Indonesia
Disusun Oleh:
Renaldy Maulana Wahab
221000222
Kelas E
Met. & Teknik Alternatif dan Penyelesaian Sengketa
A. Sejarah Arbitrase
Menurut para ahli sejarah penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih dahulu dari pada
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu dimulai dari sejak jaman Yunani kuno,
yaitu pada abad ke- 5 Sebelum Masehi (SM). Hingga lahir Konferensi Den Haag 1899
yang dihadiri oleh 20 negara-negara Eropa. Amerika Serikat, Meksiko, Jepang, Cina,
Siam(Thailand) dan Parsia (Iran), dengan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk
Perjanjian tentang Peraturan Perang dan mendirikan Pengadilan Arbitrase Permanen
(Permanent Court Of Arbitration), maka dibentuklah PCA pada tanggal 6 September
1899 Lahirnya PCA merupakan tolak ukur berfungsinya arbitrase sebagai lembaga yang
dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cara damai.
Perkembangannya kemudian, agar suatu kasus dapat diselesaikan melalui arbitrase
internasional, diperlukan suatu tata cara, yaitu adanya suatu keharusan untuk membuat
suatu persetujuan khusus (compromise), atau compromissory clause dalam suatu
perjanjian perdagangan yang berkaitan dengan pelayaran, atau pada perjanjian-
perjanjian lainnya, agar apabila timbul sengketa dapat diselesaikan oleh arbitrase
berdasarkan perjanjian tersebut. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut
tanpa disadari ternyata merupakan alternatif penyelesaian sengketa melalui pengadilan
(court).
B. Sumber Hukum Arbitrase
a. Konvensi New York 1958
Konvensi New York 1958 adalah merupakan konvensi yang dijadikan sebagai dasar
hukum dalam mengatur mekanisme pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
di suatu negara.
Indonesia telah turut meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbital Awards), yang diikuti dengan dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun
1981, tanggal 5 Agustus 1981, maka putusan lembaga arbitrase asing sudah dapat
dilaksanakan di Indonesia, yang ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung (MA) selaku
penyelenggara Kekuasaan Kehakiman tertinggi dengan dengan mengeluarkan Perma No.
1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Alasan Indonesia turut meratifikasi Konvensi New York 1958, Menurut Tineke T.
Londong karena:
i. Telah mempunyai Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
ii. Turut serta Indonesia sebagai anggota Konvensi Washington 1965 tentang
Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan dengan Warga Negara Asing di
bidang Penanaman Modal Asing, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1968;
iii. Sebagai anggota PBB Indonesia tidak akan terpencil dari perkembangan dan
pergaulan dunia internasional;
iv. Untuk mengantisipasi perkembangan di bidang perdagangan internasional.
b. Reglement of de Rechsvordering (RV) sebagaimana diatur dalam Pasal 615 s/d 651
reglement of de rechsvordering.
Namun dalam perkembangannya ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi.
c. Konvensi tentang Penyelesaian Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Dispute Between State
and National of Order State -ICSID).
Diratifikasi pada Tahun 1968 melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman
Modal.
d. Model law yang dikeluarkan oleh United Nation Commision on International
Trade Law (UNCITRAL) yaitu The UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration of 1985 yang telah amandemen pada tahun 2006.
e. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Arbitrase selain diatur oleh Konvensi New York 1958, secara nasional di Indonesia diatur
oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Hubungan antara Konvensi New York 1958 dengan Undang-Undang NO. 30
Tahun 1999 tidak mungkin dipisahkan karena: (1) Pada dasarnya undang-undang ini
merujuk pada Konvensi New York yang berlaku secara internasional yang telah
diratifikasi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981 pada tanggal 5 Agustus 1981. (2)
Dengan diratifikasinya Konvensi New York berarti putusan arbitrase asing akan diakui
(recognition) dan dilaksanakan (enforcement) di Indonesia.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Secara Tidak Sehat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 38-46, dalam BAB VII tentang Tata Cara Penanganan
Perkara, dengan membentuk suatu Komisi Penyelesaian Sengketa dalam lingkungannya.
g. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1-4), membentuk majelis yang disebut dengan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
h. Yurispudensi
i. Doktrin
j. Traktat (Perjanjian-perjanjian internasional)
C. Karakteristik Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, mendefinisikan:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa”.
Melihat isi pasal tersebut apabila dikaitkan dengan pengertian-pengertian tentang arbitrase
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka secara sederhana dapat diketahui bahwa
Arbitrase mempunyai karakter tersendiri antara lain:
a. Arbitrase merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
b. Mewajibkan para pihak untuk membuat perjanjian (kesepakatan), ketika mereka
menghendaki sengketanya diselesaikan melalui cara arbitrase.
c. Dalam pemeriksaanya Arbitrase bersifat rahasia (tertutup);
d. Para pihak dapat menentukan sendiri caranya, sehingga dapat menyederhanakan
prosesnya;
e. Proses arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan pengadilan;
f. Hasilnya win-win, bukan win-lose;
g. Dalam Arbitrase diperiksa oleh para ahli dibidangnya, dan diselesaikan secara jujur;
h. Putusannya final dan mengikat para pihak;
Untuk itu seorang ekonom “Lely Niwan”, menyebutkan bahwa alasan para pihak
memlih arbitrase adalah:
a. Penyelesaian arbitrase sangat sesuai dengan moto “time is money” dan prinsip
mereka yang efisien dan ekonomis.
b. Kurang mengetahui tentang hukum negara tempat ia hendak menanamkan modalnya.
c. Peradilan umum terlalu lamban menyelesaikan suatu perkara (misalnya di negara kita
adanya Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) bisa memakan
waktu bertahun-tahun lamanya.
d. Meski pun udah ada keputusan akhir dari Mahkamah Agung, kita masih sering
menemukan kendala untuk megeksekusi keputusan tersebut.
Keunggulan arbitrase yang merupakan karakteristiknya ini juga dapat disimpulkan
melalui Penjelasan Umum Undang-Undang Arbitrase dapat terbaca beberapa
keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata
peradilan. Keunggulan itu adalah:
a. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosuderal dan administratif dapat
dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki lata belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesai masalahnya;
e. para pihak dapat memilih tempat penyelenggara arbitrase;
f. putusan abitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
D. Macam-macam Arbitrase
- Arbitrase Institusional
a. Lembaga Arbitrase Nasional
Arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat “permanen” (permanent arbital body), sesuai dengan nama
yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase
institusional.
Arbitrase institusional ini adalah badan arbitrase yang memang sengaja didirikan,
pembentukannya untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.
Ciri khas arbitrase institusional ini ialah faktor kesengajaan dan sifatnya
permanen, karena arbitrase institusional ini telah ada atau berdiri sebelum terjadinya
sengketa para pihak timbul, dan tetap berdiri selamanya, tidak bubar bila telah
memutus sengketa para pihak. Suatu arbitrase institusional memiliki aturan dan tata
cara sendiri dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Secara yuridis dapat didasarkan kepada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
dalam Pasal 1 ayat (8) memberikan pengertian tentang Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
Lembaga Arbitrase yang didirikan di Indonesia saat ini adalah Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) diprakarsai oleh KADIN dan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang telah diganti menjadi Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).