Anda di halaman 1dari 18

“Implikasi dan Contoh, Serta Pengaturan Perbankan Syariah

Bagi Arbitrase dalam Menyelesaikan Kasus Sengketa ”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Arbitrase Syari'ah

Yang diampu oleh Bapak Faqih Ali Syari`ati

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Misin Noviarsih (19383022184)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Dalam makalah ini, kami membahas mengenai “Implikasi
dan Contoh, Serta Pengaturan Perbankan Syariah Bagi Arbitrase dalam
Menyelesaikan Kasus Sengketa”. Makalah ini dibuat sebagai bahan perkuliahan
Arbitrase Syariah.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak Faqih Ali Syari`ati selaku Dosen
Pengampu Mata Kuliah Arbitrase Syariah. Tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada teman- teman dan penulis literatur sumber yang telah kami gunakan untuk
membantu kesempurnaan penulisan makalah ini.
Kami berharap semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat
berguna bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Dalam
penulisan makalah ini, kami telah berusaha dengan segenap kemampuan. Tetapi
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan kami, dengan ini kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini kedepannya. Demikian
makalah ini dibuat semoga bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Amin

Pamekasan, 4 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan ................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

A. Kekuatan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara non Litigasi...........3


B. Contoh Kasus Penyelesaian non Litigasi ...........................................6
C. Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan
Syariah..............................................................................................10

BAB III PENUTUP.....................................................................................14

A. Kesimpulan.......................................................................................14
B. Saran.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perkembangan masyarakat indonesia terdapat dasar hukum yang
mengizinkan suatu permasalahan sengketa dapat dituntaskan melalui cara
penyelesaian sengketa alternatif, yang telah tertera di dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Bentuk dari pada penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah mediasi.
Mediasi merupakan suatu cara dalam dalam penyelesaian sengketa atau
penyelesaian sengketa diluar peradilan (non-litigasi) yang dibantu orang atau
pihak ketiga yang bersifat netral, tidak berpihak kepada siapapun, serta tidak
sebagai pengambil keputusan yang disebut dengan mediator. Makna mediator
menunjukan bahwa peran yang ditampilkan pihak ketiga (mediator) harus
pada posisi netral dan tidak berpihak kepada siapapun dalam menyelesaikan
sengketa. Dalam perwujudan yang digunakan atas tuntutan masyarakat
dengan tujuan menyelesaikan suatu sengketa yang cepat, tidak berlarut-larut,
dan tidak merugikan salah satu pihak.
Penyelesaian perselisihan non-litigasi harus memiliki kekuatan hukum
mengikat bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Kekuatan hukum
mengikat pada mekanisme penyelesaian diluar pengadilan dalam perselisihan
dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak sehingga upaya
penyelesaian perselisihan yang dilakukan selama waktu yang ditentukan tidak
sekedar upaya tanpa solusi yang tidak menguntungkan kedua belah pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan hukum penyelesaian sengketa secara non litigasi ?
2. Seperti apa contoh kasus penyelesaian non litigasi ?
3. Bagaimana pola penyelematan pembiayaan bermasalah pada perbankan
syariah ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum penyelesaian sengketa secara non
litigasi
2. Untuk mengetahui contoh kasus penyelesaian non litigasi
3. Untuk mengetahui pola penyelematan pembiayaan bermasalah pada
perbankan syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara non Litigasi


Sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah mengenal istilah musyawarah
dan mufakat dalam menyelesaikan suatu sengketa, dengan melibatkan tokoh-
tokoh masyarakat atau kepala adat, sehingga menghasilkan penyelesaian
masalah yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses penyelesaian sengketa
demikian, dalam perkembangannya kemudian dikenal dengan istilah mediasi.
Upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi, biasanya akan tercapai
perdamaian, karena para pihak memiliki kesempatan untuk mengemukakan
usulan-usulan sesuai kepentingannya. Jikapun dalam mediasi tidak berhasil
atau belum mencapai kesepakatan, namun setidaknya dapat mengklarifikasi
permasalahan dan mempersempit perselisihan, karena para pihak memiliki
kesempatan mengemukakan apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka
inginkan.
Pada saat ini, dalam penerapan hukum yang berlaku di Indonesia dikenal
adanya dua jenis penyelesaian sengketa, yaitu litigasi dan non litigasi. Litigasi
adalah suatu sengketa yang proses penyelesaiannya dilakukan di dalam
pengadilan, sedangkan non litigasi adalah suatu sengketa yang proses
penyelesaiannya dilakukan di luar pengadilan, yang lazim disebut alternatif
penyelesaian sengketa atau alterative dispute resolution (ADR), dengan cara
selain arbitrase, juga dapat dilakukan dengan cara negosiasi, konsiliasi, atau
mediasi.
Perkembangannya, masyarakat mulai memilih proses penyelesaian
sengketa melalui mediasi mengingat prosesnya yang sederhana dan cepat, serta
dengan sifat putusan yang win-win solution. Hasilnya diambil melalui
musyawarah dan atas kesepakatan bersama, maka para pihak merasa tidak ada
yang dirugikan. Terlebih lagi, mediasi merupakan proses perundingan
pemecahan masalah dengan bantuan pihak ketiga yang netral, yaitu mediator,
yang bekerja membantu para pihak yang bersengketa untuk menghasilkan
kesepakatan yang memuaskan. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan persengketaan di antara kedua belah pihak yang tentunya berbeda

3
dengan kewenangan yang ada pada hakim dan arbiter.
Suatu kesepakatan atau perjanjian perdamaian dari hasil mediasi memiliki
kekuatan hukum seperti halnya perjanjian biasa lainnya (perjanjian jual beli
dan sewa menyewa) yang hanya menerangkan telah terjadinya peristiwa
hubungan hukum di antara para pihak yang membuatnya. Apabila di kemudian
hari ada pihak yang tidak beriktikad baik dalam melaksanakan prestasi seperti
yang telah mereka perjanjikan, maka pihak lain yang dirugikan dapat
melakukan gugatan wanprestasi ke pengadilan. Dengan demikian, hasil
perdamaian dimaksud belum memiliki kepastian hukum. Apabila dari proses
mediasi tersebut terjadi kesepakatan, maka para pihak menandatangani
kesepakatan tersebut dan wajib mendaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam
waktu 30 hari sejak penandatanganan. Kesepakatan tersebut, berdasarkan Pasal
6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mempunyai sifat final dan
mengikat. Akan tetapi sifat final dan mengikat, pelaksanaanya didasarkan pada
itikad baik para pihak. Namun, jika ada satu pihak ternyata di kemudian hari
tidak melaksanakan kesepakatan, maka kesepakatan yang mereka buat
walaupun didaftarkan di pengadilan, tetap saja tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Kesepakatan atau perjanjian perdamaian hasil mediasi yang telah
dikukuhkan dan statusnya menjadi akta perdamaian (acte van dading) memiliki
kekuatan yang sama seperti halnya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, maka putusan perdamaian memiliki 3 (tiga) kekuatan hukum
layaknya putusan biasa, yakni kekuatan mengikat dan final, kekuatan
pembuktian sempurna, serta kekuatan eksekutorial.
Hal demikian sesuai dengan Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUHPerdata dan
Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat (2) dan (3) yang mengatur perdamaian dan
perjanjian perdamaian. Dalam rumusan Pasal 1858 KUHPerdata disebutkan:
a) Segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan
seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.
b) Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan
mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
Selanjutnya, Pasal 130 HIR/154 RBg ayat (2) dan (3) menyebutkan:

4
a. Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu
pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akta, dengan mana
kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang
dibuat itu, maka surat (akta) itu akan berkekuatan dan akan
dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
b. Tentang keputusan yang demikian tidak dapat dimintakan
banding.
Kedua pasal tersebut, pada intinya menerangkan bahwa putusan
perdamaian mempunyai kekuatan yang sama layaknya putusan hakim
(pengadilan) dalam tingkat akhir, sehingga memiliki kekuatan hukum tetap,
dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum banding
maupun kasasi. Dengan demikian, akta perdamaian yang dikukuhkan dalam
putusan perdamaian yang telah dibacakan di muka sidang oleh majelis hakim
telah memiliki kepastian hukum layaknya putusan biasa yang telah
berkekuatan hukum tetap, yakni kekuatan mengikat dan final, kekuatan
pembuktian sempurna, dan kekuatan eksekutorial.1
“Mengikat” memiliki arti, bahwa putusan tersebut berlaku selayaknya
undang-undang bagi kedua belah pihak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga
kedua belah pihak wajib melaksanakan prestasi sesuai yang mereka sepakati
dalam akta perdamaian. “Akhir” memiliki makna bahwa melalui putusan
perdamaian tersebut, maka akta perdamaian seperti halnya putusan akhir,
sehingga terhadap putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum,
karena terhadap putusan telah tertutup upaya hukum banding maupun kasasi
sesuai yang diatur dalam Pasal 130 HIR.
Berkaitan dengan hal pembuktian, akta perdamaian memiliki kekuatan
pembuktian sempurna, artinya apabila akta perdamaian tersebut dijadikan alat
bukti, maka tidak memerlukan alat bukti pendukung lainnya untuk
membuktikan telah terjadinya peristiwa maupun hubungan hukum lainnya
yang telah menimbulkan hak dan kewajiban, karena akta perdamaian sama
1
Dedy Mulyana, “Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut Hukum
POSITIF.” Wawasan Yuridika 2, (September 2019) hlm,. 192-195.

5
halnya dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni hakim melalui putusan
perdamaian dan dibuat secara sengaja untuk dapat dijadikan dan digunakan
sebagai alat bukti. Akta perdamaian juga mempunyai kekuatan pembuktian
terhadap pihak ketiga meskipun akta perdamaian tersebut tidak memiliki
kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Jadi, apabila pihak ketiga merasa
dirugikan dengan adanya akta perdamaian tersebut, maka pihak ketiga dapat
mengajukan gugatan dengan menggunakan akta perdamaian sebagai alat
buktinya.
Akta perdamaian (acta van dading) hasil mediasi memiliki kekuatan
eksekutorial, karena dalam putusan perdamaian tersebut memuat irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Setiap akta atau putusan yang dalam kepala putusannya memuat irah-
irah, maka termasuk dalam akta otentik yang memiliki kekuatan eksekutorial.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang ditentukan dalam
putusan perdamaian, maka pihak lain yang merasa telah dirugikan dapat
mengajukan permohononan pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri yang
telah memutus perkara tersebut. Para pihak tidak perlu lagi mengajukan
gugatan baru yang memerlukan proses lebih lama.
B. Contoh Kasus Penyelesaian non Litigasi
Penyelesaian sengketa bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun
proses non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan
proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian
melalui non-litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di
luar persidangan atau sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa.2
Ada lima jenis penyelesaian sengketa secara Non-Litigasi yaitu:
1) Konsultasi, yaitu suatu tindakan personal antara klien dengan konsultan
sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2) Negoisasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan tujuan pencapaian
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis dan kreatif.
3) Mediasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak melalui perundingan yang
ditengahi oleh mediator dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama.
2
Diakses dari https///www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13448/Penyelesaian-
Sengketa-Non-Litigasi-Melalui-Proses-Mediasi.html, pada tanggal 5 Oktober 2021 pukul 21:23.

6
4) Konsiliasi, yaitu penengah atau konsiliator bertugas mencari solusi atas
suatu sengketa yang dapat diterima bagi kedua pihak.
5) Pendapat ahli, yaitu pendapat ahli atas suatu sengketa yang bersifat teknis
dan sesuai dengan bidang keilmuannya.3

Sengketa yang terjadi di masyarakat biasanya mengenai hak dan


kewajiban yang dikelompokkan dalam permasalahan perdata. Selain masalah
perkawinan, dan perceraian, waris menjadi masalah yang banyak menarik
perhatian masyarakat. Permasalahan waris yang terjadi di masyarakat
bertumpu pada pembagian harta warisan dimana hanya sebagian ahli waris
yang menguasai harta warisan, pembagian warisan yang tidak rata, harta
warisan telah dijual oleh salah satu ahli waris dan tidak mendapat persetujuan
bagi ahli waris lainnya.Masalah ini dapat diselesaikan melalui jalur litigasi
atau non litigasi.

Menurut Pasal 24 UUD 1945 “bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan


oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”. Bagi muslim, penyelesaian sengketa waris melalui
jalur pengadilan menjadi wewenang pengadilan agama untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama.

Menurut Pasal 49 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989


“Kewenangan Pengadilan Agama Di Bidang Kewarisan Mengatur Tentang
Penentuan Siapa-siapa yang Menjadi Ahli Waris, Penentuan Harta
Peninggalan, Bagian Masing-Masing Ahli Waris dan Melaksanakan
Pembagian Harta Peninggalan”. Selain itu, Pengadilan Agama berwewenang
untuk menyelesaikan sengketa apabila agama yang dianut oleh kedua pihak
saat terjadinya hukum ialah agama Islam dan hubungan ikatan hukum yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam. Maka berdasarkan uraian pasal diatas

3
Ranny Apriani Nusa, dkk, “Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian Harta Warisan
di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.” Qiyas 1 (April,
2021), hlm., 40.

7
masyarakat berasumsi bahwa penyelesaian sengketa hanya bisa dilakukan
melalui jalur pengadilan.4

Sistem hukum di Indonesia juga memberikan peluang kepada masyarakat


untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Hal ini dikarenakan proses
penyelesaian sengketa di peradilan yang menganut asas sederhana, cepat, dan
biaya ringan pada praktiknya mengalami banyak kendala antara lain
banyaknya jumlah perkara masuk tidak sebanding dengan jumlah tenaga
hakim, minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan khususnya
peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota,
penumpukan perkara baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi di
Mahkamah Agung. Kendala tersebut berakibat pada masyarakat pencari
keadilan merasa kesulitan untuk berperkara di pengadilan untuk mendapatkan
hak-haknya secara cepat. Bukan hanya kendala dari lembaga peradilan saja,
melainkan pihak yang bersengketa juga memiliki kendala-kendala dalam
berperkara di pengadilan mulai dari jarak, waktu, biaya berperkara, dan
persoalan yang dapat diakses oleh publik. Dengan adanya beberapa kendala
yang berat dalam berperkara di pengadilan, system hukum di Indonesia
sebenarnya memiliki aturan hukum yang bisa di gunakan untukpenyelesaian
sengketa secara cepat baik melalui jalur pengadilan ataupun luar pengadilan.

Pengadilan juga menyediakan fasilitas mediasi, yaitu hakim atau mediator


yang ditunjuk hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa, sedangkan luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase,
mediasi, negosiasi, atau fasilitasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian
sengketa.12 Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa menjadi kabar baik bagi para pihak yang ingin
menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan. Prinsip penyelesaian sengketa
di lingkungan pengadilan dan luar pengadilan berbeda, dilingkungan
pengadilan menganut prinsip menang-kalah sedangkan di luar pengadilan
menganut prinsip sama-sama menguntungkan atau win-win solution.
Undang-undang ini mendorong para pihak untuk beritikad baik dalam proses
4
Ranny Apriani Nusa, dkk, “Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian Harta Warisan
di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.” Qiyas 1 (April,
2021), hlm., 40.

8
penyelesaian sengketa, karena tanpa itikad baik tidak dapat menghasilkan
keputusan bebas konflik antara kedua pihak.

Beberapa masyarakat di Indonesia memilih untuk menyelesaikan masalah


waris melalui jalur mediasi non litigasi, khususnya masyarakat desa yang
tidak memiliki akses baik dari faktor jarak, transportasi, dan biaya untuk
melakukan mediasi di pengadilan. Selain itu, melakukan mediasi non litigasi
dirasa cukup untuk menyelesaikan sengketa dengan memanfaatkan peran
pemerintah setempat, seperti kepala desa, camat, atau tokoh masyarakat
sebagai mediator dalam sengketa tersebut. Cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan memiliki kaitan erat dengan Indonesian Legal Culture yang
bersifat musyawarah, komunal, dan konsensus atau lebih mengedepankan
asas musyawarah untuk mufakat dan mencapai maslahah bersama.5

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat


Indonesia khususnya yang berada di daerah-daerah lebih menyelesaikan
sengketa warisnya melalui jalur non litigasi. Karena disebabkan beberapa
faktor yang mendorong masyarakat untuk menyelesaikan perkaranya secara
non litigasi, diantaranya adalah faktor ekonomi dimana meskipun sistem
peradilan di Indonesia menganut asas cepat dan biaya ringan, faktanya masih
banyak warga yang merasa keberatan atas biaya berperkara tersebut, sehingga
lebih memilih menyelesaikan lewat jalur non litigasi.

Selanjutnya yang menjadi pertimbangan warga adalah faktor geografis


yaitu jika seseorang ingin berperkara di pengadilan harus menempuh jarak
kurang lebih 300km dengan lama perjalanan 5 jam. Tidak semaju transportasi
di wilayah pulau Jawa yang lancar setiap jamnya, transportasi di daerah ini
terbilang sangat kurang bahkan tidak jarang dalam sehari tidak ada satupun
transportasi umum yang berangkat ke ibu kota. Karena peliknya masalah
tersebut sebagian masyarakat memutuskan untuk mempercayakan perkara
waris kepada tokoh-tokoh masyarakat seperti Kepala Desa atau Camat.
Mediasi tersebut dilakukan dengan jalan musyawarah secara kekeluargaan

5
Ranny Apriani Nusa, dkk, “Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian Harta Warisan
di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.” Qiyas 1 (April,
2021), hlm., 40-41.

9
yang sesuai dengan nilai-nilai kekerabatan dan kebersamaan yang dianut
oleh masyarakat Desa pada umumnya.6

C. Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah


Secara umum pengertian pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang
diakibatkan oleh nasabah yang tidak menempati jadwal pembayaran angsuran
dan tidak memenuhi persyaratan yang tertuang dalam akad. Mahmoeddin
(2001) mengemukakan pengertian pembiayaan bermasalah lebih spesifik lagi,
yaitu pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan kurang lancar, di mana
nasabahnya tidak memenuhi persyaratan yang telah dituangkan dalam akad,
pembiayaan yang tidak menempati jadwal angsuran, sehingga terjadinya
penunggakan, pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang tidak
menempati janji pembayaran, sehingga memerlukan tindakan hukum untuk
menagihnya, kemudian Mahmoeddin juga menyimpulkan bahwa pembiayaan
bermasalah adalah pembiayaan yang berpotensi untuk merugikan bank
sehingga berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri.
Setiap bank dalam memberikan pembiayaan harus memperhatikan
beberapa prinsip utama apakah nasabah layak untuk diberikan pembiayaan atau
tidak. Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu
permohonan pembiayaan dilakukan dengan berpedoman kepada formula 5C.
Menurut Rivai dalam penelitiannya Nur Eka dan Made Dudy (2014), yang
dimaksud dari 5C tersebut adalah sebagai berikut:
1) Character (watak), merupakan ukuran untuk menilai “kemauan”
nasabah membayar kreditnya. Orang yang memiliki karakter baik akan
berusaha untuk membayar kreditnya dengan berbagai cara. Dalam
kenyataannya untuk menilai nasabah tidaklah mudah dan dibutuhkan
waktu yang lama. Hal-hal tersebut diatas merupakan suatu ukuran
tentang willingness to pay (kemauan untuk membayar).
2) Capacity (kemampuan), untuk melihat kemampuan nasabah dalam
bidang bisnis serta yang dihubungkan dengan kemampuannya
mengelola bisnis serta kemampuannya mencari laba.

6
Ibid, hlm,. 42.

10
3) Capital (modal), modal adalah modal usaha dari calon debitur yang
telah tersedia atau telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit.
4) Condition, kondisi ekonomi yang diperhatikan tidak saja mengenai
kondisi ekonomi pada setiap usaha calon nasabah tetapi juga kondisi
ekonomi secara umum dimana perusahaan calon debitur itu berada.
5) Collateral (Jaminan), merupakan jaminan atau agunan yang diberikan
oleh calon debitur. Jaminan ini bersifat sebagai jaminan tambahan,
karena jaminan utama kredit adalah pribadi calon debitur dan usahanya.
Jaminan merupakan bentuk terakhir bagi keselamatan kredit.7
Selanjutnya Djamil (2014) menerangkan pembiayaan bermasalah adalah
pembiayaan yang kualitas pembayarannya berada dalam kategori kurang
lancar, diragukan, dan macet. Menurut Bank Indonesia dalam PBI No.
5/7/2003, penilaian dan klasifikasi kualitas pembiayaan bermasalah dibagi
kepada lima golongan yaitu:
1) Lancar
2) Dalam perhatian khusus
3) Kurang lancar
4) Diragukan
5) Macet8
Kualitas pembiayaan pada hakikatnya didasarkan atas risiko terhadap
kepatuhan nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Hal ini sebagaimana
mengacu pada ketentuan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008
tentang penetapan kualitas pembayaran, yang mana kualitas pembayaran
dinilai berdasarkan aspek prospek usaha, kinerja nasabah dan kemampuan
membayar. Penetapan kualitas tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
materialitas dan signifikan dari faktor penilaian komponen serta relevansinya
dari faktor penilaian terhadap karakteristik ketepatan pembayaran angsuran
nasabah tersebut. Pembiayaan bermasalah cenderung lebih berisiko terjadi
pada produk-produk dengan persentase alokasi dana yang tinggi seperti
pembiayaan murabahah. Murabahah didefinisikan oleh para fuqoha sebagai
7
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 32.
8
Sitti Saleha Majdid, “ Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Syariah.” J-HES 1,
(Januari-Juni, 2018) hlm,. 100.

11
penjualan barang seharga biaya atau harga pokok barang tersebut ditambah
keuntungan (margin) yang disepakati. Produk murabahah ini merupakan
salah satu bentuk pembiayaan berprinsip jual beli yang paling dominan
diterapkan dalam praktik perbankan syariah.9
Secara spesifik, risiko yang terjadi pada pembiayaan murabahah di
antaranya terkait dengan barang yang timbul karena kehilangan atau
kerusakan dari waktu pembelian sampai waktu pengiriman. Kemudian risiko
yang terkait dengan nasabah terkait dengan penolakan atau pembatalan
pembelian barang oleh nasabah. Selanjutnya risiko yang terkait dengan
pembayarannya yang terjadi apabila nasabah tidak membayar penuh atau
sebagian dari uang muka, sebagaimana yang telah direncanakan dalam
kontrak pembiayaan (Saeed, 2004). Kondisi ini menimbulkan permasalahan
berantai dalam pelaksanaan operasional bank, mulai dari tidak terealisasinya
target penyaluran dana sampai dengan pendapatan laba yang lebih kecil.
Akibatnya bank mengalami defisit, dan akan berefek kepada nasabah yang
menginvestasikan modalnya. 10
Faktor penyebab pembiayaan bermasalah terdapat dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Maksudnya dari kedua faktor tersebut adalah
faktor eksternal itu disebabkan oleh faktor kesengajaan dan faktor
ketidaksengajaan, sedangkan faktor internal adalah kurang teliti bank dalam
menganalisis calon nasabah yang meminta pembiayaan. Ketika masalah
pembiayaan macet ini muncul, maka dapat diprediksi melalui keterlambatan
nasabah dalam melakukan pembayaran. Keterlambatan ini dapat
menyimpulkan apakah nasabah ini memang sengaja tidak ingin membayar
atau memang tidak mampu membayar. Ketidakmampuan disini pun yaitu
berupa sesuatu hal yang diluar perkiraan (bencana) atau gagal usaha.
Sedangkan menurut Hilyatin (2016), penyebab timbulnya suatu pembiayaan
bermasalah terdiri dari faktor internal dan eksternal perbankan (hlm. 66).

9
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 28-
29.
10
Azharsyah Ibrahim, Arinal Rahmawati, “Analisis Solutif Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
di Bank Syariah.” IQTISHADIA 1 (2017) hlm., 75-78.

12
Faktor internal dan faktor eksternal perbankan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Faktor Internal Perbankan
Yaitu penyebab pembiayaan bermasalah yang berasal dari dalam
bank itu sendiri, diantaranya:
a) Kualitas pejabat bank
b) Persaingan antar bank
c) Hubungan ke dalam, maksudnya adalah hubungan bank
dengan perusahaan lain yang tergabung dalam kelompoknya,
serta hubungan bank dengan pengurus maupun dengan
pemegang saham.
d) Pengawasan; tindakan pengawasan dilakukan oleh pihak bank
itu sendiri dan pihak Bank Indonesia.
2) Faktor Eksternal Perbankan
Pembiayaan bermasalah disebabkan oleh nasabah pembiayaan,
seperti nasabah yang menggunakan dana tidak sesuai dengan
ketentuan akad, nasabah beritikad tidak baik, tidak jujur, lalai, dan
lain sebagainya. Dapat pula diidentifikasi penyebab timbulnya
pembiyaan bermasalah antara lain karena perubahan politik dan
peraturan perundangan, deregulasi sektor riil, keuangan dan
ekonomi.11

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Andini Salamah dan Arrison Hendry, “Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan Bermasalah
11

Berakad Murabahah di Bank Syariah.” Ekonomi dan Perbankan Syariah 1, (April 2018) hlm., 33.

13
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, telah sesuai dengan
landasan sosiologis yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia dan sesuai
pula dengan landasan filosofis sebagaimana dimaksud dalam sila ke-4
Pancasila. Secara yuridis, penyelesaian sengketa dengan cara mediasi juga
telah diatur dalam hukum positif, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 130
HIR/154 Rbg., KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Perma Nomor 1 Tahun 2018 serta
peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Hasil dari proses penyelesaian sengketa dengan cara mediasi, baik yang
dilaksanakan di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, yaitu adanya
kesepakatan atau perjanjian perdamaian yang sama-sama memiliki nilai
pembuktian dan mengikat bagi para pihak. Namun, keduanya belum memiliki
kekuatan hukum yang pasti sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Kesepakatan perdamaian hasil dari mediasi di
dalam pengadilan dapat langsung ditingkatkan statusnya menjadi akta
perdamaian melalui majelis hakim pemeriksa perkara pada saat persidangan
dan diputus menjadi putusan pengadilan. Sedangkan, perjanjian atau
kesepakatan perdamaian hasil mediasi di luar pengadilan, baru memperoleh
kedudukan sebagai akta perdamaian setelah para pihak dengan bantuan
mediator mengajukan gugatan perdamaian melalui Pengadilan Negeri, Pasal
36 PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Sehingga, akta perdamaian dimaksud
memiliki kepastian hukum dan berkekuatan hukum tetap
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap pembaca khususnya
individu masyarakat mengetahui bahwa setiap perkara yang diselesaikan
melalui pengadilan agama sebelum diregister harus diperhatikan dan
dipastikan lebih dahulu perkara tersebut, bukan perkara perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase. Dan tolong pelajari secara secara cermat
perjanjian atau akad yang mendasari kerjsama antara para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Dedy. Kekuatan Hukum Hasil Mediasi di Luar Pengadilan Menurut


Hukum POSITIF. Wawasan Yuridika 2. September 2019.

14
Diakses dari https///www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-
artikel/13448/Penyelesaian- Sengketa-Non-Litigasi-Melalui-Proses-
Mediasi.html, pada tanggal 5 Oktober 2021 pukul 21:23.
Nusa, Apriyani Ranny. dkk. Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengketa Pembagian
Harta Warisan di Kecamatan Moutong Kabupaten Parigi Moutong
Provinsi Sulawesi Tengah. Qiyas 1. April, 2021.
Salamah, Andini dan Arrison Hendry. Pola RESCHEDULING Pada Pembiayaan
Bermasalah Berakad Murabahah di Bank Syariah. Ekonomi dan
Perbankan Syariah 1. April 2018.
Sitti Saleha Majdid. Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Syariah. J-
HES 1. Januari-Juni, 2018.
Ibrahim, Azharsyah dan Arinal Rahmawati. Analisis Solutif Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah. IQTISHADIA 1. 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai