Makalah
Hukum Perdata
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
SURABAYA
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan Rahmat dan karunia-
Nya untuk bisa mengerjakan tugas makalah ini yang berjudul SENGKETA PERDATA DAN
METODE PENYELESAIANNYA hingga lancar dan selesai. Tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas makalah dari Bapak H. M. Imdadur Rohman, M.H.I pada
mata kuliah Hukum Perdata.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak H. M. Imdadur Rohman, M.H.I.
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata yang telah memberikan tugas ini sehingga
menambah wawasan serta pengetahuan terkait materi ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atau media yang terlibat sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada teman teman yang telah meluangkan
waktu untuk membaca makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai pengalaman dan
pengetahuan. Dan lebih senangnya jika makalah ini dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Sebagai penulis makalah, mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam
menulis makalah ini karena keterbatasan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis membutuhkan
kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I ....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
Tujuan................................................................................................................... 5
BAB II ...................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 6
Timbulnya Sengketa......................................................................................6
PENUTUP.............................................................................................................. 18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), terdiri dari beberapa tahapan
yang dilakukan secara berurutan, dimulai dari pengajuan gugatan oleh penggugat, jawaban dari
tergugat, replik dari penggugat dan duplik dari tergugat, pembuktian baik dari penggugat
maupun tergugat, kesimpulan baik dari penggugat maupun tergugat, dan putusan hakim. Bila
dikehendaki pihak yang merasa kalah atau dirugikan oleh putusan hakim tersebut dapat
mengajukan upaya hukum baik biasa maupun luar biasa. Sedangkan proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (arbitrase) ialah penyelesaian sengketa yang dilakukan
menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau menggunakan lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, seperti negosiasi dan mediasi yang sukses akan memberikan
hasil yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun jika cara non
litigasi ini gagal, maka sengketa akan berlabuh ke pengadilan, di mana akan ada
pihak yang menang dan kalah. Di Indonesia, penyelesaian non litigasi ada dua macam, yakni
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan penulis di atas, penulis akan merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi sebeb akibat timbulnya sengketa?
2. Apa yang dimaksud Saluran Penyelesaian Sengketa ?
3. Apa saja yang termasuk Aapek-Aspek dalam perkara?
4. Apa saja yang termasuk Penyelesaian sebagai lembaga, proses dan produk?
5. Apa saja yang termasuk Metode penyelesaian sengketa?
6. Apa saja yang termasuk Asas-asas penyelesaian sengketa?
7. Apa yang dimaksud Penemuan dan penerapan hukum?
8. Apa yang dimaksud Putusan hakim yang ideal?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, pembahasan ini bertujuan untuk:
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Timbulnya Sengketa
Timbulnya sengketa bermula dari adanya konflik yang disebabkan oleh terjadinya benturan
atau perbedaan kepentingan satu pihak dengan pihak lain. Di dalam kehidupan
bermasyarakat setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain,
adakalanya kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan satu sama lain dan dapat
menimbulkan sengketa. Konflik dapat terjadi ketika dua orang atau lebih terlibat dalam
suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun belum tentu mereka memandang peristiwa
itu dari kacamata yang sama.
Suatu konflik dapat berasal dari perikatan atau di luar perikatan. Konflik yang berasal dari
perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi atau
mengingkari isi perjanjian. Satu pihak memandang isi perjanjian harus dipenuhi, pihak lain
memandang bahwa ketentuan atau isi perjanjian tersebut dapat diingkari, sedangkan konflik
yang timbul di luar perikatan terjadi pada konflik-konflik yang melibatkan masyarakat
didalamnya, seperti misalnya kasus pencemaran lingkungan hidup.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa perdata dilakukan secara damai dengan cara dilakukan
perdamaian antara para pihak yang bersengketa, karena timbulnya sengketa berpangkal pada
kepentingan pribadi masing-masing yang saling berbenturan, sehingga penyelesaian
masalahnya sangat tergantung pada inisiatif para pihak. Penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan baik secara konvensional melalui pengadilan (secara litigasi), atau dengan
menggunakan penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan.
Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan.
Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering disebut
dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses
beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya
dilaksanakan oleh hakim.
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang
bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
6
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang
menyatakan win-lose solution1 .
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan
yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan
permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat
mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal.
Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang 21 disebut dengan
“Alternative Dispute Resolution” atau ADR2 .
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian
sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar
pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian
sengketa secara litigasi di pengadilan.
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai
dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan
perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung (Buku Tanya Jawab PERMA No.1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008: 1). Alternatif dalam penyelesaian
sengketa jumlahnya banyak diantaranya :
a. Arbitrase Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase
digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang
mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun
melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan
Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b. Negosiasi Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih Amriani
(2012: 23), negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun
yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho
(2009: 21) bahwa negosiasi ialah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan
pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk
1
Nurnaningsih Amriani, 2012: 35
2
Yahya Harahap, 2008: 234
7
mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh
kedua belah pihak.
c. Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki
keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik
untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar
menawar (Nurnaningsih Amriani, 2012: 28). Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya
penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang
bersikap 23 netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi
menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan,
kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat3.
d. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator.
Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat
menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi
bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu
merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari
sengketa, proses ini disebut konsiliasi4.
e. Penilaian ahli Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak
dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
f. Pencari fakta (fact finding) Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh
para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan
jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang
diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa5.
3. penyelesaian sengketa perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang mana dalam undang-undang ini mengatur tentang penyelesaian sengketa
perdata melalui non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi yaitu penyelesaian
sengketa diantara para pihak yang dilakukan melalui pemeriksaan di hadapan hakim dalam
sebuah lembaga peradilan. Litigasi (pengadilan) adalah metode penyelesaian sengketa paling
lama dan lazim digunakan dalam menyelesaikan sengketa, baik sengketa yang bersifat public
maupun yang bersifat privat. Penyelesaian sengketa non litigasi merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan pendekatan hukum formal.
3
Susanti Adi Nugroho, 2009: 21
4
Nurnaningsih Amriani, 2012: 34
5
Takdir Rahmadi, 2011: 17-19.
8
Penyelesaian sengketa non litigasi (arbitrase) juga dikenal dengan istilah ADR (Alternative
Dispute Resolution).
1. Fakta Perkara: Aspek pertama yang harus diperhatikan adalah fakta perkara. Setiap
perkara memiliki latar belakang fakta yang menjadi dasar perselisihan. Pemahaman
yang jelas tentang fakta-fakta perkara sangat penting agar pihak yang berselisih dapat
memahami perspektif masing-masing dan mencari solusi yang adil.
2. Hukum yang Berlaku: Setiap sengketa perdata harus merujuk pada hukum yang berlaku.
Pihak yang terlibat dalam sengketa harus mengidentifikasi dan memahami ketentuan
hukum yang relevan dalam konteks sengketa mereka. Ini termasuk hukum kontrak,
hukum kepemilikan properti, atau hukum perdata lainnya yang berlaku di yurisdiksi
yang relevan.
3. Bukti-bukti: Bukti-bukti yang relevan merupakan aspek penting dalam penyelesaian
sengketa perdata. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyajikan bukti-bukti yang
mendukung klaim atau pembelaan mereka. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen,
saksi, ahli, atau barang bukti lainnya yang dapat membantu dalam mempertimbangkan
dan menilai perselisihan.
4. Biaya dan Efisiensi: Pertimbangan biaya dan efisiensi juga menjadi aspek penting dalam
penyelesaian sengketa perdata. Pihak-pihak yang terlibat harus mempertimbangkan
biaya yang terkait dengan proses penyelesaian sengketa, termasuk biaya hukum, waktu
yang dibutuhkan, dan upaya yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Upaya untuk mencapai penyelesaian yang efisien dan biaya yang terjangkau dapat
menjadi pertimbangan yang penting.
5. Privasi dan Kerahasiaan: Aspek privasi dan kerahasiaan juga bisa menjadi pertimbangan
6
dalam beberapa perkara perdata. Terutama jika sengketa melibatkan informasi yang
bersifat pribadi atau bisnis yang sensitif, perlindungan privasi dan kerahasiaan informasi
dapat menjadi hal yang penting dalam proses penyelesaian sengketa.
6
Hikmah Mutiara, 2007, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional: dalam perkara-perkara kepailitan, Bandung
: Refika Aditama
9
6. Equitas: Aspek penting dalam penyelesaian sengketa perdata adalah prinsip equitas atau
keadilan. Penyelesaian sengketa perdata harus mempertimbangkan keadilan bagi semua
pihak yang terlibat. Prinsip ini mencakup pemerataan hak-hak dan kewajiban antara
pihak-pihak yang bersengketa, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak
memberikan perlakuan yang tidak adil terhadap salah satu pihak.
7. Keadilan Substansial: Selain keadilan formal, penyelesaian sengketa perdata juga harus
memperhatikan keadilan substansial. Aspek ini menekankan pada penyelesaian yang
memperhatikan kepentingan masing-masing pihak secara substansial, termasuk
keadilan ekonomi, keadilan sosial, atau pertimbangan moral yang relevan. Tujuan
utamanya adalah mencapai hasil yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat.
8. Kepentingan Umum: Dalam beberapa kasus, aspek penyelesaian sengketa perdata juga
mencakup pertimbangan kepentingan umum. Terkadang, sengketa perdata melibatkan
masalah yang memiliki dampak yang lebih luas daripada kepentingan individual pihak
yang bersengketa. Dalam hal ini, penyelesaian harus mempertimbangkan kepentingan
dan implikasi yang lebih luas bagi masyarakat atau pihak-pihak lain yang terpengaruh.
9. Proses yang Transparan: Aspek transparansi juga penting dalam penyelesaian sengketa
perdata. Proses penyelesaian haruslah terbuka dan transparan bagi pihak-pihak yang
terlibat. Ini mencakup memberikan kesempatan bagi pihak-pihak untuk menyampaikan
argumen mereka, mengakses informasi yang relevan, dan mengetahui bagaimana
keputusan akan diambil. Transparansi ini membantu menjaga integritas dan
kepercayaan terhadap proses penyelesaian sengketa.
10. Kekuatan Pelaksanaan Putusan: Akhirnya, penyelesaian sengketa perdata harus
mempertimbangkan kekuatan pelaksanaan putusan. Putusan yang dihasilkan haruslah
memiliki kekuatan hukum yang memadai dan dapat diterapkan dengan efektif. Ini
penting agar penyelesaian sengketa tidak hanya berhenti pada tahap keputusan, tetapi
juga dapat diimplementasikan dan memastikan kepatuhan dari pihak-pihak yang
bersengketa.
10
D. Penyelesaian sebagai lembaga, proses, dan produk
Penyelesaian sengketa perdata dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu sebagai lembaga, proses,
dan produk. Berikut adalah penjelasan tentang ketiga aspek tersebut:7
7
Sularsi, Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Liku Liku
Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, 2001.
11
mencapai kesepakatan dengan cara memfasilitasi dialog dan negosiasi. Mediasi
dapat dilakukan secara sukarela atau diarahkan oleh pengadilan.
d. Konsiliasi: Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa perdata yang
melibatkan seorang konsilator yang bertindak sebagai penasihat dan penengah
antara pihak-pihak yang bersengketa. Konsilator membantu pihak-pihak untuk
mencapai kesepakatan dengan memberikan saran dan rekomendasi.
4. Penyelesaian sebagai Proses: Penyelesaian sengketa perdata melibatkan serangkaian
langkah dan prosedur yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan. Proses ini
dapat bervariasi tergantung pada lembaga penyelesaian yang digunakan. Beberapa
tahapan umum dalam proses penyelesaian sengketa perdata meliputi:
a. Pengajuan gugatan atau permohonan: Pihak yang merasa dirugikan mengajukan
gugatan atau permohonan kepada lembaga penyelesaian yang relevan, seperti
pengadilan atau lembaga arbitrase.
b. Pertukaran informasi dan argumen: Pihak-pihak yang bersengketa saling
bertukar informasi, dokumen, dan argumen yang mendukung klaim atau
pembelaan mereka.
c. Persidangan atau pendengaran: Pihak-pihak dapat menghadiri persidangan atau
pendengaran di hadapan lembaga penyelesaian untuk menyajikan bukti,
argumen, dan melibatkan saksi atau ahli.
d. Putusan atau penghargaan: Setelah mempertimbangkan semua argumen dan
bukti yang disajikan, lembaga penyelesian mengeluarkan putusan atau
penghargaan yang memutuskan hasil dari sengketa.
5. Penyelesaian sebagai Produk: Penyelesaian sengketa perdata menghasilkan produk
berupa keputusan atau penghargaan yang memutuskan hasil dari sengketa tersebut.
Produk ini memiliki dampak hukum yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam
perselisihan. Beberapa contoh produk penyelesaian sengketa perdata antara lain:
a. Putusan hakim: Jika sengketa diselesaikan melalui pengadilan, keputusan atau
putusan hakim diberikan yang memutuskan hak-hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang bersengketa.
b. Penghargaan arbitrase: Jika sengketa diselesaikan melalui arbitrase,
penghargaan arbitrase diberikan oleh panel arbitrase yang memutuskan sengketa
dan memberikan putusan yang mengikat.
c. Kesepakatan: Dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang bersengketa dapat
mencapai kesepakatan di luar pengadilan atau arbitrase. Kesepakatan ini dapat
12
dicapai melalui mediasi, negosiasi, atau konsiliasi, dan menghasilkan perjanjian
yang mengikat kedua belah pihak.
Produk penyelesaian sengketa perdata merupakan hasil akhir dari proses penyelesaian yang
memberikan penyelesaian resmi terhadap perselisihan. Produk ini dapat melibatkan keputusan
otoritatif, penghargaan, atau kesepakatan yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh pihak-pihak
yang bersengketa.
Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa perdata. Beberapa
metode tersebut antara lain:
13
6. Litigasi: Litigasi adalah metode penyelesaian sengketa yang melibatkan pengadilan.
Pihak-pihak yang bersengketa mengajukan gugatan dan menyampaikan argumen
mereka kepada hakim yang akan memutuskan sengketa berdasarkan hukum yang
berlaku dan 8bukti yang disajikan. Litigasi sering kali melibatkan proses persidangan
formal dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan oleh hukum acara.
a. Asas itikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan
penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.
b. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
c. Asas mengikat, yakni para pihak wajib mematuhi apa yang telah disepakati.
d. Asas kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan
apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama
tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula
kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan
dipilih.
e. Asas kerahasiaan, yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat
disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat
menghadiri jalannya pemeriksaaan atas suatu sengketa.
f. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
Dalam kasus sengketa perdata, penemuan dan penerapan hukum memainkan peran penting.
Berikut adalah beberapa konsep penting yang terkait dengan penemuan dan penerapan hukum
dalam kasus sengketa perdata:
8
Sholih Mu’adi, 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Dengan cara Litigasi Dan
Nonlitigasi.Jakarta: Prestasi Pustakaraya
14
Penemuan Hukum (Legal Research):
Hukum substansial adalah aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang
terlibat dalam sengketa perdata. Ini mencakup hukum kontrak, hukum properti, hukum tort,
dan berbagai bidang hukum lainnya yang berlaku dalam kasus tersebut. Pihak-pihak yang
terlibat dalam sengketa perdata harus memahami hukum substansial yang berlaku untuk dapat
mengajukan argumen yang kuat.
Argumen hukum adalah pendekatan yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
sengketa perdata untuk mendukung posisi hukum mereka. Argumen ini didasarkan pada
hukum substansial, yurisprudensi, prinsip hukum, dan argumen logis. Para pengacara dan ahli
hukum yang terlibat dalam kasus sengketa perdata akan menggunakan argumen hukum untuk
meyakinkan pengadilan tentang kebenaran posisi hukum mereka.
Setelah mendengarkan argumen dari kedua belah pihak, pengadilan akan membuat keputusan
yang didasarkan pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku. Putusan pengadilan akan
menguraikan alasan hukum untuk keputusan tersebut. Putusan pengadilan dapat menjadi
preseden hukum yang akan memengaruhi kasus-kasus serupa di masa depan.
15
Pelaksanaan Putusan (Enforcement of Judgment):
Setelah pengadilan mengeluarkan putusan, pihak yang menang dalam sengketa perdata akan
mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan putusan tersebut. Ini dapat melibatkan
pengajuan permohonan pelaksana.
Sebuah putusan hakim yang ideal dalam penyelesaian sengketa perdata memiliki beberapa
karakteristik penting, di antaranya:
1. Adil dan Berdasarkan Hukum: Putusan yang ideal harus adil dan berdasarkan hukum
yang berlaku. Hakim harus mempertimbangkan fakta perkara, hukum yang relevan, dan
argumen yang disajikan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan tersebut harus
mencerminkan keadilan dan memberikan perlindungan hukum kepada semua pihak
yang terlibat.
2. Jelas dan Tepat: Putusan hakim harus jelas dan tepat dalam mengatasi sengketa yang
ada. Putusan tersebut harus memberikan penjelasan yang memadai mengenai alasan-
alasan 9hukum dan faktual yang menjadi dasar keputusan tersebut. Hal ini penting agar
pihak-pihak yang bersengketa dapat memahami dan menerima putusan dengan jelas.
3. Menyelesaikan Perselisihan: Putusan hakim harus mampu menyelesaikan perselisihan
yang ada dan memberikan penyelesaian yang memadai bagi pihak-pihak yang terlibat.
Putusan tersebut harus mengakhiri sengketa dengan cara yang memenuhi kepentingan
dan hak-hak yang relevan.
4. Konsisten dan Terukur: Putusan hakim yang ideal juga harus konsisten dengan putusan
sebelumnya yang serupa dan mencerminkan keseragaman hukum. Hal ini penting untuk
menjaga kepastian hukum dan memberikan panduan yang jelas bagi para pihak dalam
penyelesaian sengketa perdata. Selain itu, putusan yang ideal harus dapat diukur dan
dapat diterapkan secara efektif oleh pihak yang bersengketa maupun oleh pihak ketiga
yang terlibat dalam pelaksanaan putusan tersebut.
5. Pertimbangan Kepentingan dan Keseimbangan: Putusan hakim yang ideal harus
mencerminkan pertimbangan yang matang terhadap kepentingan semua pihak yang
terlibat. Hakim harus mencari keseimbangan antara hak-hak dan kepentingan yang
9
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, "Administrasi Peradilan-Laporan Akhir," Jakarta, 7 Februari 2002.
16
saling bertentangan. Mereka harus mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari
keputusan yang diambil terhadap semua pihak yang terlibat.
6. Kesesuaian dan Kehati-hatian: Hakim harus menjaga kesesuaian antara putusan yang
diambil dengan fakta-fakta yang ada dan klaim yang diajukan. Mereka harus melakukan
penilaian secara hati-hati dan mempertimbangkan implikasi dari keputusan yang
diambil. Hakim juga harus memastikan bahwa putusan yang diambil mematuhi prinsip-
prinsip hukum dan tidak melanggar hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum.
7. Kejelasan dan Alasan yang Memadai: Putusan hakim yang ideal harus disampaikan
dengan jelas dan alasan yang memadai. Hakim harus menjelaskan pertimbangan-
pertimbangan yang mendasari keputusan yang diambil, termasuk analisis hukum dan
fakta-fakta yang menjadi dasar keputusan tersebut. Kejelasan dan alasan yang memadai
akan membantu pihak-pihak yang bersengketa memahami dasar hukum dan faktor-
faktor yang dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa.
Putusan hakim yang ideal diharapkan memberikan keadilan, kepastian hukum, dan
menyelesaikan sengketa dengan cara yang adil dan efektif. Meskipun tidak ada putusan yang
sempurna, upaya untuk mencapai putusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ini penting dalam
menjaga integritas sistem peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
17
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dalam sengketa perdata, terdapat berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan, seperti hak-hak
dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa, proses penyelesaian yang digunakan, dan
putusan hakim yang dihasilkan. Metode penyelesaian yang umum meliputi litigasi, arbitrase,
mediasi, konsiliasi, dan negosiasi. Putusan hakim yang ideal mencerminkan keadilan,
didasarkan pada landasan hukum yang kuat, mempertimbangkan fakta-fakta dengan teliti,
seimbang dalam memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat, serta disampaikan
dengan kejelasan dan alasan yang memadai. Tujuan utama adalah mencapai penyelesaian yang
adil, memastikan kepastian hukum, dan membangun kepercayaan dalam sistem peradilan.
B. Saran
18
Daftar pustaka
Sholih Mu’adi, 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Dengan cara
Litigasi Dan Nonlitigasi.Jakarta: Prestasi Pustakaraya
19