknologi. Sepanjang tahun 2017, beberapa prediksi
yang disampaikan Ericsson berhasil terbukti. Salah satunya, perilaku Streaming
Native yang kini kian populer. Jumlah remaja yang mengonsumsi layanan
streaming video kian tak terbendung. Ericsson mencatat, hingga 2014 silam
hanya ada sekitar tujuh persen remaja berusia 16 - 19 tahun yang menonton
video melalui Youtube. Rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan layar
perangkat mobile sekitar tiga jam sehari. Angka tersebut melambung empat
tahun kemudian menjadi 20 persen. Waktu yang dialokasikan untuk menonton
streaming juga meningkat tiga kali lipat. Fakta tersebut membuktikan, perilaku
generasi millennial sudah tak bisa dilepaskan dari menonton video secara
daring.

Teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalkan media


sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, media sosial telah
menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Tren
tersebut sudah terbukti disepanjang 2016 melalui beberapa peristiwa penting,
seperti aksi teror bom. Masyarakat benar-benar mengandalkan media sosial
untuk mendapatkan informasi terkini dari sebuah peristiwa. The Nielsen Global
Survey of E-commerce juga melakukan penelitian terhadap pergeseran perilaku
belanja para generasi internet. Penelitian dilakukan berdasar penetrasi internet
di beberapa negara. Nielsen melakukan riset terhadap 30 ribu responden yang
memiliki akses internet memadai. Responden tersebut berasal dari 60 negara di
Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Utara, serta Timur Tengah. Studi tersebut
menggambarkan perilaku generasi akrab internet ini memilih jalur daring untuk
meneliti dan membeli beragam produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Nielsen mencatat, pertumbuhan penetrasi perangkat mobile di kota-
kota besar Indonesia mencapai 88 persen.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kepemilikan perangkat mobile menjadi salah satu faktor paling signifikan


terhadap perilaku belanja daring. Berdasarkan riset Nielsen tersebut, Indonesia
memiliki peringkat teratas secara global dalam hal penggunaan ponsel pintar
untuk belanja daring. Sebanyak 61 persen konsumen memilih berbelanja
menggunakan ponsel pintar, dan 38 persen lainnya memilih tablet atau
perangkat mobile lain. Sementara, 58 persen konsumen lebih memilih
menggunakan komputer.

1. Sejarah Teori Generasi Strauss-Howe


William Strauss dan Neil Howe adalah sejarawan yang menelusuri sejarah
Amerika Serikat (AS) secara mendalam. Dalam buku mereka yang berjudul
generations, Strauss dan Howe menceritakan sejarah AS sebagai rangkaian
biografi generasi dari tahun 1584. Buku inilah yang mendasari teori mereka
mengenai generasi. Kedua sejarawan ini mengembangkan teori mereka lebih
lanjut dalam buku selanjutnya yaitu The Fourth Turning yang berfokus pada
siklus empat tipe generasi dan suasana era di sejarah AS.

Walaupun teori ini didasarkan pada sejarah AS, LifeCourse Associates —


 sebuah institusi konsultasi yang didirikan oleh Strauss dan Howe — terus
mengembangkan teori ini dengan mempelajari tren generasi di negara lain
dan menemukan siklus yang mirip di kebanyakan negara maju selain AS.
Dengan teori yang Strauss dan Howe ciptakan, banyak prediksi anti-
mainstream mereka pada tahun 1991 mengenai generasi Millennial yang lebih
berhasil meramalkan perilaku generasi tersebut dalam tahun-tahun
berikutnya.

Saat kebanyakan ahli lain melihat tren anak muda yang semakin ‘parah’ dari
tahun ke tahun, kedua sejarawan AS ini meramalkan angka kriminalitas
remaja, kehamilan di luar nikah, konsumsi alkohol, dan rokok di bawah umur
akan menurun. Hal ini terbukti benar saat generasi Millennial melalui masa
remaja. Bahkan budaya pop yang disebut-sebut akan semakin diwarnai
kekerasan dan seks eksplisit juga berganti menjadi lebih bersahabat dan
dinaungi merek-merek besar. Sebagai contoh, generasi Millennial saat remaja
memiliki tokoh populer bernama Justin Bieber. Selain kedua prediksi yang
telah disebutkan, Strauss dan Howe juga berhasil memprediksi iklim politik
dan ekonomi di AS sehingga teori ini menjadi populer di berbagai bidang.

2. Asumsi Dan Batasan Teori Generasi Strauss-Howe


seluruh kriteria generasi yang disebutkan sebelumnya adalah asumsi dasar
Strauss dan Howe dalam merumuskan karakter dari tiap generasi. Asumsi lain
dalam teori ini adalah setiap generasi akan cenderung menjadi oposisi
generasi lainnya. Sebagai contoh, setiap generasi akan mencoba untuk
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memperbaiki dan mengkompensasi apa yang mereka persepsikan dari


generasi usia pertengahan yang berkuasa pada saat itu.

Tabel 6. Generasi yang Masih Hidup

Batasan teori generasi Strauss-Howe terlihat dari cara perumusannya. Studi


yang dilakukan kedua sejarawan tersebut dalam merumuskan generasi sangat
subjektif karena hanya didasari literatur sejarah yang minim sumber primer.
Teori ini bahkan dikritisi oleh banyak pihak yang menganggap teori ini sangat
imajinatif karena kurangnya bukti. Selain itu, teori ini juga sangat
deterministik dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor mikro di luar
peristiwa sejarah yang sifatnya makro. Contohnya, bisa saja seseorang lebih
terbentuk oleh tradisi keluarganya yang sangat kuat dibanding tren pada
masanya.

Berangkat dari asumsi dan batasan tersebut, Strauss dan Howe berpendapat
bahwa terdapat enam generasi yang masih hidup hingga kini. Setiap generasi
memiliki nama yang berbeda bergantung pada peristiwa yang terjadi pada
masa hidupnya. Secara singkat, Tabel 1 di atas merangkum keenam generasi
tersebut.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

a. Diagonal Generasi Dan Archethype

Tabel 7: Diagonal Generasi

Dari pola ini akan terbentuk empat pola dasar generasi atau archetypes.
Setiap warna pada Tabel 2 yang diberikan melambangkan tiap archetype.
Warna biru elambangkan Prophet, warna ungu melambangkan Nomad,
warna kuning melambangkan Hero dan warna hijau melambangkan Artist.

Tabel 8. Archetypes
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Setiap archetype memiliki kesamaan sikap dasar terhadap keluarga, risiko,


budaya, nilai-nilai, keterlibatan dalam negara dan lain-lain. Secara garis
besar, sikap dasar tiap archetype.

Prophet lahir setelah sebuah perang besar atau krisis lainnya sewaktu
kehidupan masyarakat diremajakan dan terbentuk konsensus. Prophet
menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan dimanja pada masa
pascakrisis, tumbuh besar sebagai crusader yang narsis, moralistik pada
usia paruh baya dan menjadi lansia yang bijak. Mereka dikenal karena visi,
nilai-nilai dan keagamaannya.

Nomad lahir saat kebangkitan spiritual, masa di mana ideal sosial dan
agenda spiritual saat pemuda menyerang institusi yang berkuasa. Nomad
menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan kurang diproteksi, tumbuh
besar dengan keadaan teralienasi, menjadi pemimpin yang pragmatis pada
usia paruh baya dan menjadi lansia yang tangguh. Mereka dikenal karena
kebebasan, survival dan kehormatannya.

Hero lahir setelah kebangkitan spiritual, masa di mana terdapat


pragmatisme individu, kemandirian, tidak campur tangan, dan chauvinisme
nasional. Hero menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan semakin
diproteksi, tumbuh besar sebagai pekerja dalam tim, berenergi dan arogan
pada usia paruh baya dan menjadi lansia yang kuat. Mereka dikenal karena
komunitas, kemakmuran dan teknologi.

Artist lahir saat perang atau krisis besar, di mana institusi menjadi agresif
sehingga tercipta konsensus publik dan pengorbanan pribadi. Artist
menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan overpretected, tumbuh besar
sebagai pribadi yang sensitif, menjadi pemimpin yang sulit menentukan,
kemudian menjadi lansia yang berempati. Mereka dikenal kaerna
pluralisme, keahlian dan proses hukum yang adil.

b. Turnings, Saeculum Dan Sosial Mood


“Sejarah membentuk generasi dan generasi membentuk sejarah.” Pada
setiap awal dari era tersebut masyarakat mengubah bagaimana mereka
berpikir tentang dirinya, budaya, negara, dan masa depan. Awal dari setiap
era ini dinamakan turning oleh Strauss dan Howe. Ternyata satu siklus
penuh dari empat era tersebut berlangsung selama 80–90 tahun.
Masyarakat romawi menyebut siklus ini sebagai saeculum yang berarti
masa kehidupan seorang manusia.

Generasi sekarang berada pada Millennial Saeculum. Kita bisa menanggap


tiap turning sebagai ‘musim’ dari sejarah. Crisis dapat diibaratkan sebagai
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

musim dingin. Musim ini ditandai oleh pergolakan dimana masyarakat


berfokus pada reorganisasi dunia luar dari institusi dan perilaku publik.
Bahaya besar akan memprovokasi konsensus sosial, etika pengorbanan
pribadi dan ketertiban institusi yang kuat.

Musim ekstrim lainnya adalah Awakening yang dapat diibaratkan sebagai


musim panas. Musim ini ditandai oleh pembaharuan budaya atau agama,
saat masyarakat berfokus pada reorganisasi dunia dalam dari nilai-nilai dan
perilaku pribadi. Saat Awakening, etika individualis mmenguat dan institusi
akan diserang oleh ide-ide sosial baru dan agenda spiritual lainnya. Di
antara Crisis dan Awakening terdapat dua musim transisi seperti musim
semi yaitu High dan musim gugur yaitu Unraveling.

Tabel 9. Mood dari Empat Turnings

4. Perkembangan Generasi Millennial


Dalam konteks pekerjaan di Amerika Serikat, ternyata tiap generasi
mempunyai preferensi yang berbeda-beda mengenai isu kerja. Berikut adalah
rangkuman dari penemuan dalam survei yang diadakan oleh Life Course
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Associates dengan sampel berukuran 4,986 pekerja dalam 47 perusahaan.


Terdapat perbedaan yang signifikan dari antara generasi tua dan muda dalam
bekerja.

a) Generasi Millennial merencanakan karir jangka panjang


b) Generasi Millennial menginginkan goal jangka pendek dan dapat dicapai
c) Generasi Millennial mengiginkan panduan langsung
d) Generasi Millennial menginginkan program bimbingan seperti mentor
e) Generasi Millennial menginginkan layanan dukungan hidup
f) Generasi Millennial menginginkan tempat kerja yang nyaman untuk
bersosialisasi
g) Generasi Millennial ingin berkontribusi dalam kehidupan sosial
h) Generasi Millennial dan X menginginkan teknologi yang mutakhir
i) Generasi Boomers menghargai etos kerja dan generasi X menghargai etos
pasar
j) Generasi Boomers berfokus pada misi.

Banyak hal krusial yang berhubungan dengan generasi, apabila kita melihat
hasil survei tersebut. Arah pergerakan generasi sekarang mulai berubah.
Generasi terdahulu yang diceritakan berhasil menumbangkan rezim orde
baru adalah generasi X sedangkan generasi sekarang mayoritas merupakan
generasi Y atau Z.

Selain arah pergerakan generasi yang mulai berubah, tidak dapat dipungkiri
bahwa metode kaderisasi ataupun pendekatan lainnya dalam berpolitik juga
ikut berubah. Terbukti bahwa metode yang lama tidak berhasil
diimplementasikan pada saat ini sehingga hasil pergerakan poltik ataupun
kaderisasi politik tidak sesuai harapan. Walaupun studi yang dilakukan oleh
Strauss dan Howe berlokasi di Amerika Serikat. Namun, teori ini cukup
berlaku di Indonesia. Hal ini didasarkan pada populasi generasi millennial
yang berasal dari kota-kota maju seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya
sangatlah besar sedangkan tim peneliti Strauss dan Howe mengatakan bahwa
mereka menemukan pola yang sama di negara-negara maju. Selain itu,
peristiwa G30SPKI pada tahun 1965 dan runtuhnya rezim orde baru saat
krisis 1998 adalah suatu bentuk kemiripan dengan siklus sejarah di Amerika
Serikat.

Teori generasi Strauss dan Howe cukup berlaku di Indonesia. Keabsahan teori
ini tidak 100% karena banyak faktor mikro berpengaruh, seperti budaya
daerah yang masih cukup kental. Kita perlu menyadari bahwa teori ini
memiliki asumsi dan batasannya tersendiri. Namun, teori ini dapat dijadikan
landasan berpikir untuk menentukan metode ataupun arah politik dan
demokrasi sekarang.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Karakter Generasi Millennial


Cita-cita kita sebagai sebuah bangsa adalah menjadikan Indonesia sebagai
negara yang kuat, disegani dan mampu berkompetisi serta berkolaborasi
dalam pergaulan internasional. Di tunjang potensi kekayaan sumber daya
alam Indonesia yang sangat berlimpah, sumber daya manusia yang yang
unggul. Optimisme itu ditopang landasan kepercayaan diri, konsep
kenegaraan generasi pendahulu, semangat nasionalisme dan kuatnya nuansa
keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
memaksimalkan potensi generasi muda, pendidikan adalah kunci penting
dalam membangun peradaban. Apalagi beberapa tahun terakhir, Indonesia
diprediksi akan menjadi negara besar disebabkan adanya bonus demografi.
Keuntungan ini harus dimaksimalkan, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik
akan melahirkan insan berkarakter, insan yang cerdas dan insan yang
kompetitif.

Jika membaca fenomena kekinian dimana dunia diwarnai maraknya budaya


global dan gaya hidup pop culture. Keadaan ini memunculkan generasi muda
yang disebut generasi millennial. Sebutan ini dialamatkan kepada generasi
muda yang melek, akrab dan tidak mampu dipisahkan dengan kemampuan
menguasai high technology. Mereka adalah manusia muda yang seringkali
disinggung sebagai generasi Z, sosok generasi yang lahir tahun 1990 sampai
2000-an, dengan kisaran umur 17-30 tahun. Generasi millennial dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan umur. Pertama The
Students Millenials yaitu kelompok yang lahir pada tahun 1993 hingga 2000,
(rata-rata berusia 17 sampai 25 tahun), The Working Millenials yang lahir pada
tahun 1987 hingga 1993 (rata-rata berusia 24 sampai 30 tahun.). Ketiga The
Family Millenials yaitu kelompok yang rata-rata berusia 29 – 37 tahun pada
2017.

Menurut pakar informasi teknologi (IT), Nukman Luthfie (CNN Indonesia,


2016), generasi millennial disebut sebagai generasi digital. Millennials
memiliki hidup yang 'sangat digital. Sumber informasinya dari media sosial,
televisi, baru search engine. Generasi ini mudah mengadopsi tren yang ada di
dunia. Eksistensi millennials di dunia maya beragam. Nukman membaginya
dalam dua Creator adalah orang yang membuat konten tertentu di blog, situs
web, atau pun akun YouTube. Mereka punya akun YouTube hanya untuk lihat
video. Sedangkan, Conversationalist adalah orang yang lebih senang
menggunakan Facebook, Path, dan Twitter untuk bercakap-cakap. Ada
sebagian pengguna yang berkarya, dengan cara kultwit [kuliah Twitter],
membuat tulisan di notes Facebook, tapi Tapi sebagian
besar conversationalist.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Generasi millennial, umumnya berada di kategori creator, karena saat ini


banyak ruang yang bisa digunakan untuk berkreasi, seperti
Instagram. Terlebih lagi, faktor teknologi seperti ponsel pintar, bisa
memudahkan untuk membuat foto, video dan editing. Mereka
Cenderung entrepreneur atau self-employee. Banyak hal kreatif yang mereka
ciptakan. Banyak remaja yang kreatif membuat konten sosial medianya
menjadi menarik. Entah itu tutorial merias wajah, memasak, membuat
prakarya, menampilkan hasil fotografi, atau memamerkan lagu terbaru.
(Nukman, CNN Indonesia, 2016).

Gambar 3. Akses Digital Generasi Milenial

Sumber : http://www.timesindonesia.co.id/millennials

Dalam perspektif Absher dan Amidjaya (2008) generasi millennial berkisar


antara 1982 sampai 2002 dan mengalami google generation, net
generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. Tapscott
(2008) menyatakan generasi millennial sering disebut generasi Z dengan ciri
suka dengan kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan
kecepatan informasi yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan
inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Alvara Research Center menyebut generasi millennial memiliki tiga macam


karakter.
 Pertama, Generasi millennials kelas menengah urban adalah generasi
yang creative. Mereka terbiasa berfikir out of the box, kaya ide dan
gagasan.
 Kedua, Generasi millennials kelas menengah urban adalah generasi
yang confidence, mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan
pendapatnya tanpa ragu-ragu.
 Ketiga, Generasi millenials kelas menengah urban adalah generasi
yang connected. Mereka merupakan generasi yang pandai bersosialisasi,
terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, Mereka juga
berselancar di sosial media dan internet.

Generasi millennial tak dapat dilepaskan dari internet. Mereka disibukkan


harinya dengan gadget baik untuk bermain game, mengerjakan tugas
sekolah/kuliah dan menjawab pertanyaan atas kondisi di sekitarnya. Melalui
gadget, mereka mendapatkan informasi dengan mencari di google,
menggunakan internet untuk chatting dan memanfaatkan media sosial untuk
berteman, bertukar informasi maupun saling berkirim foto selfie.

Berdasarkan penelitian Heru Wahana (2015), ada beberapa karakteristik


generasi millennial yaitu pemanfaatan teknologi sebagai gaya hidup,
mendapatkan perlindungan dari lingkungan terdekatnya, lahir dari kalangan
orang tua terdidik, memiliki banyak talenta dan kemampuan berbahasa, lebih
ekspresif dan eksploratif. Keterbukaan sangat terlihat jelas dalam pola
komunikasi generasi ini, dimana mereka merasa cuek dengan privasi. Mereka
masuk dalam cyberculture yaitu kebudayaan yang dilakukan dalam dunia
maya tanpa batas. Adanya keterbukaan turut pula menentukan sikap mereka
dalam mengambil keputusan atas isu yang ramai diperbincangkan publik,
apakah menerima atau menolaknya.

Dengan segala keunikannya, generasi millennial melahirkan budaya positif


dan negatif. Dari sisi positif, sosok Fatih Timur (aktivis filantropi,
founder kitabisa.com), Shamara (politisi Partai Solidaritas Indonesia), Ria Ricis
(artis, selebgram) merupakan beberapa tokoh muda dari generasi millennial.
Ada pula sosok Dea Valencia, anak muda asal Semarang ini mampu
memberdayakan potensi penyandang disabilitas untuk membuat batik
terbaik yang mampu bersaing di pasar internasional. Mereka memainkan
peran sejarah dalam kehidupan bangsa di masa depan dengan gagasan
orisinil, inovatif, mencerahkan dan berusaha menjadi solusi atas
permasalahan masyarakat
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Perilaku Penggunaan Internet


Ciri khas generasi millennial adalah connected yang dihubungkan melalui
internet. Berdasarkan penelitian Alvara Research Center terdapat beberapa
temuan berikut.
 Pertama, generasi millennial sangat kecanduan internet., dimana
umumnya mereka menggunakan internet mayoritas 1-6 jam per hari.
 Kedua, mengakses internet di setiap tempat
menggunakan smartphone. Internet selalui diakses karena adanya
kebutuhan informasi dan keinginan mengaktifkan hubungan (chatting,
saling berkirim pesan, gambar dan video call) dengan teman media
sosialnya.
 Ketiga, akses internet setiap waktu mulai bangun tidur hingga kembali
tidur. Puncak dari mengakses internet terjadi saat mereka luang, yaitu dari
pukul 18.00 hingga pukul 22.00. Melihat waktu mereka mengakses
internet, bisa dikatakan bahwa internet telah menjadi pengantar tidur
mereka. Berdasarkan diskusi informal penulis dengan salah satu generasi
ini menunjukkan bahwa mereka meletakkan smartphone disamping
tempat tidur. Dia meletakkannya begitu saja karena rasa kantuk.
 Keempat, Musik masih menjadi hiburan yang paling sering diakses oleh
generasi ini, diikuti oleh film dan games. Musik juga paling banyak diakses
melalui live streaming dan juga menjadi yang paling banyak
di download sehingga bisa dikatakan musik adalah hiburan favorit
generasi millenial kelas menengah. Hasil riset menunjukkan 66.3%
responden pernah mengakses musik selama 1 tahun terakhir, 61.1%
responden pernah menikmati musik secara live streaming dan 50,2%
responden pernah mendownload musik.

3. Preferensi Generasi Millennial


a. Perilaku Politik
Jak Pat App, melakukan riset terhadap perilaku politik generasi millennial.
Hasilnya sebanyak 57,24% tidak tergabung dalam komunitas, sementara
yang bergabung dalam komunitas mencapai 42,76%. Masih tingginya angka
yang tidak berorganisasi selayaknya memacu organisasi untuk berinovasi
dalam berbagai agenda rekrutmen atau kaderisasinya. Generasi millennial
memandang politik sebagai kekuasaan (26 8.75 %), korupsi (24 8.08 %),
kotor (21,07%), pemerintahan (15,05%) dan partai (11,37). Apatisme
berpolitik generasi ini sangat tinggi, yakni mencapai 62,63% tidak mau
mengikuti perkembangan isu politik terkini. Hanya 37,37% yang bersedia
meluangkan waktunya untuk ikut melihat perkembangan kondisi politik
kekinian.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mayoritas responden menyatakan, sumber berita politik diperoleh dari


Media online (88.29%), Televisi (69.37%), Surat kabar (44.14%) dan Other
option (2.7%) Responden juga dominan tidak mendukung salah satu partai
politik (86,56%) dan sebanyak 87,37% mengaku tidak tertarik bergabung
dengan partai politik. Kondisi yang cukup memprihatinkan juga tampak,
dimana sebanyak 100% responden menjawab hanya memperhatikan saja
ketika isu politik dibahas di jejaring sosial.

Data di atas dapat menjadi acuan untuk melihat sejauhmana perhatian


generasi muda kepada politik. Sikap apatis berpolitik di kalangan anak
muda ini masih cukup tinggi, disebabkan pandangan politik itu identik
dengan korupsi dan bersifat kotor. Ini menjadi tugas pemerintah, parpol,
politisi dan lembaga politik lainnya untuk mengedukasi mereka tentang
berpolitik yang sehat, sesuai norma dan nilai kebangsaan serta
memunculkan kesadaran politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari
yang harus diperjuangkan melalui berbagai jalur resmi dan konstitusional.

b. Ekspresi Politik
Generasi millennials adalah anak-anak muda yang kerap mendapat
perhatian khusus untuk berbagai kepentingannya, dengan ditinjau dari
berbagai aspek perilakunya, seperti dalam pendidikan, hubungan sosial,
pandangan politik, etos kerja, hingga penguasaan teknologi. Seperti
generasi lainnya, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam
mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakannya dalam kehidupan
demokrasi hari ini. Dari berbagai literatur yang dihimpun,
karakteristik Millennials jika di tinjau melalui pendekatan psikis dan empiris
dalam mengekspresikan sikap politik mereka. Berbagai fenomena sosial
yang dialami, setidaknya ada lima karakteristik sebagai berikut:

 Pertama, Menguasai Media Sosial.


Generasi ini cepat merespon khususnya perkembangan teknologi digital
dan secara optimal menguasai berbagai fitur aplikasinya secara
bersamaan. Dengan prinsip praktis dan efektif, maka menurut mereka
smartphone lebih menarik daripada televisi, karena merasa berhak
memilih dan menentukan sendiri hiburan serta informasi yang
diinginkan.

Disisi lain, ketergantungan terhadap media sosial merupakan indikasi


tingginya interaksi komunikasi mereka. Fungsi media sosial tidak lagi
sebagai saluran pertemanan, tetapi telah merangkap sebagai media
edukasi, transaksi ekonomi bahkan ekspresi diri. Artinya dalam
pandangan pola komunikasi politik, mereka akan cenderung kurang
tertarik dengan model komunikasi konvensional yang searah. Sehingga
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

perlu dikemas model komunikasi politik yang dinamis, hal ini juga dapat
berwujud dialogis, testimoni maupun visual kreatif. Sosialisasi
(kampanye) politik dengan gaya formal dan normatif mulai dihindari
oleh generasi ini.

 Kedua, Aktif Beropini.


Hal lain yang juga menonjol dari generasi ini adalah keberanian dan
kemampuan mereka mengelola isu dan opini di ruang publik dengan
berbagai metodenya, baik dari persoalan pribadi, isu-isu sosial
dan politik, hingga terhadap proses pengambilan kebijakan publik.
Generasi ini cukup jeli menggunakan berbagai saluran aspirasi yang
tersedia, bahkan dapat menciptakan sendiri media alternatif.

Nilai dan gagasan idealis menjadikan generasi ini lebih kritis menilai
berbagai fenomena disekitarnya, sikap ini kerap diterjemahkan sebagai
oposisi bahkan mungkin skeptis kepada para pejabat publik. Sejatinya
kondisi ini sangat menguntungkan partai politik (parpol), politisi serta
para pemangku kebijakan dengan memposisikan mereka untuk
membantu menyerap aspirasi dengan jangkauan lebih luas dan lebih
dalam. Mereka dapat difasilitasi dengan diberi ruang serta akses
tertentu, dan secara bersamaan diberi tugas dan tanggungjawab
konstruktif di tengah-tengah masyarakat.

 Ketiga, Personal Branding.


Keunikkan lain generasi ini adalah kesadaran untuk membangun citra
dirinya termasuk komunitasnya. Sebagian kalangan menyebutnya
sebagai sikap narsis, tetapi ada juga yang menganggap sebagai cara
menjaga eksistensi diri. Konon, banyaknya followers akan meningkatkan
status tertentu dalam pergaulan mereka. Personal branding adalah
kebutuhan, menjadi beralasan sebagai upaya merawat reputasi dan
menjalin relasi. Cepatnya pergerakan informasi telah menembus batas-
batas teritori hingga berbagai rupa manipulasi. Media sosial dan ruang
publik kerap dijadikan saluran dalam memperoleh respon positif dari
khalayak, disisi lain generasi ini cenderung memiliki rujukan atau idola
dalam hal tertentu yang dianggap mampu mewakili passion mereka.
Mengagumi selebriti maupun politisi akan mempengaruhi cara pandang
mereka terhadap suatu hal, maka negara termasuk pasar turut
bertanggungjawab menyajikan public figure yang dapat diteladani.

 Keempat, Challenge Seeker


Menyukai tantangan baru dan cepat bosan menjadikan generasi ini
dianggap tidak loyal. Disadari atau tidak, ini menggambarkan jiwa anak
muda yang cenderung dinamis dan energik. Ketika melihat ada
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

kesempatan, mereka akan berusaha untuk mencoba hal baru dengan


berbagai motivasinya. Generasi ini dianggap memiliki kreatifitas tinggi,
cepat belajar dan mudah beradaptasi tetapi kerap dianggap tergesa-
gesa. Dalam berbagai agenda sosial, mereka tak segan menawarkan
sesuatu yang anti-mainstream. Mengingat perkembangan zaman begitu
dinamis dan tuntutan publik yang tidak terbatas, maka pendampingan
dan pembinaan yang tepat pada generasi ini adalah modal investasi
sosial dan politik jangka panjang. Penyediaan saluran untuk ide-ide dan
energi positif mereka adalah cara bijak mendampingi dan berjalan
beriringan.

 Kelima, Gerakan Kerelawanan


Dalam beberapa kasus yang menarik perhatian publik, generasi ini telah
berhasil mempelopori gerakan kerelawanan dibidang sosial
maupun politik. Penggalangan biaya berobat pasien kurang mampu,
mengawal proses penenggakkan hukum, advokasi masyarakat sekitar
pertambangan hingga menjadi relawan pengajar di daerah pelosok dan
sebagainya. Mereka bergerak tidak menggunakan kelembagaan formil
tetapi lebih pada ikatan kolektivitas yang lebih fleksibel, viral, dan
bermotif pada isu khusus. Gerakan ini adalah kepekaan mereka pada
isu-masalah yang dianggap peran negara kurang -bahkan abai-terlibat
didalamnya. Dalam ranah politik pun mereka aktif menyuarakan
sikap politik etis, memantau penyelenggaraan pemilu yang jurdil,
bahkan sanggup menawarkan kepemimpinan alternatif sebagai
perlawanan kepada elit politik yang kerap mempraktekkan status quo
dalam kehidupan demokrasi.

Generasi millennial memiliki caranya sendiri mengekspresikan politik dan


kepedulian sosial dalam bermasyarakat dan bernegara. Semakin tinggi
kesadaran partisipatif politik akan menghasilkan kebijakan publik yang
reponsif. Diakui, walaupun ada sebagian dalam generasi ini yang masih
bertindak destruktif, tetapi bukan nilai itu yang ingin kita apresiasi dan
tularkan. Kiprah generasi ini akan mempengaruhi berbagai lini, termasuk
akan menciptakan budaya politik baru dan kepemimpinan masa depan.

c. Opini di Dunia Politik


Generasi muda Indonesia di era teknologi digital bukan generasi egois yang
hanya sibuk dengan gadget masing-masing dan apatis terhadap kenyataan
yang sedang terjadi di negaranya. Sebaliknya, dengan pendekatan khasnya
yang kreatif dan viral, gen millennial ikut andil dalam politik praktis.
Mereka terjun sebagai relawan-relawan, aktif menyuarakan opininya, dan
ikut mengawal proses demokrasi. Tanpa partai atau dana pribadi yang
melimpah, mereka berhasil menggerakkan dan membuat perubahan.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Geliat Kebangkitan
Tahun 2012 - 2014 merupakan masa penyegaran dalam kehidupan
berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia. Di era inilah, banyak generasi
muda memutuskan terjun sebagai relawan bagi jagoan-jagoan politik
mereka. Dengan caranya yang kreatif, mereka membangun sistem,
jejaring, dan memikirkan strategi paling efektif untuk
mengomunikasikan gagasan ideal kehidupan berpolitik dan
berdemokrasi yang bersih dan kondusif bagi masa depan mereka di
Indonesia. Berpartisipasi aktif menjadi relawan atas keprihatinan politik
melihat wakil-wakil rakyat yang harusnya menyuarakan kepentingan
bangsa justru lebih sibuk mengurusi kepentingan golongan dan
mengukuhkan kekuasaannya sendiri dan terjadinya korupsi di semua
lini.

Meski bendera reformasi telah dinaikkan, pokok-pokok penting di dunia


pemerintahan Indonesia masih diduduki mereka yang terbiasa berjalan
dalam semangat ‘business as usual’. Banyak orang muda kecewa dan
kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, politisi, sistem politik,
dan bernegara yang ternyata masih saja korup. Kondisi ini mendorong
sejumlah besar anak muda mengambil sikap abstain dalam pemilu, dan
memilih menjadi golput (golongan putih), alias tidak memilih apa pun
dan siapa pun.

Ketidakpedulian ini akhirnya justru membuat orang-orang yang tidak


tepat berada di pemerintahan atau menjadi pejabat publik. Namun,
apatisme mereka terhadap kondisi politik negara ini berubah saat
lanskap politik di Indonesia menampilkan tokoh-tokoh muda baru yang
membawa harapan. Di antaranya ada Ridwan Kamil, Tri
Rismaharini , Azwar Anaz, Anies Baswedan. Mereka sepakat bahwa
eskalasi paling cepat dalam perubahan di sebuah negara adalah melalui
jalur perubahan sosial politik. Mereka antusias memilih politisi cerdas,
punya komitmen, kompetensi, dan rekam jejak yang bersih.

2. Kreatif & Viral


Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada, Ahmad Rizky Mardhatillah
Umar, mengatakan bahwa pergerakan generasi muda di dunia politik
ditandai dengan gerakan turun ke jalan yang dilakukan oleh aktivis
mahasiswa pada tahun 1998/1999. Seiring peralihan bentuk
perekonomian dari yang awalnya berbasis industri menjadi jasa yang
didukung perkembangan teknologi informasi, bentuk ekspresi orang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

muda di dunia politik pun ikut berubah. Partisipasi politik mereka


digerakkan melalui media jejaring online yang lebih cair dan mudah
diakses di tengah kepadatan aktivitas yang mobile.

Geliat ini nyata di media sosial, terutama melalui hujan hashtag atau
tagar. Beberapa di antaranya cukup fenomenal, seperti
#KemenanganJokowiJK yang menduduki No. 1 di Indonesia pada masa
pilpres 9 Juli 2014. Tagar ini bahkan masuk 10 besar trending topic
dunia. Tahun 2017, pilkada Jakarta, jagat Twitter juga ramai dengan
berbagai tagar, seperti #AniesSandi, atau #AHOKJAROT. Saking
fenomenalnya, cuitan perpolitikan di Indonesia, membuat Twitter,
setelah 10 tahun beroperasi, akhirnya memutuskan membuka kantor
perwakilannya di Indonesia. Keputusan ini seolah sah mengangkat
Indonesia tidak hanya sebagai ibu kota media sosial dunia, tapi juga
sebagai #Republiktwitter

Era teknologi digital, jejaring sosial menjadi media baru dengan cakupan
siar tak berbatas dan gratis. Sementara, tagar menjadi ‘corong’ untuk
menyuarakan aspirasi generasi millennial yang mobile. Mulai dari aksi
penggalangan opini, kultwit tentang analisis politik, perang tagar antara
pendukung tokoh politik, atau saling lempar meme yang membungkus
pesan politik dengan kesegaran komedi satir. Dengan memainkan
hashtag # cuitan akan ramai jadi trending topic. Melalui tagar, tim,
relawan politik memberi ruang bagi warga untuk men-tweet. Jelang
pilkada dan pilpres 2019 para penggiat media sosial memainkan hashtag
dan tagar # untuk meraih simpati khalayak media sosial. Tim relawan
politik sejak awal telah mengoptimalkan media sosial. Media dengan
jaringan ‘tanpa kapling’ yang tersedia secara gratis. Dengan media ini,
penyajian konten bisa dikutak-katik sekreatif mungkin, hingga menjadi
viral.

Salah satu contoh yang menarik, tim relawan Ahok yang rata rata anak
muda, sukses dalam pembuatan video pengumpulan 1 juta KTP warga
Jakarta sebagai bentuk dukungan terhadap Ahok sebagai calon
perorangan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sebelum video
tayang, sulit bagi mereka mengumpulkan KTP. Dalam sehari bisa jadi
hanya 100 KTP yang berhasil terkumpul. Padahal, untuk target 1 juta
KTP dalam setahun, setidaknya mereka harus mengumpulkan 3.000 KTP
sehari. Video animasi kreatif itu berhasil menggambarkan betapa
sulitnya mengumpulkan 1 juta KTP dalam satu tahun. Saking viralnya,
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sampai-sampai ada orang yang tergerak mendirikan posko


pengumpulan KTP di mancanegara, seperti di Amerika Serikat, Jerman,
Melbourne, dan Belanda. Alhasil, hanya dalam waktu kurang dari satu
tahun, mereka berhasil mengumpulkan 1.024.632 KTP warga DKI.

Bentuk politik praktis pun bisa diekspresikan dalam banyak jalur.


Mereka menciptakan platform kolaborasi orang muda untuk mengubah
inisiasi mereka menjadi aksi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Salah satunya, lewat kompetisi online Ideas For Indonesia di ajang
IdeaFest bagi para sociopreneur muda Indonesia. Mereka juga
menginisiasi #AksiBaca, dengan mengadakan gerakan membaca sebagai
jendela ilmu dan wawasan generasi muda Indonesia.

Generasi millennial membawa perubahan besar dalam lanskap sosial-politik


Indonesia kontemporer. Generasi ini mempunyai mindset dan tingkah laku yang
khas. Beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan suatu perubahan besar
dalam perilaku berpolitik. Saat ini mayoritas pejabat dan tokoh publik
mempunyai media sosial untuk menyampaikan ide, visi, program dan hasil dari
pekerjaannya. Penyampaian ide sudah tidak lagi melulu konvensional dan
monoton. Banyak elit politik saat ini ramai-ramai menggunakan website dan
media sosial untuk menciptakan kampanye yang kreatif, menarik dan inklusif.

Perubahan ini sebagian besar diakibatkan oleh perkembangan pesat dari


teknologi digital. Namun, banyak orang seringkali melupakan bahwa kehadiran
generasi millennial (generasi Y), yang menjadi salah satu mayoritas usia
penduduk dominan Indonesia (16-34 tahun), mempunyai andil besar terhadap
dorongan perubahan itu. Generasi Y adalah generasi yang terbiasa untuk
membaca dan belajar, menyampaikan pendapat, beradu argumen, menulis petisi
dan mendorong terciptanya transparansi lewat dunia maya. Perilaku dan tingkah
laku mereka tersebut mau tidak mau mempengaruhi cara dan perilaku berpolitik
tidak hanya para elit politik namun juga sebagian besar masyarakat Indonesia.

Masing-masing generasi mempunyai kecenderungan karakter, kepercayaan, nilai


dan tingkah laku yang berbeda, dibentuk dan dipengaruhi oleh periode sejarah
tertentu dimana mereka tumbuh dan menjadi dewasa. Umumnya peristiwa
besar serta tren sosial, kebudayaan mengubah secara fundamental. Strauss dan
Howe menemukan sebuah pola berulang yang mempengaruhi pola pikir dan
perilaku generasi millennial. Pola itu berupa siklus empat tahap yang disebutnya
sebagai turning (belokan). Berputar diantara episode high (puncak), awakening
(kebangkitan), unravelling (terurai) dan crisis (krisis).
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Strauss dan Howe, Generasi Y, tumbuh dan menjadi dewasa di


masa unravelling dimana situasi pada zaman ini dalam banyak hal adalah lawan
dari masa high. Masa unravelling mempunyai ciri dimana institusi tidak kuat dan
tidak dipercayai sementara individualisme menguat dan subur. Setidaknya ada
dua tren kebudayaan besar yang mempengaruhi generasi Y: pertarungan budaya
(culture wars) dan postmodernisme. Bila merujuk sejarah politik Indonesia,
generasi millennial Indonesia dibesarkan di dalam masa transisi dari era Orde
Baru ke era reformasi. Pada masa transisi ini institusi negara begitu lemah sebab
terjadi “pertarungan politik” yang membuat situasi keamanan dan politik tidak
stabil. Saat berjalannya reformasi, meskipun ada upaya penguatan dan reformasi
kelembagaan namun kenyataannya institusi negara masih saja lemah karena
integritas institusi negara digerogoti oleh perilaku koruptif dan tidak terpuji dari
elit politik.
Transisi rezim secara jelas menyiratkan terjadinya benturan budaya antara nilai-
nilai tradisional dan konservatif melawan nilai-nilai liberal dan progresif.
Benturan budaya tersebut mewarnai tumbuh kembang generasi Y. Selain itu,
secara global pandangan postmodernisme yang mempromosikan gagasan
pluralisme: tidak ada kebenaran tunggal, ada banyak cara untuk mengetahui dan
menghargai perbedaan pandangan, berpengaruh besar membentuk pola pikir
generasi Y.

Hal yang paling mencolok yang membedakan antara generasi Y dan generasi
sebelumnya adalah generasi Y tumbuh dalam lingkungan serba digital. Generasi
Y adalah generasi yang terhubung hampir 24 jam sehari dengan teknologi digital
dan sangat bergantung kepadanya. Mereka percaya bahwa teknologi digital
mengubah hidup menjadi lebih praktis, efisien dan inovatif. Bila diakumulasikan,
semua faktor tersebut membentuk generasi Y menjadi generasi digital, efisien,
terbuka, optimis, inovatif, kritis, pragmatis dan egaliter.

1. Perubahan yang dibentuk


Dengan pola pikir dan karakter generasi Y tersebut, pengaruh yang paling jelas
dari generasi Y di dalam lanskap politik adalah berpindahnya medium
berpolitik dari dunia nyata ke dunia maya. Namun, bila dianalisis secara lebih
dalam perubahan yang terjadi ternyata tidak sesimpel itu. Pandangan dan
karakteristik generasi Y yang kritis tapi pragmatis, optimis, inovatif dan
terbuka mendorong secara perlahan terciptanya transformasi kultur politik
yang transparan, dialogis, kreatif dan terbuka terhadap pendapat baru.

Saat ini sudah tidak zaman lagi para elit melakukan manuver politik semaunya
karena dengan penguasaan generasi Y terhadap internet mereka bisa
mendorong aksi kolektif menciptakan perlawanan di media sosial. Sebagai
langkah antisipatif untuk mengetahui dan memilih pemimpin, generasi Y
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bahkan secara kreatif menciptakan beragam website (jariungu.com,


checkyourcandidates.org, votecerdas.org) yang berisi rekam jejak para calon
wakil rakyat dalam pemilu 2014 lalu. Kecurangan terhadap pemilu agaknya
semakin sulit terjadi sebab generasi Y mendorong terciptanya transparansi
informasi publik melalui teknologi digital. Kemunculan situs kawal pemilu dan
kawal pilkada adalah salah bukti kuat dari desakan generasi Y untuk
menciptakan kultur politik yang bersih dan transparan.

Generasi Y adalah generasi yang tidak percaya perubahan bisa diciptakan oleh
partai politik. Kegagalan partai politik untuk mendorong situasi menjadi lebih
baik ditambah kondisi partai yang hierarkis, oligarkis dan kurang visioner
memaksa mereka untuk mencari cara berkontribusi dengan cara lain.
Generasi Y lebih tertarik menciptakan perubahan dengan membangun
perusahaan start up atau bekerja di lembaga non-profit.

Keterbukaan pikiran generasi Y terhadap isu-isu politik yang sensitif, seperti


pelanggaran HAM masa lalu, kesetaraan jender, pernikahan sesama jenis
serta terpenuhinya hak kaum minoritas, menyiratkan adanya kemajuan
berpikir dari generasi sebelumnya. Memang tidak seluruh generasi Y
mempunyai pemahaman pengetahuan yang kuat terhadap isu-isu yang
diabaikan tersebut. Meskipun demikian, pandangan progresif atau liberal dari
generasi Y memang memaksa para elit politik hari ini mau tidak mau berbicara
tentang isu-isu yang selama ini sebisa mungkin mereka hindari.

Masih kita temukan saat ini perbedaan generasi antara para elit politik dan
generasi muda memunculkan kesulitan dalam mendialogkan isu-isu tersebut
dengan pikiran lebih terbuka. Kebebasan berpendapat dalam era media baru,
pesatnya perkembangan media digital dan keterbukaan pikiran dari generasi Y
akan mendorong banyaknya isu-isu sensitif dibicarakan dalam ranah publik.

2. Politik Generasi Millennial


Seiring dengan semakin dekatnya pesta demokrasi lokal dan nasional,
beberapa partai politik (parpol) melakukan konsolidasi untuk mencari figur
yang akan dicalonkan menjadi pemimpin sebagai bentuk tanggung jawab
sosial-politik dari parpol. Salah satu pertimbangan yang berlandaskan akal
sehat demokrasi dalam menentukan pilihan adalah tingkat elektabilitas tokoh
politik. Satu hal yang tidak diabaikan oleh parpol dan poltisi yaitu mendesain
agar dapat mengakomodasi generasi millennial.

Generasi millennial merupakan salah satu kekuatan sosial politik kekinian


yang menjadi penentu keberlangsungan demokrasi di tanah air. Parpol dan
para politisi harus memikirkan cara agar generasi millennial menjadi kekuatan
dalam melakukan konsolidasi perpolitikan sekarang dan masa mendatang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Parpol mesti mendesain cara agar bisa memikat hati generasi millennial.
Mereka memiliki pengaruh bagi pesta demokras di Indonesia. Generasi
millennial memiliki gaya yang khas, Soliditas dan solidaritas sosial mereka
lebih ekspansif. Parpol, para tokoh politik mengakomodasi kehadiran mereka
dalam perhelatan politik. Menarik simpati generasi millennial. Menyiapkan
figur yang yang dapat mempersatukan dan memantik energi politik yang ada
pada generasi millennial. Kampanya-kampanye yang kreatif, progresif,
dinamis dengan menggunakan media sosial ataupun dengan berbagai kreasi
dan modifikasi memanfaatkan teknologi informasi.

Generasi millennial memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi dalam


ruang sosial. Tidak konvensional. Mereka mampu melakukan konsolidasi
politik melalui media sosial cara kreatif, dinamis dan efektif dalam
mengkampanyekan isu politik tertentu. Politikus muda Partai Solidaritas
Indonesia, Tsamara Amany (Tsamara), adalah salah satu contoh “idola”
generasi millennial. Tergolong pendatang baru dalam partai politik. Tsamara
justru berhasil menjadi anti-thesis ditengah ketidakpercayaan publik terhadap
parpol. Mampu memikat hati publik terutama generasi millennial. Hal ini
dukung oleh keberanian sikap dan orientasi politiknya. Tegas dan selalu
memihak pada kepentingan rakyat. Eksistensinya dalam perpolitikan nasional
berhasil memberi efek publik, terutama bagi generasi millennial. Hal ini juga
mendatangkan efek positif bagi partainya.

3. Dimensi Edukatif
Parpol tidak hanya menjadikan generasi millennial sebagai alat politik untuk
mencapai kepentingan pragmatis. Menginstrumentalisasi generasi millennial
untuk mendukung hasrat parsial tertentu, memenuhi kepentingan politik
parpol. Mereduksi idealisme dan semangat generasi millennial kedalam
kerangka dan paradigma politik jangka pendek. Mengakomodasi generasi
millennial dalam setiap gerakan politik tidak sama dengan memposisikan
mereka sebagai obyek politik yang bisa dipakai sesuai dengan agenda seting
politik. Mengintegrasikan mereka kedalam gerakan politik harus dilandasi
oleh kepedulian dan kesadaran bahwa mereka merupakan generasi masa
depan bangsa. Agen-agen transformasi sosial. Generasi millennial bukanlah
komoditas politik untuk memback-up hasrat parpol. Menarik simpati politik
generasi millenial melalui edukasi politik merupakan tanggung jawab dan
afirmasi dimensi sosial dari parpol.

Menurut Hannah Arendt – (Hardiman, 2009), Generasi millennial perlu


diikutsertakan dalam memikirkan problem sosial dan mencari solusinya.
Generasi millennial bisa mencegah terjadinya distorsi sosial krisis ruang publik
sekaligus mengatasi krisis itu dengan menjadikannya sebagai ruang
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bermartabat, forum mendiskusikan persoalan-persoalan sosial secara kritis


dan progresif. Parpol harus menyediakan ruang bagi generasi millennial untuk
mengekspresikan potensi mereka. Dimotivasi untuk mengelaborasi problem
sosial secara komprehensif lalu mencari solusinya dengan berbagai macam
kajian dan perspektif.

Generasi millennial harus di eduaksi, melibatkan dalam perpolitikan ataupun


dalam konsolidasi ruang sosial-publik. Posisi mereka strategis dalam mencapai
liberalisasi sosial. Generasi millennial bisa membantu parpol menyampaikan
ide/gagasan kepada masyarakat (Arifin, 2011). Mengajak generasi millennial
dalam diskursus sosial-politik, berpartisipasi dalam politik. Diberi porsi dan
ruang afirmasi untuk mengekspresikan kepekaan politik dan sosial mereka.
Keterlibatan dalam politik akan mendatangkan efek elektoral yang positif,
atau juga bisa menjembatani jarak antara rakyat dan parpol, yang seringkali
bertolak belakang dengan keinginan rakyat.

E. Berebut Pemilih Millennial


Data estimasi Badan Pusat Statistik tahun 2020 penduduk Indonesia mencapai
268 juta dan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035, persentase penduduk
Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa menurun dari 57,4% pada tahun 2010
menjadi 54,7% pada tahun 2035. Sebaliknya Persentase penduduk yang
tinggal di pulau-pulau lain meningkat, seperti, Pulau Sumatera naik dari 21,3
% menjadi 22,4 %, Kalimantan naik dari 5,8 % menjadi 6,6 % pada periode
yang sama.

Berdasarkan proyeksi piramida penduduk Indonesia yang dilakukan BPS


tersebut juga menunjukan di tahun 2020 penduduk Indonesia paling banyak
akan berada di rentang usia 15 – 39 tahun. Tahun 2020 Penduduk Indonesia
yang berusia 15 – 39 tahun sebesar 39.64%. Dalam konteks politik, prediksi
yang dilakukan oleh BPS ini menguatkan hipotesa bahwa jumlah pemilih
dalam pemilu 2019 akan didominasi oleh generasi millennial. Millennial yang
lahir dalam rentang 1981 – 1999 ini akan berusia 20 – 38 tahun dan jumlahnya
mencapai sekitar 86 juta jiwa atau dengan kata lain 48% pemilih pada pemilu
2019 adalah generasi millennial, sebuah jumlah pemilih yang sangat
menggiurkan.

Secara lebih mikro, generasi millennial dibagi menjadi dua kategori, yaitu
Pertama, Generasi Millennial Tua (GMT), mereka yang lahir 1981 – 1990 yang
berusia 29 – 38 tahun pada tahun 2019. Kedua, Generasi Millennial
Muda (GMM), mereka yang lahir 1991 – 1999 yang berusia 20 – 28 tahun
padan tahun 2019. Secara jumlah, GMM sedikit lebih besar dari dari GMT.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Meski sama-sama millennial, GMT dan GMM memiliki perbedaan perilaku dan
karakteristik. Karakter dan perilaku GMT masih terpengaruh oleh Gen X,
“saudara” tua generasi millennial, sementara GMM sudah terbebas sama
sekali dari pengaruh generasi-generasi sebelumnya, GMM inilah millennial
sesungguhnya. perbedaan mencolok bisa kita lihat dari perilaku menggunakan
internet, konsumsi internet GMM sangat tinggi dibanding dengan GMT.
Karena melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat
yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius
melirik generasi millennial, dari yang masih malu-malu hingga ada yang sudah
terang benderang menyatakan diri sebagai partai millennial. Salah satu
karakter yang menonjol dari generasi millennial adalah mereka tidak memiliki
loyalitas yang tinggi terhadap institusi termasuk partai dan mereka tidak
mudah tunduk dan patuh terhadap garis instruksi.

Karakternya yang susah ditebak dan cenderung apolitis sehingga membuat


mereka susah didekati oleh partai politik/kandidat. Pemetaan elektabilitas
partai berdasarkan usia yang dilakukan oleh Alvara Research Center akhir
tahun 2016 menunjukkan pemilih millennial yang berusia 17 – 25 tahun belum
terikat dengan satu partai manapun, mereka ketika ditanya memilih partai
apa? Masih banyak yang belum memutuskan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2014 tentang
generasi millennial di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang
mencengangkan. Pandangan politik generasi millennial berbeda secara
signifikan secara ras dan etnis. Sekitar setengah dari milenium kulit putih
(51%) mengatakan mereka independen secara politik, sisanya terafilisasi
Partai Republik (24%) dan Partai Demokrat (19%). Di lain pihak, Generasi
Millennial non-kulit putih, sekitar 47% mengatakan mereka independen
secara politik, tapi hampir dua kali lipat (37%) mengidentifikasi sebagai
terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% mengidentifikasi terafiliasi
dengan Partai Republik.

Mendekati pemilih millennial, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan.
1) Pertama, pahami karakter dan perilakunya.
Dalam buku Millennial Nusantara ada tiga karakter yang sangat menonjol
dari generasi millennial yaitu creative (kreatif), confidence (percaya diri),
dan connected (terhubung satu sama lain).
2) Kedua, Bicara dengan bahasa mereka.
Generasi Millennial terutama GMM, agak alergi dengan bahasa dan
jargon-jargon politik, partai politik atau politisi. Dari Kajian Alvara
Research Center ada tiga topik yang sangat menarik dan sering
diperbincangkan oleh generasi millennial, yaitu olahraga, music/film, dan
teknologi informasi.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Ketiga, Ciptakan hubungan yang “intim”.


Harus diakui salah satu ciri partai adalah sering kali hanya ramai ketika
menjelang pemilu, atau banyak orang sering menyebut partai “pasar
malam”. Mendekati millennial tidak bisa dengan cara lama seperti itu,
partai atau kandidat harus hadir dan berusaha terus menerus menjadi
salah satu faktor dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Partai politik, para politisi tidak bisa hanya sekedar on-off, millennial perlu
disapa dan diajak bicara, mereka juga tidak suka komunikasi searah, mereka
lebih suka komunikasi dua arah, karena itu sosial media bisa digunakan
sebagai platform komunikasi dua arah antara partai/kandidat dengan
generasi millennial. Menyambut pilkada, pilcaleg, dan pilpres mendatang,
para politisi harus menyiapkan jurus khusus meraih suara pemilih pemula.
Perlu menyiapkan strategi model kampanye kreatif dan inspiratif untuk
meraih suara generasi millennial.

Generasi millennial diklasifikan sebagai kelompok yang Jumlahnya cukup


besar. Perilaku politiknya sangat cair, pendekatan yang agak khusus, baik dari
sisi konten, ekspresi, dan saluran distribusi kontennya. Suara pemilih muda
dan pemula mempunyai karakter tersendiri dan mempunyai perilaku khas.
Selalu terkoneksi, penuh kreativitas, independen, dan punya rasa percaya diri
yang kuat sehingga kampanye kreatif dan inspiratif diyakini bisa menggaet
segmen tersebut.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR PUTAKA

Adman Nursal , 2004. Political Marketing :Strategi Memenangkan Pemilu.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Agus Sudibyo. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS
Almond, Gabriel A, and G Bingham Powell,jr. 1978. Comparative Politics
system, process and policy. Boston : Little Brown and Company.
_____. 1980. Comparative Politics to a Day World View. Boston : Little Brown
and Company. Alo Liliweri, 1991, Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Antar Venus. 2007. Manajemen Kampanye : Panduan Teoritis dan Praktis
dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Alvara Research Center.(2015). “The Potraits of Urban Moslem: Gairah
Religiusitas Masyarakat Kota”.
Allyn and Bacon. Beebe, Steven A., Susan J. Beebe, and Mark V. Redmond,
1996, Interpersonal Communication. Boston: Allyn and Bacon.
Badan Pusat Statistik.(2013).“Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035”.
Jakarta.
Barker, Larry L. and Deborah A. Gaut, 1996, Communication, Seventh Edition.
Massachusetts:
Barber, Benjamin. (1990). Strong Democracy: Participatory Politics for a New
Age. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Burger, Charles & Steven Chaffe, 1987, Handbook of Communication Science,
USA: SAGE Publication.
_____, 2008. Sosiologi Komunikasi “Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat”, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.hlm.34
Miriam Budiardjo (2010). Dasar-dasar ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hlm.152.
Carroll K.William, 2004 Democratic Media Activism through the Lens of Social
Movement Theory, Presentation for the Political Economy section of the
International Association for Media and Communication Research, Porto
Alegre.
Campbell, Scott; dan Susan Fainstein (eds.). 1996. Readings in Planning
Theory. Cambridge, MA.: Blackwell Publishers.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Corey, Gerald, 2003, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama. Dan Nimmo. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan,
dan Media.(Edisi terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Deddy Mulyana. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
DeVito, Joseph A., 1986, The Interpersonal Communication Book, Fourth
Edition New York: Harper and Row Publisher.
Dwi Tiyanto, Pawito, Pam Nilan, dan Sri Hastjarjo. 2009. Persepsi mengenai
Politik Indonesia Menuju Pemilihan Umum 2009. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Dudi Rustandi (2013) Pencitraan Politik Daring, Strategi Memenangkan Massa
Digital Menjelang Pemilu 2014. Bandung: Jurnal Observasi Volumer 11
Nomor 2.
__________, (2014) Buzz Cyber Public Relations, Jurnal Ilmu Komunikasi
Volume 7 No 1 tahun 2014, Politeknik LP3I Bandung.

Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengentar Edisi Kedua.


Terjemahan Agus Dharma,dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1987
Elvinaro Ardianto, dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media. 2007
Fainstein, Susan S.; dan Norman Fainstein. 1996. “City Planning and Political
Values: An Updated View”. Dalam Scott Campbell dan Susan Fainstein (eds.),
Readings in Planning Theory. Cambridge, MA.: Blackwell Publishers.
Fiske, John. 2010, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. (Edisi terjemahan oleh Yosal Iriantara dan Idi Subandy
Ibrahim). Yogyakarta: Jalasutra.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Four Theories of the Press. Urbana and Chicago: University of Illinois Press.
Sparks, Colin. (2001). “The Internet and the Global Public Sphere.” Dalam
Bennett, W. Lance & Entman, Robert M. (eds).

Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public


Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity
Press Hachten, William A. (1981). The World News Prism: Changing Media,
Clashing Ideologies, 2nd edition. United State of America: Iowa State
University Press.
Held, David. (1995). Democracy and the Global Order. California: Standford
University Press. McNair, Brian. (2003). An Introduction to Political
Communication, Third edition. London & New York: Routledge.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Graber, Doris A. 1984. Mass Media and American Politics. Washington DC: CQ
Press
Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012) Public Relation Politik. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Gudykunst, William B., Stella T. Toomey, and Elizabeth Chua, 1988, Culture
And Interpersonal Communication. London: SAGE Publications.

Howe, N. & Strauss, W. (1991). Generations: The History of America’s Future,


1584 to 2069. William Morrow Paperbacks: New York City
_____________. (1997). The Fourth Turning: An American Prophecy — What
the Cycles of History Tell Us About America’s Next Rendezvous with Destiny.
Broadway Books: New York City. LifeCourse. Generations in History.
Diperoleh 28 Januari 2017, dari
https://www.lifecourse.com/assets/files/gens_in_history(1).pdf
Juditha, Christiany, Hubungan Penggunaan Situs Jejaring Sosial Facebook
Terhadap Perilaku Remaja di Kota Makasar, Jurnal Penelitian Komunikasi dan
Informatika IPTEK-KOM, ISSN 1410-3346, Volume 13, No. 1, Juni 2015. Hal 1-
22.
Jalaludin Rakhmad. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Kraus, Sidney and Davis, Dennie. 1976. The Effects of Mass Communication
on Political Behavior. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media: Social
Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Chapter 4: "Persperktif on Internet Use: Access, Involvement and Interaction"
Littlejohn, Stephen W and Karen A. Foss. 2005. Theories of Human
Communication. New Mexico: Wadsworth, Thomson Learning.
_____. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. (Edisi
terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan). Jakarta: Salemba Humanika.
_____. 2002.McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, London,
Sage Publications. Miller, Gerald M and Mark Steinberg, 1975, Between
People, A New Analysis of Interpersonal Communication. Michigan: SRA Inc.
_____. (1993). Communication Models, second edition. London & New York:
Longman.
Mediated Politics: Communication in the Future of Democracy. United
Kingdom: Cambridge University Press, hal. 75- 95.
McLuhan, M., 2001. The Medium is the Massage. Great Britain: Allen Lane
The Penguin Press.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mc Nair, Brian. An Introduction to Political Communication (2nd


Edition). London : Routledge. 1999
Mughan, Anthony & Gunther, Richard. (2000). “The Media in Democratic and
Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective.” Dalam Gunther, Richard
& Mughan, Anthony (eds), Democracy and the Media, A Comparative
Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.
Miriam Budiarjo. 1988 Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Yayasan Obor
lndonesia.
Rakhmat, J. (1993). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, Media. Bandung:
Remaja Rosdakarya Offest.Hlm.8.
Tapscott, Don. 2008. Grown up Digital: How the Net Generation is Changing
Your World. USA: McGraw Hill.
Pan, Zhondang and Gerald M. Kosicky. Framing as a startegic Action in Public
Deliberation. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2001
Pavlik, John V. (1996). New Media Technology, Cultural and Commercial
Perspectives. USA: Allyn and Bacon. Siebert, Peterson, & Schramm. (1963).
Phillips, David dan Young, Phillip (2009) Online Public Relations. London:
Koganpage.
Pew Reseach Center.(2010). “Millennials a Potrait of the Generation Next”.
Roskin, M. (1977). Political Science An Introduction, Sixt Edition. New Jersey:
Pool, Ithiel de Sola, et.al., 1973, Handbook of Communication. Chicago: Rand
McNally College Publishing Company.
Rice, E. Ronald, William J.Paisley (ed). 1982. Public Communication
Campaigns. London: Sage Publications.
Sen, Krishna and Hill, David. (2007). The Internet in Indonesia’s New
Democracy. USA and Canada: Routledge.
Severin, Werner J. dan James W. Tankard. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah,
Merode, dan Terapan di Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2005.
Silih Agung Wasesa dan Macnamara, Jim. (2010) Strategi Public Relations.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Silih Agung Wasesa (2011) Political Branding & Public Relations. Jakarta:
Gramedia Pustakan Utama.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung:PT Remaja Yosdakarya
Taprial, Varinder dan Kanwar, Priya (2012) Understanding Social Media.
Ventus Publishing Aps.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Van Dijk, Jan A.G.M. (1999). The Network Society, Social Aspects of New
Media. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage.
Van Dijk, Jan. (2000). “Models of Democracy and Concepts of
Communication.” Dalam Van Dijk, Jan & Hacker, Kenneth L. (eds). Digital
Democracy: Issues of Theory and Practice. London, Thousand Oaks, New
Delhi: Sage Publication, hal. 30-53.
Van Dijk, Jan & Hacker, Kenneth L. (eds). (2000). Digital Democracy: Issues of
Theory and Practice. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication
Wilhelm, Anthony G. 2003. Demokrasi di Era Digital, Tantangan Kehidupan
Politik di Ruang Cyber, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SUMBER INTERNET
Absher, Katherine and Amidjaya, Mary Rose. 2008. Teaching Library
Instruction to The Millennial Generation. From Marymount University,
Arlington, VA. Diakses dalam
http://www.vla.org/Presentations/VLA_presentation_draft072208.ppt
tanggal 23 Oktober 2017.

Do Media. 2009. Efektifitas iklan partai dalam pemilu 2009 pada media
massa. Diambil pada 25 Maret 2010. dari
http://dumadimengguggat.blogspot.com. Fakhrurrozi Amir. 2008. Pilkada
dan Pentingnya Political Marketing. Diambil 23 Oktober 2017 dari
http://www.siwah.com.
J_Putra, 2012. Definisi atau pengertian istilah Social Media apa yang
dimaksud dengan Social Media, http://jayaputrasbloq.blogspot
.co.id/2011/02/definisi-ataupengertian-istilah-social.html
Kacung Marijan. 2007. Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi,
Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal. Diambil 24 Oktober 2017 dari
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/piljkt.pdf.
Kamaruddin Hasan. 2010. Komunikasi Politik dan Pencitraan (Analisis Teoritis
Pencitraan Politik di Indonesia). Diambil 23 Oktober 2017 dari
http://kamaruddin-blog.blogspot.com.
Hasil Survey JakPat App. Preferensi Politik Generasi Millennial. Dipublikasikan
pada 30 September 2017
Hasil Survey Alvara Research Center. The Urban Middle-Class Millenials
Indonesia. Financial and Online Behavior. Februari 2017
Howe, N. & Nadler, R. (2012). WHY GENERATIONS MATTER: Ten Findings
from LifeCourse Research on the Workforce. Diperoleh 28 Oktober 2017, dari
https://www.lifecourse.com/assets/files/Why%20Generations%20Matter%2
0LifeCourse%20Associates%20Feb%202012.pdf
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=
78761 &Itemid=82 (diakses, 18 Agustus 2017)
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

http://asrudiancenter.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial
http://indeks.kompas.com/tag/media-sosial
http://kaltim.tribunnews.com/tag/millennials
https://merdeka.com/
https://plus.google.com/110104319132030403095
https://tirto.id/
https://www.jawapos.com/tag/124861/komunikasi-politik-media-sosial
http://www.jurnas.com/halaman/6/2013-04-18/241953
https://www.koran-sindo.com/node/319505
http://www.statista.com/topics/2431/internet-usage-in-indonesia.
http://www.timesindonesia.co.id/millennials
https://seratalphacasa.wordpress.com/author/abdurrahmanhaqiqi/
Safranek, Rita, The emerging of Social Media in Political and Regime Change,
dalam http://www.csa.com/discoveryguides/discoevryguides-main.php
released March 2012 diakses tanggal 13 September 2017
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/media.sosial.d
alam.kampanye.politik
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.472017769524730.110363.47
2005732859267&type=1
http://www.tempokini.com/2014/06/peran-sosial-media-sebagai-media-
kampanye-politik/
http://www.robymuhamad.com/2012/09/13/riset-facebook-buktikan-
keampuhan-kampanye-media-sosial/
http://www.pks-petir.org/2013/01/5-alasan-menggunakan-social-media-
dalam-kampanye-politik.html
Marichal, J., 2012. Facebook Democracy. Farnham dan Burlington: Ashgate.
Gladwell, M., 2010. “Small Change: Why the revolution will not be tweeted.”
The New Yorker [online] 4 Oktober. Diakses dari:
http://www.newyorker.com/magazine/2010/10/04/small-change-malcolm-
gladwell[Diakses 5 Oktober 2017].
Noviandari, L., 2014. “Facebook temukan 200 juta perbincangan seputar
pemilu presiden 2014 di Indonesia.” TechinAsia *online+ 11 Juli. Diakses dari:
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

https://id.techinasia.com/facebook-temukan-200-juta-perbincangan-
seputarpemilu-2014-indonesia/ [Diakses 21 Oktober 2017].
Nielsen, 2014. “The Asian Mobile Consumer Decoded.” Nielsen *online+ 14
Januari. Diakses dari:
http://www.nielsen.com/ph/en/insights/news/2014/asian-mobile-
consumers.html [Diakses 2 Oktober 2017].
Purnell, N., 2014. “Facebook Users in Indonesia Rise to 69 Million.”
WallStreetJournal [online] 27 Juni. Diakses dari:
http://blogs.wsj.com/digits/2014/06/27/facebook-users-in-indonesia-rise-to-
69-million/ [Diakses 5 Oktober 2017].
Uwes Fatoni. 2006. Komunikator Politik. Diambil 25 Oktober 2017 dari
http://komunikasipolitik.blogspot.com.
Ya'cob Billiocta, 2014. “Ini beda kampanye relawan Prabowo dan Jokowi di
media sosial,” https://www.merdeka.com/pe ristiwa/ini-beda-
kampanyerelawan-prabowo-dan-jokowidi-media-sosial.html
_______, Pengertian Media Sosial, Peran serta Fungsinya,
https://ptkomunikasi.wordpre ss.com/2012/ 06/11/ pengertian-media-
sosialperan-serta-fungsinya/
Urgensi Social Media Dalam Pemenangan Pemilu ... - Yimg
xa.yimg.com/.../Urgensi+Social+Media+Dalam+Pemenangan+Pemilu+20...
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/media-sosial-dalam-kampanye-
politik.html
Visa.(2012). “Connecting with the Millennials-A Visa Study”. Singapore.
https://www.bcgperspectives.com/content/articles/center_consumer_custo
mer_insight_consumer_products_indonesias_rising_middle_class_aduent_co
nsumers/?chapter=3.
Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BIODATA PENULIS

Yusrin Ahmad Tosepu, Lahir di Kendari Tanggal 13


Januari 1976.
Menempuh Pendidikan Sarjana Jurusan Manajemen
Informatika di STMIK Dipanegara Makassar, 2001.
Menempuh Pendidikan Pascasarjana Jurusan Ilmu
Komunikasi di Universitas Hasanuddin Makassar, 2010.
Dosen Tetap Pada Program Studi Manajemen
Informatika STMIK Handayani Makassar.
Dosen Pengajar prodi Teknologi Informasi dan Ilmu Komunikasi di beberapa
Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi
Periset Pada Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Tinggi
Indonesia (LSP3I) Pusat Makassar.
Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar
Penggiat Literasi Media ICT (Information Communication and Technology)

Anda mungkin juga menyukai