Anda di halaman 1dari 8

Tugas Resume Buku Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Dalam Sistem Hukum

Indonesia

Disusun Oleh:
Renaldy Maulana Wahab
221000222
Kelas E
Met. & Teknik Alternatif dan Penyelesaian Sengketa

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2024
Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitase
Pendahuluan
Buku "ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA" karya Dr. Hj. Ummi Maskanah, SH, MM, MHum,
adalah sebuah karya yang mendalam mengenai berbagai metode
penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia. Fokus dari buku ini adalah
memberikan wawasan dan pemahaman tentang alternatif-alternatif yang
tersedia bagi para pelaku bisnis dalam menyelesaikan konflik yang timbul.
Bab 3 dari buku ini khusus membahas peran dan pentingnya arbitrase
sebagai salah satu metode alternatif yang efektif dan efisien dalam
penyelesaian sengketa bisnis.
Bab 3: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bab ketiga membahas secara rinci peran, mekanisme, keunggulan, serta
contoh-contoh kasus terkait penggunaan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa bisnis di Indonesia. Dr. Hj. Ummi Maskanah, SH, MM, MHum,
menguraikan secara komprehensif konsep, proses, dan manfaat dari
arbitrase, serta menyajikan data-data dan statistik terkait penggunaan
arbitrase dalam praktik.
Konsep Arbitrase
Arbitrase merupakan sebuah mekanisme alternatif penyelesaian sengketa
yang diatur oleh undang-undang dan diakui di banyak negara, termasuk
Indonesia. Dalam konteks penyelesaian sengketa bisnis, arbitrase adalah
suatu proses di mana para pihak yang bersengketa memilih arbiter atau
panel arbiter independen untuk menyelesaikan sengketa tersebut di luar
pengadilan formal. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi para
pihak untuk menentukan prosedur-prosedur yang mereka anggap sesuai dan efektif.

A. Sejarah Arbitrase
Menurut para ahli sejarah penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih dahulu dari pada
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu dimulai dari sejak jaman Yunani kuno,
yaitu pada abad ke- 5 Sebelum Masehi (SM). Hingga lahir Konferensi Den Haag 1899
yang dihadiri oleh 20 negara-negara Eropa. Amerika Serikat, Meksiko, Jepang, Cina,
Siam(Thailand) dan Parsia (Iran), dengan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk
Perjanjian tentang Peraturan Perang dan mendirikan Pengadilan Arbitrase Permanen
(Permanent Court Of Arbitration), maka dibentuklah PCA pada tanggal 6 September
1899 Lahirnya PCA merupakan tolak ukur berfungsinya arbitrase sebagai lembaga yang
dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cara damai.
Perkembangannya kemudian, agar suatu kasus dapat diselesaikan melalui arbitrase
internasional, diperlukan suatu tata cara, yaitu adanya suatu keharusan untuk membuat
suatu persetujuan khusus (compromise), atau compromissory clause dalam suatu
perjanjian perdagangan yang berkaitan dengan pelayaran, atau pada perjanjian-
perjanjian lainnya, agar apabila timbul sengketa dapat diselesaikan oleh arbitrase
berdasarkan perjanjian tersebut. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut
tanpa disadari ternyata merupakan alternatif penyelesaian sengketa melalui pengadilan
(court).
B. Sumber Hukum Arbitrase
a. Konvensi New York 1958
Konvensi New York 1958 adalah merupakan konvensi yang dijadikan sebagai dasar
hukum dalam mengatur mekanisme pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
di suatu negara.
Indonesia telah turut meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbital Awards), yang diikuti dengan dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun
1981, tanggal 5 Agustus 1981, maka putusan lembaga arbitrase asing sudah dapat
dilaksanakan di Indonesia, yang ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung (MA) selaku
penyelenggara Kekuasaan Kehakiman tertinggi dengan dengan mengeluarkan Perma No.
1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Alasan Indonesia turut meratifikasi Konvensi New York 1958, Menurut Tineke T.
Londong karena:
i. Telah mempunyai Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
ii. Turut serta Indonesia sebagai anggota Konvensi Washington 1965 tentang
Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan dengan Warga Negara Asing di
bidang Penanaman Modal Asing, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1968;
iii. Sebagai anggota PBB Indonesia tidak akan terpencil dari perkembangan dan
pergaulan dunia internasional;
iv. Untuk mengantisipasi perkembangan di bidang perdagangan internasional.
b. Reglement of de Rechsvordering (RV) sebagaimana diatur dalam Pasal 615 s/d 651
reglement of de rechsvordering.
Namun dalam perkembangannya ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi.
c. Konvensi tentang Penyelesaian Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Dispute Between State
and National of Order State -ICSID).
Diratifikasi pada Tahun 1968 melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman
Modal.
d. Model law yang dikeluarkan oleh United Nation Commision on International
Trade Law (UNCITRAL) yaitu The UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration of 1985 yang telah amandemen pada tahun 2006.
e. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Arbitrase selain diatur oleh Konvensi New York 1958, secara nasional di Indonesia diatur
oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Hubungan antara Konvensi New York 1958 dengan Undang-Undang NO. 30
Tahun 1999 tidak mungkin dipisahkan karena: (1) Pada dasarnya undang-undang ini
merujuk pada Konvensi New York yang berlaku secara internasional yang telah
diratifikasi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981 pada tanggal 5 Agustus 1981. (2)
Dengan diratifikasinya Konvensi New York berarti putusan arbitrase asing akan diakui
(recognition) dan dilaksanakan (enforcement) di Indonesia.
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Secara Tidak Sehat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 38-46, dalam BAB VII tentang Tata Cara Penanganan
Perkara, dengan membentuk suatu Komisi Penyelesaian Sengketa dalam lingkungannya.
g. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1-4), membentuk majelis yang disebut dengan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
h. Yurispudensi
i. Doktrin
j. Traktat (Perjanjian-perjanjian internasional)
C. Karakteristik Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, mendefinisikan:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa”.
Melihat isi pasal tersebut apabila dikaitkan dengan pengertian-pengertian tentang arbitrase
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka secara sederhana dapat diketahui bahwa
Arbitrase mempunyai karakter tersendiri antara lain:
a. Arbitrase merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
b. Mewajibkan para pihak untuk membuat perjanjian (kesepakatan), ketika mereka
menghendaki sengketanya diselesaikan melalui cara arbitrase.
c. Dalam pemeriksaanya Arbitrase bersifat rahasia (tertutup);
d. Para pihak dapat menentukan sendiri caranya, sehingga dapat menyederhanakan
prosesnya;
e. Proses arbitrase lebih cepat dibandingkan dengan pengadilan;
f. Hasilnya win-win, bukan win-lose;
g. Dalam Arbitrase diperiksa oleh para ahli dibidangnya, dan diselesaikan secara jujur;
h. Putusannya final dan mengikat para pihak;
Untuk itu seorang ekonom “Lely Niwan”, menyebutkan bahwa alasan para pihak
memlih arbitrase adalah:
a. Penyelesaian arbitrase sangat sesuai dengan moto “time is money” dan prinsip
mereka yang efisien dan ekonomis.
b. Kurang mengetahui tentang hukum negara tempat ia hendak menanamkan modalnya.
c. Peradilan umum terlalu lamban menyelesaikan suatu perkara (misalnya di negara kita
adanya Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) bisa memakan
waktu bertahun-tahun lamanya.
d. Meski pun udah ada keputusan akhir dari Mahkamah Agung, kita masih sering
menemukan kendala untuk megeksekusi keputusan tersebut.
Keunggulan arbitrase yang merupakan karakteristiknya ini juga dapat disimpulkan
melalui Penjelasan Umum Undang-Undang Arbitrase dapat terbaca beberapa
keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata
peradilan. Keunggulan itu adalah:
a. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosuderal dan administratif dapat
dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki lata belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesai masalahnya;
e. para pihak dapat memilih tempat penyelenggara arbitrase;
f. putusan abitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

D. Macam-macam Arbitrase
- Arbitrase Institusional
a. Lembaga Arbitrase Nasional
Arbitrase institusional (institutional arbitration) merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat “permanen” (permanent arbital body), sesuai dengan nama
yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase
institusional.
Arbitrase institusional ini adalah badan arbitrase yang memang sengaja didirikan,
pembentukannya untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.
Ciri khas arbitrase institusional ini ialah faktor kesengajaan dan sifatnya
permanen, karena arbitrase institusional ini telah ada atau berdiri sebelum terjadinya
sengketa para pihak timbul, dan tetap berdiri selamanya, tidak bubar bila telah
memutus sengketa para pihak. Suatu arbitrase institusional memiliki aturan dan tata
cara sendiri dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Secara yuridis dapat didasarkan kepada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
dalam Pasal 1 ayat (8) memberikan pengertian tentang Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
Lembaga Arbitrase yang didirikan di Indonesia saat ini adalah Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) diprakarsai oleh KADIN dan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang telah diganti menjadi Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).

2. Lembaga Arbitrase Internasional


(a) Sejarah dan Dasar Pembentukan Arbitrase Internasional
Sesungguhnya badan arbitrase telah lama dipraktikan. Menurut M. Domke,
bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase
sejak Zaman Yunani kuno. Praktik ini berlangsung pula pada zaman keemas an
Romawi dan Yahudi (biblical times) serta terus berkembang terutama di negara-
negera dagang di Eropa, seperti Inggris dan Belanda.
(b) Lembaga-lembaga Arbitrase Internasional
Meningkatnya kebutuhan dunia perdagangan internasional, akan lembaga-
lembaga arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan
mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi lembaga-lembaga juga meningkat.
Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan lembaga- lembaga
arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh badan internasional yang sudah mapan
maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional. Beberapa bentuk lembaga arbitrase
internasional antara lain:
(1) International Chamber of Commerce (ICC)
ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas Prakarsa Asosiasi Dagang
Internasional. ICC meletakkan dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan
hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan tetapi juga dalam konteks
konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC bermarkas di
Paris, sidang ICC dapat berlangsung di mana saja dalam menerapkan hukum bagi
para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.
(2) London Court International Arbitration (LCIA)
London Court International Arbitration (LCIA) merupakan lembaga arbitrase
yang digagas dan didirikan oleh the Court of Common Council of the City of London
pada Tahun 1891. LCIA merupakan lembaga arbitrase tertua di dunia yang terdiri
dari Chamber of Commerce, Perusahaan-perusahaan yang terletak di Kota London
dan lembaga-lembaga arbitrator. Pada umumnya, LCIA juga menangani sengketa-
sengketa perdagangan sebagaimana yang dilakukan oleh ICC, hanya saja jumlah
kasus yang ditangani oleh LCIA relatif lebih kecil. Meskipun demikian, baik LCIA
maupun ICC memiliki tanggungjawab yang sama terhadap prosedur lembaga dan
pengangkatan arbitrator.
(3) United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL)
United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) adalah
merupakan suatu komisi yang didirikan pada bulan Desember 1966 dengan tujuan
untuk mengharmonisasikan dan mengunifikasi suatu hukum yang fokus ke
perdagangan internasional. Hanya negara yang dipersyaratkan menjadi anggota
UNCITRAL, akan tetapi dalam mengimplementasikan pekerjaanya, UNCITRAL
bekerjasama dengan organisasi atau lembaga yang relevant seperti ICCA untuk
beberapa isu arbitrase. Beberapa instrumen prinsip yang diadopsi oleh UNCITRAL
adalah: The Uncitral Arbitraion Rules, 1976. The Uncitral Conciliation Rules, 1980.
Guidelines for Administering Arbitration, 1982. The Model Law on International
Commercial Arbitration, 1985. Guidelines on Pre-Hearing Conference.
Model hukum (the Model Law) arbitrase perdagangan internasional merupakan
sebuah model untuk negara-negara yang mengadopsi ke dalam hukum nasionalnya
di bidang arbitrase perdagangan internasional. Tujuan utamanya adalah untuk
mempersiapkan suatu model hukum yang ideal dalam menghadapi diveriensi yang
ada dalam penggunaan aturan-aturan arbitrase dan hukum nasional.
Akan tetapi (the Model Law) tidak menangani setiap persoalan yang berhubungan
dengan arbitrase perdagangan internasional.
The Model Law dapat dimodifikasi oleh negara-negara anggota, seperti beberapa
negara telah memodifikasi sehingga dapat diterapkan ke dalam hukum nasional tanpa
diskriminasi (equally). Sebelum eksisnya the Model Law, hanya ada dua instrument
utama yang menangani arbitrase perdagangan internasional dalam sistem di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua instrumen tersebut adalah:
a. The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement on
Foreign Arbital Awards, 1958 (the New York Convention);
b. The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976.
The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976 justru sebaliknya, Prosedur arbitrase menjadi
salah satu “subject matters” meskipun dalam batasan tertentu.
Kemudian Model Law memprakarsai terhadap perluasan terhadap ruang lingkup
penggunaan instrumen Arbitrase, tujuannya adalah untuk mempromosikan
penyatuan prosedur arbitrase dan mengalamatkannya pada kebutuhan mendasar
dari arbitrase perdagangan internasional, namun demikian juga dilakukan upaya
mengunifikasi dalam penerapan hukum nasional dalam arbitrase, serta mendisain
pula penggunaan arbitrase ad hoc. Ada pun lingkup utama dari Uncitral Model Law
adalah:
a. Bentuk dan definisi perjanjian arbitrase;
b. Pengangkatan Arbitrase tribunal;
c. Hukum yang dapat diterapkan dalam arbitrase; Pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase;
(4) Convention on the Settlement of Disputes Between States and National of Other
states (ISCID) Convention
ISCID dibuat berdasarkan pada pertemuan dalam konvensi di Washington, yang
terkenal Washington Convention on the settlement of Investment Disputes between
States and National of Other States, 1965 (ISCID) Convention. ISCID hanya
bersedia menangani perkara-perkara yang menyangkut agency.

Anda mungkin juga menyukai