Oktober 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Implementasi Norma Susila Di Dalam Kehidupan Bermasyarakat ini tepat pada
waktunya.Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pengampu Ondik Andrianto, M.H. pada mata kuliah Etika Profesi
Hukum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan.
Kami ucapkan terimakasih kepada ibu dosen Ondik Andrianto, M.H selaku
dosen mata kuliah Etika Profesi Hukum yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga
kami dapay menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya perkara kesusilaan yang semakin marak akhir-akhir ini
menuntut sebuah pemahaman yang sangat mendalam tentang tatanan nilai
yang pantas dan berlaku dalam sebuah masyarakat yang dikenal dengan
norma kesusilaan. Bagaikan sebuah ‘pagar’ norma kesusilaan membatasi
perilaku individu masyarakat agar tidak melampaui batas kesusilaan sebagai
tindakan asusila. Fungsi control dari adanya pelanggaran terhadap norma
kesusilaan sebagaimana digariskan dalam politik hukum nasional secara
sosiologis memang terletak di tangan masyarakat sebagai korban dari tindak
pidana kesusilaan namun secara yuridis terdapat pada kekuasaan yudisiil.
Peran hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana kesusilaan
tidak dapat dengan mudah dilakukan terutama pada masyarakat yang
masih menjunjung tinggi adat sebagai sumber kesusilaan yang tertinggi.
Sebagaimana berlaku dalam masyarakat Bangkalan Madura, nilai-nilai adat
begitu menjiwai semua aspek kehidupan masyarakatnya terutama dalam
hal kesusilaan. Masyarakat Madura menekankan “mon oreng riya benni
bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakrama jube, ma’celep ka
ate” (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan namun
tatakramanya). 1
Pemahaman terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ini sangat
bersesuaian dengan ciri penemuan hukum progresif yang sangat penting
dipahami oleh hakim. Penemuan hukum Progresif memiliki beberapa
karakteristik diantaranya bersifat visioner (melihat kepentingan jangka
panjang), berani melakukan terobosan mengikuti dinamika masyarakat, dan
membawa kesejahteran kepada masyarakat. 2
1
.MH. Said Abdullah, 2011, “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas”, (Jakarta:
Taman Pustaka-SaidAbdullah Institute, 2011), hal. 132-133.
2
. Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hal. 93.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan Bermasyarakat ?
2. Kejahatan kesusilaan apa saja yang diatur didalam undang-undang ?
3. Apa Peran Kesusilaan Sebagai Standar Perilaku yang dilarang oleh hokum ?
4. Tindak Pidana Kesusilaan Apa saja yang diatur dalam KUHP ?
5. Apa saja dampak kesusilaan ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Bagaimana Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
2. Mengetahui Kejahatan kesusilaan apa saja yang diatur didalam undang-
undang.
3. Mengetahui Peran Kesusilaan Sebagai Standar Perilaku yang dilarang oleh
hokum.
4. Mengetahui Tindak Pidana Kesusilaan Apa saja yang diatur dalam KUHP
5. Mengetahui dampak kesusilaan.
BAB II
PEMBAHASAN
3
C.A van Peursen, 1988, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
B. Kejahatan kesusilaan dalam undang-undang
4
Hwian Christianto, “Norma Kesusilaan Sebagai Batasan Pornografi Menurut UNDANG-UNDANG
No. 44 Tahun 2008”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-40, No.1, Januari-Maret 2010, hal.
40
5
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
6
Hwian Christianto, “Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan studi kasus”, (Yogyakarta:
Suluh Media, 2017), hal, 67
4) Pasal 6, Memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi
5) Pasal 7, Mendanai atau memfasilitasi perbuatan di pasal 4
6) Pasal 8, Sengaja/persetujuan sendiri menjadi obyek/model
pornografi
7) Pasal 9, Menjadikan orang lain sebagai obyek/model pornografi
8) Pasal 10, Mempertontonkan diri atau orang lain di muka umum
yang bermuatan pornografi
9) Pasal 11, Melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek
pornografi
10) Pasal 12, Mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam
menggunakan produk/jasa pornografi.
7
Ibid, hal. 74
8
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Film
pada tempatnya. Secara khusus, kejahatan kesusilaan dalam UndangUndang
Film diatur dalam pasal 80 sebagai berikut:9
10
Budhijanto, Danrivanto., Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi &
Konver-gensi, Re ka Aditama, Bandung, 2010
11
Chazawi, Adami., & Ferdian, Ardi., Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan
Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik,
Bayumedia, Malang, 2011
Perhatian terhadap penyalahgunaan teknologi informasi ditunjukkan
melalui pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan
perbuatan yang dilarang dalam transaksi elektronik adalah “sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.”
13
Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus,
(Yogyakarta: Suluh Media, 2017), hlm. 7-10.
D. Tindak Pidana Kesusilaan menurut KUHP
Rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 296 KUHP, kesengajaan
pelaku harus ditunjukkan pada perbuatan memudahkan dilakukannya tindakan-
tindakan yang melanggar kesusilaan oleh orang lain dengan pihak ketiga, dan
membuat kesengajaan tersebut sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan.
Menurut hoge raad harus dipandang sebagai perbuatan dimudahkan dilakukannya
suatu tindakan melanggar kesusilaan. Contohnya menyewakan kamar untuk
memberikan kesempatan kepada orang lain melakukan suatu tindakan melanggar
kesusilaan dengan orang ke tiga.
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak lima ratus rupiah :
Ada tiga unsur yang membentuk kejahatan kesusilaan pertama menurut Pasal 281,
yang merupakan syarat esensial terwujudnya kejahatan, yaitu satu unsur subjektif
berupa kesalahan dalam bentuk kesengajaan, satu unsur mengenai tingkah laku atau
perbuatan materil dan suatu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya
perbuatan materil, dan satu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya
perbuatan materil, yakni dimuka umum. Kejahatan tersebut terdiri dari unsur-unsur
sebagai berikut :
14
Daliyo, J.B, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhallindo,2001), Hal.93
15
Adawi Chazaw, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: Pt.Raja Grafindo, 2007) Hal. 11
1. Unsur Subjektif (Unsur Kesengajaan (Opzettelijk)
Unsur ini merupakan kesengajaan yang ditempatkan pada permulaan rumusan,
yang mendahului unsur perbuatan melanggar kesusilaan dan tempatnya dimuka
umum. Berdasarkan keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) Wvs
Belanda, yang mengatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dicantumkan
unsur kesengajaan (Opzettelijk), harus diartikan bahwa unsur kesengajaan itu
haruslah ditujukan pada semua unsur yang ada pada urutan dibelakangnya. Artinya
unsur kesengajaan itu selalu harus ditujukan pada semua unsur yang ada
dibelakangnya, atau dengan kata lain semua unsur yang disebutkan sesudah sengaja
selalu diliput oleh unsur kesengajaan tersebut.
2. Unsur Objektif ( Perbuatan Melanggar Kesusilaan (Shcennis dereebarheid))
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan
pijakan hukum, yaitu
Adat tidak bertenturan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa
adat shahih.16 Sebab bila seluruh isi substantif nash tidak teranulir, maka tidak
dinamakan bertentangan dengan nash yang tak tereliminasi. Dengan
demikian, unsur-unsur positif adat yang tidak “berseberangan” dengan nash
bila dipelihara dan dijadikan pondasi hukum, sementara bagian-bagian nash
yang tidak “terlindas” oleh adat juga bisa dijadikan acuan hukum.17
Ynag di maksud dari adat yang bertentangan dengan nash adalah; adat
yang berlawanan dengan nash dari segala aspeknya, bukan adat yang
bertentangan dengan salah satu sendinya saja.18
16
Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin ‘Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-Qawa’id, Maktabag Al-
Rusydu, Riyadl, Cet 1 1997, Vol. 1/ hal. 377.
17
Dr. ‘Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIXX, 2001, hal. 256-257.
18
Ibid., hal. 256.
19
Ibid.
20
Ibid.
Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya. Hal ini
dapat dilihat dalam istilah-istilah yang biasa digunakan dalam transaksi jual
beli, wakaf, atau wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis transaksi ini
harus disesuaikan dengan istilah yang berlaku saat transaksi itu berlangsung,
bukan kebiasaan yang akan terbentuk kemudian.
22
Bambang Poernomo,Asas-asas hukum pidana,Ghalia Indonesia,Jakarta,1992, hlm.130.
23
Roeslan Shaleh,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar
dalamHukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, Hlm. 60
24
Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum, Universitas Atmajaya, Yogyakarta: 2010, hal 9-10.
Hakikat norma kesusilaan menurut Sudikno lebih merupakan masalah
pribadi individu ketika melihat suatu perbuatan itu jahat misalnya penipuan,
pencurian atau perkosaan apakah dirinya merasa menyesal, malu, takut atau rasa
bersalah. Berdasarkan pemahaman tersebut norma kesusilaan lebih diposisikan
sebagai suatu standar bagi individu dalam berespons terhadap suatu perbuatan apakah
baik atau tidak. Sedangkan terhadap norma yang lainnya, norma kesusilaan ini
bersama-sama dengan norma agama menjadi dasar bagi keberlakuan norma sopan
santun dan norma hukum. Jadi norma agama dan norma kesusilaan itu sebagai dasar
untuk memahami adanya nilai dan ukuran yang mendasar sedangkan norma sopan
santun dan norma hukum lebih pada pengaturan yang bersifat umum.
Sebagai norma yang bersifat publik sebenarnya norma kesusilaan ini sendiri
memberikan dasar keberlakuan yang sifatnya luas. Sifat luas ini sendiri sebenarnya di
dasarkan atas pertimbangan bahwa tiap individu memiliki satu dasar penilaian yang
sama bahwa sesuatu itu salah atau buruk sehingga sifatnya universal atau umum.
Chazawi menggunakan istilah yang berbeda tentang perbuatan asusila ini dengan
“tindak pidana kesopanan” namun pada intinya dimaknai sama sebagai upaya untuk
“melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) dari rasa kesopanan masyarakat (rasa
kesusilaan termasuk di dalamnya)”25 Sebagai contoh, “mempertontonkan orang
telanjang” merupakan suatu perbuatan yang di cela atau di anggap buruk oleh semua
golongan masyarakat. Di dalam praktek yang dijumpai perbedaan perlakuan itu
bukan mengisyaratkan adanya sikap yang berbeda dimana satu masyarakat itu
melarang dan masyarakat yang lain itu memperbolehkan.
Tiap masyakarat itu pasti melarang dan menganggap perbuatan itu sebagai
perbuatan yang tidak baik, hanya saja respons terhadap perbuatan ini yang berbeda
dari tiap masyarakat. Jenis sanksi yang dikenakan pada setiap norma berbeda-beda,
tergantung dari seberapa berat atau peraturan yang langgar, dan seberapa kuat norma
tersebut diberlakukan dalam masyarakat. Pada kasus pelanggaran norma kesusilaan
adapun sanksi yang didapat ketika melanggar norma ini adalah di antaranya rasa
bersalah dan penyesalan mendalam bagi pelanggarnya. Selain penyesalan dan rasa
bersalah, tak jarang seorang yang melanggar norma kesusilaan juga mendapatkan
sanksi berupa kecaman, sindiran, dan prasangka yang tidak baik dari masyarakat
setempat.
25
Chazawi, Adami., Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta: Rajawali Pers, , 2005
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Norma masyarakat adalah perwujudan nilai, ukuran baik atau buruk yang
dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di dalam
kehidupan bersama.
B. Saran
MH. Said Abdullah, 2011, “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas”,
(Jakarta: Taman Pustaka-SaidAbdullah Institute, 2011)
Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin ‘Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-
Qawa’id, Maktabag Al-Rusydu, Riyadl, Cet 1 1997, Vol. 1/
Dr. ‘Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIXX,
2001