Anda di halaman 1dari 26

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM SENGKETA SDR.

HASIM DAN
PT. SOLID GOLD BERJANGKA

REVISI MAKALAH
diajukan guna memenuhi
Tugas Akhir Semester (UAS)

Matakuliah : Hukum Perwasitan


Dosen : Dr. Cut Memi, SH, MH
Program Studi Magister Ilmu Hukum

Disusun oleh :

ADI KURNIAWAN - NPM : 207162008


CHRISTIAN ORLANDO - NPM 207162009
EDBERT – NPM207162003

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANEGARA
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

1
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
kepada pemimpinan umat Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini penulis menyusun makalah yang diberi judul “Pembatalan
Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Sdr. Hasim dan PT. Solid Gold Berjangka”. Makalah
ini merupakan REVISI tugas Ujian Akhir Semester (UAS) matakuliah Sosiologi Hukum
dengan dosen Ibu Dr. Cut Memi, SH, M.H serta makalah ini merupakan salah satu syarat
kelulusan.
Penulis sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat membutuhkan saran dan masukan guna perbaikan dalam
penulisan makalah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2017


Hormat saya,

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sengketa dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan masing- masing


para pihak, yaitu bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu
pihak percaya bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.
Dalam suatu hubungan bisnis sudah tentu tidak serta merta selalu berjalan mulus.
Sengketa atau perselisihan di dalam berbagai kegiatan bisnis pada dasarnya adalah
sesuatu yang tidak diharapkan terjadi karena dapat menimbulkan kerugian bagi para
pihak di dalamnya. Adapun sengketa bisnis dapat terjadi diakibatkan, antara lain
adanya pelanggaran perundang-undangan, perbuatan ingkar janji (wanprestasi)
ataupun kepentingan yang berlawanan.
Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa
tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi hubungan
bisnis, khususnya dalam suatu kegiatan perdagangan. Sejak awal kehidupan, manusia
telah terlibat dengan masyarakat di sekitarnya yang penuh dengan pertentangan, dan
dalam sejarah hukum yang berlangsung secara paralel, dimanapun dapat dapat saja
diketemukan seseorang yang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul secara adil dan tidak memihak. Terhadap sengketa yang terjadi
tersebut, pada dasarnya peraturan perundang-undangan di Indonesia telah
menyediakan sarana untuk menyelesaikan masalah yang dapat ditempuh, yaitu
melalui peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non litigasi).
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi menghasilkan
keputusan yang bersifat menang dan kalah yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, penyelesaian yang
lambat, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsif, serta juga dapat
menimbulkan permusuhan di antara para pihak yang bersengketa. Keterlambatan
penanganan terhadap suatu sengketa bisnis dapat mengakibatkan perkembangan
pembangunan ekonomi yang tidak efisien, produktivitas menurun sehingga konsumen
lah yang akan dirugikan.
Oleh karena beberapa kekurangan itulah, sebagian orang cenderung lebih
memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Meskipun tiap-tiap masyarakat

3
memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, namun
demikian dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan, memberikan
rasa aman dan keadilan bagi para pihak.1 Dalam bahasa modern sekarang disebut win-
win solution, inilah sebenarnya tujuan esensial arbitrase, mediasi atau cara-cara lain
menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan.2
Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang didasarkan atas
kesepakatan para pihak di kalangan bisnis lazimnya dijadikan pilihan dalam
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.3 Arbitrase merupakan suatu bentuk lain
dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat, karena melibatkan litigasi sengketa pribadi yang
membedakanya dengan litigasi melalui pengadilan. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan- keuntungan melebihi ajudikasi melalui pengadilan negeri.
Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini dibandingkan
dengan ajudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi,
kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.4 Arbitrase di Indonesia diatur dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase menghasilkan suatu putusan
arbitrase yang bersifat final and binding, yaitu merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian,
terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi atau
peninjauan kembali. Hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki arbitrase
karena dapat memberikan kepastian hukum secara efektif bagi para pihak yang
bersengketa dan menghindarkan sengketa tersebut menjadi semakin berkepanjangan.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya tidak
semua putusan yang dihasilkan melalui forum arbitrase ini akan memberikan
kepuasan kepada para pihak. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar
dalam mengembangkan arbitrase.5 Undang-undang sendiri juga memperbolehkan
campur tangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, salah
1
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 1
2
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta 2002, hal.
ii
3
M. Hussyein Umar, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia”, Lokakarya Menyongsong
Pembangunan Hukum Tahun 2000, hal 7
4
Gary Goodpaster, “Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa”, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase
di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 7
5
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan , Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hal. 4

4
satunya dalam bentuk permohonan pembatalan putusan arbitarse yang diajukan
kepada Pengadilan Negeri. Tidak jarang pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan
arbitrase mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Pada dasarnya,
upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase itu sendiri dimungkinkan dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (selanjutnya disebut ”UU No. 30 Tahun 1999”), yaitu dalam Pasal 70 yang
menyatakan:

Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; dan
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.

Adapun permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase diajukan kepada


Pengadilan Negeri. Artinya, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa apakah
unsur-unsur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 terpenuhi atau tidak. Pemberian
hak bagi pengadilan untuk mengintervensi kewenangan arbitrase dimungkinkan
apabila dapat dibuktikan adanya tindakan-tindakan pemalsuan, peniupuan ataupun
penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada dasarnya permohonan pembatalan
terhadap putusan arbitrase bukanlah merupakan suatu upaya hukum banding seperti
yang disediakan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Oleh karena itu,
tanpa alasan yang spesifik, pada prinsipnya tidak mungkin untuk mengadili kembali
suatu putusan arbitrase. Sekedar tidak puas saja dari satu pihak tidak mungkin
diajukan pembatalan.6 Hal ini penting untuk menjaga terpenuhinya asas putusan
arbitrase yang bersifat final and binding.
Apabila suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase diterima, maka pada
prinsipnya kekuatan eksekutorial dari putusan arbitrase dengan sendirinya menjadi
gugur dan kedudukan para pihak dalam persengketaan kembali surut pada keadaan
semula. Hal ini menjadikan proses arbitrase yang telah dilalui para pihak menjadi sia-

6
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cet. 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
2003, hal. 106.

5
sia. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan dari suatu pembatalan terhadap
putusan arbitrase, maka ketentuan yang mengatur tentang pembatalan putusan
arbitrase haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak akan mengganggu asas
kepastian hukum dalam arbitrase. Lebih jauh lagi, jangan sampai kepercayaan
masyarakat terhadap proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi hilang
semata-mata akibat adanya upaya pembatalan putusan arbitrase yang diatur dan
dilaksanakan secara konsisten dan sistematis.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis tertarik menyusun makalah yang
penulis beri judul “Pembatalan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Sdr. Hasim dan
PT. Solid Gold Berjangka”

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah dikemukakan
diawal, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
antara lain :
1. Bagaimana analisa kasus dalam sengketa Sdr. Hasim dan PT. Solid Gold
Berjangka ?
2. Bagaimana analisa terhadap permasalahan berdasarkan sudut pandang das
sollen dan das sein?

C. MAKSUD TUJUAN PENULISAN


Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini , antara lain :
1. Mengkaji lebih dalam terkait mekanise pembatalan putusan arbitrase di
pengadilan.
2. Menganalisa putusan hukum terkait pembatalan putusan arbitrase.
3. Menambah khazanah keilmuan penulis khususnya mengenai penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
4. Sebagai tugas akhir semester pada mata kuliah hukum perwasitas pada magister
ilmu hukum, Universitas Tarumanegara.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsepsional ini merupakan konsep yang menggambarkan


hubungan antara konsep-konsep umum dan khusus yang akan diteliti. Dalam
kerangka konsepsional ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. Definisi atau pengertian yang
digunakan dalam kerangka konsepsional ini dapat memberikan batasan dari
luasnya pemikiran mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian ini.
Kerangka konsepsional yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengekat di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa;
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun
hukum publik;
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kausual arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa;
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal termohon;
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase;
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase;
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa;

7
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu
putusan arbitrase internasional;
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

B. LANDASAN TEORI
Sebagaimana telah diuraikan di atas, perkembangan bisnis semakin pesat tidak
jarang menimbulkan benturan kepentingan di antara para pelaku bisnis dikarenakan
perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan sengketa. Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas
yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan
maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi
conflict of interest.7
Terjadinya sengketa tersebut tidak dapat dihindari, akah tetapi haruslah
diselesaikan guna mencapai suatu ketertiban masyarakat dimana sengketa yang timbul
disalurkan pada suatu mekanisme yang berfungsi menyelesaikan sengketa secara adil
sekaligus menjamin hasil akhir dari penyelesaian itu sehingga dapat memberikan
kepastian hukum.
Hukum memberikan arahan mengenai cara penyelesaian sengketa yang timbul
antara dua pihak yang berselisih, pertama adalah penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (litigasi) dan kedua adalah penyelesaian sengketa melalui jalur di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan memberikan
alternatif pilihan bagi para pelaku bisnis yang ingin mengurangi kelemahan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dalam hal
ini dikhususkan melalui forum arbitrase.
Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk
menggantikn konflik yang sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada

7
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal. 12

8
seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi memiliki
karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan
solusi di antara para pihak yang bersengketa. Dalam mengambil alih keputusan dari
para pihak, dalam batas tertentu litigasi sekurang-kurangnya menjamin bahwa
kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial.
Sebagai suatu ketentuan umum dalam proses gugatan, litigasi sangat baik untuk
menemukan kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah posisi pihak lawan. Litigasi
juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas
kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan.
Adjudikasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk
ketertiban umum yang tertuang dalam undang- undang, baik secara eksplisit mapun
implisit.8
Selain adjudikasi, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui
arbitrase, dimana dalam arbitrase para pihak menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan.
Arbitrase adalah suatu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal arbitrase mirip
dengan adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah
dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi melalui Pengadilan Negeri.
Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini, dibandingkan
dengan adjudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan otonomi,
dan kerahasiaan kepada para pihak yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem
pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan. Hal ini dapat menjamin
kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam sengketa mereka. Para
pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut.9
Selanjutnya, H. Priyatna Abdurrasyid menguraikan konsep arbitrase sebagai
berikut:

“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaia sengketa – apa yang
merupakan tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di aman salah satu
pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidaksepahamannya,

8
Ibid
9
Ibid, hal 23

9
ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter)
atau lebih (arbiter-arbiter majelis) ahli yang professional yang akan bertindak
sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum
perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk
sampai kepada keputusan final dan mengikat.”

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan mengenai konsep arbitrase tersebut


di atas, maka dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah putusan yang sifatnya final and binding, atau
merupakan putusan akhir yang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun dan
mengikat para pihak yang bersengketa. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan
yang dimiliki arbitrase, sehingga proses penyelesaian sengketa pada umumnya tidak
akan memakan waktu yang lama dan berkepanjangan dan para pihak pun mendapat
hasil penyelesaian yang efektif dan efisien. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan
atas putusan arbitrase ini akan sangat ditentukan oleh itikad baik (good faith) dari para
pihak yang telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa.
Sehubungan dengan putusan arbitrase tersebut, tidak jarang ada salah satu
pihak dalam sengketa yang tidak puas dengan putusan arbitrase yang dibuat oleh
arbiter atau majelis arbiter. Oleh karena itu, pihak yang merasa tiak puas mengajukan
permohonan pembatalan atas putusan arbitarse. Hal ini dimungkinkan sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Namun demikian, upaya pembatalan terhadap putusan
arbitrase ini bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat undang-undang mengatur
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pembatalan putusan arbitrase, yaitu sebagai
berikut:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Selanjutnya, alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal
ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan
bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini

10
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan.

11
BAB III
KEDUDUKAN KASUS

A. KRONOLOGI KASUS
Bahwa membaca serta mengkaji putusan Mahkamah Agung Nomor 157
B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22 Februari 2017 diketahui terdapat sengketa antara
Hasim dengan PT. Solid Gold Berjangka terkait hubungan keperdataan.
PT. Solid Gold Berjangka merupakan salah satu perusahaan pialang yang
menyediakan sistem perdagangan online dengan hasil bunga dan likuiditas yang
tinggi. Keberadaan perusahaan secara resmi di bawah Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi Badan (BAPPEBTI), anggota dari Bursa Berjangka Jakarta
(BBJ) dan Kliring Berjangka Indonesia House 10. Sementara Hasim merupakan salah
satu nasabah dari PT. Solid Gold Berjangka yang menggunakan produk PT. Solid
Gold Berjangka dalam melakukan investasi keuangan.
Dalam hubungan hukum antara perusahaan pialang dengan nasabah di ikat
dengan perjanjian, dalam hal hubungan hukum antara PT. Solid Gold Berjangka
dengan Hasim diikat dalam sebuah perjanjian yang dimuat dalam Buku Perjanjian
tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994 dengan Nomor RMT30069 dan pada
tanggal 7 Maret 2012, yang isinya memuan ketentuan umum dan ketentuan teknis
tentang tatacara atau aturan main berinvestasi di perusahaan pialang PT. Solid Gold
Berjangka.
Dalam perjanjian tersebut juga memuat syarat dasar untuk menjadi nasabah
PT. Solid Gold Berjangka. Salah satu syarat adalah ditetapkannya modal awal yang
harus disetor nasabah minimal sebesar Rp. 100.000.000,-. Pada pernajian juga
mengatur mengenai bentuk transaksi yang dilakukan secara online system, sehingga
setiap nasabah memiliki akun yang bias diakses dengan kode PIN dan password yang
sifatnya rahasia dan tidak diketahui oleh siapapun kecuali nasabah itu sendiri.
Dalam buku perjanjian juga mengatur mekanisme penyelesaian apabila terjadi
terjadi perselisihan, antara lain :
1. Semua perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul dalam
pelaksanaan Perjanjian ini wajib diselesaikan terlebih dahulu secara
musyawarah untuk mencapai mufakat antara Para Pihak;

10
www.sg-berjangka.com

12
2. Apabila perselisihan dan musyawarah untuk mufakat, Para Pihak wajib
memanfaatkan sarana penyelesaian perselisihan yang tersedia di bursa
berjangka;
3. Apabila perselisihan dan pernedaan pendapat yang timbul tidak dapat
diselesaikan melalui cara sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan
angka (2), maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui :
a. Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
berdasarkan Peraturan dan prosedur Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI), atau;
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Seperti diketahui secara umum bahwa investasi dan/atau transaksi di


Perdagangan Berjangka Komoditi mempunyai resiko yang sangat tinggi, karena dana
nasabah dapat mengalami kerugian secara cepat dan dapat mengalami keuntungan
yang sangat cepat pula. Dan terhadap hal tersebut segala kerugian dan kekalahan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah, begitu pun hal nya dengan keuntungan
yang dapat dirasakan oleh nasabah.
Berdasarkan putusan Nomor 157 B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22 Februari
2017 diketahui adanya perselisihan yang melibatkan antara PT. Solid Gold Berjangka
dengan Saudara Hasim, yang pada pokoknya disebabkan oleh, diantaranya :

1. Kerugian yang diderita oleh Hasim selaku nasabah merasa kehilangan


saldo dalam rekening sementara nasabah merasa tidak pernah melakukan
transaksi apapun yang menyebabkan saldo saldo dalam rekening nasabah
berkurang.
2. PT. Solid Gold Berjangka selaku perusahaan pialang beranggapan bahwa
terhadap akun/rekening nasabah sepenuhnya dalam kendali nasabah dan
untuk hal tersebut setiap transaksi yang dilakukan oleh nasabah hanya
dapat dilakukan dengan kode PIN dan password yang sifatnya rahasia dan
terhadap adanya kehilangan atau berkurangnya jumlah saldo nasabah
bukan menjadi tanggung jawab perusahaan pialang.

13
B. PUTUSAN HUKUM

Berkaitan perselisihan antara PT. Solid Gold Berjangka selaku perusahaan dan
Saudara Hasim selaku nasabah sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang
permasalahan, telah diperoleh putusan hukum, diantaranya :

1. Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)


Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.

Bertindak selaku :
Pemohon : Hasim (Nasabah)
Termohon : PT. Solid Gold Berjangka (Perusahaan Pialang)

AMAR PUTUSAN
Dalam Eksepsi :
- Menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara :
a) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
b) Menyatakan Perjanjian Pemberian Amanat tertanggal 6 Maret 2012
sah;
c) Menghukum Termohon untuk mengembalikan modal awal Pemohon
berikut dana top-up sebesar Rp. 150. 000.000,00(seratus lima puluh
juta rupiah) kepada Pemohon dikurangi Rp. 14.490.000,00 (empat
belas juta empat ratus Sembilan puluh ribu rupiah) yang telah diterima
oleh Pemohon pada tanggal 4 Juni 2012;
d) Menghukum termohon untuk membayar bunga berupa kerugian dari
kehilangan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp. 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah) kepada Pemohon;
e) Menyatakan Perjanjian Pemberian Amanat tertanggal 6 Maret 2012
berakhir sejak diputuskannya perkara ini;
f) Menolak permohonan Pemohon untuk selaindan selebihnya;
g) Memerintahkan kepada Sekretaris BAKTI untuk menyerahkan dan
mendaftarkan turunan resmi putusan arbitrase ini kepada Kepaniteraan

14
Pengadilan Negeri Makassar atas biaya Pemohon dan Termohon dalam
tenggang waktu sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999.

Terhadap putusan Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka


Komoditi (BAKTI) Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret
2016 dilakukan permohonan pembatalan pada Pengadilan Negeri
Makassar.

2. Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 139/Pdt.ARb/2016/PN


Mks tanggal 15 Juni 2016

Bertindak selaku :
Pemohon Keberatan : PT. Solid Gold Berjangka
Termohon Keberatan : Hasim

AMAR PUTUSAN
a) Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon Keberatan untuk
sebahagian;
b) Menyatakan kekalahan transaksi Akun Nomor RMT30069 milik
Termohon Keberatan dengan nilai transaksi Rp. 100.000.000,00,-
(seratus juta rupiah) adalah murni kekalahan dalam bertransaksi;
c) Menyatakan kekalahan transaksi Akun Nomor RMT30069 milik
Termohon Keberatan dengan nilai transaksi Rp. 50.000.000,-00 (lima
puluh juta rupiah) merupakan tanggung jawab Pemohon Keberatan
dan Pemohon Keberatan haruslah mengembalikan uang/dana
transaksi sebesar Rp. 50.000.000,-00 (lima puluh juta rupiah).
d) Menyatakan Putusan Arbitrase Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015
Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi menurut
hukum batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
e) Membebani Termohon Keberatan untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini yang jumlahnya sebesar Rp. 406.000,00,- (empat
ratus enam ribu rupiaj);

15
f) Menolak permohonan Pemohon Keberatan yang selain dan
selebihnya;

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor


139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 dilakukan upaya
hukum banding.

3. Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22


Februari 2017

Bertindak Selaku :
Pemohon Banding : Hasim
Termohon Banding : PT. Solid Gold Berjangka

AMAR PUTUSAN
Mengadili
a) Menerima permohonan banding dari Pemohon Hasim tersebut;
b) Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 yang
membatalkan putusan Badan Arbitrase Nomor 031/BAKTI-
ARB/04.2015 Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi
tanggal 28 Maret 2016;
c) Menghukum pemohon dahulu Termohon Keberatanuntuk membayar
biaya perkara ditetapkan sejumlah Rp. 500.000.000,0 (lima ratus ribu
rupiah);

Putusan banding dengan Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22


Februari 2017 telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde)

C. PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

Dalam sengketa antara Hasan dan Pt. Solid Gold Berjangka, Majelis Hakim
memberikan pertimbangan pada setiap upaya hukum yang di tempuh, baik di

16
Pengadilan Negeri Makassar Maupun pada tingkat Banding di Mahkamah Agung,
dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor


139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016
Berdasarkan putusan hukum terhadap sengketa antara Hasan dan Pt. Solid
Gold Berjangka, diketahui beberapa perimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Makassar dalam menentukan putusan hukum terkait permohonan
pembatalan Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016, sebagai berikut :
a. Adanya fakta-fakta hukum yang berbeda, atau adanya bukti-bukti baru yang
menurut keyakinan Majelis Hakim dapat menjadi dasar pertimbangan untuk
diambil untuk memutuskan pembatalan terhadap Putusan Badan Arbitrase
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor
031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.
b. Majelis Hakim berkeyakinan bahwa dalam proses perkara di Badan
Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI), dalam
menyampaikan dokumen terdapat tipu muslihat, sehingga hal tersebut
menguatkan pembatalan Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI) Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret
2016, oleh karena permohonan pembatalan putusan arbitrase telah
memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.

2. Pertimbangan Dalam Putusan Banding Mahkamah Agung Nomor


157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22 Februari 2017
Dalam Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22
Februari 2017 majelis hakim memberikan pertimbangan hukum yang menyatakan
pertimbangan, sebagai berikut :
a. Pengadilan Negeri telah sesuai hukum dengan pertimbangan Pemohon tidak
dapat membuktikan adanya unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

17
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan Putusan Badan
Arbitrase Nasional.
b. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri
Makassar Nomor 139/Pdt.Arb/2016/PN Mks, tanggal 15 Juni 2016 telah
sesuai hukum sehingga beralasan untuk dikuatkan.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan definisi dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun


1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyatakan bahwa
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada Perjanjian Arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
Arbitrase merupakan suatu tindakan hukum dimana terdapat pihak yang
menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun
dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama
dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat.
Subekti mengatakan bahwa Arbitrase itu adalah penyelesaian suatu
persilisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-
sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat
pengadilan.
Sementara unsur-unsur dari arbitrase adalah:
a) adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-
sengketa, baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi, kepada
seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum
untuk diputuskan;
b) penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang
menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya
disini dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan; dan putusan
tersebut akan merupakan akhir dan mengikat (final and binding).

Terhadap kesepakatan yang dibangun dalam sebuah perjanjian dan


menyatakan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase,

18
maka Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, menyatakan bahwa :

Pasal 3
“Pengadilan Negeri Tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase”

Dalam perselisihan yang telah dikemukakan di awal berdasarkan analisa


terdapat perbedaan antara das sein dan das sollen, apa yang seharusnya telah dimuat
dalam ketentuan perundang-undangan berbeda dengan pelaksanaannya. Sehingga
menimbulkan ketidak tepatan dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan,
khusunya dalam contoh kasus diatas.
Perselisihan yang terjadi pada PT. Solid Gold Berjangka dengan Saudara
Hasim, diketahui terdapat kekeliruan sejak awal penyusunan draft perjanjian yang
dimuat dalam tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994 yang mengatur hubungan
hukum antara perusahaan pialang dengan nasabahnya. Dugaannya adalah perjanjian
yang dimuat dalam tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994 merupakan perjanjian
baku yang dibuat sepihak oleh pihak perusahaan pialang sehingga dalam hal ini pihak
nasabah tidak dapat menentukan pilihan serta keinginan sebagaimana asas kebebasan
berkontrak.
Secara garis besar perselisihan terjadi dikarenakan Hasim selaku nasabah
merasa dirugikan oleh PT. Solid Gold Berjangka selaku perusahaan pialang,
dikarenakan saldo dalam rekening akun Hasim berkurang tanpa sepengetahuan
nasabah dalam hal ini hasim. Sementara PT. Solid Gold Berjangka bersikeras bahwa
setiap rekening akun bersifat sangat rahasia dan hanya pemilik akun yang dapat
mengendalihan akun tersebut melalui PIN atau password. Sehingga setiap transakis
keuntungan bahkan kerugian transaksi bisnis di perusahaan pialang sepenuhnya
menjadi tanggung jawab nasabah, perusahaan pialang merasa tidak bertanggung
jawab dan memiliki bukti transaksi dari setiap nasabah.
Terhadap perselisihan dimaksud dalam dasar perikatan para pihak yang
dimuat dalam buku perjanjian tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994 mengatur
menkanisme penyelesaian penyelesaian perselisihan, diantaranya :

19
1. Semua perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul dalam
pelaksanaan Perjanjian ini wajib diselesaikan terlebih dahulu secara
musyawarah untuk mencapai mufakat antara Para Pihak;
2. Apabila perselisihan dan musyawarah untuk mufakat, Para Pihak wajib
memanfaatkan sarana penyelesaian perselisihan yang tersedia di bursa
berjangka;
3. Apabila perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul tidak dapat
diselesaikan melalui cara sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan
angka (2), maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui :
a. Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI)
berdasarkan Peraturan dan prosedur Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI), atau;
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Didalam buku perjanjian tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994


mengatur tahapan-tahapan yang harus ditempuh para pihak diantaranya :
1. Musyawarah Mufakat
Para pihak yang berselisih diwajibkan menyelesaikan permasalahan secara
bipartit yang hanya melibatkan pihak-pihak yang berselisih dalam hal ini
nasabah dengan perusahaan pialang.
2. Lembaga Perselisihan Bursa Berjangka
Dalam hal musyawarah mufakat tidak dapat menyelesaikan perselisihan,
maka tahapan selanjutnya yang wajib ditempuh oleh para pihak adalah
menyelesaikan perselisihan melalui lembaga perselisihan di bursa
berjangka.
3. Arbitrase dan Pengadilan Negeri
Pilihan upaya hukum ini ditempuh dalam hal musyawarah mufakat dan
penyelesaian perselisihan di bursa berjangka tidak dapat menemukan
penyelesaian. Arbitrase dan Pengadilan Negeri sendiri merupakan pilihan
untuk penyelesaian sengketa, khusus untuk pilihan arbitrase maka yang
ditunjuk selaku arbiter adalah Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI).

20
Dalam penyusunan perjanjian para pihak yang mengatur tahapan-tahapan
penyelesaian perselisihan justru menghambat proses penyelesaian perselisihan, karena
ketika diatur tahapan-tahapan dimaksud secara otomatis hal tersebut menjadi
kewajiban yang harus ditempuh oleh para pihak untuk melewati setiap tahapan yang
ada dan dimuat dalam perjanjian. Sementara dalam rezim Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagaimana
dimaksud Pasal 3 ketika para pihak telah menentukan arbitrase sebagai media
penyelesaian perselisihan dalam sebuah perjajian, maka Pengadilan Negeri menjadi
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak.
Pada prosesnya perselisihan tersebut mengambil langkah arbitrase sebagai
pilihina penyelesaian sengketa, sebagaimana dalam perjanjian Badan Arbitrase
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) dipilih sebagai lembaga arbitrase untuk
menyelesaikan perselisihan. Dan terhadap perselisihan dimaksud telah terdapat
Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor
031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.
Terhadap Putusan Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi
(BAKTI) Nomor 031/BAKTI-ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016 dilakukan upaya
pembatalan putusan arbitrase pada Pengadilan Negeri Makassan dan telah di putus
dengan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 139/Pdt.ARb/2016/PN Mks
tanggal 15 Juni 2016.
Dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase,
dalam ketentuan tersebut mengatur pembatalan putusan arbitrase dapat dibatalkan jika
diduga mengandung unsur-unsur :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan senhgketa.
Sementara dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 tidak menimbang unsur-unsur
sebagaimana disebut diatas sebagai salah satu alasan pengajuan pembatalan Putusan

21
Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) Nomor 031/BAKTI-
ARB/04.2015 tanggal 28 Maret 2016.
Terhadap putusan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016 dilakukan upaya hukum banding
dan telah mendapat Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22
Februari 2017. Dalam keberatannnya salah satu pihak mempersoalkan bahwa proses
pembatalan putusan dilakukan dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Pada Pasal 71 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, juga mengatur mengenai jangka waktu
penyelesaian permohonan pembatalan putusan.

“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam


waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Bahwa Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-Arbt/2017 tanggal 22 Februari


2017 justru tidak memperhatikan keberatan pihak yang sesungguhnya telah diatur
dalam pasal 71 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa bahkan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar
Nomor 139/Pdt.ARb/2016/PN Mks tanggal 15 Juni 2016. Sehingga antara apa yang
diatur dalam undang-undang dengan putusan hukum sangat bertolak belakang.

Setelah mempelajari serta mengkaji Putusan Banding Nomor 157/B/Pdt.Sus-


Arbt/2017 tanggal 22 Februari 2017 terkait sengketa antara Sdr. Hasim dan PT. Solid
Gold Berjangka, terdapat beberapa perbedaan antara apa yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan (das sollen) dengan penerapan hukumnya (das sein). Adapun
beberapa kontradiktif yang penulis temui diantaranya, sebagai berikut :

1. Perjanjian mengatur tahapan proses penyelesaian sengketa


Didalam buku perjanjian tanggal 6 Maret 2012 Nomor Buku G71994
mengatur tahapan-tahapan yang harus ditempuh para pihak diantaranya :
a. Musyawarah Mufakat
Para pihak yang berselisih diwajibkan menyelesaikan permasalahan
secara bipartit yang hanya melibatkan pihak-pihak yang berselisih dalam hal
ini nasabah dengan perusahaan pialang.

22
b. Lembaga Perselisihan Bursa Berjangka
Dalam hal musyawarah mufakat tidak dapat menyelesaikan
perselisihan, maka tahapan selanjutnya yang wajib ditempuh oleh para pihak
adalah menyelesaikan perselisihan melalui lembaga perselisihan di bursa
berjangka.
c. Arbitrase dan Pengadilan Negeri
Pilihan upaya hukum ini ditempuh dalam hal musyawarah mufakat
dan penyelesaian perselisihan di bursa berjangka tidak dapat menemukan
penyelesaian. Arbitrase dan Pengadilan Negeri sendiri merupakan pilihan
untuk penyelesaian sengketa, khusus untuk pilihan arbitrase maka yang
ditunjuk selaku arbiter adalah Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka
Komoditi (BAKTI).
Penulis menilai bahwa kesalahan terjadi sejak pembuatan kontrak yang
mengatur tahapan-tahapan dalam menyelesaikan sengketa, dimana dalam perjanjian
tersebut tidak memperhatika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU Arbitrase,
yang menyatakan bahwa :

Pasal 3
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terkait dalam perjanjian arbitrase”

Sehingga pada saat terjadi sengketa antara para pihak ada kewajiban yang
harus dipenuhi sebelum melanjutkan proses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau
di Lembaga Arbitrase yang ditunjuk. Sementara dalam Pasal 3 diatas ketika suatu
perjanjian mengatur penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase, maka
Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili.
Dalam hal proses dilakukan melalui mekanisme arbitrase, seharusnya
dilakukan terlebih dahulu upaya-upaya sebelum mediasi, karena itu menjadi wajib
ketika diatur dalam perjanjian. Pada kasus tersebut tidak dilakukan tahapan-tahapan
penyelesaian sengketa, tetapi dalam hal ini proses penyelesaian sengketa langsung
melakui lembaga arbitrase BAKTI. Dan menurut menulis hal ini pengingkaran atas
perjanjian yang telah disepakati.

2. Jangka waktu proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri

23
Pada pasal 72 UU arbitrase disebutkan bahwa proses penyelesaian
permohonan pembatalan titetapkan dalam jangka waktu 30 hari, namun dalam
proses pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri Makassar ternyata
memakan waktu 50 hari. Jelas hal ini bertentangan dengan kententuan yang
diatur dalam UU Arbitrase, sehingga hal tersebut dapat diajukan sebagai dasar
untuk mengajukan banding pada Mahkamah Agung.
Namun membaca putusan banding, hal tersebut tidak menjadi
pertimbangan hamim dalam memutuskan perkara pada tahap banding. Dalam
pertimbangannya majelis hakim hanya melihat unsur-unsur pembatal yang
diatur dalam pasal 70 UU Arbitrase.

3. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam memutus perkara (judex facti dan


judex yuris)
Berdasarkan kewenangannya Pengadilan Negeri memiliki kewenangan
untuk memeriksa fakta-fakta dalam persidangan (judex facti), namun penulis
berpendapat dalam hal perkara pembatalan putusan arbitrase pengadilan negeri
bertindang sebagai judex yuris, mengingat bahwa pada proses perkara
pembatalan putusan arbitrase sejatinya hanyalah memeriksa prosedural saja,
terkait syarat serta unsur yang menjadi pembatal terpenuhi atau tidak.
Dalam hal ini pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa fakta-fakta
terkait sengketa dimaksud, sehingga dalam putusannya majelis hakim dalam
pengadila negeri cukup mengatakan dan menyatakan putusan arbitrase batal atau
menguatkan putusan tersebut. Pada kasus ini dalam putusannya hakim pada
pengadilan negeri makassar bertindak melebihi dari kewenangannya yang justru
memutuskan lain dari putusan arbitrase yang menjadi objek sengeta.

24
BAB III
KESIMPULAN

Dalam kesimpulan ini penulis menilai bahwa kesalahan terjadi sejak pembuatan
kontrak yang mengatur tahapan-tahapan dalam menyelesaikan sengketa, yang justri ini
merupakan persoalan elementer dan sangat mendasar, paputu dicurigai bahwa bentuk
kesepakatan ini merupakan kontrak baku yang disodorkan pihak perusahaan pialang kepada
nasabah.
Terkait dengan jangka waktu 30 hari dalam proses pembatalan putusan arbitrase di
pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase, hal ini merupakan hal yang cukup
berat dan mustahil, mengingat sistem peradilan kita saat ini. Pada prosesnya penyelesaian
perkara pembatalan putusan arbitrase diselesaikan lebih dari 30 hari, justru ini menjadi
pelanggaran terhadap kententuan UU Arbitrase dan berpotensi sebagai celah untuk dilakukan
upaya hukum banding, yang sebenarnya hanya memperpanjang proses perkara dan proses
eksekusi.
Khusus perkara pembatalan putuasn arbitrase di pengadilan negeri, penulis
berpendapat kewenangan majelis hakim di pengadilan negeri bertindak sebagai judex yurin
dan hanya memeriksa penerapan ketentuan perundang-undangan saja, sehingga cita-cita
hukum arbitrase sebagai elternatif penyelesaian sengketa dapat tercapai.

25
DAFTAR PUSTAKA

Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional : Penerapan Klausul dalam Putusan


Pengadilan Negeri, Sinar Grafika, Jakarta, 2017

Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan , Chandra Pratama,


Jakarta, 2000

Gary Goodpaster, “Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa”, Seri Dasar-Dasar


Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cet. 2, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung 2003

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati


Aneska, Jakarta 2002

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses


Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

www.sg-berjangka.com

26

Anda mungkin juga menyukai