Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Implementasi Norma Susila Di Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Etika Profesi Hukum”

Dosen Pengampu : Ondik Andrianto, M.H.

Oleh Kelompok 3 HTN 5A:


1. NAZILA ATHFI RAHMADINA 12103183016
2. FITRIA LAKSMANA PUTRI 12103183046
3. MELIANA WIJAYANTI 12103183047
4. M. RISKI DIMAS SYAHPUTRA 12103183049
5. LAILATUL KHASANAH 12103183083
6. IMAM NURKHOLIK 12103183085
7. DWIKI SEPTA PRASETYO 12103183087
8. LUTFI MUNAWAROH 12103183122
9. M. RIFAN FITRIANTO 12103183126
10. DINI KURNIAWATI 12103183127
11. M. MISBAHUL ARIFIN 12103183128
12. AHMAD SALEH (HTN-7A) 12103173101
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

Oktober 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Implementasi Norma Susila Di Dalam Kehidupan Bermasyarakat ini tepat pada
waktunya.Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pengampu Ondik Andrianto, M.H. pada mata kuliah Etika Profesi
Hukum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan.

Kami ucapkan terimakasih kepada ibu dosen Ondik Andrianto, M.H selaku
dosen mata kuliah Etika Profesi Hukum yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga
kami dapay menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Tulungagung, 21 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan Bermasyarakat


B. Kejahatan kesusilaan apa saja yang diatur didalam undang-undang
C. Peran Kesusilaan Sebagai Standar Perilaku yang dilarang oleh hokum
D. Tindak Pidana Kesusilaan Apa saja yang diatur dalam KUHP
E. Dampak kesusilaan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya perkara kesusilaan yang semakin marak akhir-akhir ini
menuntut sebuah pemahaman yang sangat mendalam tentang tatanan nilai
yang pantas dan berlaku dalam sebuah masyarakat yang dikenal dengan
norma kesusilaan. Bagaikan sebuah ‘pagar’ norma kesusilaan membatasi
perilaku individu masyarakat agar tidak melampaui batas kesusilaan sebagai
tindakan asusila. Fungsi control dari adanya pelanggaran terhadap norma
kesusilaan sebagaimana digariskan dalam politik hukum nasional secara
sosiologis memang terletak di tangan masyarakat sebagai korban dari tindak
pidana kesusilaan namun secara yuridis terdapat pada kekuasaan yudisiil.
Peran hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana kesusilaan
tidak dapat dengan mudah dilakukan terutama pada masyarakat yang
masih menjunjung tinggi adat sebagai sumber kesusilaan yang tertinggi.
Sebagaimana berlaku dalam masyarakat Bangkalan Madura, nilai-nilai adat
begitu menjiwai semua aspek kehidupan masyarakatnya terutama dalam
hal kesusilaan. Masyarakat Madura menekankan “mon oreng riya benni
bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakrama jube, ma’celep ka
ate” (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan namun
tatakramanya). 1
Pemahaman terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ini sangat
bersesuaian dengan ciri penemuan hukum progresif yang sangat penting
dipahami oleh hakim. Penemuan hukum Progresif memiliki beberapa
karakteristik diantaranya bersifat visioner (melihat kepentingan jangka
panjang), berani melakukan terobosan mengikuti dinamika masyarakat, dan
membawa kesejahteran kepada masyarakat. 2

1
.MH. Said Abdullah, 2011, “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas”, (Jakarta:
Taman Pustaka-SaidAbdullah Institute, 2011), hal. 132-133.
2
. Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hal. 93.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan Bermasyarakat ?
2. Kejahatan kesusilaan apa saja yang diatur didalam undang-undang ?
3. Apa Peran Kesusilaan Sebagai Standar Perilaku yang dilarang oleh hokum ?
4. Tindak Pidana Kesusilaan Apa saja yang diatur dalam KUHP ?
5. Apa saja dampak kesusilaan ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Bagaimana Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
2. Mengetahui Kejahatan kesusilaan apa saja yang diatur didalam undang-
undang.
3. Mengetahui Peran Kesusilaan Sebagai Standar Perilaku yang dilarang oleh
hokum.
4. Mengetahui Tindak Pidana Kesusilaan Apa saja yang diatur dalam KUHP
5. Mengetahui dampak kesusilaan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Implementasi Norma Susila di Dalam Kehidupan Bermasyarakat.


1. Pengertian Norma Susila.
Norma masyarakat adalah perwujudan nilai, ukuran baik atau buruk yang
dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di
dalam kehidupan bersama. Wujud nilai, ukuran baik buruk itu mengatur
bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan. Dinamakan
wujud nilai karena antara norma dan nilai itu berhubungan erat , bahkan
merupakan satu kesatuan, terutama nilai kebaikan.3

Sebagai pengertian abstrak, nilai berarti suatu keberhargaan, atau suatu


kualitas yang patut dimiliki seseorang. Batasan yang bercorak sosial
menyatakan bahwa nilai itu merupakan kemampuan yang dapat
mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat. Tiap-tiap perbuatan
dikatakan mengandung nilai, apabila perbuatan itu dapat mewujudkan apa
yang diinginkan bersama.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di muka, dapat disimpulkan bahwa


nilai (nilai kebaikan) yang semula sifatnya abstrak berubah menjadi
kenyataan dalam perbuatan manusia. Perbuatan yang mencerminkan nilai
itu kemudian merupakan contoh atau pedoman perbuatan selanjutnya.
Pedoman perbuatan (yang baik) itu dinamakan sebagai norma.

3
C.A van Peursen, 1988, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
B. Kejahatan kesusilaan dalam undang-undang

1. Kejahatan kesusilaan menurut UU No. 44 Tahun 2008 Tentang


Pornografi
Istilah "pornography" in sendiri sebenarnya berasal dari istilah Yunani
yang berarti "writing about prostitutes".4 Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 44
Tahun 2008 menegaskan definisi pomografi sebagai:
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.”5

Pornografi harus dibedakan dengan Pornoaksi. Pornografi lebih


berorientasi pada penyebaran informasi melalui media sedangkan pornoaksi
lebih spesik tentang tindakan atau perilaku.6 Bentuk kejahatan kesusilaan
menurut Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang pornografi antara lain:
1) Pasal 4 Ayat 1, Memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjual belikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi.
2) Pasal 4 Ayat 2, Menyediakan jasa pornografi
3) Pasal 5, Meminjamkan atau mengunduh pornografi

4
Hwian Christianto, “Norma Kesusilaan Sebagai Batasan Pornografi Menurut UNDANG-UNDANG
No. 44 Tahun 2008”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-40, No.1, Januari-Maret 2010, hal.
40
5
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
6
Hwian Christianto, “Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan studi kasus”, (Yogyakarta:
Suluh Media, 2017), hal, 67
4) Pasal 6, Memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi
5) Pasal 7, Mendanai atau memfasilitasi perbuatan di pasal 4
6) Pasal 8, Sengaja/persetujuan sendiri menjadi obyek/model
pornografi
7) Pasal 9, Menjadikan orang lain sebagai obyek/model pornografi
8) Pasal 10, Mempertontonkan diri atau orang lain di muka umum
yang bermuatan pornografi
9) Pasal 11, Melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek
pornografi
10) Pasal 12, Mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam
menggunakan produk/jasa pornografi.

2. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009


tentang Film
Perfilman harus di dasarkan atas Pancasila dan UUD 1945 yang
diarahkan kepada terpeliharanya Ketertiban Umum dan rasa kesusilaan;
Penyajian Hiburan yang sehat sesuai dengan Norma norma Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengaturan pertunjukan perfilman
juga harus memperhatikan peruntukan dan waktu tayang sehingga tepat
sasaran bagi masyarakat.7
Ketentuan hukum pasal 5 Undang-Undang Film mengatur hal
tersebut:8
“Kegiatan per lman dan usaha per lman dilakukan berdasarkan
kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung
tinggi nilai –nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya
bangsa.”

Tindakan asusila yang ditayangkan nelalui lm pada hakikatnya


merupakan tindakan merendahkan harkat dan martabat manusia karena
menjadikan tubuh manusia sebagai pelampiasan dari nafsu seksual yang tidak

7
Ibid, hal. 74
8
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Film
pada tempatnya. Secara khusus, kejahatan kesusilaan dalam UndangUndang
Film diatur dalam pasal 80 sebagai berikut:9

“Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual,


menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, fi lm
tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Tindakan tersebut sebenarnya sangat identik dengan tindakan


menunjukkan materi asusila di depan umum sesuai diatur dalam pasal 282
KUHP. Sesuai dengan asas lex specialist derogate legi generalist maka
berlakulah pasal 80 Undang-Undang Film untuk kejahatan asusila terkait
usaha film.

3. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999


tentang Telekomunikasi

Bidang telekomunikasi menjadi bidang yang sangat penting dalam


pembangunan masyarakat karena berkaitan erat dengan percepatan informasi
yang dibutuhkan pelaku usaha. Ignatius Haryanto menegaskan posisi penting
dari komunikasi dan informasi sudah menjadi suatu industri yang menjadi
tumpuan kehidupan manusia bahkan masa depan peradaban bergantung
padanya. Pembangunan bidang telekomunikasi nasional berawal dari
pengaturan hukum melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1964 yang lebih
berciri monopoli Peme-rintah Pusat. Bidang telekomunikasi dipandang sangat
penting dalam menjaga kestabilan keamanan politik dalam negeri sehingga
pemerintah mengambilalih pengelolaan sektor telekomunikasi secara total.
Seiring perubahan politik hukum reformasi, sektor telekomunikasi pun
mengalami perubahan yang sangat sigini􀃀 kan. Undang-Undang No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Undang-Undang Telekomunikasi)
diberlakukan dengan prinsip keterbukaan informasi sejalan dengan amanat
GATS (General Agreement on Trade dand Services). Artinya bidang
telekomunikasi tidak boleh di monopoli oleh Pemerintah melainkan terbuka
9
Lihat Pasal 80 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Film
pada sistim kompetisi yang sehat dan berorientasi pada kebutuhan konsumen.
Undang-Undang Telekomunikasi saat ini memiliki nuansa anti monopoli,
memberikan kesempatan untuk bersaing dan berorientasi pada kepentingan
konsumen (Budhujanto, 2010:38) tidak hanya kepentingan pemerintah
semata. Berangkat dari kondisi tersebut, usaha telekomunikasi mengalami
perubahan orientasi dari pelayanan jasa menjadi pelayanan
jasa berbasis ekonomi sehingga mengutamakan keuntungan ekonomis.10
Terkait dengan kesusilaan, pasal 21 Undang-Undang Telekomunikasi
menegaskan larangan bagi penyelenggara komunikasi melanggar kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Ketentuan hukum
tersebut memberikan prinsip penting bagi penyelenggaraan telekomunikasi
yang berpedoman pada perlindunga kepentingan umum, termasuk di
dalamnya kesusilaan. Hanya pembentuk Undang-Undang Telekomunikasi
rupanya tidak teliti dalam merumuskan tindak pidana telekomunikasi sebagai
pelanggaran pasal 21 Undang-Undang Telekomunikasi. Oleh karena itu
pelanggaran terhadap pasal 21 Undang-Undang Telekomunikasi harus
merujuk pada ketentuan hukum pidana yang diatur dalam pasal 282 KUHP.

4. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008


tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik)
seolah menjadi permasalahan yang dialami saat ini. Kebutuhan yang begitu
banyak dan kompleks dalam transaksi elektronik coba dirumuskan dalam
ketentuan hukum. Oleh karena itu tidak heran jika Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik tampak begitu padat, umum, serta abstrak untuk
dapat diterapkan pada kasus konkrit. Setidaknya Undang-Undang ini menjadi
umbrella act bagi Undang-Undang khusus yang mengatur tentang kegiatan
teknologi informasi.11

10
Budhijanto, Danrivanto., Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi &
Konver-gensi, Re􀃀 ka Aditama, Bandung, 2010
11
Chazawi, Adami., & Ferdian, Ardi., Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan
Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik,
Bayumedia, Malang, 2011
Perhatian terhadap penyalahgunaan teknologi informasi ditunjukkan
melalui pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan
perbuatan yang dilarang dalam transaksi elektronik adalah “sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.”

5. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak pidana perdagangan orang bukan merupakan tindakan yang


baru menurut hukum pidana Indonesia. Perdagangan manusia sudah dikenal
bangsa Indonesia dengan perdagangan budak dan perbudakan manusia sejak
jaman kerajaan hingga diberlakukannya Staatsblad Hindia Belanda No. 2
Tahun 1855 berjudul Reglement op het Beleid der Regering van Nederland-
Indie (Regering Reglement/RR) yang menghapuskan perbudakan secara total.
Pasal 297 KUHP secara eksplisit mengenal istilah “perdagangan orang”
secara terbatas meliputi wanita dan anak laki-laki. Konteks pengaturan
ketentuan hukum pidana tersebut dapat dipahami mengingat masyarakat saat
itu masih banyak terjadi perbudakan. Hartjen menjelaskan bahwa wanita dan
anak menjadi korban dalam tiga bentuk yaitu “the trafficking of women and
children for sexual and other purposes, the use of children in prostitution, and
the spread, particularly by internet, of child pornography.” Hal tersebut
menan-dakan bahaya perdagangan orang selalu terkait erat dengan tindakan
asusila lainnya. Wanita dan anak laki-laki sering dijadikan komoditas tenaga
yang diperjualbelikan sehingga sangat merendahkan martabat manusia.12
Berlainan dengan latar belakang pengaturan perdagangan orang
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(UU PTPPO) menyadari tantangan kejahatan perdagangan orang sudah
meluas dalam bentuk jaringan terorganisasi meliputi antarnegara yang
menjadi ancaman masyarakat menurut norma-norma kehidupan. Kebijakan
pengaturan UUPTPPO memberikan pendekatan yang berbeda terhadap
12
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Gra􀃀 ka, Jakarta,
Cetakan Pertama, 2010
kejahatan perdagangan orang bukan hanya dari sisi penanggulangan dan
penindakan tetapi dari sisi pencegahan.
Pemahaman pembentuk UUPTPPO juga nampak dalam penggunaan
istilah yang masih rancu. Istilah “pelaku” dan “korban” dalam tindak pidana
perdagangan orang tidak dijelaskan lebih rinci. Akibatnya korban
perdagangan orang bisa dikenakan ketentuan hukum pidana hanya karena
bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Posisi korban pun menjadi
sangat rentan untuk dijadikan pelaku kejahatan kesusilaan padahal dirinya
berkedudukan sebagai korban.

C. Kesusilaan sebagai Standar Perilaku yang Dilarang oleh Hukum


Keberadaan manusia sebagai individu pada hakikatnya memiliki nilai
-nilai yang di terapkan pada dirinya ketika menghidupi kehidupannya.
Pertemuan antara berbagai individu yang membawa konsep dan nilai yang
berbeda-beda ini pada akhirnya dikristalisasi dalam sebuah nilai yang sifatnya
komunal dalam suatu kumpulan individu yang disebut masya-rakat. Nilai
merupakan suatu ukuran yang mutlak dan sifatnya tetap ketika melihat satu
dan beberapa hal. Sebagai contoh, nilai kejujuran berlaku dalam suatu
pemahaman akan pentingnya berkata-kata sesuai keadaan yang sebenarnya
ketika melakukan segala transaksi.
Hakikat nilai ini sebagai “ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh
suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang baik,
dan sebagainya” (Soedarto, 1986:19). Dapat dikatakan dalam sebuah kalimat,
hakikat nilai itu sendiri merupakan “ukuran yang hidup” secara manunggal
pada tiap manusia sebagai individu ketika berinteraksi atau pun tidak
berinteraksi (Christianto, 2010:26).
Keberadaan nilai inilah yang sebenarnya menjadi suatu dasar bagi
seseorang untuk berperilaku dan mengukur perilakunya sebagai sesuatu yang
baik atau tidak. Keberadaan nilai yang begitu menentukan sikap atau perilaku
seseorang ini bersifat abstrak dikarenakan wujud dan bentuk dari nilai itu
sendiri sudah merupakan anugerah dari Tuhan yang maha kuasa. Namun
demikian, meskipun bersifat abstrak tidak berarti keberadaan nilai ini tidak
dapat dipahami secara jelas atau tidak menentu. Justru sebaliknya keberadaan
nilai menciptakan satu tatanan yang baik dan teratur ketika seseorang
menyadari pentingnya keteraturan dan sesuatu yang baik itu dilakukan.
Permasalahan timbul manakala fakta di lapangan menunjukkan suatu
sistim nilai (value system) dari suatu bangsa, masyarakat atau golongan
ternyata tidak sama. Sebagai contoh, suatu ukuran nilai kehormatan bagi suatu
golongan masyarakat tertentu begitu di agungkan dan menjadi prioritas
sehingga bila ada seseorang yang menghina orang lain, kepada orang yang
menghina itu harus diambil nyawanya. Jadi disini nilai kehormatan itu sama
dengan nyawa seseorang. Berbeda halnya pada golongan atau bangsa lain
yang memberikan respons berbeda ketika terjadi penghinaan atas orang lain.
Terhadap orang yang melanggar ini hanya dikenakan sanksi berupa
pembalasan atau denda maksimal penjara. Memang dari kenyataan-kenyataan
ini dapat dilihat bahwa setiap masyarakat, golongan dan bangsa mempunyai
sistim nilai yang berbeda tetapi perbedaan ini bukan pada esensinya. Bagi
semua bangsa, kehormatan merupakan sebuah nilai yang harus di junjung
tinggi karena menyangkut martabat. Ini berarti meskipun terdapat berbagai
perbedaan dalam menyikapi suatu nilai, pada hakikatnya pemahaman akan
arti penting suatu nilai tetap diakui sebagai sesuatu yang penting.
Perwujudan selanjutnya, nilai ini sendiri terurai dalam pelaksanaannya
di dalam beberapa ketentuan-ketentuan yang sifatnya lebih konkrit. Dalam
tahap perwujudan ini terbentuklah apa yang dinamakan dengan norma.
Soedarto menjelaskan norma ini sebagai anggapan-anggapan yang sedikit atau
banyak mengikat perbuatan seseorang dalam masyarakat. Menurutnya
anggapan-anggapan ini berfungsi sebagai petunjuk bagaimana seseorang
harus berbuat atau tidak harus berbuat. Secara langsung Soedarto menjelaskan
hal ini sebagai “anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus
berbuat” (Christianto). Dapat dikatakan satu hal yang membedakan antara
‘norma’ dengan ‘nilai’ terdapat pada bentuk yang lebih konkrit dan dapat
diajukan rujukan yang tetap. Ini berarti arti penting dari norma ini di dalam
pergaulan hidup manusia bagaikan sebuah kesepakatan bersama tentang
‘aturan main’ di dalam melakukan segala sesuatu termasuk baik atau
buruknya sesuatu itu.
Hanya saja satu hal yang sangat menarik dari norma ini jika
dibandingkan dengan bentuk nilai , pada norma ini memiliki sifat mendasar
tentang apa yang seharusnya dilakukan sebagai sesuatu yang terbaik (ought)
sangat berbeda dengan “nilai” yang hanya memberi dasar apa yang baik.
Perkembangan pengaturan selanjutnya menjadi lebih konkrit ketika apa yang
seharusnya ini harus dituangkan dalam bentuk aturan hukum yang konkrit
(tertulis). Hal ini mengingat ada begitu banyak interaksi dan bidang-bidang
yang secara sektoral membutuhkan pengaturan secara spesifik. Pada titik
inilah muncul produk-produk hukum berupa hukum tertulis seperti Undang-
Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi pada bagian ini
dapat dilihat satu korelasi yang erat antara hukum sebagai laws menjadi dasar
bagi keberlakuan hukum dalam pengertian rule.
Permasalahan berikutnya pada masyarakat itu sendiri yang secara
terus-menerus mengalami perkembangan dalam tiap jamannya. Dengan kata
lain ukuran untuk menilai suatu perbuatan itu sebagai perbuatan yang asusila
atau tidak benar-benar mengikuti perkembangan jaman. Topo Santoso dalam
tulisannya mengutip pendapat Sahetapy dan Reksodiputro yang mengkaitkan
pengaruh perkembangan masyarakat ini begitu beriringan dengan pemahaman
akan nilai hukum dari suatu norma di masyarakat sebagai akibat akselerasi
pembangunan (Santoso, 1995:154-155). Hanya saja tidak berarti ‘akselerasi’
ini menyebabkan hapusnya nilai kesusilaan di dalam masyarakat. Nilai
kesusilaan tetap di pahami sebagai bagian yang integral dari suatu manusia
ketika bereksistensi dengan sesamanya. Dengan kata lain, pemahaman akan
nilai kesusilaan ini memang terus akan berkembang, bukan dirubah tetapi
akan dilengkapi dan semakin “adaptable” dengan kondisi masyarakat tanpa
harus menghilangkan ciri khas suatu masyarakat.13

13
Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan Studi Kasus,
(Yogyakarta: Suluh Media, 2017), hlm. 7-10.
D. Tindak Pidana Kesusilaan menurut KUHP

Norma kesusilaan adalah ketentuan bertingkah laku dalam hubungan antar


sesama manusia dalam banyak hal berdasarkan pada “kata hati nurani”. Norma
kesusilaan merupakan ketentuan tingkah laku yang baik dan yang jahat. Norma
kesusilaan meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakal dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat yang
bersangkutan. Norma kesusilaan tidak hanya terbatas bagi orang-orang yang
memeluk agama tertentu saja, melainkan juga bagi mereka yang tidak mengakui
suatu agama.

Norma kesusilaan dalam masyarakat tidak hanya mengatur tingkah laku


manusia , tetapi terdapat sanksi apabila melanggar. Dalam KUHP, perbuatan yang
tergolong melanggar norma kesusilaan disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan
atau delik kesusilaan. Delik susila menurut kamus besar bahasa indonesia yaitu tindak
pidana berupa pelanggaran susila. Pelanggaran susila adalah suatu tindakan yang
melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran dan sanksinya diatur
dalam KUHP.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHP bertujuan untuk memberikan


perlindungan bagi orang-orang yang membutuhkan untuk mendapatkan perlindungan
terhadap tindakan asusila dan terhadap perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun
dalam bentuk perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan
pandangan orang tentang kepatutan dibidang kehidupannya, baik ditinjau dari segi
pandangan masyarakat setempat maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat
setempat. Delik kesusilaan diatur dalam bab XIV buku II KUHP dengan judul “
kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai pasal 281 KUHP sampai dengan pasal
297 KUHP.

Seseorang tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila salah


satu unsur tindak pidana yang didakwakan kepada orang tersebut tidak dapat
dibuktikan. Sebab tidak terpenuhinya salah satu unsur tindak pidana tersebut
membawa konsesuensi dakwaan atas tindak pidana tersebut tidak terbukti. Meskipun
demikian, batasan normatif tersebut dalam perkembangannya mengalami pergeseran,
dimana sangat mungkin orang tetap dapat dipersalahkan melakukan suatu tindak
pidana berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sekalipun perbuatan
tersebut tidak secara tegas diatur didalam perangkat normatif atau undang-undang.

Rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 296 KUHP, kesengajaan
pelaku harus ditunjukkan pada perbuatan memudahkan dilakukannya tindakan-
tindakan yang melanggar kesusilaan oleh orang lain dengan pihak ketiga, dan
membuat kesengajaan tersebut sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan.
Menurut hoge raad harus dipandang sebagai perbuatan dimudahkan dilakukannya
suatu tindakan melanggar kesusilaan. Contohnya menyewakan kamar untuk
memberikan kesempatan kepada orang lain melakukan suatu tindakan melanggar
kesusilaan dengan orang ke tiga.

Dengan demikian makna “ kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan


dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia. Maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian tindak pidana kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum,
dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada di dalam diri manusia yang
telah diatur dalam perundang-undangan.14

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Kesusilaan

Kejahatan yang yang dirumuskan dalam Pasal 281 adalah :15

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak lima ratus rupiah :

1. Barang siapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;


2. Barang siapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada di situ
bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Ada tiga unsur yang membentuk kejahatan kesusilaan pertama menurut Pasal 281,
yang merupakan syarat esensial terwujudnya kejahatan, yaitu satu unsur subjektif
berupa kesalahan dalam bentuk kesengajaan, satu unsur mengenai tingkah laku atau
perbuatan materil dan suatu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya
perbuatan materil, dan satu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya
perbuatan materil, yakni dimuka umum. Kejahatan tersebut terdiri dari unsur-unsur
sebagai berikut :

14
Daliyo, J.B, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhallindo,2001), Hal.93
15
Adawi Chazaw, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: Pt.Raja Grafindo, 2007) Hal. 11
1. Unsur Subjektif (Unsur Kesengajaan (Opzettelijk)
Unsur ini merupakan kesengajaan yang ditempatkan pada permulaan rumusan,
yang mendahului unsur perbuatan melanggar kesusilaan dan tempatnya dimuka
umum. Berdasarkan keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) Wvs
Belanda, yang mengatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dicantumkan
unsur kesengajaan (Opzettelijk), harus diartikan bahwa unsur kesengajaan itu
haruslah ditujukan pada semua unsur yang ada pada urutan dibelakangnya. Artinya
unsur kesengajaan itu selalu harus ditujukan pada semua unsur yang ada
dibelakangnya, atau dengan kata lain semua unsur yang disebutkan sesudah sengaja
selalu diliput oleh unsur kesengajaan tersebut.
2. Unsur Objektif ( Perbuatan Melanggar Kesusilaan (Shcennis dereebarheid))

Melanggar Kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang menyerang rasa


kesusilaan dimasyarakat. Perbuatan abstrak itu adalah suatu perbuatan yang
dirumuskan sedemikian rupa oleh pembentuk undang-undang, yang isinya atau wujud
kongkretnya itu ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas, dan wujud
perbuatannya dapat diketahui pada saat perbuatan itu telah terjadi secara sempurna,
misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin
orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau
vaginanya dan sebagainya yang dilakukannya di muka umum.
3. Unsur Objektif ( Unsur Secata Terbuka atau dimuka Umum (Openbaar) )
Unsur di muka umum (openbaar) artinya di muka orang banyak. Biasanya orang
banyak itu berada di suatu tempat yang disebut dengan tempat umum. Pembuat
melakukan perbuatan melanggar kesusilaan itu di tempat umum yang disana hadir
banyak orang. Sesungguhnya sifat terbukanya dari perbuatan melanggar kesusilaan
bukanlah sekedar pada banyak orang saja. tetapi pada keleluasan atau kebebebasan
atau secara bebas bagi orang banyak ditempat umum tersebut, tanpa ada halangan
atau di tutup-tutupi oleh si pembuat atau mengetahui perbuatan melanggar kesusilaan
yang dilakukannya, atau bagi tiap orang yang berada di tempat itu tidak di
perlukannya upaya khusus untuk dapat melihat si pembuat melanggar kesusilaan
tersebut.
Sebagai perluasan arti sifat terbuka di muka umum ini ialah tidak hanya di
tempat banyak orang seperti tersebut di atas saja, tetapi juga terdapat pada suatu
tempat di mana seseorang melakukan perbuatan melanggar kesusilaan itu dapat
dilihat oleh orang-orang yang berada di tempat umum.

Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan
pijakan hukum, yaitu

1. Adat tidak bertentangan dengan salah satu nash syariat.

Adat tidak bertenturan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa
adat shahih.16 Sebab bila seluruh isi substantif nash tidak teranulir, maka tidak
dinamakan bertentangan dengan nash yang tak tereliminasi. Dengan
demikian, unsur-unsur positif adat yang tidak “berseberangan” dengan nash
bila dipelihara dan dijadikan pondasi hukum, sementara bagian-bagian nash
yang tidak “terlindas” oleh adat juga bisa dijadikan acuan hukum.17

Ynag di maksud dari adat yang bertentangan dengan nash adalah; adat
yang berlawanan dengan nash dari segala aspeknya, bukan adat yang
bertentangan dengan salah satu sendinya saja.18

2. Berlaku dan atau berlakunya secara umum dan konstan.

Adat berlaku konstan (iththinid) dan menyeluruh, atau minimal


dilakukan kalangan mayiritas (ghalib). Cara mengukur konstansi adat
sepenuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat (ahl al-‘urf),19 apakah ia
dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka jalankan atau tidak.
Yang dimaksud adat konstan (ithirad) adalah adat yang bersifat umum dan
tidak berubah-ubah dari wktu ke waktu. Sedangkan parameter menyeluruh
atau mayoritas (ghalib) adalah berdasar asumsi masyarakat, bukan ukuran
yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh.20

3. Tradisi itu sudah terbentuk bersamaan dengan saat pelaksanaannya.

16
Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin ‘Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-Qawa’id, Maktabag Al-
Rusydu, Riyadl, Cet 1 1997, Vol. 1/ hal. 377.
17
Dr. ‘Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIXX, 2001, hal. 256-257.
18
Ibid., hal. 256.
19
Ibid.
20
Ibid.
Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya. Hal ini
dapat dilihat dalam istilah-istilah yang biasa digunakan dalam transaksi jual
beli, wakaf, atau wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis transaksi ini
harus disesuaikan dengan istilah yang berlaku saat transaksi itu berlangsung,
bukan kebiasaan yang akan terbentuk kemudian.

4. Tidak terdapat ucapan dan perbuatan yang berlawanan dengan nilai


substansial yang dikandung oleh tradisi (madlmun al-adat).

Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-


nilai substansial adat (madlmun al-adat). Misalnya di sebuah pasar telah
umum berlaku pelemparan alat tukar (tsaman) dalam prosesi transaksi.
Pelemparan alat tukar yang biasa diistilahkan dengan tsaqit al-tsaman tersebut
adalah sebagai tanda bukti pembayaran tanpa melalui media ucapan. Tanpa
mengucapkan satu kata pun, kedua belah pihak yang bertransaksi sudah
menganggap penjatuhan tsaman itu sebagai bentuk nyata persetujuan traksaksi
yang dilakukan. Selama pihak pembeli tidak menyatakan bahwa tujuan
melempar uang itu bukan untuk membeli barang, maka selama itu pula
transaksi tersebut dianggap sah.21

5. Dampak Norma Kesusilaan

Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila. Delik-delik


pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 281-283 KUHP. Pelanggaran asusila
dalam pengertian disini adalahsuatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis
dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-
ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk
oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan
terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchte handelingen dan terhadap perilaku-
perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan
yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang
keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan
masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu
21
Abdul Haq dan Ahmad Mubarok dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh “Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual” Cet. 6 (Surabaya: 2007), hal. 285.
telah dilakukan, maupun ditinjaudari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam
menjalankan kehidupan seksual mereka.22

Roeslan Shaleh mengatakan pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi


pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang
termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan
masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa delik kesusilaan
adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan pengertian
dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan
dengan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak
pidana mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal
(das recht ist das ethischeminimum).23

Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan


atau kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup di
masyarakat. Sifat asusila yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi
tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjunjung
tinggi nilai moral. Menurut Simons kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut
bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak
senonoh dapat menyinggung rasa malu kesusilaan orang lain.

Norma kesusilaan merupakan norma yang memberikan dasar atau ukuran


bagi suatu perbuatan yang baik (bermoral) atau tidak. Jika dikaitkan dengan norma
lain seperti norma sopan santun dan norma hukum maka norma kesusilaan lebih
memberikan dasar penilaian (ukuran) yang berlaku bagi pribadi seseorang. Sudikno
menjelaskan hakikat norma kesusilaan ini dengan “kaedah kesusilaan berhubungan
dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia.
Asal atau sumber kaedah kesusilaan adalah dari manusia sendiri, jadi bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia
juga.”(Mertokusumo, 2010:9-10)24.

22
Bambang Poernomo,Asas-asas hukum pidana,Ghalia Indonesia,Jakarta,1992, hlm.130.
23
Roeslan Shaleh,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar
dalamHukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, Hlm. 60
24
Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum, Universitas Atmajaya, Yogyakarta: 2010, hal 9-10.
Hakikat norma kesusilaan menurut Sudikno lebih merupakan masalah
pribadi individu ketika melihat suatu perbuatan itu jahat misalnya penipuan,
pencurian atau perkosaan apakah dirinya merasa menyesal, malu, takut atau rasa
bersalah. Berdasarkan pemahaman tersebut norma kesusilaan lebih diposisikan
sebagai suatu standar bagi individu dalam berespons terhadap suatu perbuatan apakah
baik atau tidak. Sedangkan terhadap norma yang lainnya, norma kesusilaan ini
bersama-sama dengan norma agama menjadi dasar bagi keberlakuan norma sopan
santun dan norma hukum. Jadi norma agama dan norma kesusilaan itu sebagai dasar
untuk memahami adanya nilai dan ukuran yang mendasar sedangkan norma sopan
santun dan norma hukum lebih pada pengaturan yang bersifat umum.
Sebagai norma yang bersifat publik sebenarnya norma kesusilaan ini sendiri
memberikan dasar keberlakuan yang sifatnya luas. Sifat luas ini sendiri sebenarnya di
dasarkan atas pertimbangan bahwa tiap individu memiliki satu dasar penilaian yang
sama bahwa sesuatu itu salah atau buruk sehingga sifatnya universal atau umum.
Chazawi menggunakan istilah yang berbeda tentang perbuatan asusila ini dengan
“tindak pidana kesopanan” namun pada intinya dimaknai sama sebagai upaya untuk
“melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) dari rasa kesopanan masyarakat (rasa
kesusilaan termasuk di dalamnya)”25 Sebagai contoh, “mempertontonkan orang
telanjang” merupakan suatu perbuatan yang di cela atau di anggap buruk oleh semua
golongan masyarakat. Di dalam praktek yang dijumpai perbedaan perlakuan itu
bukan mengisyaratkan adanya sikap yang berbeda dimana satu masyarakat itu
melarang dan masyarakat yang lain itu memperbolehkan.
Tiap masyakarat itu pasti melarang dan menganggap perbuatan itu sebagai
perbuatan yang tidak baik, hanya saja respons terhadap perbuatan ini yang berbeda
dari tiap masyarakat. Jenis sanksi yang dikenakan pada setiap norma berbeda-beda,
tergantung dari seberapa berat atau peraturan yang langgar, dan seberapa kuat norma
tersebut diberlakukan dalam masyarakat. Pada kasus pelanggaran norma kesusilaan
adapun sanksi yang didapat ketika melanggar norma ini adalah di antaranya rasa
bersalah dan penyesalan mendalam bagi pelanggarnya. Selain penyesalan dan rasa
bersalah, tak jarang seorang yang melanggar norma kesusilaan juga mendapatkan
sanksi berupa kecaman, sindiran, dan prasangka yang tidak baik dari masyarakat
setempat.

25
Chazawi, Adami., Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta: Rajawali Pers, , 2005
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Norma masyarakat adalah perwujudan nilai, ukuran baik atau buruk yang
dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di dalam
kehidupan bersama.

Kejahatan kesusilaan menurut UU No. 44 Tahun 2008 Tentang


Pornografi. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2009 tentang Film. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kejahatan Kesusilaan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Keberadaan manusia sebagai individu pada hakikatnya memiliki nilai


-nilai yang di terapkan pada dirinya ketika menghidupi kehidupannya. Pertemuan
antara berbagai individu yang membawa konsep dan nilai yang berbeda-beda ini
pada akhirnya dikristalisasi dalam sebuah nilai yang sifatnya komunal dalam
suatu kumpulan individu yang disebut masya-rakat. Nilai merupakan suatu
ukuran yang mutlak dan sifatnya tetap ketika melihat satu dan beberapa hal.
Sebagai contoh, nilai kejujuran berlaku dalam suatu pemahaman akan pentingnya
berkata-kata sesuai keadaan yang sebenarnya ketika melakukan segala transaksi.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHP bertujuan untuk
memberikan perlindungan bagi orang-orang yang membutuhkan untuk
mendapatkan perlindungan terhadap tindakan asusila dan terhadap perilaku baik
dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan yang menyinggung rasa
susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan dibidang
kehidupannya, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun
ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat. Delik kesusilaan diatur dalam
bab XIV buku II KUHP dengan judul “ kejahatan terhadap kesusilaan” yang
dimulai pasal 281 KUHP sampai dengan pasal 297 KUHP.
Tiap masyakarat itu pasti melarang dan menganggap perbuatan itu sebagai
perbuatan yang tidak baik, hanya saja respons terhadap perbuatan ini yang berbeda
dari tiap masyarakat. Jenis sanksi yang dikenakan pada setiap norma berbeda-beda,
tergantung dari seberapa berat atau peraturan yang langgar, dan seberapa kuat norma
tersebut diberlakukan dalam masyarakat. Pada kasus pelanggaran norma kesusilaan
adapun sanksi yang didapat ketika melanggar norma ini adalah di antaranya rasa
bersalah dan penyesalan mendalam bagi pelanggarnya. Selain penyesalan dan rasa
bersalah, tak jarang seorang yang melanggar norma kesusilaan juga mendapatkan
sanksi berupa kecaman, sindiran, dan prasangka yang tidak baik dari masyarakat
setempat.

B. Saran

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi


pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan
sampaikan kepada kami.

Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan


memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah,
khilaf, dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA

MH. Said Abdullah, 2011, “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas”,
(Jakarta: Taman Pustaka-SaidAbdullah Institute, 2011)

Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum


Progresif”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),

C.A van Peursen, 1988, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Hwian Christianto, “Norma Kesusilaan Sebagai Batasan Pornografi Menurut


UNDANG-UNDANG No. 44 Tahun 2008”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun
ke-40, No.1, Januari-Maret 2010,

Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Hwian Christianto, “Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan studi


kasus”, (Yogyakarta: Suluh Media, 2017),

Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Film

Budhijanto, Danrivanto., Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi


Informasi: Regulasi & Konver-gensi, Re􀃀 ka Aditama, Bandung, 2010

Hwian Christianto, Kejahatan Kesusilaan Penafsiran Ekstensif dan Studi


Kasus, (Yogyakarta: Suluh Media, 2017),

Daliyo, J.B, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhallindo,2001)

Adawi Chazaw, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: Pt.Raja Grafindo, 2007)

Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bin ‘Abd al-Mu’min al-Hishny, Kitab al-
Qawa’id, Maktabag Al-Rusydu, Riyadl, Cet 1 1997, Vol. 1/

Dr. ‘Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz al-Fiqh, Muassasah al-Risalah, vol. IIXX,
2001

Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah) (Malang,


UIN Maliki Press. 2010), hal. 209.

Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah Vol. 2 No. 1 (Januari: 2018),

Anda mungkin juga menyukai