Anda di halaman 1dari 13

Tinjauan Hukum Normatif Terhadap Kedudukan Hukum Advokat Dan Perkembangan

Hukum Indonesia Dalam menyelesaikan Sengketa

Oleh :

Amira Nur Azizah (12103183006)


Rinda Ayu Nindiaswati (12103183007)
Ervan Adi Wicaksono (12103183008)
Nella Isniatul Faizah (12103183009)
Heru Kurniawan (12103183010)

Abstract

Negara Republik Indonesia adalah prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan sesuai dengan ideologi negara kesatuan Republik Indonesia yaitu pancasila
tepatnya pada sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”.
Advokat adalah prinsip orang yang bekerja memberikan jasa hukum baik didalam maupun
diluar pengadilan memenuhi berbagai persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.
Advokat adalah sebagai salah satu aparat penegak hukum di indonesia, yang idealnya
senantiasa memberi kepentingan masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang agama,
budaya, warna kulit , tempat tinggal, tingkat ekonomi, gender. Dan memberikan bantuan hukum
secara Cuma-Cuma kepada masyarakat yang prinsipnya tidak mampu , bantuan hukum litigasi
dan bantuan hukum nonlitgasi.

Pendahuluan

Pesatnya sebuah perkembangan masyarakat dan semakin kompleksnya prinsip yang


terjalin diantara mereka, baik dibidang sosial maupun ekonomi, perlu diikuti didalam aturan
hukum guna bisa menjaga ketertiban didalam relasi tersebut. Rumitnya antara sebuah hukum
yang berlaku membuat aturan hukum tersebut tidak mudah untuk dipahami oleh kalangan
masyarakat. Dan Berdasarkan ini dengan kata prinsip penyelesaiannya sampai ke pengadilan.
Dalam upaya Kondisi ini menempatkan profesi advokat pada profesi penting dalam kehidupan
masyarakat. Advokat sebagai seorang wakil kuasa hukum dalam sebuah perkara perdata dimuka
hakim atau pengadilan dan kesulitan dari klien yang dapat diatasi. Berdasarkan hal itu maka
dapat diberikan satu sebuah alasan bahwa yang sebenarnya cukup besar kebutuhan akan kuasa
bagi pihak yang berperkara karena umumnya mereka tidak tau bagaimana memperolehnya hak-
hak dan kewajibannya didalam bidang hukum. Advokat sebagai profesi hukum dikenal dengan
istilah advocaat dan procureur di negeri belanda, sedangkan pengertian Advokat menurut
undang-undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasal 1 ayat (1) Advokat adalah seseorang
yang berprofesi memberikan layanan jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang advokat.
Untuk kepentingan penyelesaiankan sengketa yang terjadi ataupun permasalahan hukum
lainnya, pada umumnya para pihak yang bersengketa yang telah menggunakan jasa profesional
advokat untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam konteks
tersebuti, advokat merupakan ahli profesi yang pemberikan layanan jasa hukum saat
menjalankan tugas dan fungsinya dapat bertugas sebagai pendamping, memberi advise hukum,
atau memberi kuasa hukum atas nama kliennya. Dalam memberikan layanan jasa hukumnya, ia
dapat melakukan secara prodeo ataupun atas dasar mendapatkan honorarium/fee dari klien. 1 Dan
dapat pula menjadi mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang suatu perkara pidana,
perdata maupun tata usaha negara. Ia juga menjadi pasilitor dalam mencari kebenaran,
menegakkan keadilan dan memberikan pembelaan hukum.

Advokat juga memiliki keperdulian pada keadilan bagi rakyat kecil bukan sebagai belas
kasih semata. Oleh sebab itu untuk pembela kepentingan rakyat kecil menjadi agenda utama para
advokat sebagai individu dan komunitasnya sebagai kolektif. Dalam konteks inilah kode etik
profesi yang mengemuka dan kolektifitas yang bisa diwujudkan melalui pembentukan komunitas
lembaga atau organisasi profesi menampakkan signifikasinya. Kode etik profesi yang kasat mata
terlihat seperti membatasi ruang gerak advokat pada saat menjalankan profesinya, justru dalam
memprestasikan komponen vital dari interaksi timbal balik antara profesi dengan masyarakat
luas.2 Namun dalam kenyataannya profesi Advokat tersebut terkadang menimbulkan pro dan
kontra terhadap sebagian masyarakat terutama yang berkaitan dengan perananya didalam
memberikan jasa hukum.

Apabila dalam perilaku yang terakhir ini yang ditampilkan advokat, maka gugurlah
sebuah adagium yang menganggap advokat sebagai officium nabile. Dalam Profesi kemulian ini
akan hancur dan ternoda oleh praktek penyimpangan yang dapat dilakukan oleh segelintir
advokat dalam memberikan layanan jasa pada klien atau masyarakat. Terlepas dari pro-kontra
masyarakat terhadap peran advokat, pada kenyataanya dalam pemberian layanan jasa hukum
melalui advokat bagi setiap warga negara telah berlangsung sejak lama. Hal ini kemudian
dimasudkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Secara histories peran dalam
pemberian layanan jasa hukum oleh advokat di indonesia dimulai sejak masa penjajahan
belanda. Setelah perang Napoleon pada permulaan abad XIX. Dimana ada sebuah koloni, sistem
hukum yang secara formal tersebut diberlakukan di Indonesia sebagai mengadopsi sistem hukum
yang ditetapkan pemerintah oleh belanda.3

Menurut Oemar Seno Adji, “dalam peraturan-peraturan profesi pada umumnya dapat
mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah
laku atau perbuatan dalam melakukan profesi”.4 Dalam berlakunya Undang-undang Advokat
tidak ada perbedaan antara pengacara dan advokat. Pada awalnya seorang Advokat dapat
beracara di seluruh indonesia, sedangkan pengacara wilayahnya hanya sebatas provinsi dalam
1
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam perspektif Islam dan Hukum Positif. (Jakarta : Ghalian
Indonesia, 2003). Cet 1, Hal 17
2
Binziad kadafi,et.al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi,(Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia, 2002), Cet ke-3, hal 10.
3
Binziad kadafi,et.al., Advokasi Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan,
2002), cet ke-3, hal 2.
4
Oemar Seno Adji, profesi Advokat, penerbit erlangga, jakarta, 1991, 15.
wilayah dimana bertugas dan berkendudukan. Argumen tentang keharusan adanya Advokat di
dalam masyarakat timbul “karena di dalam masyarakat tidak banyak justisiable yang memiliki
pengetahuan yang memadai tentang hukum sehingga dalam berperkara meminta bantuan kepada
advokat”.5

A. Penyelesaian Sengketa
Alternative Dispute Resolution (ADR) Merupakan suatu istilah asing padananya dalam
bahasa Indonesia mengistilahkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau ada
yang menyatakan sebagai pengelolaan suatu konflik berdasarkan manajemen kooperatif.
Namun apapun bahasa yang digunakan ADR mempunyai maksud sebagai menyelesaikan
suatu masalah atau konflik secara damai.
Pengertian ADR atau APS, yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi,konsilisasi, atau penilaian ahli. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan ADR ialah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan
berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara
litigasi di Pengadilan. Penggunaan pranata Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini
bukan sesuatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu.
Pada hakikatnya penyelesaian sengketa tertua melalui dua proses. Proses penyelesaian
sengketa melalui proses litigasi didalam pengadilan,kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerjasama diluar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan
kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya
yang relatif mahal tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang
bersengketa. Sebaliknya jika penyelesaian diluar pengadilan menghasilkan kesepakatan
yang bersifat win-win solution dijamin kerahasian para pihak dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administratif menyelesaikan masalah secara
komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Satu satunya kelebihan
proses nonlitigasi ini sifatnya kerahasiaan karena proses persidangan dan bahkan hasil
keputusan nya pun tidak dipublikasikan.6
Pola Penyelesaian Sengketa yaitu the binding adjudicative procedure (penyelesaian
dengan cara yang mengikat dan terstruktur) dan the non-binding adjudicative procedure
(penyelesaian tidak mengikat). Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan, perbedaannya
terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh instansi tersebut,
persamaannya terletak pada pola penyelesaian sengketa yang sama-sama memberikan
putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.
1. Penyelesaian sengketa dalam prosedur putusan yang mengikat.

5
E. Sumaryono, Etika profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995,
hlm 156.
6
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitase dan Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana 2015,
hlm 1.
The Binding Adjudicative Procedure biasanya menghasilkan keputusan yang
mengikat tentang hak-hak dari para pihak yang diputuskan oleh pihak ketiga yang
netral.7
a. Ligitasi yaitu penyelesaian sengketa antara para pihak melalui jalur peradilan.
b. Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa melalui proses yang disetujui sejak awal
di mana proses tersebut ditentukan oleh pihak yang berperkara.
c. Mediaasi Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa dimulai dengan proses mediasi
oleh mediator yang netral, dan apabila kemudian ternyata terdapat hal-hal
teknis yang tidak dapat tercapai keputusan bersama para pihak, maka sengketa
tersebut dapat dilanjutkan melalui proses arbitrase.
d. Hakim partikulir yaitu pemeriksaan isu tertentu atau keseluruhan di depan
hakim partikulir, wasit melalui penunjukan atau persetujuan para pihak.
2. Penyelesaian sengketa dalam prosedur ajudikatif yang tidak mengikat.
Prosedur ini tidak mengikat dan murni berupa pemberian nasehat. Prosedur ini
tergantung sepenuhnya kepada kerelaan dari para pihak dan sering sekali dilakukan
oleh bantuan pihak ketiga yang tidak memihak.
a. Konsiliasi yaitu bertindak sebagai penegah dengan kesepakatan para pihak dan
mengusahakan solusi yang dapat diterima para pihak.
b. Mediasi yaitu mediator membatu para pihak mencapai penyelesaian atas dasar
negosiasi suka sama suka atas perbedaan pendapat mereka.
c. Mini Trial/ Peradilan Sederhana yaitu biasanya digunakan dalam sengketa
perusahaan besar. Prosedur mini trial ini cukup sederhana dan dirasa sanggup
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan para pihak yang bersengketa, sehinggga
prosesnya dapat dibuat akomodatif. Dalam proses ini mencakup tiga tahap,
yaitu: proses pembuktian, pertukaran informasi, dan akhirnya pembicaraan
mengenai materi penyelesaian Sengketanya.8
d. Summary Jury Trial yaitu bentuk yang dikatakan hamper sama dengan mini
trial. Sistem dan proses penyelesaiannya diawali dengan penunjukan beberapa
orang dalam suatu grup yang akan bertindak sebagai juri oleh para pihak yang
bersengketa.
e. Neutral Expert Fact Finding yaitu pendapat para ahli yang bersifat teknis dan
sesui bidangnya, sebelm ligitasi benar-benar dilakukan.9
f. Early Neutral Evaluation yaitu praktisi hukum yang andal, netral,
berpengalaman membantu para pihak untuk menganalisis isu-isu kritis yang
diperkarakan.10

7
Ningrum Natasia Sirait, Bentuk ADR dan Prinsip-prinsip Mediasi, 2002, hlm 10.
8
Peter Lovenheim & Lisa Guerin, Mediate Don’t Litigate Strategies for Successful Mediation, (Nolo, 2004),
hlm 20.
9
Ibid., Op. cit., hlm 21.
10
Roedjiono Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Penataran Dosen Hukum
Dagang oleh Universitas Gajah Mada, 1996. Lihat juga Ningrum Natasia Sirait dalam “Penyelesaian Sengketa di
luar Pengadilan dan Non-Ligitasi lainnya”, hlm 5.
g. Settlement Conference yaitu sistem yang mirip dengan penggarisan yang diatur
dalam Pasal 130 HIR atau 154 RBg. Usaha perdamaian oleh hakim di
koneksitaskan dengan proses peradilan.

B. Kedudukan Advokat dalam Penyelesaian Sengketa


Upaya penyelesaian sengketa yang cepat, efisien, dan efektif dalam menghadapi suatu
bisnis yang mana telah memasuki era free market and free competition. 11 Pada umumnya
pihak pihak yang bersengketa lebih memilih penyelesaian secara non litigasi dengan
mendayagunakan Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau terdapat pada ketentuan bahwa
dalam perkara perkara perdata seorang Advokat harus mengutamakan penyelesaian sengketa
dengan jalan damai, sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 4 huruf a Kode Etik Advokat
Indonesia. Lebih lanjut mengenal hal ini, Humphrey R. Djemat berpendapat bahwa,
"Tatangan yang dihadapi Advokat dewasa ini adalah meningkatkan partisipasi dalam rangka
mempromosikan ADR sebagai salah satu bentuk pilihan penyelesaian sengketa dan
memberikan pelayanan dengan standar tinggi di bidangnya. Seorang Advokat juga
mempunyai fungsi untuk berusaha mendekatkan perbedaan yang ada diantara pihak yang
bertikai, dan seyogyanya seorang Advokat melihat sebagai tugas mereka untuk mencari
penyelesaian awal suatu sengketa diluar sistem Pengadilan dengan fokus diatas mencapai
hasil yang terbaik bagi klien mereka.12
Berdasarkan paparan diatas, bahwa sebagai pemberi jasa hukum yang bertindak untuk
kepentingan hukum klien, advokat memiliki kewajiban moral untuk mengarahkan
penyelesaian sengketa melalui prosedur nonlitigasi di luar Pengadilan. Selain itu peran
advokat dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi sangat penting mengingat pengetahuan dan
keahlian mereka berkenaan dengan aspek-aspek hukum keperdataan dan perikatan serta
prosedur penyelesaian diluar peradilan.
1. Kedudukan Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Melalui APS
Penyelesaian sengketa memalui APS, baik dalam bentuk negosiasi, mediasi,
konsultasi maupun konsiloasi, pada dasarnya sesuai dengan konsep penyelesaian
sengketa ekonomi syariah melalui cara perdamaian, yang mana dalam proses
penyelesaian lebih mengedapkan prinsip prinsip musyawarah.13 Berdasarkan kententuan
Pasal 459 KHES, seseorang atau suatu badan usaha berhak menujukkan pihak lain
sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat
dilakukannya sendiri, memenuhi suatu kewajiban, dan/atau untuk mendapatkan suatu
hak dalam kaitannya dengan suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggung jawabnya.
Hal ini, pihak yang memberi kuasa disebut muwakkil, sedang pihak yang menerima
kuasa disebut wakil.14
11
Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, hlm 3.
12
Humphrey R. Djemat, Advokat dan Peranannya dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui ADR, Indonesia
Arbitration Quarterly Newsletter, Number 7/2009, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta, 2009, hlm 5.
13
Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, hlm 137.
14
Pasal 452 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah jo. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun
2008.
Berdasarkan ketentuan wakil dalam penjelasan diatas pada prinsipnya sesuai
dengan ruang lingkup tugas advokat sebagaimama telah diatur dalam ketentuan UU No.
18 Tahun 2003, yang merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka (2) UU No.18 Tahun 2003
yang menjelaskan bahwa diantara bentuk bentuk jasa hukum yang diberikan Advokat
dapat berupa menjalankan kuasa, mewakili mendampingi dan melakukan suatu tindakan
hukum lainnya untuk kepentingan klien. Begitu halnya syarat syarat wakil yang diatur
dalam Pasal 458 ayat 1 KHES dengan syarat syarat advokat sebagaimama diatur dalam
pasal 3 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2003 yang diantaranya adalah harus berusia minimal
25 tahun, berijasah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, telah
mengikuti pendidikan khusus profesi advokat dan lulus ujian yang dilaksanakan di
organisasi advokat , dan magang sekurang kurangnya 2 tahun berturut turut pada kantor
Advokat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada penyelesaian sengketa
advokta berkedudukan sebagai wakil yang memberikan jasa hukum untuk menjalankan
kuasa, mewakili atau melakukan tindakan hukum lainnya demi kepentingan hukum
klien yang memberikan kuasa kepadanya.
2. Kedudukan Advokat Pada Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Kedudukan advokat melalui penyelesain sengketa arbitrase pada prinsipnya ialah
sama dengan kedudukan advokat pada proses litigasi di pengadilan, yaitu sebagai pihak
formil yang menerima kuasa untuk mewakili atau mendampingi klien selaku pihak
materil dalam suatu proses beracara di lembaga arbitrase, sebagaimana ketentuan pasal
123 HIR dan Pasal 147 Rbg. Oleh sebab itu bahwa kedudukam advokat pada
penyelesain sengketa yakni sebagai wakil yang memberikan jasa hukum untuk
menjalankan kuasa, mewakili atau melakukan tindakan hukum lainnya demi
kepentingan hukum klien yang memberikan kuasa kepadanya. Kedudukan advokat
dalam proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase memiliki kedudukan hukum
advokat pada penyelesain sengketa secara nonlitigasi juga mempunyai implikasi bahwa
advokat merupakan kebutuhan klien dalam mengurus sengketanya yang oleh peraturan
perundangan undangan belum dijelaskan secara limitatif. Dengan demikian bahwa relasi
wakil dengan muwakil pada proses penyelesaian sengketa ini berdasarkan asas
kebebasan berkontrak antara advokat dengan klien dimana kewenangan Advokat dalam
hal ini bersifat Mandataris. Tanpa bantuan Advokat para pihak yang bersengketa akan
cukup kesulitan, karena jika mengurus sendiri proses penyelesaian sengketa mengingat
keahlian dan pengetahuan advokat harus berkenaan dengan aspek-aspek keperdataan,
khususnya dibidang hukum perikatan serta prosedur dalam penyelesaian sengketa
nonlitigasi.
C. Perkembangan dalam Penyelesaian Sengketa
Sebelum berkembangnya penyelesaian sengketa alternative (ADR) maka jika terjadi
sengketa antara para pihak, biasanya pihak-pihak tersebut akan menyelesaikan sengketanya
melalui pengadilan. Dewasa ini penyelesaian sengketa atau konflik mulai beralih dari
melalui pengadilan kepada penyelesaian dengan cara yang dikenal dengan Penyelesaian
Sengketa Alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) Penyelesaian sengketa
melalui ADR memiliki perbedaan prinsip dan bentuk dengan litigasi (lembaga peradilan).
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dirasakan lamban, mahal dan kurang
sesuai dengan paradigma bisnis. Sistim dan mekanisme pengadilan serta sumber daya hakim
yang terbatas pada pengadilan membuat penumpukan perkara pada masing-masing tingkat
pengadilan, terutama pada tingkat Mahkamah Agung. Menurut pengamatan di negara-
negara seperti Amerika Serikat, Australia, hampir 90% sengketa bisnis diselesaikan oleh
para pihak melalui cara non litigasi. ADR juga merupakan upaya masyarakat dan para ahli
hukum untuk membawa suatu sengketa perdata dari wilayah publik (yang diselesaikan
melalui pengadilan) kembali kepada wilayah privat (yang diselesaikan melalui pranata
hukum dalam ADR) sesuai dengan sifatnya yaitu sengketa keperdataan.
Di Indonesia, secara formal ADR masih merupakan hal yang relatif baru, karena
undang-undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
baru ditetapkan pada tahun 1999.15 Undang-undang No 30/1999 ini merupakan pedoman
penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan. Praktik penyelesaian sengketa melalui
ADR ini sudah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan pengusaha,
walaupun frekuensinya masih relatif sedikit. Kondisi ini di karenakan selama ini masih
terdapatnya suatu anggapan dan familiar dalam masyarakat, bahwa untuk penyelesaian
sengketa adalah melalui pengadilan (litigasi). Selain itu juga masih banyak anggota
masyarakat yang belum mengenal secara detail tentang kelebihan dan kelemahan sistim
ADR. Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) merupakan suatu alternatif yang layak
dipertimbangkan terutama oleh kalangan dunia usaha, yang bercirikan , penyelesaian konflik
secara tuntas, sederhana, cepat, tidak birokratis, praktis, dan murah. Dalam proses
penyelesaian sengketa melalui ADR, para pihak dapat menentukan sendiri secara bebas
tentang prosedur, acara berperkara, lokasi peradilan, dan dapat memantau prosesnya secara
langsung. Para pihak dapat secara bebas mengambil keputusan atau menentukan apakah
dalam proses penyelesaian ditemukan suatu model atau bentuk penyelesaian yang lebih
menguntungkan kedua pihak sehingga langsung dapat menetapkan perdamaian. Sistim ADR
merupakan suatu sistim penyelesaian sengketa yang dapat disesuaikan dengan keinginan
para pihak yang cocok dengan budaya masyarakat Indonesia yang memiliki asas
musyawarah dan mufakat dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam penyelesaian
sengketa.
Awal mula sebelum masyarakat mengenal peradaban hukum tertulis, penyelesaian
sengketa yang mereka hadapi dilakukan dengan kebiasaan setempat yang belakangan
disebut dengan Hukukm Adat.16 Penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat pada
dasarnya menguatkan penyelesaian secara musyawarah mufakat. Penyelesaian sengketa
pada zaman dahulu dilakukan dengan cara yang berjenjang, pertama penyelesaian sengketa
dilakukan oleh para pihak dengan tidak melibatkan pihak lain atau pihak ketiga. Jika
dibandingkan dengan pola atau cara penyelesaian sengketa sekarang, hal ini mungkin sama
dengan negoisasi. Jika cara pertama tidak menemukan hasil, maka para pihak dapat
melibatkan keluarga atau keluarga besar, dengan meminta bantuan salah seorang keluarga
besar yang disegani yang akan bertindak sebagai penengah yang tidak memihak salah satu

15
Undang-undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
16
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Hlm 93.
pihak. Hal ini memungkinkan mirip dengan mediasi dengan tipe mediator hubungan sosial
(social network mediator). Jika sengketa secara kekeluargaan tidak dapat diselesaikan, baru
sengketa tersebut diserahkan kepada tetua adat. Mungkin sekarang sama dengan mediator
berwenang (authoritative mediator).17 Tetua adat adalah pejabat yang mempunyai hak
otonom untuk menyelesaikan masalah-masalah adat diwilayah hukumnya. Hal ini
berkembang menjadi sistem peradilan adat atau hakim perdamaian desa, yang oleh
pemerintah kolonial hakim perdamaian desa dikuatkan dengan pasal 3a Rechttelijk
Organisatie (RO). Oleh karena itu penyelesaian sengketa secara perdamaian diluar
pengadilan bukan merupakan barang baru dalam suatu pemerintahan. Seiring dengan
perkembangan jaman sengketa yang terjadi diselesaikan melalui lembaga yang secara formal
bertugas untuk menyelesaikan sengketa yaitu lembaga peradilan. Namun dengan demikian
penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan masih tetap dimungkinkan. Dalam peraturan
yang terkait tentang kekuasaan kehakiman yang berlaku memberikan kesempatan kepada
para pihak untuk meyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi diselesaikan.
D. Perkembangan Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Lembaga penyelesaian sengketa (albitrase) di Indonesia telah dikenal dengan nama Juru
Pemisah pada masa penjajahan Belanda sebagaimana terlihat dalam pasal 377 HIR/pasal
705 RBG, yang menentukan: Jika orang Bumi Putera dan Timur Asing berkehendak
menyerahkan perselisihan mereka kepada keputusan Juru Pemisah, hendaklah mereka dalam
hal itu berlaku menurut peraturan pengadilan bangsa Eropa. Namun HIR dan RBG tidak
mengatur tentang acara penyelasaian sengketa (artibase), tetapi menunjuk acara yang
berlaku bagi golongan eropa dalam hal ini adalah pasal 615-651 RV. Yang memuat
ketentuan tentang artibase sebagai berikut:
1. Bagian I terdiri dari Pasal 615 sampai 623 yang memuat tentang kompromi artibase
dalam pengangkatan wasit.
2. Bagian II terdiri dari Pasal 264 sampai 630 yang mengatur tentang berpekara di
muka wasit.
3. Bagian III terdiri dari Pasal 631 sampai 640 yang mengatur tentang keputusan wasit.
4. Bagian IV terdiri dari Pasal 641 sampai 647 yang mengatur tentang upaya hukum
terhadap putusan altibrase.
5. Bagian V terdiri dari Pasal 648 sampai 651 yang mengatur tentang berakhirnya
berpekara di depan wasit.
Namun instrumen-instrumen tentang penyelesaian sengketa (arbitrase) tersebut diatas
tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam praktek dewasa ini, dimana transaksi bisnis terjadi
antar lintas batas negara yang belum diatur dalam peraturan tersebut diatas. Sehingga
diperlukan instrumen yang dapat mewadahi kebutuhan tersebut, sehingga terdapat di
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang abritrase dan alternatif penyelesaian
sengketa tertanggal 12 Agustus 1999 pada masa pemerintahan B.J Habibie.18

17
Dewa Nyoman Rai A.P, I Putu Rasnaidi A.P, Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa, Hlm 77
18
Drs.H. Suryadi, S.H, M.Hum dkk, Laporan Penelitian Alternative Despute Resolution (Penyelesaian
Sengketa Alternativ) dan Court Connected Dispute Resolution (Penyelesaian sengketa Terkait dengan Pengadilan,
2000, Hlm 22
Persoalan landasan hukum pelembagaan ADR sebagai bentuk penyelesaian sengketa
telah diupayakan pemecahanya melalui perangkat Undang-undang No. 30 Tahun 1999
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138) tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam Undang-undang No 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, konsilasi, atau penilaian ahli. Undang –undang
tersebut memberikan kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif
diluar pengadilan yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan
memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan mengembangkan
mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri serta mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul.
Pada umumnya, dalam praktek atau aktifitas terhadap metode penyelesaian sengketa
dapat dilihat dalam setiap perjanjian yang dilakukan tertutama dalam bidang perdata.
Masyarakat umumnya dihadapkan pada pilhan penyelesaian sengketa secara litigasi atau
pengadilan. Sekarang mereka mendapat pilihan untuk menggunakan lembag ADR sebagai
sarana penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di dalam aktivitas. Dalam Undang-
undang No.30 Tahun 1999, pengertian arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian
sengketa berdasarkan metode penyelesaianya. Metode peneyelesaian dalam alternatif
penyelesaian sengketa dilakukan antara lain melalui:
1. Konsultasi
2. Negoisasi
3. Konsilisasi
4. Penilaian ahli
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase telah diperkenalkan sebagai
suatu instituasi/lembaga yang dipilih para pihak yang mengikat apabila timbul pendapat atau
sengketa. Dengan demikian, berdasarkan Undang-undang, alternatif penyelesaian sengketa
bertindak sebagai lembaga independen di luar arbitrase. 19 Penyelesaian sengketa (arbritrase)
mempunyai ketentuan, cara dan syarat syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya,
akan tetapi terdapat kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat diselesaikan yaitu :
1. Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang perdagangan.
2. Menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau beda pendapat tersebut dapat
diajukan dengan upaya damai.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa model ADR
menempuh mode rahasia (confidential). Konsepsi kerahasianya diatur dalam Undang-
undang No. 30 Tahun 1999. Diaturnya konsepsi kerahasian ini memberikan memberikan
jaminan bagi para pihak yang bersengketa dalam kapasitas yang sama besar dan saling
memberikan kontrol terhadap masing-masing. Bentuk kesepakatan para pihak mengenai
penyelesaian sengketa atau beda pendapat dalam satu hubungan hukum dibuat dalam suatu
pernyataan dari para pihak yang menerangkan bahwa semua sengketa atau beda pendapaat
yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan
19
Ibid, hlm. 24
cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 6 Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa para pihak dapat menggunakan cara negoisasi,
mediasi, konsilasi ataupun penilaian ahli yang diselesaikan dalam suatu pertemuan langsung
oleh para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu
kesepakatan tertulis.
Ketentuan ini memberikan keleluasan para pihak untuk menetapkan aturan main
terhadap penyelesaian konfliknya, meskipun hanya diberikan waktu maksimal 14 hari. Jika
para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat memperoleh jalan buntu
dan belum menuangkanya dalam perjanjian atas kesepakatan tertulis, sengketa tersebut
dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli atau mediator. Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengatur ketentuan terhadap lembaga terhadap lembaga
penyedia jasa (penasihat ahli, mediator), tetapi hanya memberikan batasan pada lembaga
alternatif penyelesaian sengketa yang menunjuk seorang meidator atau penasihat ahli.
Disinilah kemudian terjadi kebingungan masyarakat yang ingin mencari lembaga peyedia
jasa, karena di dalam aturan itu sendiri juga tidak diterangkan syarat-syarat pengangkatan
untuk mediator, negosiator dan penasihat ahli. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan demikian pengadilan negeri
sebagai lembaga yudisial tidak dapat dipungkiri lagi kekuatan mengikatnya yang
berkekuatan hukum. Akan tetapi Undang-undang No.30 Tahun 1999 tidak menerangkan
lebih lanjut bagaimana jika kesepakatan atau beda pendapat yang sudah didaftarkan tidak
dilaksanakan oleh para pihak sampai batas waktu yang sudah ditentukan.20
E. Perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Dalam masyarakat tradisional di indonesia, alternatif penyelesaian sengketa telah
diterapkan dalam penyelesaian konflik-konflik tradisional, namun pengembangan konsep
dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru banyak berkembang di negara-
negara yang masyarakatnya litigious atau tidak memiliki akar penyelesaian konflik seacra
kooperatif. Oleh sebab itu, tantangan kita terutama masyarakat hukum di Indonesia yaitu
mendokumentasikan pola penyelesaian konflik dalam masyarakat tradisional dan secara
laboratoris mengembangkan corak penyelesaian sengketa yang merupakan produk
indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya APS merupakan cara penyelesaian sengketa
yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa indonesia, yaitu musyawarah untuk mufakat, karena
penggunaan bentuk APS secara tradisional sebenarnya telah berkembang sejak dahulu kala.
Namun karena sifatnya tidak terstruktur secara ilmiah, ditambah lagi dihapuskannya
peradilan adat karena adanya unifikasi hukum, maka mediasi secara terstruktur dan ilmiah
justru lebih berkembang dinegara-negara barat.
Disamping alasan bahwa penyelesaian sengketa secara damai yaitu budaya bangsa
indonesia, ada beberapa alasan mengapa alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat
perhatian yang lebih di indonesia, selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas juga
faktor-faktor lain seperti :

20
Ibid, Hlm.25
a. Faktor ekonomis, diamna alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis baik dari sudut pandang
biaya maupun waktu.
b. Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif,
dan fleksibel.
c. Faktor pembinaan hubungan baik, di mana alternatif penyelesaian sengketa yang
mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka
yang menekankan pentingnya hubungan baik antarmanusia (relationship), yang telah
berlangsung maupun yang akan datang.
d. Di samping itu, hal-hal lainnya yang memengaruhi berkembangnya alternatif
penyelesaian sengketa di Indonesia yaitu karena adanya tuntutan bisnis internasional,
yang akan memberlakukan sistem perdagangan bebas, meningkatnya jumlah dan
bobot sengketa di masyarakat, sehingga perlu dicari cara dan sistem penyelesaian
sengketa yang cepat, efektif dan efesien.
e. Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat
menyesuaikan dengan laju kecepatan perkembangan perekonomian dan perdagangan
yang menuju pasar bebas (free market) dan persaingan bebas (free competition) dan
untuk itu harus ada suatu lembaga yang mewadahinya.
Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterkaitan kepada atauran main
yang bervariasi dari yang paling kaku sampai kepada yang paling rileks. Faktor-faktor
penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesaian sengketa alternatif juga
mempunyai kadar yang berbeda-beda yaitu:21
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang
tampil
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan
oleh para pihak atau hak bersifat sukarela
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan merupakan aturan hukum atau ada kriteria
lain
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak
g. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.

Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang yang
bersengketa. Suatu penyekesaian sengketa alternatif yang baik setidaknya haruslah
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Haruslah efesien dari segi waktu,
b. Haruslah hemat biaya,
c. Haruslah dapat diakses oleh pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh,

21
Leo kanowitz, Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana dikutip munir fuady Arbirtase Nasional
Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (PT Citra Aditya Bakti Bandung 2000), hlm. 34.
d. Haruslah melindungi hak-hak dari pihak yang bersengketa,
e. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur,
f. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya dimata
masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa,
g. Putusannya harus final dan mengikat,
h. Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi,
i. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas masyarakat
dimana penyelesaian sengketa alternatif tersebut.22

Bila menyimak sejarah perkembangan alternatif dispute resolution (ADR) di negara


tempat pertama kali dikembangkan (Amerika Serikat), pengembangan alternatif dispute
resolution (ADR) di Indonesia dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut :

a. Mengurangi kemacetan dipengadilan. (banyaknya kasus yang diajukan kepengadilan


kepengadilan menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga
memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan)
b. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
c. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan
d. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang mengahsilkan
keputusan yang dapat diterima dan memuaskan semua pihak.23

DAFTAR PUSTAKA

Adi Nugroho, Susanti. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitase dan Penerapan Hukumnya,
Jakarta: Kencana.

Binziad kadafi,et.al., 2002. Advokasi Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta : Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan.
Dewa Nyoman Rai A.P, Rasnaidi A.P, I Putu. Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian
Sengketa.
Kanowitz, Leo. 2000, Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana dikutip Munir Fuady
Arbirtase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. PT Citra Aditya Bakti
Bandung.
Lovenheim, Peter. & Guerin, Lisa. 2004. Mediate Don’t Litigate Strategies for Successful
Mediation, Nolo.
Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
Natasia Sirait, Ningrum. 2002. Bentuk ADR dan Prinsip-prinsip Mediasi.
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, 2003, Advokat dalam perspektif Islam dan Hukum Positif,
Jakarta : Ghalian Indonesia.
22
Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif a Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Penerbit PT Telaga
Ilmu, 2011), hlm. 5-6
23
William Ury, J.M. Brett dan S.B. Golderg, Getting Disputes Resolved, sebagaimana dikutip Rachmadi
Usman, hl. 10
R. Djemat, Humphrey. 2009, Advokat dan Peranannya dalam Menyelesaikan Sengketa Melalui
ADR, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, Number 7/2009, Badan Arbitrase
Nasional Indonesia, Jakarta.
Seno Adji, Oemar. 1991. Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga.
Sumaryono, E. 1995, Etika profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, kanisius,
Yogyakarta.
Suryadi, 2000, Laporan Penelitian Alternative Despute Resolution (Penyelesaian Sengketa
Alternativ) dan Court Connected Dispute Resolution (Penyelesaian sengketa Terkait
dengan Pengadilan.
Pasal 452 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah jo. Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 2008.
Undang-undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Anda mungkin juga menyukai