HASIM DAN
PT. SOLID GOLD BERJANGKA
REVISI MAKALAH
diajukan guna memenuhi
Tugas Akhir Semester (UAS)
Disusun oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANEGARA
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
1
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
kepada pemimpinan umat Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini penulis menyusun makalah yang diberi judul “Pembatalan
Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Sdr. Hasim dan PT. Solid Gold Berjangka”. Makalah
ini merupakan REVISI tugas Ujian Akhir Semester (UAS) matakuliah Sosiologi Hukum
dengan dosen Ibu Dr. Cut Memi, SH, M.H serta makalah ini merupakan salah satu syarat
kelulusan.
Penulis sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat membutuhkan saran dan masukan guna perbaikan dalam
penulisan makalah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, namun
demikian dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan, memberikan
rasa aman dan keadilan bagi para pihak.1 Dalam bahasa modern sekarang disebut win-
win solution, inilah sebenarnya tujuan esensial arbitrase, mediasi atau cara-cara lain
menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan.2
Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang didasarkan atas
kesepakatan para pihak di kalangan bisnis lazimnya dijadikan pilihan dalam
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.3 Arbitrase merupakan suatu bentuk lain
dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat, karena melibatkan litigasi sengketa pribadi yang
membedakanya dengan litigasi melalui pengadilan. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan- keuntungan melebihi ajudikasi melalui pengadilan negeri.
Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini dibandingkan
dengan ajudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi,
kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.4 Arbitrase di Indonesia diatur dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase menghasilkan suatu putusan
arbitrase yang bersifat final and binding, yaitu merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian,
terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi atau
peninjauan kembali. Hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki arbitrase
karena dapat memberikan kepastian hukum secara efektif bagi para pihak yang
bersengketa dan menghindarkan sengketa tersebut menjadi semakin berkepanjangan.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya tidak
semua putusan yang dihasilkan melalui forum arbitrase ini akan memberikan
kepuasan kepada para pihak. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar
dalam mengembangkan arbitrase.5 Undang-undang sendiri juga memperbolehkan
campur tangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, salah
1
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 1
2
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta 2002, hal.
ii
3
M. Hussyein Umar, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia”, Lokakarya Menyongsong
Pembangunan Hukum Tahun 2000, hal 7
4
Gary Goodpaster, “Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa”, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase
di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 7
5
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan , Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hal. 4
4
satunya dalam bentuk permohonan pembatalan putusan arbitarse yang diajukan
kepada Pengadilan Negeri. Tidak jarang pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan
arbitrase mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Pada dasarnya,
upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase itu sendiri dimungkinkan dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (selanjutnya disebut ”UU No. 30 Tahun 1999”), yaitu dalam Pasal 70 yang
menyatakan:
Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; dan
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
6
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cet. 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
2003, hal. 106.
5
sia. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dari suatu pembatalan terhadap
putusan arbitrase, maka ketentuan yang mengatur tentang pembatalan putusan
arbitrase haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak akan mengganggu asas
kepastian hukum dalam arbitrase. Lebih jauh lagi, jangan sampai kepercayaan
masyarakat terhadap proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi hilang
semata-mata akibat adanya upaya pembatalan putusan arbitrase yang diatur dan
dilaksanakan secara konsisten dan sistematis.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis tertarik menyusun makalah yang
penulis beri judul “Pembatalan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Sdr. Hasim dan
PT. Solid Gold Berjangka”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah dikemukakan
diawal, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
antara lain :
1. Bagaimana analisa kasus dalam sengketa Sdr. Hasim dan PT. Solid Gold
Berjangka ?
2. Bagaimana analisa terhadap permasalahan berdasarkan sudut pandang das
sollen dan das sein?
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA KONSEP
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa;
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal termohon;
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase;
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase;
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa;
7
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu
putusan arbitrase internasional;
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
B. LANDASAN TEORI
Sebagaimana telah diuraikan di atas, perkembangan bisnis semakin pesat tidak
jarang menimbulkan benturan kepentingan di antara para pelaku bisnis dikarenakan
perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan sengketa. Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas
yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan
maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi
conflict of interest.7
Terjadinya sengketa tersebut tidak dapat dihindari, akah tetapi haruslah
diselesaikan guna mencapai suatu ketertiban masyarakat dimana sengketa yang timbul
disalurkan pada suatu mekanisme yang berfungsi menyelesaikan sengketa secara adil
sekaligus menjamin hasil akhir dari penyelesaian itu sehingga dapat memberikan
kepastian hukum.
Hukum memberikan arahan mengenai cara penyelesaian sengketa yang timbul
antara dua pihak yang berselisih, pertama adalah penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (litigasi) dan kedua adalah penyelesaian sengketa melalui jalur di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan memberikan
alternatif pilihan bagi para pelaku bisnis yang ingin mengurangi kelemahan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dalam hal
ini dikhususkan melalui forum arbitrase.
Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk
menggantikn konflik yang sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada
7
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal. 12
8
seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi memiliki
karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan
solusi di antara para pihak yang bersengketa. Dalam mengambil alih keputusan dari
para pihak, dalam batas tertentu litigasi sekurang-kurangnya menjamin bahwa
kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial.
Sebagai suatu ketentuan umum dalam proses gugatan, litigasi sangat baik untuk
menemukan kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah posisi pihak lawan. Litigasi
juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas
kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan.
Adjudikasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk
ketertiban umum yang tertuang dalam undang- undang, baik secara eksplisit mapun
implisit.8
Selain adjudikasi, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui
arbitrase, dimana dalam arbitrase para pihak menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan.
Arbitrase adalah suatu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal arbitrase mirip
dengan adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah
dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi melalui Pengadilan Negeri.
Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini, dibandingkan
dengan adjudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan otonomi,
dan kerahasiaan kepada para pihak yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem
pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan. Hal ini dapat menjamin
kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam sengketa mereka. Para
pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut.9
Selanjutnya, H. Priyatna Abdurrasyid menguraikan konsep arbitrase sebagai
berikut:
“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaia sengketa – apa yang
merupakan tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di aman salah satu
pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidaksepahamannya,
8
Ibid
9
Ibid, hal 23
9
ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter)
atau lebih (arbiter-arbiter majelis) ahli yang professional yang akan bertindak
sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum
perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk
sampai kepada keputusan final dan mengikat.”
10
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan.
11
BAB III
KEDUDUKAN KASUS
A. KRONOLOGI KASUS
Bahwa membaca serta mengkaji putusan Mahkamah Agung Nomor 157
B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22 Februari 2017 diketahui terdapat sengketa antara
Hasim dengan PT. Solid Gold Berjangka terkait hubungan keperdataan.
PT. Solid Gold Berjangka merupakan salah satu perusahaan pialang yang
menyediakan sistem perdagangan online dengan hasil bunga dan likuiditas yang
tinggi. Keberadaan perusahaan secara resmi di bawah Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi Badan (BAPPEBTI), anggota dari Bursa Berjangka Jakarta
(BBJ) dan Kliring Berjangka Indonesia House 10. Sementara Hasim merupakan salah
satu nasabah dari PT. Solid Gold Berjangka yang menggunakan produk PT. Solid
Gold Berjangka dalam melakukan investasi keuangan.
Dalam hubungan hukum antara perusahaan pialang dengan nasabah di ikat
dengan perjanjian, dalam hal hubungan hukum antara PT. Solid Gold Berjangka
dengan Hasim diikat dalam sebuah perjanjian yang dimuat dalam Buku Perjanjian
tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994 dengan Nomor RMT30069 dan pada
tanggal 7 Maret 2012, yang isinya memuan ketentuan umum dan ketentuan teknis
tentang tatacara atau aturan main berinvestasi di perusahaan pialang PT. Solid Gold
Berjangka.
Dalam perjanjian tersebut juga memuat syarat dasar untuk menjadi nasabah
PT. Solid Gold Berjangka. Salah satu syarat adalah ditetapkannya modal awal yang
harus disetor nasabah minimal sebesar Rp. 100.000.000,-. Pada pernajian juga
mengatur mengenai bentuk transaksi yang dilakukan secara online system, sehingga
setiap nasabah memiliki akun yang bias diakses dengan kode PIN dan password yang
sifatnya rahasia dan tidak diketahui oleh siapapun kecuali nasabah itu sendiri.
Dalam buku perjanjian juga mengatur mekanisme penyelesaian apabila terjadi
terjadi perselisihan, antara lain :
1. Semua perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul dalam
pelaksanaan Perjanjian ini wajib diselesaikan terlebih dahulu secara
musyawarah untuk mencapai mufakat antara Para Pihak;
10
www.sg-berjangka.com
12
2. Apabila perselisihan dan musyawarah untuk mufakat, Para Pihak wajib
memanfaatkan sarana penyelesaian perselisihan yang tersedia di bursa
berjangka;
3. Apabila perselisihan dan pernedaan pendapat yang timbul tidak dapat
diselesaikan melalui cara sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan
angka (2), maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui :
a. Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
berdasarkan Peraturan dan prosedur Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI), atau;
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
13
B. PUTUSAN HUKUM
Berkaitan perselisihan antara PT. Solid Gold Berjangka selaku perusahaan dan
Saudara Hasim selaku nasabah sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang
permasalahan, telah diperoleh putusan hukum, diantaranya :
Bertindak selaku :
Pemohon : Hasim (Nasabah)
Termohon : PT. Solid Gold Berjangka (Perusahaan Pialang)
AMAR PUTUSAN
Dalam Eksepsi :
- Menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara :
a) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
b) Menyatakan Perjanjian Pemberian Amanat tertanggal 6 Maret 2012
sah;
c) Menghukum Termohon untuk mengembalikan modal awal Pemohon
berikut dana top-up sebesar Rp. 150. 000.000,00(seratus lima puluh
juta rupiah) kepada Pemohon dikurangi Rp. 14.490.000,00 (empat
belas juta empat ratus Sembilan puluh ribu rupiah) yang telah diterima
oleh Pemohon pada tanggal 4 Juni 2012;
d) Menghukum termohon untuk membayar bunga berupa kerugian dari
kehilangan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp. 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah) kepada Pemohon;
e) Menyatakan Perjanjian Pemberian Amanat tertanggal 6 Maret 2012
berakhir sejak diputuskannya perkara ini;
f) Menolak permohonan Pemohon untuk selaindan selebihnya;
g) Memerintahkan kepada Sekretaris BAKTI untuk menyerahkan dan
mendaftarkan turunan resmi putusan arbitrase ini kepada Kepaniteraan
14
Pengadilan Negeri Makassar atas biaya Pemohon dan Termohon dalam
tenggang waktu sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999.
Bertindak selaku :
Pemohon Keberatan : PT. Solid Gold Berjangka
Termohon Keberatan : Hasim
AMAR PUTUSAN
a) Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon Keberatan untuk
sebahagian;
b) Menyatakan kekalahan transaksi Akun Nomor RMT30069 milik
Termohon Keberatan dengan nilai transaksi Rp. 100.000.000,00,-
(seratus juta rupiah) adalah murni kekalahan dalam bertransaksi;
c) Menyatakan kekalahan transaksi Akun Nomor RMT30069 milik
Termohon Keberatan dengan nilai transaksi Rp. 50.000.000,-00 (lima
puluh juta rupiah) merupakan tanggung jawab Pemohon Keberatan
dan Pemohon Keberatan haruslah mengembalikan uang/dana
transaksi sebesar Rp. 50.000.000,-00 (lima puluh juta rupiah).
d) Menyatakan Putusan Arbitrase Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015
Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi menurut
hukum batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
e) Membebani Termohon Keberatan untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini yang jumlahnya sebesar Rp. 406.000,00,- (empat
ratus enam ribu rupiaj);
15
f) Menolak permohonan Pemohon Keberatan yang selain dan
selebihnya;
Bertindak Selaku :
Pemohon Banding : Hasim
Termohon Banding : PT. Solid Gold Berjangka
AMAR PUTUSAN
Mengadili
a) Menerima permohonan banding dari Pemohon Hasim tersebut;
b) Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 yang
membatalkan putusan Badan Arbitrase Nomor 031/BAKTI-
ARB/04.2015 Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi
tanggal 28 Maret 2016;
c) Menghukum pemohon dahulu Termohon Keberatanuntuk membayar
biaya perkara ditetapkan sejumlah Rp. 500.000.000,0 (lima ratus ribu
rupiah);
Dalam sengketa antara Hasan dan Pt. Solid Gold Berjangka, Majelis Hakim
memberikan pertimbangan pada setiap upaya hukum yang di tempuh, baik di
16
Pengadilan Negeri Makassar Maupun pada tingkat Banding di Mahkamah Agung,
dengan pertimbangan sebagai berikut :
17
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan Putusan Badan
Arbitrase Nasional.
b. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri
Makassar Nomor 139/Pdt.Arb/2016/PN Mks, tanggal 15 Juni 2016 telah
sesuai hukum sehingga beralasan untuk dikuatkan.
BAB IV
ANALISIS KASUS
18
maka Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, menyatakan bahwa :
Pasal 3
“Pengadilan Negeri Tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase”
19
1. Semua perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul dalam
pelaksanaan Perjanjian ini wajib diselesaikan terlebih dahulu secara
musyawarah untuk mencapai mufakat antara Para Pihak;
2. Apabila perselisihan dan musyawarah untuk mufakat, Para Pihak wajib
memanfaatkan sarana penyelesaian perselisihan yang tersedia di bursa
berjangka;
3. Apabila perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul tidak dapat
diselesaikan melalui cara sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan
angka (2), maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui :
a. Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
berdasarkan Peraturan dan prosedur Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI), atau;
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
20
Dalam penyusunan perjanjian para pihak yang mengatur tahapan-tahapan
penyelesaian perselisihan justru menghambat proses penyelesaian perselisihan, karena
ketika diatur tahapan-tahapan dimaksud secara otomatis hal tersebut menjadi
kewajiban yang harus ditempuh oleh para pihak untuk melewati setiap tahapan yang
ada dan dimuat dalam perjanjian. Sementara dalam rezim Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagaimana
dimaksud Pasal 3 ketika para pihak telah menentukan arbitrase sebagai media
penyelesaian perselisihan dalam sebuah perjajian, maka Pengadilan Negeri menjadi
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak.
Pada prosesnya perselisihan tersebut mengambil langkah arbitrase sebagai
pilihina penyelesaian sengketa, sebagaimana dalam perjanjian Badan Arbitrase
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) dipilih sebagai lembaga arbitrase untuk
menyelesaikan perselisihan. Dan terhadap perselisihan dimaksud telah terdapat
Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor
031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.
Terhadap Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi
(BAKTI) Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016 dilakukan upaya
pembatalan putusan arbitrase pada Pengadilan Negeri Makassan dan telah di putus
dengan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 139/Pdt.ARb/2016/PN Mks
tanggal 15 Juni 2016.
Dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase,
dalam ketentuan tersebut mengatur pembatalan putusan arbitrase dapat dibatalkan jika
diduga mengandung unsur-unsur :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan senhgketa.
Sementara dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 tidak menimbang unsur-unsur
sebagaimana disebut diatas sebagai salah satu alasan pengajuan pembatalan Putusan
21
Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor 031/BAKTI-
ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.
Terhadap putusan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 dilakukan upaya hukum banding
dan telah mendapat Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22
Februari 2017. Dalam keberatannnya salah satu pihak mempersoalkan bahwa proses
pembatalan putusan dilakukan dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Pada Pasal 71 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, juga mengatur mengenai jangka waktu
penyelesaian permohonan pembatalan putusan.
22
b. Lembaga Perselisihan Bursa Berjangka
Dalam hal musyawarah mufakat tidak dapat menyelesaikan
perselisihan, maka tahapan selanjutnya yang wajib ditempuh oleh para pihak
adalah menyelesaikan perselisihan melalui lembaga perselisihan di bursa
berjangka.
c. Arbitrase dan Pengadilan Negeri
Pilihan upaya hukum ini ditempuh dalam hal musyawarah mufakat
dan penyelesaian perselisihan di bursa berjangka tidak dapat menemukan
penyelesaian. Arbitrase dan Pengadilan Negeri sendiri merupakan pilihan
untuk penyelesaian sengketa, khusus untuk pilihan arbitrase maka yang
ditunjuk selaku arbiter adalah Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI).
Penulis menilai bahwa kesalahan terjadi sejak pembuatan kontrak yang
mengatur tahapan-tahapan dalam menyelesaikan sengketa, dimana dalam perjanjian
tersebut tidak memperhatika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU Arbitrase,
yang menyatakan bahwa :
Pasal 3
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terkait dalam perjanjian arbitrase”
Sehingga pada saat terjadi sengketa antara para pihak ada kewajiban yang
harus dipenuhi sebelum melanjutkan proses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau
di Lembaga Arbitrase yang ditunjuk. Sementara dalam Pasal 3 diatas ketika suatu
perjanjian mengatur penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase, maka
Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili.
Dalam hal proses dilakukan melalui mekanisme arbitrase, seharusnya
dilakukan terlebih dahulu upaya-upaya sebelum mediasi, karena itu menjadi wajib
ketika diatur dalam perjanjian. Pada kasus tersebut tidak dilakukan tahapan-tahapan
penyelesaian sengketa, tetapi dalam hal ini proses penyelesaian sengketa langsung
melakui lembaga arbitrase BAKTI. Dan menurut menulis hal ini pengingkaran atas
perjanjian yang telah disepakati.
23
Pada pasal 72 UU arbitrase disebutkan bahwa proses penyelesaian
permohonan pembatalan titetapkan dalam jangka waktu 30 hari, namun dalam
proses pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri Makassar ternyata
memakan waktu 50 hari. Jelas hal ini bertentangan dengan kententuan yang
diatur dalam UU Arbitrase, sehingga hal tersebut dapat diajukan sebagai dasar
untuk mengajukan banding pada Mahkamah Agung.
Namun membaca putusan banding, hal tersebut tidak menjadi
pertimbangan hamim dalam memutuskan perkara pada tahap banding. Dalam
pertimbangannya majelis hakim hanya melihat unsur-unsur pembatal yang
diatur dalam pasal 70 UU Arbitrase.
24
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini penulis menilai bahwa kesalahan terjadi sejak pembuatan
kontrak yang mengatur tahapan-tahapan dalam menyelesaikan sengketa, yang justri ini
merupakan persoalan elementer dan sangat mendasar, paputu dicurigai bahwa bentuk
kesepakatan ini merupakan kontrak baku yang disodorkan pihak perusahaan pialang kepada
nasabah.
Terkait dengan jangka waktu 30 hari dalam proses pembatalan putusan arbitrase di
pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase, hal ini merupakan hal yang cukup
berat dan mustahil, mengingat sistem peradilan kita saat ini. Pada prosesnya penyelesaian
perkara pembatalan putusan arbitrase diselesaikan lebih dari 30 hari, justru ini menjadi
pelanggaran terhadap kententuan UU Arbitrase dan berpotensi sebagai celah untuk dilakukan
upaya hukum banding, yang sebenarnya hanya memperpanjang proses perkara dan proses
eksekusi.
Khusus perkara pembatalan putuasn arbitrase di pengadilan negeri, penulis
berpendapat kewenangan majelis hakim di pengadilan negeri bertindak sebagai judex yurin
dan hanya memeriksa penerapan ketentuan perundang-undangan saja, sehingga cita-cita
hukum arbitrase sebagai elternatif penyelesaian sengketa dapat tercapai.
25
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cet. 2, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung 2003
www.sg-berjangka.com
26