MAKALAH
Disusun Oleh:
Kelompok 3
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Dalam makalah ini, kami membahas mengenai “Implikasi
dan Contoh, Serta Pengaturan Perbankan Syariah Bagi Arbitrase dalam
Menyelesaikan Kasus Sengketa”. Makalah ini dibuat sebagai bahan perkuliahan
Arbitrase Syariah.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak Faqih Ali Syari`ati selaku Dosen
Pengampu Mata Kuliah Arbitrase Syariah. Tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada teman- teman dan penulis literatur sumber yang telah kami gunakan untuk
membantu kesempurnaan penulisan makalah ini.
Kami berharap semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat
berguna bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Dalam
penulisan makalah ini, kami telah berusaha dengan segenap kemampuan. Tetapi
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan kami, dengan ini kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini kedepannya. Demikian
makalah ini dibuat semoga bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Amin
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan ................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Kesimpulan.......................................................................................14
B. Saran.................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan masyarakat indonesia terdapat dasar hukum yang
mengizinkan suatu permasalahan sengketa dapat dituntaskan melalui cara
penyelesaian sengketa alternatif, yang telah tertera di dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Bentuk dari pada penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah mediasi.
Mediasi merupakan suatu cara dalam dalam penyelesaian sengketa atau
penyelesaian sengketa diluar peradilan (non-litigasi) yang dibantu orang atau
pihak ketiga yang bersifat netral, tidak berpihak kepada siapapun, serta tidak
sebagai pengambil keputusan yang disebut dengan mediator. Makna mediator
menunjukan bahwa peran yang ditampilkan pihak ketiga (mediator) harus
pada posisi netral dan tidak berpihak kepada siapapun dalam menyelesaikan
sengketa. Dalam perwujudan yang digunakan atas tuntutan masyarakat
dengan tujuan menyelesaikan suatu sengketa yang cepat, tidak berlarut-larut,
dan tidak merugikan salah satu pihak.
Penyelesaian perselisihan non-litigasi harus memiliki kekuatan hukum
mengikat bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Kekuatan hukum
mengikat pada mekanisme penyelesaian diluar pengadilan dalam perselisihan
dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak sehingga upaya
penyelesaian perselisihan yang dilakukan selama waktu yang ditentukan tidak
sekedar upaya tanpa solusi yang tidak menguntungkan kedua belah pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan hukum penyelesaian sengketa secara non litigasi ?
2. Seperti apa contoh kasus penyelesaian non litigasi ?
3. Bagaimana pola penyelematan pembiayaan bermasalah pada perbankan
syariah ?
1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum penyelesaian sengketa secara non
litigasi
2. Untuk mengetahui contoh kasus penyelesaian non litigasi
3. Untuk mengetahui pola penyelematan pembiayaan bermasalah pada
perbankan syariah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dengan kewenangan yang ada pada hakim dan arbiter.
Suatu kesepakatan atau perjanjian perdamaian dari hasil mediasi memiliki
kekuatan hukum seperti halnya perjanjian biasa lainnya (perjanjian jual beli
dan sewa menyewa) yang hanya menerangkan telah terjadinya peristiwa
hubungan hukum di antara para pihak yang membuatnya. Apabila di kemudian
hari ada pihak yang tidak beriktikad baik dalam melaksanakan prestasi seperti
yang telah mereka perjanjikan, maka pihak lain yang dirugikan dapat
melakukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Dengan demikian, hasil
perdamaian dimaksud belum memiliki kepastian hukum. Apabila dari proses
mediasi tersebut terjadi kesepakatan, maka para pihak menandatangani
kesepakatan tersebut dan wajib mendaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam
waktu 30 hari sejak penandatanganan. Kesepakatan tersebut, berdasarkan Pasal
6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mempunyai sifat final dan
mengikat. Akan tetapi sifat final dan mengikat, pelaksanaanya didasarkan pada
itikad baik para pihak. Namun, jika ada satu pihak ternyata di kemudian hari
tidak melaksanakan kesepakatan, maka kesepakatan yang mereka buat
walaupun didaftarkan di pengadilan, tetap saja tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Kesepakatan atau perjanjian perdamaian hasil mediasi yang telah
dikukuhkan dan statusnya menjadi akta perdamaian (acte van dading) memiliki
kekuatan yang sama seperti halnya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, maka putusan perdamaian memiliki 3 (tiga) kekuatan hukum
layaknya putusan biasa, yakni kekuatan mengikat dan final, kekuatan
pembuktian sempurna, serta kekuatan eksekutorial.
Hal demikian sesuai dengan Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUHPerdata dan
Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat (2) dan (3) yang mengatur perdamaian dan
perjanjian perdamaian. Dalam rumusan Pasal 1858 KUHPerdata disebutkan:
a) Segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan
seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.
b) Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan
mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
Selanjutnya, Pasal 130 HIR/154 RBg ayat (2) dan (3) menyebutkan:
4
a. Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu
pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akta, dengan mana
kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang
dibuat itu, maka surat (akta) itu akan berkekuatan dan akan
dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
b. Tentang keputusan yang demikian tidak dapat dimintakan
banding.
Kedua pasal tersebut, pada intinya menerangkan bahwa putusan
perdamaian mempunyai kekuatan yang sama layaknya putusan hakim
(pengadilan) dalam tingkat akhir, sehingga memiliki kekuatan hukum tetap,
dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum banding
maupun kasasi. Dengan demikian, akta perdamaian yang dikukuhkan dalam
putusan perdamaian yang telah dibacakan di muka sidang oleh majelis hakim
telah memiliki kepastian hukum layaknya putusan biasa yang telah
berkekuatan hukum tetap, yakni kekuatan mengikat dan final, kekuatan
pembuktian sempurna, dan kekuatan eksekutorial.1
“Mengikat” memiliki arti, bahwa putusan tersebut berlaku selayaknya
undang-undang bagi kedua belah pihak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga
kedua belah pihak wajib melaksanakan prestasi sesuai yang mereka sepakati
dalam akta perdamaian. “Akhir” memiliki makna bahwa melalui putusan
perdamaian tersebut, maka akta perdamaian seperti halnya putusan akhir,
sehingga terhadap putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum,
karena terhadap putusan telah tertutup upaya hukum banding maupun kasasi
sesuai yang diatur dalam Pasal 130 HIR.
Berkaitan dengan hal pembuktian, akta perdamaian memiliki kekuatan
pembuktian sempurna, artinya apabila akta perdamaian tersebut dijadikan alat
bukti, maka tidak memerlukan alat bukti pendukung lainnya untuk
membuktikan telah terjadinya peristiwa maupun hubungan hukum lainnya
yang telah menimbulkan hak dan kewajiban, karena akta perdamaian sama
1
Dedy Mulyana, “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut Hukum
POSITIF.” Wawasan Yuridika 2, (September 2019) hlm,. 192-195.
5
halnya dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni hakim melalui putusan
perdamaian dan dibuat secara sengaja untuk dapat dijadikan dan digunakan
sebagai alat bukti. Akta perdamaian juga mempunyai kekuatan pembuktian
terhadap pihak ketiga meskipun akta perdamaian tersebut tidak memiliki
kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Jadi, apabila pihak ketiga merasa
dirugikan dengan adanya akta perdamaian tersebut, maka pihak ketiga dapat
mengajukan gugatan dengan menggunakan akta perdamaian sebagai alat
buktinya.
Akta perdamaian (acta van dading) hasil mediasi memiliki kekuatan
eksekutorial, karena dalam putusan perdamaian tersebut memuat irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Setiap akta atau putusan yang dalam kepala putusannya memuat irah-
irah, maka termasuk dalam akta otentik yang memiliki kekuatan eksekutorial.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang ditentukan dalam
putusan perdamaian, maka pihak lain yang merasa telah dirugikan dapat
mengajukan permohononan pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri yang
telah memutus perkara tersebut. Para pihak tidak perlu lagi mengajukan
gugatan baru yang memerlukan proses lebih lama.
B. Contoh Kasus Penyelesaian non Litigasi
Penyelesaian sengketa bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun
proses non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan
proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian
melalui non-litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di
luar persidangan atau sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa.2
Ada lima jenis penyelesaian sengketa secara Non-Litigasi yaitu:
1) Konsultasi, yaitu suatu tindakan personal antara klien dengan konsultan
sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2) Negoisasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan tujuan pencapaian
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif.
3) Mediasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak melalui perundingan yang
ditengahi oleh mediator dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama.
2
Diakses dari https///www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13448/Penyelesaian-
Sengketa-Non-Litigasi-Melalui-Proses-Mediasi.html, pada tanggal 5 Oktober 2021 pukul 21:23.
6
4) Konsiliasi, yaitu penengah atau konsiliator bertugas mencari solusi atas
suatu sengketa yang dapat diterima bagi kedua pihak.
5) Pendapat ahli, yaitu pendapat ahli atas suatu sengketa yang bersifat teknis
dan sesuai dengan bidang keilmuannya.3
3
Ranny Apriani Nusa, dkk, “Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian Harta Warisan
di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.” Qiyas 1 (April,
2021), hlm., 40.
7
masyarakat berasumsi bahwa penyelesaian sengketa hanya bisa dilakukan
melalui jalur pengadilan.4
8
penyelesaian sengketa, karena tanpa itikad baik tidak dapat menghasilkan
keputusan bebas konflik antara kedua pihak.
5
Ranny Apriani Nusa, dkk, “Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian Harta Warisan
di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.” Qiyas 1 (April,
2021), hlm., 40-41.
9
yang sesuai dengan nilai-nilai kekerabatan dan kebersamaan yang dianut
oleh masyarakat Desa pada umumnya.6
6
Ibid, hlm,. 42.
10
3) Capital (modal), modal adalah modal usaha dari calon debitur yang
telah tersedia atau telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit.
4) Condition, kondisi ekonomi yang diperhatikan tidak saja mengenai
kondisi ekonomi pada setiap usaha calon nasabah tetapi juga kondisi
ekonomi secara umum dimana perusahaan calon debitur itu berada.
5) Collateral (Jaminan), merupakan jaminan atau agunan yang diberikan
oleh calon debitur. Jaminan ini bersifat sebagai jaminan tambahan,
karena jaminan utama kredit adalah pribadi calon debitur dan usahanya.
Jaminan merupakan bentuk terakhir bagi keselamatan kredit.7
Selanjutnya Djamil (2014) menerangkan pembiayaan bermasalah adalah
pembiayaan yang kualitas pembayarannya berada dalam kategori kurang
lancar, diragukan, dan macet. Menurut Bank Indonesia dalam PBI No.
5/7/2003, penilaian dan klasifikasi kualitas pembiayaan bermasalah dibagi
kepada lima golongan yaitu:
1) Lancar
2) Dalam perhatian khusus
3) Kurang lancar
4) Diragukan
5) Macet8
Kualitas pembiayaan pada hakikatnya didasarkan atas risiko terhadap
kepatuhan nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Hal ini sebagaimana
mengacu pada ketentuan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008
tentang penetapan kualitas pembayaran, yang mana kualitas pembayaran
dinilai berdasarkan aspek prospek usaha, kinerja nasabah dan kemampuan
membayar. Penetapan kualitas tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
materialitas dan signifikan dari faktor penilaian komponen serta relevansinya
dari faktor penilaian terhadap karakteristik ketepatan pembayaran angsuran
nasabah tersebut. Pembiayaan bermasalah cenderung lebih berisiko terjadi
pada produk-produk dengan persentase alokasi dana yang tinggi seperti
pembiayaan murabahah. Murabahah didefinisikan oleh para fuqoha sebagai
7
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 32.
8
Sitti Saleha Majdid, “ Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Syariah.” J-HES 1,
(Januari-Juni, 2018) hlm,. 100.
11
penjualan barang seharga biaya atau harga pokok barang tersebut ditambah
keuntungan (margin) yang disepakati. Produk murabahah ini merupakan
salah satu bentuk pembiayaan berprinsip jual beli yang paling dominan
diterapkan dalam praktik perbankan syariah.9
Secara spesifik, risiko yang terjadi pada pembiayaan murabahah di
antaranya terkait dengan barang yang timbul karena kehilangan atau
kerusakan dari waktu pembelian sampai waktu pengiriman. Kemudian risiko
yang terkait dengan nasabah terkait dengan penolakan atau pembatalan
pembelian barang oleh nasabah. Selanjutnya risiko yang terkait dengan
pembayarannya yang terjadi apabila nasabah tidak membayar penuh atau
sebagian dari uang muka, sebagaimana yang telah direncanakan dalam
kontrak pembiayaan (Saeed, 2004). Kondisi ini menimbulkan permasalahan
berantai dalam pelaksanaan operasional bank, mulai dari tidak terealisasinya
target penyaluran dana sampai dengan pendapatan laba yang lebih kecil.
Akibatnya bank mengalami defisit, dan akan berefek kepada nasabah yang
menginvestasikan modalnya. 10
Faktor penyebab pembiayaan bermasalah terdapat dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Maksudnya dari kedua faktor tersebut adalah
faktor eksternal itu disebabkan oleh faktor kesengajaan dan faktor
ketidaksengajaan, sedangkan faktor internal adalah kurang teliti bank dalam
menganalisis calon nasabah yang meminta pembiayaan. Ketika masalah
pembiayaan macet ini muncul, maka dapat diprediksi melalui keterlambatan
nasabah dalam melakukan pembayaran. Keterlambatan ini dapat
menyimpulkan apakah nasabah ini memang sengaja tidak ingin membayar
atau memang tidak mampu membayar. Ketidakmampuan disini pun yaitu
berupa sesuatu hal yang diluar perkiraan (bencana) atau gagal usaha.
Sedangkan menurut Hilyatin (2016), penyebab timbulnya suatu pembiayaan
bermasalah terdiri dari faktor internal dan eksternal perbankan (hlm. 66).
9
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 28-
29.
10
Azharsyah Ibrahim, Arinal Rahmawati, “Analisis Solutif Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
di Bank Syariah.” IQTISHADIA 1 (2017) hlm., 75-78.
12
Faktor internal dan faktor eksternal perbankan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Faktor Internal Perbankan
Yaitu penyebab pembiayaan bermasalah yang berasal dari dalam
bank itu sendiri, diantaranya:
a) Kualitas pejabat bank
b) Persaingan antar bank
c) Hubungan ke dalam, maksudnya adalah hubungan bank
dengan perusahaan lain yang tergabung dalam kelompoknya,
serta hubungan bank dengan pengurus maupun dengan
pemegang saham.
d) Pengawasan; tindakan pengawasan dilakukan oleh pihak bank
itu sendiri dan pihak Bank Indonesia.
2) Faktor Eksternal Perbankan
Pembiayaan bermasalah disebabkan oleh nasabah pembiayaan,
seperti nasabah yang menggunakan dana tidak sesuai dengan
ketentuan akad, nasabah beritikad tidak baik, tidak jujur, lalai, dan
lain sebagainya. Dapat pula diidentifikasi penyebab timbulnya
pembiyaan bermasalah antara lain karena perubahan politik dan
peraturan perundangan, deregulasi sektor riil, keuangan dan
ekonomi.11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
11
Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 33.
13
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, telah sesuai dengan
landasan sosiologis yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia dan sesuai
pula dengan landasan filosofis sebagaimana dimaksud dalam sila ke-4
Pancasila. Secara yuridis, penyelesaian sengketa dengan cara mediasi juga
telah diatur dalam hukum positif, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 130
HIR/154 Rbg., KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Perma Nomor 1 Tahun 2018 serta
peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Hasil dari proses penyelesaian sengketa dengan cara mediasi, baik yang
dilaksanakan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, yaitu adanya
kesepakatan atau perjanjian perdamaian yang sama-sama memiliki nilai
pembuktian dan mengikat bagi para pihak. Namun, keduanya belum memiliki
kekuatan hukum yang pasti sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Kesepakatan perdamaian hasil dari mediasi di
dalam pengadilan dapat langsung ditingkatkan statusnya menjadi akta
perdamaian melalui majelis hakim pemeriksa perkara pada saat persidangan
dan diputus menjadi putusan pengadilan. Sedangkan, perjanjian atau
kesepakatan perdamaian hasil mediasi di luar pengadilan, baru memperoleh
kedudukan sebagai akta perdamaian setelah para pihak dengan bantuan
mediator mengajukan gugatan perdamaian melalui Pengadilan Negeri, Pasal
36 PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Sehingga, akta perdamaian dimaksud
memiliki kepastian hukum dan berkekuatan hukum tetap
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap pembaca khususnya
individu masyarakat mengetahui bahwa setiap perkara yang diselesaikan
melalui pengadilan agama sebelum diregister harus diperhatikan dan
dipastikan lebih dahulu perkara tersebut, bukan perkara perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase. Dan tolong pelajari secara secara cermat
perjanjian atau akad yang mendasari kerjsama antara para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
14
Diakses dari https///www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-
artikel/13448/Penyelesaian- Sengketa-Non-Litigasi-Melalui-Proses-
Mediasi.html, pada tanggal 5 Oktober 2021 pukul 21:23.
Nusa, Apriyani Ranny. dkk. Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian
Harta Warisan di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong
Provinsi Sulawesi Tengah. Qiyas 1. April, 2021.
Salamah, Andini dan Arrison Hendry. Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan
Bermasalah Berakad Murabahah di Bank Syariah. Ekonomi dan
Perbankan Syariah 1. April 2018.
Sitti Saleha Majdid. Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Syariah. J-
HES 1. Januari-Juni, 2018.
Ibrahim, Azharsyah dan Arinal Rahmawati. Analisis Solutif Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah. IQTISHADIA 1. 2017.
15