Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

“PROSEDUR MEDIASI, MEDIASI DI PENGADILAN, AKTA


PERDAMAIAN, DAN BERAKHIRNYA MEDIASI”

Di Susun dan dipersiapkan untuk memenuhi tugas pembelajaran mata


kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dosen Pengampu : MILA RISKIAWATI S.H,M.H

Disusun oleh :
Kelompok 4

1. Abdul Munir (20001)

2. Ikbal Maulana Ibrahim (20024)

3. Indah Dwi Ayu Lestari (20028)

4. Muhammad Ijudin Askarina (20038)

5. Yuyun Ayunda (20059)

YAYASAN AMAK FADHOLI

STIH JENDERAL SUDIRMAN LUMAJANG

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
telah diberikan oleh Ibu dosen Ibu Mila Riskiawati SH,.MH. selaku dosen
pengampu pada mata kuliah Alternatif Penelesaian Sengketa. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Ibu dosen dan kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara moral maupun materi, penulisan makalah ini ditulis
berdasarkan referensi dari Buku maupun media massa..

Penulis menyadari, bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi materi, penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh
karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan dan perbaikan untuk makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca
maupun penulis dan bisa bermanfaat untuk peningkatan ilmu pengetahuan
kedepannya Amin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Lumajang, 14 Oktober 2022

Kelompok 4
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................... 3
C. Tujuan.................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Prosedur Mediasi...................................................................... 4
B. Mediasi Di Pengadilan.............................................................. 7
C. Akta Perdamaian....................................................................... 11
D. Berakhirnya Mediasi................................................................. 17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................... 20

B. Saran.......................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 21
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) tidak mengatur
bagaimana prosedur pelaksanaan mediasi secara rinci. Pasal 6 Undang-undang
AAPS ini hanya mengatur tahapan-tahapan dari alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.

Institusionalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa


dalam proses peradilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 yang sekarang diganti dengan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dan terakhir di ganti dengan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan
putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian. Penetapan akta
perdamaian dibuat oleh hakim bertitik tolak dari hasil kesepakatan para pihak
yang berperkara.

Sama halnya negosiasi, berakhirnya mediasi dapat dipengaruhi oleh dua


keadaan yaitu pertama, mediasi berhasil dengan dibuatnya kesepakatan tertulis
sebagai bukti perdamaian antar para pihak. kedua, mediasi tidak berhasil
sehingga tidak tercapainya kesepakatan tertulis sebagai bukti perdamaian.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Prosedur Mediasi Dalam alternatife Penyelesaian


Sengketa?
2. Bagaimanakah Tahapan Melakukan Mediasi di Pengadilan?
3. Mengapa diperlukan adanya akta perdamaian dalam suatu kesepakatan
damai?
4. Bagaimanakah Proses Berakhirnya Mediasi?
C. Tujuan
1. Memahami serta menjelaskan tentang prosedur mediasi, dan tahapan
melakukan mediasi dipengadilan
2. Menjelaskan tentang akta perdamaian dan proses berakhirnya mediasi

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prosedur Mediasi

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) tidak
mengatur bagaimana prosedur pelaksanaan mediasi secara rinci. Pasal 6
Undang-undang AAPS ini hanya mengatur tahapan-tahapan dari alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu:

1. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat diselesaikan dengan melakukan


pertemuan langsung oleh para pihak (negotiation). Dalam waktu empat
belas hari para pihak harus sudah mengambil keputusan dan dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.
2. Jika negosiasi gagal maka para pihak melakukan kesepakatan tertulis dan
menunjuk atau meminta bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun
melalui seorang mediator. Penyelesaian ini berlangsung empat belas hari.
3. Jika gagal maka menghubungi lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Proses mediasi
ini harus dimulai paling lama tujuh hari setelah penunjukkan. Dalam
waktu tiga puluh hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis
yang ditandangani oleh semua pihak terkait. Putusan kesepakatan tertulis
ini wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu tiga puluh hari
sejak penandatanganan. Dalam waktu tiga puluh hari sejak didaftarkan
maka kesepakatan penyelesaian sengketa wajib selesai dilaksanakan.
4. Jika cara perdamaian melalui pilihan penyelesaian sengketa tidak dapat
dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis bisa mengajukan
usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

Mekanisme yang diatur dalam UU AAPS di atas tidak wajib harus


diikuti secara berurutan. Para pihak yang bersengketa dapat saja mengabaikan
tingkat tertentu. Misalnya, para pihak dengan kesepakatannya bisa mengambil
langkah alternatif penyelesaian sengketa langsung melalui mediasi tanpa harus
melalui negosiasi. 1Atau para pihak bisa langsung melalui lembaga arbitrase
tanpa melalui proses negosiasi, mediasi atau konsiliasi.

1
Endrik Safudin. 2018. Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase,
Malang:Intrans Publishing Hal. 42

4
Sedangkan mengenai prosedur pelaksanaan mediasi bisa melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan menempuh proses mediasi,


2. Pengumpulan informasi:
3. Identifikasi masalah:
4. Pengambilan kesepakatan:
5. Pelaksanaan kesepakatan.

Tahap pertama, adanya kesepakatan untuk menempuh proses


mediasi. Pada tahap ini, para pihak dengan itikad baik harus membuat
kesepakatan tertulis dan menunjuk mediator. Itikad baik menjadi sesuatu yang
penting untuk menciptakan proses penyelesaian yang komunikatif, transparan,
responsif terhadap masalah-masalah yang akan diselesaikan. Di samping itu,
itikad baik sangat membantu seorang mediator untuk mencapai kesepakatan
tertulis.

Tahap kedua, pengumpulan informasi. Pada tahap ini mediator akan


mengumpulkan berbagai informasi dari para pihak yang bersengketa dengan
cara mengadakan pertemuanpertemuan (caucus-caucus) secara terpisah.
Pertemuan-pertemuan secara terpisah (caucus) ini akan memberikan keluasan
para pihak untuk memberikan informasi secara rinci. Selain itu, bagi mediator,
pertemuan langsung akan memudahkannya untuk mengembangkan informasi
lanjutan, melakukan eksplorasi secara mendalam terhadap keinginan para
pihak, membantu para pihak dalam menafsirkan masalah yang dihadapi,
menilai kepentingankepentingan para pihak, membimbing para pihak dalam
proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan bersama.

Tahap ketiga, identifikasi masalah. Pada tahap ini mediator akan


melakukan identifikasi masalah. Identifikasi masalah ini dapat dilakukan
dengan melakukan pertemuan terpisah atau bersama-sama dengan tujuan yaitu
merumuskan kegiatankegiatan penyelesaian masalah, melakukan klarifikasi
masalah, mengadakan pilihan penyelegaian masalah dan membantu para pihak
menaksirkan, menilai dan membuat prioritas dari kepentingan-kepentingan
para pihak. 2

Tahap keempat, pengambilan kesepakatan. Pada tahap ini mediator


akan melakukan pertemuan bersama. Pada pengambilan keputusan ini
mediator akan melakukan beberapa hal yaitu:

1. Menjelaskan peraturan-peraturan untuk memperlancar proses pengambilan


keputusan,

2
Ibid, Halaman 43

5
2. Membantu para pihak memperkecil perbedaan-perbedaan dan fokus pada
masalah yang telah dihadapi,
3. Membantu para pihak untuk memformulasikan pemecahan masalah,
4. Mendorong para pihak untuk menerima pemecahan masalah, '
5. Mengonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian,
6. Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.

Tahap kelima, pelaksanaan kesepakatan. Pada tahap ini mediator


memberikan saran agar para pihak segera melaksanakan isi perjanjian. Karena
perjanjian mengikat bagi para pihak dan bukan bagi mediator.

Beberapa ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang prosedur


mediasi. Misalnya, Riskin dan Westbrook, membagi proses mediasi menjadi
lima tahapan yaitu:

1. Sepakat untuk menempuh proses mediasi,


2. Memahami masalah-masalah,
3. Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah,
4. Mencapai kesepakatan,
5. Melaksanakan kesepakatan.

Menurut Gary Goodpaster'' membagi proses pelaksanaan mediasi


berlangsung melalui empat tahapan.3

 Tahap Pertama: Menciptakan Forum


Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
1. Mengadakan pertemuan bersama,
2. Menyampaikan pernyataan pembukaan,
3. Membimbing para pihak,
4. Menetapkan aturan dasar perundingan,
5. Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara mereka:
6. Mendengarkan pernyataan-pernyataan para pihak,
7. Mengadakan atau melakukan “hearing” dengan para pihak,
8. Mengembangkan, menyampaikan, dan melakukan klarifikasi informasi:
9. Menciptakan interaksi model dan disiplin.
 Tahap Kedua: Pengumpulan dan Pembagian Informasi
Pada tahap ini, mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan
(caucus-caucus) secara terpisah. Pertemuan ini bertujuan:
1. Mengembangkan informasi lanjutan,
2. Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai keinginan atau
kepentingan para pihak,
3. Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan,
4. Membimbing para pihak dalam tawar menawar penyelesaian masalah.
3
Ibid Halaman 44

6
 Tahap Ketiga: Penyelesaian Masalah

Pada tahap ini, mediator mengadakan causus-causus sebagai


kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk:

1.
Menyusun dan menetapkan agenda,
2.
Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah
3.
Meningkatkan kerja sama,
4.
Melakukan identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah:
5.
Mengadakan pilihan penyelesaian masalah,
6.
Membantu melakukan pilihan penaksiran:
7.
Membantu para pihak dalam menaksir, menilai, dan membuat prioritas
kepentingan-kepentingan mereka. 4
 Tahap Keempat: Pengambilan Keputusan

Dalam tahap pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang


dilakukan adalah:

1. Mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan bersama


2. Melokalisasi peraturan, mengambil sikap, dan membantu para piha
3. Mengevaluasi paket-paket pemecaan masalah
4. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaanperbedaan
5. Mengonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian
6. Membantu para pihak untuk membandingkan proposal penyelesaian
masalah dengan pilihan di luar perjanjian
7. Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan dan
menerima pemecahan masalah
8. Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win dan tidak
hilang muka
9. Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa
mereka
10. Membantu para pihak membantu pertanda perjanjian

B. Mediasi di Pengadilan

Institusionalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa dalam


proses peradilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 02 Tahun 2003 yang sekarang diganti dengan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan dan terakhir di ganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 tentang Mediasi. 5

4
Ibid Halaman 45
5
Ibid Halaman 46

7
Mendahului berbagai Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sebelumnya
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2002 yang mengatur tentang penerapan upaya perdamaian
berdasarkan pasal 130 HIR/154 RBG. Semua peraturan-peratuan tersebut baik
itu Surat Edaran Mahkamah Agung atau Peraturan Mahkamah Agung adalah
upaya Mahkamah Agung untuk mengurangi menumpuknya perkara serta demi
mewujudkan peradilan sederhana, cepat dar biaya ringan.

Melalui mediasi ini diharapkan tidak hanya mengurangi penumpukan


perkara tetapi juga yang terpenting adanya alat bagi masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa secara sederhana, cepat, dan biaya ringan tanpa
melibatkan pengadilan (litigation), Gelain itu, peraturan-peraturan ini untuk
mengurangi anggapan bahwa mediasi tidak hanya sebagai formalitas saja
melainkan sebagai kewajiban hakim yang diperintah oleh peraturan perundang-
undangan.

Meskipun prosedur mediasi ini merupakan suatu kewajiban namun


kewajiban yang tidak bersanksi. Tidak ada ketentuan yang memberi sanksi
apabila hakim misalnya, hakim tidak memberi kesempatan kepada para pihak
untuk mengupayakan perdamaian tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
sanksi sebagai penekan pendayagunaan mediasi agar mediasi yang dilakukan
hakim tidak hanya sebatas pemberdayaan upaya mediasi yang diatur dalam
pasal 130 HIR/154 RBG.

Ketentuan Pasal 130 Ayat (1) HIR berbunyi, “Jika pada hari yang
ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.” Selanjutnya,
ayat (2) mengatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuat surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah
pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan
berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Bertitik tolak dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pada


prinsipnya upaya hakim untuk mendamaikan bersifat Imperatif. Hakim wajib
berupaya mendamaikan para pihak yang berperkara. Hal ini juga dapat ditarik
kesimpulan dari ketentuan

Pasal 131 ayat (1) HIR yaitu jika hakim tidak dapat mendamaikan para
pihak maka hal itu mesti disebut dalam berita acara sidang. Sehingga, dampak
dari kelalaian dalam Pasal 131 Ayat (1) HIR tersebut akan mengakibatkan

8
pemeriksaan perkara mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan
batal demi hukum. 6

Dengan demikian, karena upaya perdamaian adalah bersifat imperatif


meskipun tidak bersanksi. Tidak boleh diabaikan atau dilalaikan. Sehingga
proses pemeriksaan yang tidak menempuh dan tidak dimulai dengan tahap
perdamaian serta berita acara persidangan atau putusan yang lalai atau tidak
mencantumkan tahap perdamaian, tidak sah dan batal demi hukum. Hal ini
menjadikan upaya perdamaian tidak hanya bersifat imperatif tapi juga bersifat
prinsipil.

Oleh karena itu, untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkan


upaya hakim untuk mengupayakan perdamaian dalam pemeriksaan perkara,
Mahkamah Agung memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat memaksa
(compulsory). Sehingga lahirlah berbagai Peraturan Mahkamah Agung mulai
dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang
pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai (eks
Pasal 130 HIR/145 RBG) dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02
Tahun 2003 yang sekarang diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 1 Thn. 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan dan terakhir di
ganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Mediasi.

Perlu diketahui, bertitik tolak dari pasal 130 HIR maupun 154 RBG,
upaya perdamaian yang diatur dalam hukum acara perdata hampir mirip
dengan connected arbitration system. Hal ini karena seolah-olah perjanjian
perdamaian itu merupakan putusan hakim dalam kedudukannya sebagai
arbiter. Berarti, suatu hal yang tidak dipungkiri, Pasal 130 HIR atau 154 RBG
lebih menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses
putusan biasa. Lebih menghendaki penerapan konsep win win solution yaitu
sama-sama menang daripada penerapan winning atau losing, yaitu menang-
kalah.” 7

Sehingga eksistensi Pasal 130 HIR atau pasal 154 RBG dalam hukum
acara perdata ini lebih mirip merupakan kombinasi antara sistem mediasi atau
konsiliasi dengan court connected system, sehingga dapat dirangkai menjadi
court connected mediation atau conciliation. Para pihak menyelesaikan sendiri
lebih dahulu kesepakatan tanpa campur tangan hakim. Selanjutnya,
kesepakatan perdamaian itu diminta kepada hakim untuk dituangkan dalam
bentuk akta perdamaian. Dengan demikian, tampak jelas terhadap perdamaian
yang disepakati para pihak yang berperkara, jntervensi hakim sangat kecil,
hanya berupa pembuatan akta perdamaian yang dijatuhkan sebagai putusan
6
Ibid Halaman 47
7
Ibid Halaman 48

9
pengadilan yang berisi amar menghukum para pihak untuk menaati atau
memenuhi isi perdamaian.

Mengenai jenis perkara wajib menempuh mediasi adalah semua


sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan
(verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet)
maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian
melalui Mediasi! Ada beberapa sengketa yang dikecualikan dari kewajiban
penyelesaian melalui Mediasi meliputi:

1. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu


penyelesaiannya meliputi antara lain:
a. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga,
b. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan
Industrial,
c. Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
d. Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen:
e. Permohonan pembatalan putusan arbitrase,
f. Keberatan atas putusan Komisi Informasi,
g. Penyelesaian perselisihan partai politik:
h. Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana: dan
i. Sengketa lain yang pemeriksaannya dipersidangan AP ditentukan
tenggang waktu penyelesaiannya dalam EA ketentuan peraturan
perundang-undangan. 8
2. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau
tergugat yang telah dipanggil secara patut:
3. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga  dalam suatu
perkara (intervensi),
4. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan, dan  pengesahan
perkawinan,

Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan .


penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan  mediator
bersertifikat yang terdaftar di pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak
berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak dan
mediator bersertifikat. Pernyataan ketidakberhasilan mediasi dan salinan sah
sertifikat .mediator dilampirkan dalam surat gugatan.

Perlu menjadi catatan bahwa berdasarkan kesepakatan para pihak,


sengketa yang dikecualikan kewajiban Mediasi dalam  huruf a, huruf c, dan

8
Ibid Halaman 49

10
huruf e tetap dapat diselesaikan melalui mediasi sukarela pada tahap
pemeriksaan perkara dan tingkat  upaya hukum.

C. Akta Perdamaian

Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan
putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian. Penetapan akta
perdamaian dibuat oleh hakim bertitik tolak dari hasil kesepakatan para pihak
yang berperkara. 9Kesepakatan merupakan produk persetujuan para pihak yang
digariskan pasal 1230 KUH Perdata sehingga berlaku ketentuan pasal 1337
KUH Perdata yang melarang persetujuan mengandung kuasa yang terlarang,
yaitu persetujuan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat larangan ini akan
menyebabkan tidak pisa dibuatkannya penetapan akta perdamaian oleh hakim.
Hakim tidak dibenarkan mengukuhkan kesepakatan dalam bentuk penetapan
akta perdamaian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau
ketertiban umum. Apabila hakim tetap mengukuhkan maka penetapan akta
perdamaian itu dapat dimintai pembatalan. Untuk lebih jelasnya, sebab-sebab
larangan dalam penetapan akta perdamaian itu secara khusus diatur dalam
pasal-pasal sebagai berikut.

1. Pasal 1859 Ayat (1) KUH Perdata

Pasal 1859 Ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahawa, "namun


perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan mengenai
orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan.” Ketentuan pasal ini
melarang persetujuan perdamaian yang mengandung kekhilafan atau
kekeliruan, baik mengenai orangnya atau mengenai pokok perselisihan.
Apabila dalam penetapan akta perdamaian yang dijatuhkan oleh hakim
mengandung cacat kekhilafan atau kekeliruan sesuai dengan yang diatur
dalam pasal 1859 ayat (1), maka hal itu dapat di ajukan alasan untuk
membatalkan ketetapan perdamaian tersebut.

2. Pasal 1859 Ayat (2) KUH Perdata

Dalam pasal 1859 ayat (2) KUH Perdata telah dijelaskan bahwa
“perdamaian dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan
penipuan atau paksaan.” Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui apabila
suatu perdamaian yang telah diSepakati para pihak yang membuatnya ada
unsur penipuan atau paksaan, maka persetujuan perdamaian tersebut dapat
dimintakan pembatalan. Oleh karena itu, penetapan akta perdamaian yang
bersumber dari persetujuan yang mengandung penipuan atau pemaksaan,

9
Ibid Halaman 50

11
dianggap mengandung cacat materiil. Sehingga, salah satu pihak yang
merasa mengalami penipuan atau pemaksaan dapat meminta pembatalan
atas penetapan akta perdamaian yang telah ditetapkan oleh hakim. 10

3. Pasal 1860 KUH Perdata

Pasal 1860 KUH Pedata menyatakan bahwa:

Begitu pula pembatalan suatu perdamaian dapat diminta, jika


perdamaian itu diadakan karena kekeliruan mengenai duduknya perkara
tentang suatu alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah
mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.

Dari ketentuan pasal 1860 KUH Perdata ini dapat ditarik


kesimpulan bahwa penetapan akta perdamaian yang bersumber dari
persetujuan yang mengandung kesalahpahaman tentang duduk perkara
tentang suatu alas hak yang batal, maka bertentangan dengan undang-
undang dan dapat dimintakan pembatalan.

4. Pasal 1861 KUH Perdata

Pasal 1861 KUH Perdata menyatakan, “suatu perdamaian yang


diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, batal
sama sekali.” Ketentuan pasal ini menjelaskan bahwa persetujuan
perdamaian yang diadakan berdasarkan surat-surat yang kemudian
dinyatakan palsu, maka batal sama sekali karena dianggap cacat meteriil.
Sehingga, penetapan akta perdamaian yang bersumber pada persetujuan
yang demikian bertentangan dengan Pasal 1861 KUH Perdata, dianggap
tidak sah, dan dianggap batal demi hukum. 11

5. Pasal 1862 KUH Perdata

Pasal 1862 KUH Perdata menjelaskan, “perdamaian mengenai


sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan hakim telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, namun tidak diketahui oleh
kedua belah pihak atau salah satu, adalah batal. Jika keputusan yang tidak
diketahui itu masih dapat dimintakan banding, maka perdamaian mengenai
sengketa yang bersangkutan adalah sah.”

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian


mengenai suatu sengketa yang sudah berakhir berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (res judicata), namun hal itu tidak
disadari para pihak atau salah satu pihak, maka mengakibatkan persetujuan

10
Ibid Halaman 51
11
Ibid Halaman 52

12
perdamaian jtu batal. Ketentuan ini menyebabkan penetapan akta perdamaian
yang bersumber dari persetujuan perdamaian yang demikian bertentangan
dengan pasal 1862 KUH Perdata, tidak melekat kekuatan eksekusi
(executorial kracht), bersifat non-executable sehingga dapat diajukan
pembatalan.

Dari penjelasan di atas, penetapan akta perdamaian tidak boleh


bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum yang
digariskan pasal 1337 KUH Perdata. Begitu pula, penetapan akta perdamaian
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal 1859, 1860, 1861, dan 1862
KUH Perdata. Apabila penetapan akta perdamaian tersebut mengandung salah
satu cacat yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, dapat dijadikan alasan
untuk menuntut pembatalan terhadapnya.

Perlu diketahui, ada beberapa alasan yang tidak dapat dijadikan untuk
membatalkan sebuah perjanjian. Alasan-alasan tersebut secara khusus diatur
dalam pasal-pasal sebagai berikut:

1) . Pasal 1863 Ayat (1) KUH Perdata

Dalam Pasal 1863 KUH Perdata dijelaskan bahwa:

Jika kedua pihak telah membuat perdamaian tentang segala sesuatu


yang berlaku di antara mereka maka adanya surat-surat yang pada waktu itu
tidak diketahui tetapi kemudian ditemukan tidak dapat menjadi alasan untuk
membatalkan perdamaian itu kecuali bila surat-surat itu telah sengaja
disembunyikan oleh salah satu pihak akan tetapi perdamaian adalah batal bila
perdamaian itu hanya mengenai satu urusan sedangkan dari surat-surat yang
ditemukan kemudian ternyata bahwa salah satu pihak sama sekali tidak berhak
atas hal itu. 12

Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila


penetapan akta perdamaian yang bersumber dari sebuah persetujuan
perdamaian yang telah disepakati para pihak yang membuat dan di kemudian
hari ditemukan suratsurat yang pada waktu pembuatan tidak diketahui, maka
hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan, kecuali surat-surat itu

12
Ibid Halaman 53

13
telah sengaja disembunyikan oleh salah satu pihak. Namun, penetapan akta
perdamaian itu dapat dimintakan pembatalan apabila sumber dari perdamaian
itu hanya mengenai satu pokok permasalahan sedangkan suratsurat yang
ditemukan itu menyatakan bahwa salah satu pihak sama sekali tidak berhak
atas pokok permasalahan yang dimaksud dalam perjanjian yang telah dibuat.

2) Pasal 1864 KUH Perdata

Dalam ketentuan pasal 1864 KUHPerdata menyatakan, , “dalam


suatu perdamaian, suatu kekeliruan dalam hal menghitung harus
diperbaiki." Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang
mengandung unsur kekeliruan dalam hal menghitung, maka harus
diperbaiki. Sehubungan dengan itu, maka penetapan akta perdamaian yang
bersumber dari persetujuan yang demikian, maka tidak dapat dijadikan
alasan untuk membatalkannya. Para pihak hanya bisa memperbaiki
kekeliruan dalam hal menghitung tersebut.

Sedangkan mengenai kekuatan hukum yang melekat pada


penetapan akta perdamaian diatur dalam pasal 1858 KUH Perdata dan
pasal 130 ayat (2) dan ayat (3) HIR. Menurut M. Yahya Harahap,
kekuatan hukum pada putusan atau penetapan akta perdamaian yaitu :13

a. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap

Menurut pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, perdamaian di antara


pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini
pun ditegaskan pada kalimat terakhir pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa
putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap.

Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari


ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki

13
Ibid Halaman 54

14
kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.
Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila
telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan akta
perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara
langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara
inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian
itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap.

b. Mempunyai kekuatan eksekutorial

Penegasan ini disebut dalam Pasal 130 Ayat (2) HIR. Kalimat terakhir
pasal tersebut menegaskan, putusan akta perdamaian :

 Berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan


hukum tetap,
 Juga berkekuatan ekskutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 14

Sesaat setelah putusan dijatuhkan, langsung melekat kekuatan eksekutorial


padanya. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan
pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela:

 Dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri,


 Atas permintaan itu ketua pengadilan negeri menjalankan eksekusi
sesuai dengan ketentuan pasal 195 HIR.

Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang menghukum
para pihak untuk menaati perjanjian perdamaian yang mereka sepakati.
Jadi dalam putusan tercantum amar kondemnatoir (condemnation),
sehingga apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukarela, dapat
dipaksakan pemenuhannya melalui f eksekusi oleh pengadilan.

14
Ibid Halaman 55

15
c. Putusan akta perdamaian tidak dapat disbanding

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 130 Ayat (3) HIR. Putusan akta
perdamaian tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan
tersebut tertutup upaya hukum (banding dan kasasi). Larangan itu sejalan
dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai . putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Bukankah terhadap putusan yang
berkekuatan hukum tetap, telah berakhir segala upaya hukum? Demikian
halnya dengan putusan akta perdamaian, selain dipersamakan dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap, Undang-Undang sendiri
menegaskan, bahwa terhadapnya tidak bisa diajukan banding.

Hal itu pun ditegaskan dalam putusan MA No. 1038 K/ SIP/1973,


bahwa terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan
banding. Kenapa tidak dapat diajukan banding, dijelaskan dalam putusan
MA No. 975 K/SIP/1973 yang mengatakan, berdasarkan Pasal 154
RBG/130 HIR, putusan perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan
suatu putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi
terhadapnya. Itu sebabnya secara teknis dan yuridis dikatakan, putusan
akta perdamaian (acte van vergelijk) dengan sendirinya melekat kekuatan
eksekutorial sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.15

Memperhatikan kekuatan yang langsung melekat pada putusan


akta perdamaian, penyelesaian perkara melalui sistem ini sangat efektif
dan efisien. Segala upaya hukum tertutup, sehingga dapat langsung
diminta eksekusi apabila salah satu pihak ingkar memenuhi perjanjian
secara tertulis.

H. Berakhirnya Mediasi

15
Ibid Halaman 56

16
Sama halnya negosiasi, berakhirnya mediasi dapat dipengaruhi oleh dua
keadaan yaitu pertama, mediasi berhasil dengan dibuatnya kesepakatan
tertulis sebagai bukti perdamaian antar para pihak. kedua, mediasi tidak
berhasil sehingga tidak tercapainya kesepakatan tertulis sebagai bukti
perdamaian. Ketika proses mediasi yang dilakukan dengan menghadirkan
pihak ketiga (mediator) berada dalam salah satu keadaan tersebut maka
mediasi bisa dikatakan telah berakhir. Artinya, tidak tercapainya kesepakatan
tertulis menjadi bukti berhasil atau tidak berhasilnya suatu proses mediasi."

Dalam keadaan mediasi berhasil maka para pihak yang bersengketa


membuat suatu kesepakatan tertulis. Kesepakatan ini akan menjadi sebuah
bukti adanya perdamaian terhadap masalah yang timbul di antara para pihak.
Pencapaian kesepakatan ini berlangsung dalam jangka waktu empat belas
hari. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) UU
AAPS yaitu:

Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam


ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. 16

Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (4) dijelaskan:

Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuanseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapaikata sepakat, atau mediator tidak
berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketauntuk menunjuk seorang mediator.”

Apabila proses mediasi itu berhasil maka kesepakatan tertulis tersebut


wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung
setelah dicapainya dan ditandatanginya

16
Ibid Halaman 57

17
kesepakatan tertulis tersebut. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat
(7) UUAAPS yaitu: Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) : hari sejak penandatanganan”

Setelah didaftarkannya kesepakatan tertulis itu di pengadilan | negeri,


maka para pihak wajib melaksanakan isi perjanjian atau isi kesepakatan itu
dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak : didaftarkannya kesepakatan
tertulis tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 6
ayat (8) UU AAPS yaitu:

Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagai: mana


dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama
30( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

Dengan demikian, ketika ketentuan dalam Pasal 6 di atas dilaksanakan


maka proses mediasi akan dikatakan telah berakhir. Artinya, proses mediasi
telah berakhir ketika hasil dari kesepakatan tertulis tersebut didaftarkan di
Pengadilan Negeri dan serta dilaksanakan bagi para pihak. 17

Sedangkan keadaan kedua yaitu mediasi tidak berhasil sehingga tidak


tercapainya kesepakatan tertulis sebagai bukti perdamaian. Tidak berhasilnya
proses mediasi secara otomatis menyebabkan berakhirnya mediasi diantara
para pihak. Tidak berhasilnya proses mediasi bisa disebabkan karena
terjadinya dead-lock, tidak adanya transparansi, proses tawar menawar yang
alot dan sebagainya sehingga menjadikan mediator kesulitan untuk
mempertemukan kata sepakat di antara para pihak yang bersengketa. Selain
itu, habis atau lewatnya waktu empat belas hari dalam proses mediasi
sementara kesepakatan tertulis di antara para pihak belum tercapai. Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (4) yaitu:

17
Ibid Halaman 58

18
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak
berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

Dari ketentuan-ketentuan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa


ketika para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa atau beda pendapat
melalui mekanisme mediasi, maka para pihak dengan kesepakatan tertulis
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator atau seorang arbiter.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses mediasi telah berakhir
dengan dihubunginya lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa.18

18
Ibid Halaman 59

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Prosedur Mediasi prosedur pelaksanaannya dapat dilakukan dengan melalui


lima tahapan tahap pertama adanya kesepakatan untuk menempuh proses
mediasi, tahap kedua pengumpulan informasi tahap ketiga identifikasi
masalah, tahap keempat pengambilan kesepakatan, dan tahap yang terakhir
pelaksanaan kesepakatan.
2. Mediasi dipengadilan merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa
yang menawarkan banyak kelebihan dalam sistem peradilan Indonesia dan
dapat menyesuaikan sesuai dengan perkembangan era globalisasi. Dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 mengatur tentang prosedur
Mediasi di Pengadilan
3. Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan
putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian . Penetapan
akta perdamaian dibuat oleh hakim bertitik tolak dari hasil kesepakatan
para pihak yang berperkara.
4. Berakhirnya Mediasi dapat dipengaruhi oleh dua keadaan yaitu pertama,
mediasi berhasil dengan dibuatnya kesepakatan tertulis sebagai bukti
perdamaian antar para pihak. kedua, mediasi tidak berhasil sehingga tidak
tercapainya kesepakatan tertulis sebagai bukti perdamaian.
B. Saran

Penyelesaian sengketa secara mediasi dipengadilan harus segera


dilaksanakan secara konsisten sehingga dapat mengurangi penumpukan
perkara di pengadilan. Di samping itu setiap pengadilan hendaknya memiliki
hakim-hakim yang bersetifikat mediator sehingga memudahkan para pihak
untuk melaksanakan mediasi dipengadilan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Endrik Safudin. 2018. Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase,


Malang:Intrans Publishing

21

Anda mungkin juga menyukai