ALTERNATIF
RIDHO BUDAYA SEPTARIANTO (031911133088)
2021
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada mulanya, lembaga arbitrase didirikan oleh para pedagang sebagai alternatif
penyelesaian sengketa daripada harus berperkara di pengadilan yang seringkali memakan
waktu lama dan keahlian para hakim yang dianggap sangat generalis. 1 Arbitrase dapat
dikatakan sebagai suatu pengdilan swasta yang mana pihaknya dapat membuat sendiri hukum
acaranya. Demikian halnya dengan para arbiternya, para pihak dapat menentukan sendiri
sesuai dengan kualifikasi yang mereka butuhkan dan biasanya arbiter (wasit) merupakan para
ahli yang memahami masalah yang disengketakan, sehingga diharapkan pihak-pihak yang
sedang bersengketa mendapat keadilan substansial. Arbitrase banyak diminati sebagai
alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdagangan (privat) adalah karena memang
memiliki banyak keunggulan, seperti prinsip cepat dan hemat biaya, kebebasan menentukan
prosedur beracara, pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan, kejujuran dan
kepatutan. Arbitrase dianggap sebagai forum yang reliable, efektif dan efisien dalam
penyelesaian sengketa jika dibandingkan dengan forum peradilan. Hal lainnya yang
menjadikan arbitrase mengalami perkembangan adalah sifat putusannya yang final dan
mengikat serta proses pemeriksaannya yang tertutup untuk umum. Sifat tertutup ini
dikarenakan para pengusaha menghindari publisitas atas sengketa yang ada di antara mereka,
sebab berkaitan dengan rahasia perusahaan yang tidak diinginkan diketahui oleh saingan
mereka dan masyarakat secara umum. 2
Dalam hal arbitrase ini, penyelesaian sengketa hanya dapat dilaksanakan apabila ada
perjanjian atau kesepakatan di antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
melalui arbitrase. Putusan dalam arbitrase bersifat final and binding, yang artinya putusan
tersebut tak dapat diupayakan banding maupun kasasi serta putusan tersebut mengikat para
pihak untuk dipatuhi secara sukarela. Namun dalam perkembangan selanjutnya sifat putusan
1
Mosgan Situmorang, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure
Vol. 17 No. 4, Desember 2017, hlm 310.
2
Ibid, hlm 311
yang bersifat sukarela tersebut kerap kali juga tidak dipatuhi secara sukarela oleh pihak yang
kalah. Hal tersebut tentu saja menjadi kendala dan hambatan tersendiri dalam pelaksanaan
putusan arbitrase, sehingga dicarikanlah jalan keluarnya, yakni dengan mengikutsertakan
peran negara yang dalam hal ini ialah pengadilan.3
Apabila dalam proses arbitrase melalui suatu lembaga arbitrase pada kenyataannya
para pihak dapat menentukan dan memilih sendiri acara (rules) serta arbiternya, lalu timbul
pertanyaan besar mengenai apa alasan negara harus dilibatkan di dalamnya. Menjadi tanda
tanya pula terkait hal tersebut, bagaimana konsekuensinya jika putusan arbitrase yang telah
diterima para pihak tidak didaftarkan pada pengadilan. Bilamana semua arbitrase nasional
melibatkan peran negara dalam pelaksanaan putusannya, kemudian bagaimana dengan
putusan yang telah dikeluarkan oleh suatu arbitrase asing atau yang dalam hal ini tidak
berkedudukan di Indonesia, apakah pengadilan nasional wajib dilibatkan pula? Oleh karena
itu akan dibahas dalam makalah ini dengan tiga permasalahan utama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa peran pengadilan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase nasional?
2. Apa konsekuensi tidak didaftarkannya putusan arbitrase ke pengadilan?
3. Apakah putusan arbitase asing perlu dieksekusi di pengadilan negeri?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam makalah adalah metode normatif yuridis.
Bahan-bahan penelitian primer berupa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan peraturan relevan lainnya seperti
Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dan bahan sekunder berupa hasil penelitian maupun artikel ilmiah relevan yang
dimuat dalam jurnal di internet, serta tulisan-tulisan yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya di internet. Berbagai bahan tersebut dianalisis kemudian ditulis dengan metode
deskriptif analisis untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan sebagai jawaban atas
permasalahan penelitian dalam makalah ini.
II. PEMBAHASAN
A. Peran Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia
Keterlibatan peran negara dalam putusan arbitrase telah tampak pada Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang mana telah menunjukkan adanya Pengadilan Negeri yang akan berperan
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Peran negara yakni melalui Pengadilan
Negeri bukanlah untuk turut serta terlibat dalam mengadili sengketa para pihak, karena sudah
jelas termaktub pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, melainkan
berhubungan dengan putusan arbitrase yang telah dikeluarkan oleh suatu lembaga arbitrase.
4
Grace Henni, “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional”, Lex
et Societatis, Vol. 3 No. 1, Januari 2015, hlm. 161
kewenangan untuk melakukan pelaksanaan atau eksekusi terhadap putusan arbitrase
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.5
6
Safrina, “Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
April 2011, hlm 141.
7
Mosgan Situmorang, Op. Cit. hlm 316
Putusan Arbitrase bersifat final and binding, dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak. Final artinya putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding,
kasasi, maupun peninjauan kembali. Dalam pelaksanaan putusan, hal ini harus dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau
salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada panitera Pengadilan Negeri dan nantinya oleh panitera diberikan catatan yang berupa
akta pendaftaran. Sebagaimana Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
maka apabila gagal atau tidak diserahkannya dokumen tersebut, maka putusan arbitrase tidak
dapat dilaksanakan. Pencatatan tersebut menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan
arbitrase oleh pihak yang bersengketa dan berkepentingan. Selain itu Undang-Undang juga
mewajibkan arbiter atau dalam hal ini kuasanya untuk menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri.
Harus dipahami bersama bahwa pendaftaran dan catatan tersebut akan menjadi sangat
berguna bagi pihak yang bersengketa dan berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase.8
1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah
diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka; dan
2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase
tersebut adalah perkara yang menurut hukum yang dapat diselesaikan dengan
arbitrase, serta
3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum.9
Pihak pemohon yang menuntut melalui arbitrase agar Termohon dihukum membayar
ganti rugi atau melakukan sesuatu atau menyerahkan sejumlah uang. Putusan yang dapat
dieksekusi adalah adalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena di dalam
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan
hukum yang tetap dan pasti di antara pihak-pihak yang berperkara. Putusan tersebut nantinya
8
Hendhy Timex, “Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Abitrase”, Lex Privatum, Vol. 1 No. 2, April 2013, hlm.
97
9
Ibid, hal 97
harus ditaati dan dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak yang dihukum untuk melakukan
sesuatu, membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang yang dituntut.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, jika tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat pada putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Artinya, bahwa putusan tersebut harus didaftarkan dalam
jangka waktu 30 hari sejak diputuskan sesuai dengan ketentuan ayat (1). Dalam hal ini maka
timbul pertanyaan, apakah pendaftaran ini wajib dilaksanakan atau dapat dikesampingkan?
Apabila mencermati ketentuannya, maka pembuat Undang-Undang ini bermaksud membuat
ketentuan yang sifatnya opsional dan bukan suatu kewajiban, yang mana artinya dalam waktu
30 hari sejak putusan dibuat harus didaftarkan oleh arbiter atau kuasa hukum yang ditunjuk
oleh arbiter. Sebagai konsekuensi, maka putusan arbitrase tidak dapat dieksekusi tanpa
bantuan pengadilan negeri apabila pendaftaran putusan tidak dilakukan. Oleh karena itu,
sebenarnya dapat juga tidak mendaftarkan putusan ke pengadilan negeri apabila hasil putusan
arbitrase tersebut dapat langsung dilaksanakan oleh para pihak.10
Definisi putusan arbitrase internasional (asing) telah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) Konvensi New York 1958, adalah sebagai berikut: This Convention shall apply to the
recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a state other than the
state where the recognition and enforcement of such awards are sought”. Persyaratan
mengikatkan diri yang ditetapkan dalam konvensi New York 1958, terdapat dua persyaratan.
10
Mosgan Situmorang, Op. Cit. hlm 318
Dalam persyaratan yang pertama, negara akan menerapkan ketentuan konvensi jika
keputusan arbitrase dilakukan di negara yang juga anggota Konvensi New York. Persyaratan
kedua, adalah persyaratan komersial, artinya negara yang telah meratifikasi Konvensi New
York hanya akan menerapkan ketentuan konvensi pada sengketa-sengketa komersial menurut
hukum nasionalnya. Dalam hal ini Indonesia hanya mengajukan persyaratan pertama (asas
timbal balik) untuk mengikatkan diri terhadap Konvensi New York 1958.11 Sehingga dalam
hal ini, putusan arbitrase internasional yang dapat dilaksanakan dan diakui di Indonesia
hanyalah putusan yang terikat pada perjanjian secara bilateral maupun multilateral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York
1958.
Dalam konteks ini, salah satu wewenang pengadilan adalah kewenangan untuk
melakukan eksekusi terhadap putusan arbitrase nasional maupun internasional seperti yang
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Mengingat kembali bahwa pengertian putusan arbitrase nasional
didefinisikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan yang menurut hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu
putusan Arbitrase Internasional (pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
11
Safrina, Op.Cit, hlm. 143
12
Ibid, hlm. 144
13
Ibid
Terhadap putusan arbitrase internasional dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 telah ditentukan bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentunya melalui beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh pemohon.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Grace Henni (2015), Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa
Dagang Internasional: Lex et Societatis
Hendhy Timex (2013), Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Abitrase: Lex Privatum
NIM : 031911133088
KELAS : PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF / A1