Anda di halaman 1dari 4

Peradilan Adat Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa

di Luar Pengadilan (non litigasi) dalam Perkara Perdata

1. Latar Belakang
Lembaga Peradilan, dalam hal ini pengadilan merupakan tempat akhir
penyelasaian suatu kasus, baik dalam bidang keperdataan maupun pidana hingga
ketatanegaraan. Hadirnya lembaga peradilan ini juga menjadi bukti nyata, bahwa
dalam pergumulan hidup masyarakat hingga kenegaraan dan kepemerintahan akan
selalu muncul masalah-masalah baik dari orang perorangan, maupun antara
masyarakat, juga antara pemerintah selaku pemegang kekuasaan dengan warga negara.
Salah satu bidang permasalahan yang sering ditemui dalam masyarakat,
berputar dalam rana keperdataan, atau hukum privat. Hal ini sering kali terjadi baik
dalam hal harta pewarisan, pertanahan hingga transaksi tanah, perpajakan, juga hal-
hal terkait perkawinan. Dalam persengketaan terkait hal-hal tersebut juga tidak
terlepas dari yang namanya unsur adatnya, seperti hak tanah ulayat, harta warisan,
hingga adat terkait dengan perkawinan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh karena,
memang pada awalnya sistem hukum yang pertama kali ada di Indonesia, adalah
sistem hukum adat juga peraturan adatnya.
Sistem hukum penyelesaian perkara di Indonesia terdiri atas dua penyelesaian
baik secara Litigasi maupun non litigasi. Keberadaan peradilan non litigasi juga
menjadi salah satu aspek bahwa negara juga memberikan ruang pemberlakuan hukum
adat juga sistem hukum adatnya dalam peradilan non litigasi. Dalam penyelenggaraan
sistem hukum adat, melalui peradilan non litigasi juga tetap menjunjung kehadiran
nilai-nilai keadilan, sehingga antara peradilan non litigasi dan Litigasi memiliki fungsi
untuk mencapai keadilan dalam penyelesaian perkara perdata.
Hukum adat dari tinjauan yuridis, filosofis, dan sosiologis hakikatnya diakui
dan dihormati eksistensinya dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang
berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dan sesuai dengan
perkembangan zaman 1. sehingga dalam bentuk peradilan non litigasi adat pun dapat
menjadi penyelesaian alternatif dari suatu perkara perdata. Bahkan dalam masa-masa

1
La Syarufuddin, (2019). sistem hukum adat terhadap upaya penyelesaian perkara pidana, Kalimantan Timur:
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, vol 15, hal. 2
perkembangan, peradilan non litigasi seharusnya tetap berada dalam tatanan peradilan
yang, mengedapankan nilai-nilai positif dalam hukum adat tersebut.

2. Rumusan Masalah
1) Perlukah lembaga peradilan adat dalam hal ini pengadilan non litigasi
perdata, kembali diterapkan dalam dunia peradilan?

3. Pembahasan
Hukum adat serta peradilan adat yang ada di Indonesia, yang telah ada sejak
zaman sebelum kemerdekaan menjadi satu-satunya peraturan dan sistem yang ditaati
dan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat juga dalam hal menanggulangi
kejahatan ataupun permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat dalam masalah
keperdataan juga kepidanaan.
Seperti yang diketahui seiring dengan perkembangan zaman yang dilalui
Indonesia baik dalam aspek perekonomian, sosial budaya, juga politik, membawa
peradaban peradilan masyarakat juga negara masuk dalam modernisasi dunia
peradilan, dengan menggunakan dan memanfaatkan fasilitas peradilan yang ada
dalam pengadilan sesuai daerah hukum nya masing-masing di Indonesia.
Berbicara mengenai peradilan yang dilaksanakan dalam acara pengadilan,
maka akan memunculkan pernyataan bahwa memang, terdapat lebih dari 1 pengadilan
di Indonesia, dengan kompetensi mengadilinya masing-masing (kompetensi Absolut).
pengadilan yang ada di Indonesia ini terdiri atas, Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan
Agama, Pengadilan Militer, juga Pengadilan Tata Usaha Negara(PTUN), yang berada
di bawah naungan atau kepemimpinan MA ( Mahkamah Agung), juga pengadilan
tertinggi , yaitu MK ( Mahkamah Konstitusi).
Penyelesaian sengketa dalam peradilan pengadilan ini juga disebut sebagai
proses Litigasi. Namun, disamping penyelesaian sengketa dengan proses Litigasi ini
ada pun proses non litigasi, yang juga termasuk di dalamnya adalah peradilan adat.
Peradilan adat dalam rana proses non litigasi atau usaha diluar pengadilan, ini pun
baik adanya, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.
Proses Litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah
baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak
responsip dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa. Sedangkan
melalui proses diluar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win
solution, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administrasif, serta menyelesaiakan masalah
secara komperhensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.2
Proses peradilan non litigasi ini juga bersesuaian dengan asas “sederhana,
cepat, dan biaya ringan” yang terdapat dalam hukum acara perdata. Sesuai dengan UU
No. 48 tahun 2009 yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah
dipahami, dan tidak berbelit-belit. Kata cepat menunjuk kepada jalannya peradilan.
Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peadilan. Ditentukan
biaya ringan agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi kebanyakan
menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak
kepada pengadilan.3
Peradilan non litigasi juga diatur dalam peraturan perundangan Indonesa,
antara lain: Pasal 33 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman disebutkan “Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar
peradamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan”. kedua dalam UU No.
30 tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 Ayat 10
dinyatakan “Alternatif penyelesaian perkara ( Alternatif Dispute Resolution) adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, atau penilaian para ahli”4

2
Ibid.
3
Sudikno Mertokusumo, (2021). Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: CV. Maha Karya Pustaka, hal. 40-
41
4
Komisi Informasi Provinsi Banten, Perbedaan Litigasi dan non litigasi, diakses dari
(https://komisiinformasi.bantenprov.go.id/read/arsip-artikel/86/Perbedaan-Litigasi-Dan-Non-
Litigasi.html#.YWJiqtpBy00), pada tanggal (10 Oktober 2021), pada pukul, (12:01PM).
4. Kesimpulan
Dari apa yang telah dituliskan maka penulis mengambil kesimpulan bahwa,
peradilan non litigasi dalam hal ini peradilan adat perlu “dihidupkan” kembali, dalam
rana peradilan. Oleh karena juga bersesuaian dengan asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan, juga dengan diakuinya dalam peraturan perundangan. Tidak hanya itu, namun
peradilan non litigasi juga menjadi ruang pengamalan nilai-nilai adat, juga menjadi
proses peradilan yang lebih komperhensif. Tetapi diperlukan pengawasan dan juga
pengamatan yang cermat dalam proses peradilan non litigasi, sehingga meminimalisir
kemungkinan terjadinya ketidakadilan dalam proses peradilan non litigasi, juga
penyamaan unsur-unsur tertentu seperti asas-asas keadilan, juga kesamaan dihadapan
hukum, dan lainnya termasuk asas legalitas tanpa merubah hakekat kesepakatan atau
putusan win-win solution dari peradilan non litigasi, juga alasan kemudahan
penyelesaian sengketa peradilan non litigasi.

Anda mungkin juga menyukai