Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PENYELESAIAN SENGKETA

ALTERNATIF
RIDHO BUDAYA SEPTARIANTO (031911133088)

Penyelesaian Sengketa Alternatif A1

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021

PERAN PENGADILAN DALAM PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN


PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN INTERNASIONAL DI
INDONESIA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Permasalahan atau sengketa sering kali terjadi di kehidupan bermasyarakat. Sengketa


biasa terjadi di berbagai lini kegiatan bermasyarakat, seperti kegiatan ekonomi, bisnis, dan
sosial. Adanya perbedaan pendapat, gesekan kepentingan, ketidak sepemahaman, hingga rasa
khawatir dirugikan seringkali menjadi penyebab permasalahan atau sengketa tersebut terjadi.
Berbagai permasalahan atau sengketa tersebut harus diselesaikan agar pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan dapat segera menemukan solusi atas permasalahan atau sengketa
mereka, untuk itulah hukum hadir dalam menjawab problematika tersebut. Sebagian besar
sengketa berhubungan dengan kegiatan bisnis. Penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
kegiatan bisnis kebanyakan dilaksanakan menggunakan cara litigasi atau penyelesaian
sengketa melalui proses persidangan di pengadilan, tetapi terdapat juga penyelesaian di luar
persidangan atau non litigasi. Salah satu contoh penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
non litigasi adalah arbitrase. Arbitrase merupakan salah satu dari berbagai metode yang bisa
digunakan dalam penyelesaian sengketa. Dengan adanya arbitrase, nantinya akan
memberikan alternatif dalam menyelesaikan sengketa maupun sebagai opsi yang bisa dipilih
untuk menangani masalah hukum dalam rangka menggantikan litigasi.

Pada mulanya, lembaga arbitrase didirikan oleh para pedagang sebagai alternatif
penyelesaian sengketa daripada harus berperkara di pengadilan yang seringkali memakan
waktu lama dan keahlian para hakim yang dianggap sangat generalis. 1 Arbitrase dapat
dikatakan sebagai suatu pengdilan swasta yang mana pihaknya dapat membuat sendiri hukum
acaranya. Demikian halnya dengan para arbiternya, para pihak dapat menentukan sendiri
sesuai dengan kualifikasi yang mereka butuhkan dan biasanya arbiter (wasit) merupakan para
ahli yang memahami masalah yang disengketakan, sehingga diharapkan pihak-pihak yang
sedang bersengketa mendapat keadilan substansial. Arbitrase banyak diminati sebagai
alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdagangan (privat) adalah karena memang
memiliki banyak keunggulan, seperti prinsip cepat dan hemat biaya, kebebasan menentukan
prosedur beracara, pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan, kejujuran dan
kepatutan. Arbitrase dianggap sebagai forum yang reliable, efektif dan efisien dalam
penyelesaian sengketa jika dibandingkan dengan forum peradilan. Hal lainnya yang
menjadikan arbitrase mengalami perkembangan adalah sifat putusannya yang final dan
mengikat serta proses pemeriksaannya yang tertutup untuk umum. Sifat tertutup ini
dikarenakan para pengusaha menghindari publisitas atas sengketa yang ada di antara mereka,
sebab berkaitan dengan rahasia perusahaan yang tidak diinginkan diketahui oleh saingan
mereka dan masyarakat secara umum. 2

Dalam hal arbitrase ini, penyelesaian sengketa hanya dapat dilaksanakan apabila ada
perjanjian atau kesepakatan di antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
melalui arbitrase. Putusan dalam arbitrase bersifat final and binding, yang artinya putusan
tersebut tak dapat diupayakan banding maupun kasasi serta putusan tersebut mengikat para
pihak untuk dipatuhi secara sukarela. Namun dalam perkembangan selanjutnya sifat putusan
1
Mosgan Situmorang, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure
Vol. 17 No. 4, Desember 2017, hlm 310.
2
Ibid, hlm 311
yang bersifat sukarela tersebut kerap kali juga tidak dipatuhi secara sukarela oleh pihak yang
kalah. Hal tersebut tentu saja menjadi kendala dan hambatan tersendiri dalam pelaksanaan
putusan arbitrase, sehingga dicarikanlah jalan keluarnya, yakni dengan mengikutsertakan
peran negara yang dalam hal ini ialah pengadilan.3

Apabila dalam proses arbitrase melalui suatu lembaga arbitrase pada kenyataannya
para pihak dapat menentukan dan memilih sendiri acara (rules) serta arbiternya, lalu timbul
pertanyaan besar mengenai apa alasan negara harus dilibatkan di dalamnya. Menjadi tanda
tanya pula terkait hal tersebut, bagaimana konsekuensinya jika putusan arbitrase yang telah
diterima para pihak tidak didaftarkan pada pengadilan. Bilamana semua arbitrase nasional
melibatkan peran negara dalam pelaksanaan putusannya, kemudian bagaimana dengan
putusan yang telah dikeluarkan oleh suatu arbitrase asing atau yang dalam hal ini tidak
berkedudukan di Indonesia, apakah pengadilan nasional wajib dilibatkan pula? Oleh karena
itu akan dibahas dalam makalah ini dengan tiga permasalahan utama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa peran pengadilan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase nasional?
2. Apa konsekuensi tidak didaftarkannya putusan arbitrase ke pengadilan?
3. Apakah putusan arbitase asing perlu dieksekusi di pengadilan negeri?
C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam makalah adalah metode normatif yuridis.
Bahan-bahan penelitian primer berupa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan peraturan relevan lainnya seperti
Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dan bahan sekunder berupa hasil penelitian maupun artikel ilmiah relevan yang
dimuat dalam jurnal di internet, serta tulisan-tulisan yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya di internet. Berbagai bahan tersebut dianalisis kemudian ditulis dengan metode
deskriptif analisis untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan sebagai jawaban atas
permasalahan penelitian dalam makalah ini.

II. PEMBAHASAN
A. Peran Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia

Keberadaan forum arbitrase di Indonesia telah dikenal sejak diberlakukannya


Reglement Rechvordeling (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Indonesia
3
Mosgan Situmorang, loc. Cit.
telah memiliki instrumen hukum yang mengatur mengenai arbitrase, yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-
Undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui
alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrase yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. 4Definisi arbitrase menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Maka, pelaksanaan arbitrase selalu diawali dengan perjanjian para pihak
untuk bersepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase.

Keterlibatan peran negara dalam putusan arbitrase telah tampak pada Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang mana telah menunjukkan adanya Pengadilan Negeri yang akan berperan
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Peran negara yakni melalui Pengadilan
Negeri bukanlah untuk turut serta terlibat dalam mengadili sengketa para pihak, karena sudah
jelas termaktub pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, melainkan
berhubungan dengan putusan arbitrase yang telah dikeluarkan oleh suatu lembaga arbitrase.

Peran pengadilan memiliki kedudukan yang penting dalam memberikan keadilan di


masyarakat. Menurut W. J. S. Poerwadarminto, keadilan adalah suatu kondisi tidak berat
sebelah, yang sepatutnya tidak diputuskan secara sewenang-wenang. Adapun menurut
Thomas Hubbes, keadilan diartikan setiap perbuatan yang dikatakan adil. Keadilan hanya
tercipta ketika apa yang dikerjakan telah sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat ataupun
disepakati sebelumnya. Fungsi memberikan keadilan juga dilakukan manakala terdapat
masyarakat yang mengalami suatu persengketaan atau perbedaan pendapat. Pengadilan
diberikan wewenang oleh negara untuk memeriksa perkara dan mengeksekusi putusannya,
agar keadilan dapat dirasakan oleh semua pihak. Salah satu wewenang tersebut adalah

4
Grace Henni, “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional”, Lex
et Societatis, Vol. 3 No. 1, Januari 2015, hlm. 161
kewenangan untuk melakukan pelaksanaan atau eksekusi terhadap putusan arbitrase
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.5

Tahapan fundamental dalam proses penyelesaian sengketa dengan metode forum


arbitrase adalah pelaksanaan (eksekusi) keputusan. Pada prinsipnya, eksekusi putusan
arbitrase tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan tanpa harus melibatkan peradilan, tetapi tak jarang problematika muncul karena
terdapat salah satu pihak yang tidak bersedia melaksanakan putusan, yang mana berujung
pada pelibatan negara yang dalam hal ini adalah peradilan. Alasan penolakan pelaksanaan
putusan arbitrase tersebut, menurut Rene David, disebabkan oleh alasan sebagai berikut,
“kontrak disepakatioleh kedua belah pihak sehingga untuk melaksanakannya tidak menjadi
masalah, sedangkan putusan arbitrase dibuat oleh pihak ketiga (arbiter) sehingga keberatan
untuk melaksanakan putusan tersebut akan selalu timbul dan ada. Meskipun pada realitasnya
pilihan penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase juga didasarkan atas kesepakatan para
pihak yang bersengketa dan memiliki kepentingan”.6 Tindakan eksekusi oleh Pengadilan
merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah.
Biasanya tindakan eksekusi oleh Pengadilan ini dilakukan ketika dalam suatu penyelesaian
sengketa, pihak Tergugat yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan, sehingga hal ini
akan merugikan bagi pihak pemohon. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap Amar putusan yang dikabulkan tersebutlah yang
dimintakan untuk dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah, dan bilamana tidak
dilaksanakan maka akan dilakukan secara paksa oleh pejabat yang berwenang melakukan
eksekusi dengan bantuan kekuatan alat perlengkapan negara. Prinsip eksekusi yang dilakukan
oleh pengadilan merupakan tindakan paksa guna menjalankan putusan arbitrase yang sudah
berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Hal ini mengingat lembaga arbitrase
hanyalah quasi pengadilan, sehingga putusan arbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
Dengan demikian, hakikat dari eksekusi putusan adalah sebagai realisasi kewajiban para
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban yang tercantum di dalam putusan
tersebut.7

B. Kewajiban Mendaftarkan Putusan Arbitrase ke Pengadilan


5
Mosgan Situmorang, Op. Cit. hlm 315.

6
Safrina, “Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
April 2011, hlm 141.
7
Mosgan Situmorang, Op. Cit. hlm 316
Putusan Arbitrase bersifat final and binding, dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak. Final artinya putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding,
kasasi, maupun peninjauan kembali. Dalam pelaksanaan putusan, hal ini harus dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau
salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada panitera Pengadilan Negeri dan nantinya oleh panitera diberikan catatan yang berupa
akta pendaftaran. Sebagaimana Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
maka apabila gagal atau tidak diserahkannya dokumen tersebut, maka putusan arbitrase tidak
dapat dilaksanakan. Pencatatan tersebut menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan
arbitrase oleh pihak yang bersengketa dan berkepentingan. Selain itu Undang-Undang juga
mewajibkan arbiter atau dalam hal ini kuasanya untuk menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri.
Harus dipahami bersama bahwa pendaftaran dan catatan tersebut akan menjadi sangat
berguna bagi pihak yang bersengketa dan berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase.8

Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak


untuk memeriksa terlebih dahulu benarkah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam
satu proses yang sesuai, yaitu:

1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah
diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka; dan
2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase
tersebut adalah perkara yang menurut hukum yang dapat diselesaikan dengan
arbitrase, serta
3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum.9

Pihak pemohon yang menuntut melalui arbitrase agar Termohon dihukum membayar
ganti rugi atau melakukan sesuatu atau menyerahkan sejumlah uang. Putusan yang dapat
dieksekusi adalah adalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena di dalam
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan
hukum yang tetap dan pasti di antara pihak-pihak yang berperkara. Putusan tersebut nantinya

8
Hendhy Timex, “Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Abitrase”, Lex Privatum, Vol. 1 No. 2, April 2013, hlm.
97
9
Ibid, hal 97
harus ditaati dan dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak yang dihukum untuk melakukan
sesuatu, membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang yang dituntut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, jika tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat pada putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Artinya, bahwa putusan tersebut harus didaftarkan dalam
jangka waktu 30 hari sejak diputuskan sesuai dengan ketentuan ayat (1). Dalam hal ini maka
timbul pertanyaan, apakah pendaftaran ini wajib dilaksanakan atau dapat dikesampingkan?
Apabila mencermati ketentuannya, maka pembuat Undang-Undang ini bermaksud membuat
ketentuan yang sifatnya opsional dan bukan suatu kewajiban, yang mana artinya dalam waktu
30 hari sejak putusan dibuat harus didaftarkan oleh arbiter atau kuasa hukum yang ditunjuk
oleh arbiter. Sebagai konsekuensi, maka putusan arbitrase tidak dapat dieksekusi tanpa
bantuan pengadilan negeri apabila pendaftaran putusan tidak dilakukan. Oleh karena itu,
sebenarnya dapat juga tidak mendaftarkan putusan ke pengadilan negeri apabila hasil putusan
arbitrase tersebut dapat langsung dilaksanakan oleh para pihak.10

Dengan demikian pendaftaran putusan arbitrase ke pengadilan bersifat opsional, yaitu


sebagai bentuk antisipasi bilamana pihak yang kalah tidak mau atau tidak bersedia
melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Maka dari itu dapat saja arbiter atau
kuasanya tidak melakukan pendaftaran putusan arbitrase jika dinilai oleh para pihak
pendaftaran tersebut akan sia-sia dan hanya pemborosan karena biayanya akan dibebankan
kepada pemohon padahal putusan sudah dilaksanakan secara sukarela. Namun perlu
dipahami juga bahwa terdapat juga putusan yang membutuhkan eksekusi resmi dari
pengadilan walaupun secara nyata sudah dilaksanakan oleh para pihak. Contohnya adalah
eksekusi yang berhubungan dengan penyerahan atau pengoveran suatu hak atas tanah atau
bangunan, karena dalam prakteknya Badan Pertanahan Nasional akan meminta salah satu
syarat berupa berita acara eksekusi apabila para pihak ingin membalik nama tanah tersebut.

C. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia

Definisi putusan arbitrase internasional (asing) telah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) Konvensi New York 1958, adalah sebagai berikut: This Convention shall apply to the
recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a state other than the
state where the recognition and enforcement of such awards are sought”. Persyaratan
mengikatkan diri yang ditetapkan dalam konvensi New York 1958, terdapat dua persyaratan.
10
Mosgan Situmorang, Op. Cit. hlm 318
Dalam persyaratan yang pertama, negara akan menerapkan ketentuan konvensi jika
keputusan arbitrase dilakukan di negara yang juga anggota Konvensi New York. Persyaratan
kedua, adalah persyaratan komersial, artinya negara yang telah meratifikasi Konvensi New
York hanya akan menerapkan ketentuan konvensi pada sengketa-sengketa komersial menurut
hukum nasionalnya. Dalam hal ini Indonesia hanya mengajukan persyaratan pertama (asas
timbal balik) untuk mengikatkan diri terhadap Konvensi New York 1958.11 Sehingga dalam
hal ini, putusan arbitrase internasional yang dapat dilaksanakan dan diakui di Indonesia
hanyalah putusan yang terikat pada perjanjian secara bilateral maupun multilateral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York
1958.

Undang-Undang Arbitrase juga telah mengatur bahwa terhadap putusan PN Jakarta


Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional (yang telah
memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) tidak dapat diajukan banding
atau kasasi. Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak
untuk mengakui dan melaksanakn putusan arbitrase internasional dapat diajukan kasasi.
Terhadap putusan yang telah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, Undang-
Undang mengatur tidak dapat diajukan upaya perlawanan.12 Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Nomor 1
Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada Pasal 4 ditentukan
bahwa eksekuatur tidak akan diberikan apabila putusan arbitrase internasional bertentangan
dengan sendi-sendi asasi dari sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (asas ketertiban
umum). Maka dari itu putusan arbitrase internasional tidak dapat diterapkan jika diduga akan
mengganggu ketertiban umum.13

Dalam konteks ini, salah satu wewenang pengadilan adalah kewenangan untuk
melakukan eksekusi terhadap putusan arbitrase nasional maupun internasional seperti yang
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Mengingat kembali bahwa pengertian putusan arbitrase nasional
didefinisikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan yang menurut hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu
putusan Arbitrase Internasional (pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
11
Safrina, Op.Cit, hlm. 143
12
Ibid, hlm. 144
13
Ibid
Terhadap putusan arbitrase internasional dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 telah ditentukan bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentunya melalui beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh pemohon.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan

Peran negara yakni pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase nasional


berkedudukan penting. Karena pengadilan berperan sebagai penerima pendaftaran putusan
dan selanjutnya adalah untuk melakukan eksekusi bilamana para pihak tidak melaksanakan
putusan secara sukarela dan ada permohonan dari para pihak, yang dimaksud pengadilan
negeri dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi domisili
termohon. Putusan arbitrase yang telah sukarela dijalankan atau bersedia dipenuhi oleh pihak
yang kalah tidak menjadikan suatu pendaftaran putusan di pengadilan itu wajib. Wajib
didaftarkan apabila pihak tersebut tidak mau menjalankan, maka perlu ada eksekusi yang
pada awalnya harus didaftarkan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase
internasional juga diakui di Indonesia, namun yang dapat dilaksanakan dan diakui di
Indonesia hanyalah putusan yang terikat pada perjanjian secara bilateral maupun multilateral
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi
New York 1958.
DAFTAR BACAAN

Grace Henni (2015), Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa
Dagang Internasional: Lex et Societatis

Mogan Situmorang (2016), Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Di Indonesia: Jurnal


Penelitian Hukum De Jure

Safrina (2011), Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional:


Kanun Jurnal Ilmu Hukum

Hendhy Timex (2013), Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Abitrase: Lex Privatum

NAMA : RIDHO BUDAYA SEPTARIANTO

NIM : 031911133088
KELAS : PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF / A1

Anda mungkin juga menyukai