Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ACARA PEMERIKSAAN ARBITRASE SYARIAH


Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Arbitrase Syariah
Yang diampu oleh Dr. Sawitri Yuli Hartati S, SH., MH.

Disusun Oleh:
Setyo Amirullah (20200210100049)

Mata Kuliah:
Arbitrase Syariah

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419

Tahun Ajaran 2023/2024


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Acara Pemeriksaan Arbitrase
Syariah”

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Jakarta, 11 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................6
C. Tujuan Perumusan Masalah................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................................................7
A. Tempat Persidangan Arbitrase............................................................................7
B. Prinsip Pemeriksaan dalam Sidang Tertutup......................................................7
C. Prinsip Penyelesaian Sengketa dengan Mengutamakan Islah.............................9
D. Perdamaian Sebagai Putusan Arbitrase.............................................................11
BAB III
PENUTUP..................................................................................................................14
A. Kesimpulan........................................................................................................14
B. Saran...................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui arbitrase atau Alternative


Dispute Resolution (ADR) bukanlah merupakan hal yangbaru dalam nilai-nilai
budaya kita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa
yang bersifat kekeluargaan serta tidak mencuatkan konflik ke permukaan, lebih
diutamakan dan sangat dihargai hasilnya.1

Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara


litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan
demikian, posisi para pihak yang bersengketa sagat antagonistis (saling
berlawanan satu sama lain). Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak
direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-mata
hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum-remedium) setelah alternatif lain
dinilai tidak membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang
membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan ata para pihak yang
bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak
diterima dunia bisnis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan
secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.

Faktor-faktor yang menyebabkan sengketa ekonomi syariah, yaitu; Akad


yang ditentukan secara sepihak dan tidak terbuka, isi akad yang dinilai terlalu
sulit Salah satu pihak ceroboh dan kurang teliti pada resiko perjanjian yang
dilakukan, salah satu pihak tidak memiliki sifat jujur dan amanah dalam
melaksanakan akad dan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan akad sesuai

1
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada
Media Group, Jakarta, 2015, hal.1.

4
kesepakatan dan juga melakukan pelanggaran hukum (Zaidah Nur Rosidah,
2020: 20-21)

Solusi untuk menyelesaikan masalah pada bisnis dapat menggunakan


beberapa prosedur. Seperti melalui pengadilan (litigasi) dan luar pengadilan (non
litigasi). Pertama pengadilan (ligitasi) yaitu menyelesaikan masalah melalui
sistem perlawanan. Prosedur ini sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2006 mengenai
wewenang Peradilan Agama dalam proses peradilan untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat pada
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Kedua jalur diluar pengadilan (non litigasi) yaitu menyelesaikan
masalah melalui perdamaian dan kesepakatan bersama. Adapaun penyelesaian
sengketa secara non litigasi bisa melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase.
Sehingga pihak yang bersengketa dapat memilih cara penyelesaian sengketa
yang dihadapi sesuai dengan kespakatan yang sudah ditentukan.

Pengusaha atau pebisnis lebih cenderung memilih jalur arbitrase karena


biaya lebih murah, waktu yang diperlukan lebih cepat, hasil keputusan melalui
arbitrase bersifat mutlak tidakdapat diinterversi oleh pengadilan dan tidak ada
batasan wilayah dalam menyelesaikan sengketa. Dalam artian arbitrase juga
dapat menyelesaikan sengketa bisnis internasional. Arbitrase memiliki UU No.
30 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa arbitrase adalah lembaga alternatif
yang memiliki kekuasaan untuk membantu menyelesaikan permasalahan
ekonomi yang bersifat hukum perdata apabila berselisih mengenai perjanjian
atau akad antara kedua belah pihak. Sehingga permasalahan yang terjadi dapat
diselesaikan melalui jalan arbitraseArbitrase merupakan prosedur yang dapat
menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan perkara perdata melalui jalan di
luar peradilan yang sudah dipilih oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Selain itu pihak yang bersengketa berhak memilih arbiter yang akan membantu

5
menyelesaikan dan memberikan solusi pada sengketa yang terjadi (Habibi, 2019:
110-111)

Alasan berdirinya lembaga arbitrase syariah yang terdapat pada negara


Indonesia, yakni diawali dengan pertemuan tanggal 22 April 1992 yang diadakan
oleh MUI, para pakar hukum, kalangan ulama dan kyai dalam rangka membahas
mengenai pembentukan lembaga hukum di luar peradilan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa pada ekonomi syariah. Tanggal 23 Oktober 1993 resmi
dibentuk lembaga alternatif yang waktu itu bernama Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). Akan tetapi melalui SK MUI Nomor:
Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama BAMUI diganti dengan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

B. Rumusan Masalah .

1) Bagaimana mekanisme pemilihan tempat persidangan dalam arbitrase


menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999?
2) Apa prinsip-prinsip yang mendasari pemeriksaan sidang arbitrase yang
dilakukan secara tertutup menurut peraturan tersebut?
3) Bagaimana penerapan prinsip penyelesaian sengketa dengan mengutamakan
islâh dalam konteks hukum Islam?
4) Bagaimana peran perdamaian sebagai alternatif putusan arbitrase?

C. Tujuan Perumusan Masalah

1) Untuk menganalisis mekanisme pemilihan tempat persidangan dalam


arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2) Untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari pemeriksaan sidang
arbitrase yang dilakukan secara tertutup.
3) Untuk mengidentifikasi penerapan prinsip penyelesaian sengketa dengan
mengutamakan islâh dalam konteks hukum Islam.

6
4) Untuk mengevaluasi peran perdamaian sebagai alternatif putusan arbitrase
dan menganalisis mekanisme penulisan dan pengumuman Putusan
Perdamaian.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tempat Persidangan Arbitrase

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa memberikan kebebasan kepada para pihak yang terlibat
dalam suatu perjanjian arbitrase untuk menentukan beberapa aspek, termasuk
tempat persidangan. Undang-Undang tersebut memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk menentukan tempat persidangan arbitrase. Hal ini
memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk memilih lokasi yang dianggap
paling nyaman, efisien, dan adil untuk melaksanakan proses arbitrase.

Dalam beberapa kasus, para pihak dapat memilih menggunakan lembaga


arbitrase yang memiliki aturan sendiri terkait dengan tempat persidangan.
Lembaga arbitrase menawarkan fasilitas atau bantuan administratif terkait
dengan pemilihan tempat persidangan. Para pihak juga dapat sepakat bersama-
sama untuk menentukan tempat persidangan, yang mencerminkan kesepakatan
bersama tentang lokasi yang dianggap paling cocok untuk semua pihak yang
terlibat.

Jika pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase berasal dari negara yang
berbeda, pemilihan tempat persidangan juga dapat mempertimbangkan faktor
internasional. Dalam hal ini pemilihan tempat dilakukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak atau dipilih oleh arbiter yang berwenang.

7
B. Prinsip Pemeriksaan dalam Sidang Tertutup

Dalam proses pemeriksaan sidang arbitrase. Asas pemeriksaannya


dilakukan secara “tertutup” dalam setiap tahap. Mulai dari pemeriksaan
statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli maupun oral
hearing dengan para pihak. Begitu juga pemeriksaan setempat, semua dilakukan
dengan pintu tertutup.2

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 untuk melakukan


pemeriksaan perkara yang bersengketa dilakukan secara tertutup dan
menggunakan bahasa Indonesia. Setiap pihak yang berselisih mempunyai hak
yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. Baik secara
langsung maupun diwakili oleh hukumnya. Pada Pasal 27 dan Pasal 28
disebutkan bahwa : “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup.”3

Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda


dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam sidang
yang diyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang pemeriksaan perdata
arbitrase yang tertutup ini yang merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase.
dengan demikian kerahasian perkara dari para pihak tetap terjamin.

Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu


sengketa hukum, sehingga meyebabkan cukup banyak pihak terutama kaum
bisnis yang merasa tidak enak jika ada pihak lain mengetahui bahwa dia sedang
terlibat dalam suatu sengketa. Pasal 27 dari Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tidak memberika kekecualian kepada sifat tertutupnya siding pemeriksaan
dalam proses arbitrase.4

2
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,
hal 12.
3
Lihat, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

8
Bahkan, para pihak juga tidak boleh menyampingkan ketentuan
ketertutupan ini, hal ini disebabkan formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan
indikasi akan sefat memekasa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan
menyatakan bahwa semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup artinya, jika para pihak menghendaki agar
putusan tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk
mempublikasikannya.

C. Prinsip Penyelesaian Sengketa dengan Mengutamakan Islah

Dalam hukum Islam, penyelesaian sengketa antara orang-orang yang


5
berperkara dapat dilakukan melalui jalan Islah/Shulh (perdamaian). Islah
secara harfiah mengandung pengertian memutus pertengkaran atau perselisihan.
Dalam perumusan syariah Islam dirumuskan sebagai berikut: “Suatu jenis akad
(perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang
berlawanan”.Perdamaian dalam syariah Islam sangat dianjurkan, sebab dengan
adanya perdamaian di antara pihak yang bersengketa, maka akan terhindarlah
kehancuran silaturahmi diantara para pihak, dan sekaligus permusuhan diantara
para pihak akan dapat diakhiri. Anjuran diadakannya perdamaian diantara para
pihak yang bersengketa dapat dilihat dalam ketentuan Alquran, sunah, dan
ijmak.

Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariah Islam


diistilahkan dengan Mushâlih, sedangkan objek diperselisihkn oleh para pihak
disebut dengan Mushâlih ‘anhu, dan pebuatan yang dilakukan oleh salah satu
pihak terhadap pihak lain untuk mengakhiri pertengkaran dinamakan Mushâlih
‘alayhi.

4
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Cetakan
Kesatu, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, hal. 177.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: al-Ma’rif, 1996), h. 189.

9
Perdamaian dalam syariah Islam sangat dianjurkan, sebab dengan adanya
perdamaian diantara pihak yang bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran
silaturahmi (hubungan kasih sayang) diantara para pihak, dan sekaligus
permusuhan diantara para pihak akan dapat diakhiri.

Anjuran diadakannya perdamaian diantara para pihak yang bersengketa


dapat dilihat dalam ketentuan Alquran, Sunah Rasul, dan Ijmak.

Alquran seperti dalam Q.s. al-Hujarât [49]: 9, yang artinya sebagai berikut:

Dan jika dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka


damaikanlah antara keduannya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil dan berlakuadillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Hadis dari Abu Daud, al-Tirmizi, Ibnu Majah, al- Hakim dan Ibnu Hibban
meriwayatkan dari ‘Amar bin Auf, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Perjanjian
diantara orang-orang Muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal.”

Ijmak, yaitu para ahli hukum bersepakat bahwa penyelesaian pertikaian di


antara para pihak yang bersangketa telah disyariatkan dalam ajaran Islam.6

Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah


yang ada dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah (1)
Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa
dirugikan dalam pengambilan keputusan;(2) Kekeluargaan; (3) Win-win
solution, menjamin kerahasian sengketa para pihak; dan(4) Menyelesaikan
masalah secara komprehensif dalam kebersamaan.

Rukun dan Syarat Sahnya Islah:

6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, h.846.

10
(1) Adanyaijab;
(2) Adanyakabul; dan
(3) Adanya lafal.

Ketiga rukun ini sangat penting artinya dalam suatu perjanjian perdamaian,
sebab tanpa adanya ijab, kabul, dan lafal tidak diketahui adanya perdamaian
diantara mereka. Apabila rukun ini telah terpenuhi, maka perjanjian perdamaian
itu lahirlah suatu ikatan hukum, yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk
menaati isi perjanjian. Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian
perdamaian dapat diklasifikasikan kepada hal berikut ini: Pertama, perihal
subjek. Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak
menurut hukum, dan juga harus mempunyai kekuasaaan atau kewenangan untuk
melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu.
Kedua, perihal objek. Harus memenuhi ketentuan: (1) berbentuk harta (baik
berwujud maupun tidak berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimakan, dan
bermanfaat; (2) dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan
kesamaran dan ketidakjelasan, yang dapat menimbulkan pertikaian baru.7

D. Perdamaian Sebagai Putusan Arbitrase

Kesepakatan perdamaian yang dicapai dari Mediasi adalah bersifat final dan
mengikat bagi para Pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila para
Pihak menghendaki, maka kesepakatan perdamaian tersebut dapat dituangkan ke
dalam Putusan Perdamaian (Akta Perdamaian/ Akta van Dading).

Dalam hal proses perdamaian wajib dihadiri sendiri oleh pihak yang
bersengketa, namun denga surat kuasa khusus mereka dapat sepakat yang
dicapai harus mendapat persetujuan tertulis dari para pihak. Apabila perdamaian

7
Abdul GhafurAnshori, Tanya JawabPerbankanSyariah, Yogyakarta:UII Press, 2008, h.103.

11
tercapai, maka oleh arbiter atau majelis arbitrase akan dibuat kesepakatan
perdamaian, yang terlebih dahulu ditawarkan kepada para pihak.8

Apabila mereka menyetuji, maka kesepakatan perdamaian itu yang akan


dibacakan sebagai putusan akhir yang bersifat final dan binding kedua belah
pihak. Jika usaha perdamaian ini berhasil, dalam arti para pihak mau berdamai
didepan arbitrase, maka majelis arbitrase akan membuat suatu aktaperdamaian
dan memerintahkan kedua belah pihak untuk mematuhi isi perdamaian tersebut.

Jika perdamaian itu tidak berhasil dicapai oleh para pihak, maka majelis
arbitrase akan meneruskan pemeriksaan terhadap materi sengketa tersebut. dalam
pemeriksaan sengketa yang diserahkan kepada arbitrase dapat dilakukan dalam
tahapan sebagai berikut.

Hal ini para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter
atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase
dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan pada tata cara koorperatif
dan nonkonfrontatif. Arbiter atau majelis arbitrase pada setiap saat
menganjurkan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian, baik atas
usaha para pihak sendiri maupun melalui arbiter atau majelis arbitrase.

Usaha mendamaikan dilakukan pada tahap proses pemeriksaan sidang


pertama di mana para pihak secara lengkap hadir, jika pada sidang pertama tidak
hadir, maka sidang harus diundur. Kemudian memerintahkan kembali pada hari
sidang berikut. Berarti pada saat itu tidak bisa diusahakan perdamaian. Apabila
pada sidang berikut kedua belah pihak sama-sama hadir, barulah dibenarkan
untuk mengusahakan perdamaian. Ketentuan mengusahakan perdamaian ini
bersifat imperatif.

8
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenada
Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 235.

12
Bahwa meskipun kita berpendapat majelis arbitrase boleh mengemukakan
proposal atau saran isi perdamaian serta dibenarkan pula untuk membantu
merumuskan, semua kebolehan itu jangan sampai mengurangi, apalagi
menghilangkan kehendak bebas dari kedua belah pihak. Arbiter atau majelis
arbitrase harus menjauhkan diri dari cara-cara pemaksaan. Cara-cara yang
demikian sudah mengandung sikap imparsial atau memihak. Yang penting isi
dan kehendak yang tertuang dalam perdamaian benar-benar berdasar
kesepakatan yang timbul dari kedua belah pihak.9

9
Wawan Setiawan. 1998. Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris Sebagai
Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum di Indonesia. Jawa Timur:
Ikatan Notaris Indonesia, hal.7

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan kebebasan kepada pihak


yang terlibat dalam arbitrase untuk menentukan tempat persidangan. Pemilihan
tempat dapat dipengaruhi oleh faktor kenyamanan, efisiensi, dan keadilan, serta
dapat melibatkan lembaga arbitrase dengan aturan sendiri. Dalam kasus
internasional, pemilihan tempat dapat mempertimbangkan faktor internasional
dan dapat ditentukan oleh kesepakatan atau arbiter yang berwenang.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa pemeriksaan


dalam arbitrase dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan perkara.
Sidang yang tertutup merupakan ciri khas prosedur arbitrase untuk melindungi
reputasi dan kepercayaan pihak yang terlibat. Ketentuan ini mengandung
keharusan untuk menjaga kerahasiaan sengketa, mengingat anggapan masyarakat
terhadap sengketa hukum yang bersifat miring.

Dalam hukum Islam, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui


islâh/shulh (perdamaian). Islah dihargai dalam syariah Islam untuk mencegah
kehancuran hubungan dan mengakhiri permusuhan antara pihak yang
bersengketa. Prinsip penyelesaian sengketa Islam mencakup adil, kekeluargaan,
win-win solution, dan penyelesaian komprehensif.

Kesepakatan perdamaian dari mediasi bersifat final dan mengikat. Jika


perdamaian tercapai, dapat dituangkan dalam Putusan Perdamaian yang bersifat
final dan binding. Proses perdamaian dihadiri sendiri oleh pihak bersengketa, dan

14
hasilnya dibacakan sebagai putusan arbitrase jika diterima oleh kedua belah pihak
Jika perdamaian tidak tercapai, arbitrase melanjutkan pemeriksaan sengketa.

B. Saran

1. Pihak yang terlibat dalam arbitrase sebaiknya mempertimbangkan dengan


matang pemilihan tempat persidangan, memperhatikan kenyamanan, efisiensi,
dan keadilan Jika melibatkan pihak internasional, penting untuk mencermati
faktor internasional dan mencapai kesepakatan yang adil.
2. Pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase perlu memahami dan menghormati
ketentuan sidang tertutup untuk menjaga kerahasiaan sengketa. Pemeliharaan
kerahasiaan dapat memberikan kepercayaan dan melindungi reputasi pihak
yang terlibat.
3. Dalam konteks hukum Islam, pihak sebaiknya mempertimbangkan
pendekatan islâh dalam menyelesaikan sengketa untuk mencegah kehancuran
hubungan dan mengakhiri permusuhan.
4. Pihak-pihak yang bersengketa sebaiknya membuka pintu untuk perdamaian,
karena kesepakatan perdamaian dapat menjadi putusan arbitrase yang final
dan mengikat. Proses perdamaian harus dihadiri dengan itikad baik, dan
hasilnya dapat diakui sebagai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul GhafurAnshori, Tanya JawabPerbankanSyariah, Yogyakarta:UII Press, 2008.


Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: al-Ma’rif, 1996)
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,
Prenada Media Group, Jakarta, 2015.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Wawan Setiawan. 1998. Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan
Notaris Sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut
Sistem Hukum di Indonesia. Jawa Timur: Ikatan Notaris Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai