Anda di halaman 1dari 54

PENGANTAR HUKUM

INDONESIA
Oleh:
DR. CHAIRUL HUDA, S.H., M.H.
DR. SEPTA CANDRA, S.H., M.H
PENGERTIAN- PENGERTIAN
PENGERTIAN “PENGANTAR”
Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan studi yang menjelaskan tentang “Hukum
Indonesia” dalam keseluruhannya yang ringkas (nutshell), yang dengannya tergambar asal usul
dan keterkaitan bagian-bagian daripadanya, sehingga didapatkan pemahaman yang utuh, yang
diperlukan untuk mengantarkan sebelum mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam;

Mempelajari Hukum Indonesia dalam suatu pengantar, sangat diperlukan untuk menghindari
kekeliruan pemahaman, mengingat pendalaman selanjutnya akan dilakukan bagin per bagian
dari Hukum Indonesia. Tanpa memiliki pengetahuan awal yang bersifat utuh, maka yang
didapat hanyalah pemahaman mendalam yang bersifat parsial, yang belum tentu dapat
menghubungan dengan bagian yang lain. Tugas keilmuan PHI adalah memberikan pemahaman
terhadap Hukum Indonesia, sekalipun masih bersifat sketsa.

Tingkat kebehasilan studi di S1 Hukum diantaranya terlihat dari kemampuan mahasiswa


memahami hakekat Hukum Indonesia dalam keseluruhannya yang utuh, tetapi bersifat ringkas
ini;.
PENGERTIAN “HUKUM INDONESIA”
Objek studi Pengantar Hukum Indonesia (PHI) adalah “Hukum Indonesia”. Persoalan
pokok pertama yang harus dipahami adalah apakah sejatinya telah ada Hukum
Indonesia?

Ternyata “Hukum Indonesia” merupakan frasa yang utopis, karena hingga kini belum
benar-benar nyata adanya. Ketika negara Indonesia didirikan pada tanggal 17
Agustus 1945, maka seharusnya hanya aturan hukum yang dibentuk pasca
proklamasi saja yang dapat diklaim sebagai Hukum Indonesia. Namun demikian,
faktanya juga diterima sebagai “Hukum Indonesia”, hukum yang mulai berlaku
sebelum proklamasi kemerdekaan, bahkan sebelum penjajahan Belanda di
Nusantara. Oleh karena itu, kata “Indonesia” dalam istilah “Hukum Indonesia”
merujuk pada persoalan “tempat” dan “waktu”, yaitu yang sekarang berlaku padanya
hukum atau sesuatu sebagai hukum. Hukum Indonesia karenanya merupakan hukum
yang sekarang ini berlaku di wilayah negara Indonesia.
PENGERTIAN “INDONESIA”
Tempat yang diberi nama “Indonesia” dalam konteks pembelajaran Hukum Indonesia, terutama
lebih terutuju pada “wilayah”, yang terdiri atas:
(1) wilayah negara, yaitu satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial, beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara
di atasnya;
(2) wilayah yurisdiksi, yaitu wilayah di luar wilayah negara (yakni Zona Ekonomi Eksklusif,
Landas Kontinen dan Zona Tambahan) dimana Indonesia mempunyai kedaulatan dan
kewenangan tertentu; dan
(3) wilayah lainnya yang secara de jure dan secara de facto yang juga diakui eksistensi
hukum Indonesia oleh bangsa-bangsa atau negara-negara lain, seperti di atas kapal/pesat
udara, tempat kedudukan kedutaan besar dalsb;
Hukum Indonesia karenanya meliputi skala yang sangat luas, yang meliputi hukum yang berlaku
di tempat yang masuk kategori “bumi, air dan udara” Indonesia atau tempat tempat lain yang
secara yuridis padanya berlaku hukum serupa dengan tempat tersebut. Tugas keilmuan
Pengantar Hukum Indonesia menggambarkan dalam kerangka yang utuh tentang hukum yang
berlaku di wilayah negara dan wilayah yurisdiksi Indonesia tersebut dan wilayah lainnya yang
dapat dipersamakan dengan hal itu.
PENGERTIAN …
Hukum Indonesia dalam hal ini juga menyangkut masalah “waktu”, yaitu
keberlakuannya tidak meliputi yang lampau dan akan berlaku. Sekalipun demikian,
hukum yang “pernah” berlaku di Indoensia tetap diperkenalkan dalam perspektif
historis, sedangkan hukum yang akan diberlakukan atau dicita-citakan (ius
constituendum) juga diperkenalkan sebagai perluasan wawasan. Sedangkan hukum
negera-negara lain ikut diperkenalkan sebagai suatu perbandingan (ius
comperandum);
Berdasarkan haal di atas Hukum Indonesia karena menyangkut sistem hukum yang
kini berlaku (ius constitutum) di wilayah negara, wilayah yurisddiksi atau tempat
tempat lain yang secara yuridis padanya berlaku hukum serupa dengan tempat
tersebut. Tugas keilmuan Pengantar Hukum Indonesia menggambarkan dalam
kerangka yang utuh tentang hukum yang berlaku pada saat ini di wilayah negara dan
wilayah yurisdiksi Indonesia tersebut, tanpa ada yang dikecualikan.
PENGERTIAN “HUKUM”
Sayangnya, hingga kini belum terdapat satu kesatuan pendapat dikalangan para Sarjana
terkemuka, tentang apa yang dimaksud “Hukum”. Bahkan sebagai suatu istilah yang mandiri,
kata “hukum” hampir-hampir tidak dapat didefinisikan. Pengertian-pengertian yang lahir
tentang apa itu “hukum” kerapkali dapat terbentuk karena diimbuhkan kata lain, di depan
atau di belakang kata “hukum”. Misalnya, “norma hukum”, “aturan hukum”, “asas hukum”,
“sumber hukum”, “pelanggaran hukum”, “penegak hukum”, atau “sanksi hukum”. Kesemuanya
dapat didefinisikan dengan nyaris sempurna dan dapat diterima semua pihak, tetapi hanya
memberikan pengertian yang parsial tentang hukum. Demikian pula istilah: “hukum publik”,
“hukum privat”, “hukum antar golongan” atau “hukum antar bangsa”, dan lain sebagainya,
kesemuanya dapat didefinisikan, tetapi bukan pengertian tentang “hukum” itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam matakuliah Pengantar Hukum Indonesia diperlukan “pilihan”
terminilogis tentang penekanan pengertian hukum tersebut. Dulu pernah digunakan
pendekatan “tata hukum”, “tertib hukum” atau “disiplin hukum” untuk memberikan titik berat
pembahasan. Sekarang ini, pendekatan yang paling mutakhir terhadap hukum dilakukan
secara sistemik, sehingga Hukum Indonesia disini sebenarnya lebih diartikan sebagai suatu
sistem. Pengantar Hukum Indonesia karenanya mempelajari “sistem hukum” yang berlaku
sekarang ini di wilayah negara dan wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indoesia;
“SISTEM HUKUM” dari FRIEDMANN
Sebenarnya menjelaskan apa itu “hukum” ataupun “sistem hukum”, merupakan tugas keilmuan
matakuliah Pengantar Ilmu Hukum. Namun demikian, untuk kepentingan disini digunakan definisi
“sistem hukum” dari seorang Sarjana asal Amerika Serikat (Lawrence Friedmann). Pandangan ini paling
banyak diikuti para Sarjana di Indonesia. Menurutnya, sistem hukum merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari:
1. Substansi hukum (legal substance);
2. Kelembagaan hukum (legal structure);
3. Budaya Hukum (legal culture).
Mempelajari Hukum Indoensia karenanya pertama-tama mempelajari substansi atau materi hukum
yang berlaku di Indonesia. Kemudian, bagaimana lembaga-lembaga hukum di Indonesia secara
struktural memainkan perannya dalam mengejawantahkan cita dan aturan hukum itu dalam
kenyataannya. Namun demikian, hal ini juga tidak lengkap tanpa mendapatkan pemahaman mengenai
maindset, apresiasi ataupun sikap aparatur hukum dan masyarakat yang padanya berlaku hukum itu.
Mengingat tidak dapat dihindarkan kontribusi unsur subyektif dari hukum setiap kali dibentuk (law
making process), ditegakkan (law enforcement process) dan diterapkan (law applying process).
Pengantar Hukum Indonesia karenanya memperlajari substansi, kelembagaan dan budaya hukum
yang saat ini berlaku dalam negara bagi bangsa dan masyarakat Indonesia ataupun bangsa dan
masyarakat lainnya yang tunduk atau menundukkan diri kepada Hukum Indonesia.
SUBSTANSI HUKUM INDONESIA
HUKUM INDONESIA
DILIHAT DARI ASAL USULNYA
DESAIN HUKUM INDONESIA
Menurut Jhon Ball dalam Bahasa Indonesia, tidak terdapat kata atau istilah yang
merepresentasikan “hukum” itu sendiri. Kata “hukum”, bukan berasal dari Bahasa Indonesia,
melainkan Bahasa Arab (“hkm” atau “ahkam”). Tidak terdapat istilah yang menggambarkan
sesuatu, seperti “law” (English), “recht” (Dutch), droit (France), “ius” (Latin). Satu-satunya
istilah yang sering diindentikkan sebagai “hukum” adalah istilah “adat”, walaupun menjadi
tidak tepat karena orang Barat (van Vollenhoven) yang katanya menemukan hal itu,
menyebutnya sebagai “adat recht”. Jadi “adat’ tidak sinonim dengan “hukum” atau “recht”.
Istilah “adat” hanya mencerminkan adanya “jenis” dari hukum, yaitu “hukum adat” dan
istilah “adat” tidak menjadi istilah yang merepresentasikan hukum secara keseluruhan.

Desain Hukum Indonesia karenanya lebih condong pada desain hukum menurut versi Bangsa
Barat mengenai hukum, sehingga sejarah Hukum Indonesia dimulai dari 100 BC, dimana
cerita tentang Hukum Romawi dimulai. Pengaruh Imperium Romawi menjadi cikal bakal
hukum negara-negara bangsa (nation states) di Eropa yang kemudian dengan imperialisasi
sampai ke Nusantara atau “Indonesia”. Imperium Persia dan Imperium China atau lainnya
tidak cukup berpengaruh bagi perkembangan hukum Bangsa Indonesia.
KEADAAN HUKUM INDONESIA
Dilihat dari asal usulnya, Hukum Indonesia menunjukkan adanya “sistem hukum campuran”, antara
unsur-unsur asli dan yang berasal dari luar (asing). Artinya, sebelum bangsa Eropa atau Islam hadir
di Nusantara, negeri ini bukan tandus tanpa “hukum”, tetapi ada sesuatu yang berlaku sebagai
hukum disini. Oleh karena itu “kebhinekaan” menjadi ciri utama sistem hukum Indonesia, yaitu
adanya sejumlah substansi hukum yang berasal dari perkembangan budaya Bangsa Indonesia
sendiri dan berpadu dengan konsepsi hukum yang berasal dari Bangsa Eropa dan Arab Islam, dan
tentunya ditambah unsur yang berasal dari pergaulan antar bangsa-bangsa beradab lainnya;

Sistem Hukum Indonesia yang barasal dari unsur asli Bangsa Indonesia, sebagian telah tumbuh dan
berkembang sebelum Indonesia merdeka. Sebagian lagi tentunya dikembangkan setelah Indonesia
merdeka. Namun demikian, paduan asingnya yang berasal dari Bangsa Eropa dan Bangsa Arab Islam
berakulturasi justru sejak sebelum Indonesia merdeka, sedangkan unsur tambahan dari pergaulan
bangsa-bangsa di dunia umumnya menjadi bagian Hukum Indonesia, sejak Indonesia menjadi
bangsa dan negara yang berdaulat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika mempelajari
Hukum Indonesia dari aspek historis, akan membawa kepada akar pengenalan mengenai konsepsi
tentang “hukum” itu sendiri, yang mula-mulai dikenal dan dipahami oleh Bangsa Indonesia. Ikatan
kebangsaan inilah yang memberi wadah “tunggal ika”, yang secara formal disebut dengan NKRI.
Karenanya Bangsa Indonesia berada dalam “kebhinekaan dalam ketunggalikaan hukum;
SIFAT “CAMPURAN” HUKUM INDONESIA
Hukum Indonesia dilihat dari asal-usulnya, karenanya terdiri atas campuran hukum-hukum
yang berasal dari:
1. Hukum Barat;
2. Hukum Adat;
3. Hukum Islam;
4. Hukum Nasional;
5. Hukum Internasional.

Masing-masing tidak berada dalam keadaan ajeg, melainkan sangat dinamis. Ketika suatu
konsepsi hukum (Hukum Barat, Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Internasional) dengan
proses tertentu menjadi bagian sistem ketatanegaraan Indonesia, maka hal itu telah
sepenuhnya menjadi Hukum Nasional. Oleh karena itu, berangsur-angsur Hukum Barat,
Hukum Adat, Hukum Islam dan sebagian Hukum Internasional melebur menjadi Hukum
Nasional. Pada gilirannya Hukum Indonesia nantinya diharapkan hanya terdiri atas Hukum
Nasional dan Hukum Internasional. Hukum Indonesia dilihat dari asal usulnya merupkan
campuran dari berbagai konsepsi tentang hukum.
HUKUM BARAT
Dimaksud dengan Hukum Barat disini adalah hukum peninggalan semasa kolonialisasi Belanda di “Indonesia”
(1602-1942). Berdasarkan asas konkordansi (concordantie begisel), sebagaimana dimaksud Pasal 131 ayat (2) IS
(Indiesche Staatsregeling), hukum negara yang melakukan penjajahan (Hukum Belanda) menjadi hukum yang
berlaku pula di tanah jajahan (“indonesia)”. Ditentukan bahwa di wilayah jajahan “...de in Nederland geldende
wetten gevold” (..berlaku undang-undang yang dianut di Negeri Belanda). Asas ini mula-mula berlaku untuk
golongan rakyat Eropa saja, setelah sebelumnya berdasarkan ketentuan yang sama penduduk dibagi ke dalam tiga
golongan, yaitu; (1) Eropa (Europeanen), (2) Timur Asing (Vreemde Oorstelingen) dan (3) Pribumi (Inlandeers).
Namun belakangan sejak tahun 1848, Hukum Belanda juga diberlakukan untuk golongan rakyat selain golongan
rakyat Eropa.
Hukum Belanda menggunakan sistem kodifikasi, sehingga di Indonesia hingga kini masih berlaku, setidak-tidaknya
untuk sebagiannya, beberapa kodifikasi, antara lain:
1. Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang diberlakukan di “Indonesia” berdasarkan
Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33 tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918;
2. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang diberlakukan di “Indonesia” dengan
Pengumuman Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847 dan mulai berlaku pada tanggal 1
Mei 1848;
3. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), yang diberlakukan di “Indonesia” dengan
pengumuman tanggal 30 April 1847 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848;
Selain itu juga turut diberlakukan peraturan-peraturan lainnya, baik yang dibentuk oleh Kerajaan Belanda yang
diberlakukan di “Indonesia” dengan asas konkordansi, maupun hukum yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda
yang khusus diberlakukan di “Indonesia” pada waktu itu.
PASAL II ATURAN PERALIHAN UUD 45
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, secara de jure beralihlah kekuasaan kepada pemerintah ke
tangan Bangsa Indonesia sendiri dari pemerintahan penjajahan Jepang yang berkuasa selama 3,5 tahun,
setelah mengambilalih kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghindari kekosongan
hukum (rechtsvacuum), UUD Tahun 1945 tetap memberlakukan ketentuan hukum yang ada, sampai
dibentuk yang baru berdasarkan ketentuan UUD tersebut. Hal ini disebutkan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 45, yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”. Ketentuan
ini ternyata tidak semata-mata memuat perintah berlakunya lembaga dan aturan hukum yang bersifat
sementara, karena faktanya hingga kini setelah 72 tahun kemudian, sejumlah ketentuan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda belum diganti hingga saat ini. Ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI
Tahun 1945 (pasca amandemen) juga mempertahankan rezim yang sama, yaitu: “Semua lembaga negara
yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini;

Tidak mengherankan ketika Wetboek van Strafrecht dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1946
dinyatakan berlaku sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk seluruh wilayah
Indonesia, sifat sementaranya juga ditegaskan dalam Pasal 5 (peraturan hukum pidana, yang seluruh atau
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia
sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian
sementara tidak berlaku”), juga hingga kini belum diganti dengan KUHP yang baru.
HUKUM ADAT
Istilah Hukum Adat sebenarnya merupakan istilah yang digunakan penjajah, untuk menamai
berbagai ketentuan hukum yang berlaku dalam berbagai kelompok masyarakat di “Indonesia”.
Istilah “adat” dikenal dalam masyarakat Minangkabau sekitar abad kesatu, yang terdiri dari kata
“a”, artinya “tidak” dan kata “dato”, artinya “sesuatu yang bersifat kebendaan”. Jadi istilah Hukum
Adat adalah istilah teknis pemerintah kolonial (terdapat dalam Pasal 134 ayat (2) IS), dan bukan
istilah sosiologis yang dikenal masyarakat “Indonesia” pada waktu itu;
Dalam konteks keilmuan sekarang, dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum asli Bangsa
Indonesia, bersumber dari ketentuan yang tidak tertulis (unwritten law), yang tumbuh,
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Hukum adat
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan bersifat elastis, mengikat masyarakat adat
tertentu yang memiliki kesamaan tempat tinggal atau keturunan. Jika Hukum Barat tumbuh dan
diberlakukan dari atas (top down), berbeda halnya dengan Hukum Adat yang justru tumbuh dari
masyarakat itu sendiri (bottom up). Jadi karakteristik hukum asli Bangsa Indonesia pada dasarnya
sama sekali berbeda atau berlawanan dengan kecenderungan hukum dari Bangsa Eropa.
Bagi Bangsa Indonesia pada waktu itu, berlakunya Hukum Belanda sementara itu juga telah ada
Hukum Adat, menimbulkan masalah dualisme hukum. Begitu pula dengan Timur Asing, terutama
golongan Tionghoa, yang berlaku baginya Hukum Adat Tionghoa, sebelum kemudian
diberlakukan Hukum Belanda bagi mereka.
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Diidentifikasi pernah ada 19 lingkungan masyarakat adat (rechtsringen), yaitu: (1)
Aceh,(2) Tanah Gayo, Alas dan Batak, (3) Minangkabau, (4) Mentawai, (5) Sumatera
Selatan, (6) Tanah Melayu, (7) Bangka dan Belitung, (8) Kalimantan, (9) Gorontalo,
(10) Tanatorja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan ternate, (13) Maluku Ambon,
(14) Irian, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali dan Lombok, (17) Jawa Pusat, Jawa Timur
serta Madura (18) Daerah Kerajaan dan (19) Jawa Barat. Tiap-tiap rechtsringen
didalamnya terdapat berbagai kukuban hukum (rechtsgouw), misalnya Hukum Adat
Jawa Barat terdiri dari Priangan, Sunda, Banten dan Jakarta;
Diluar dari yang diidentifikasi van Vollenhoven, tentu masih banyak lagi hukum adat
yang berlaku di Nusantara. Namun demikian, tidak sedikit tudingan tentang konsepsi
Hukum Adat ini yang keliru, karena berasimilasinya hukum agama didalamnya,
terutama Hindu, Budha dan Islam. Pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan
Islam dalam masyarakat “Indonesia”, termasuk dengan perangkat hukumnya,
menyebabkan pemerintah Belanda yang juga memiliki misi Dakwah Kristen (gold,
glory and gospel) enggan menyebut hukum asli Bangsa Indonesia itu dengan Hukum
Hindu, Budha dan Islam, tetapi mereka menyebutnya dengan Hukum Adat;
SIFAT HUKUM ADAT
Pada masa kemerdekaan, eksistensi Hukum Adat, khususnya dalam bidang Hukum Pidana, tetap
dipertahankan berdasarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951. Jika digeneralisir secara umum ciri-ciri Hukum
Adat antara lain:
1. Relegius Magis, maksudnya berlaku berdasarkan kepercayaan adanya kekuatan gaib, tidak ada
pemisah adanya dunia gaib dan dunia nyata. Misalnya, untuk membangun rumah harus dimulai pada
hari tertentu dan tidak boleh dilakukan pada hari tertentu yang lain, karena akan membawa kesialan;
2. Komunal atau Kemasyarakatan, maksudnya kehidupan manusia bersifat berkelompok, sehingga
harmoni dan kerukunan bersama menjadi acuan yang utama, Misalnya, adanya hak subyektif yang
berfungsi sosial, seperti tanah yang menjadi milik bersama;
3. Kontan, maksudnya peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan secara serentak, untuk menjadga
keseimbangan di dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, ketika dilakukan jual beli seketika
dibayar seketika itu juga barang diserahkan;
4. Konkrit, maksudnya ada tanda yang terlihat dalam setiap perbuatan dan keinginan, dimana didalam
setiap hubungan hukum harus dinyatakan dengan benda yang berwujud. Misalnya, janji tidak boleh
dibayar dengan janji;
5. Kebersamaan, maksudnya segala sesuatu harus diselesaikan dengan rasa kebersamaan dan lebih
mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Misalnya, keputusan diambil
dengan musyawarah terlebih dahulu, untuk memberikan kesempatan para pihak mengutakan
permasalahan dari versinya masing-masing.
HUKUM ISLAM
Hukum Islam adalah Syariah yang berlandaskan Al Qur’an dan Hadits (fiqh). Istilah “Hukum
Islam” itu sendiri mengalami pergeseran dan reduksi makna yang sangat signifikan, yaitu
keharusan syariah itu “berlaku” dalam masyarakat Indonesia, baik sebelum kemerdekaan
maupun setelah kemerdekaan, dan terhadap hal-hal yang timbul dalam interaksi sosial.
Misalnya, Qisos tidak dianggap sebagai Hukum Islam, karena bagi orang Islam di Indonesia
tidak berlaku Hukum Pidana Islam, melainkan yang berlaku KUHP. Demikian pula halnya
dengan hukum berkenaan dengan shalat dan puasa, “tidak dianggap” sebagai Hukum
Islam, melainkan Syariah semata, karena hanya menyangkut hubungan antara pribadi
dengan Tuhannya (hamblum minannaas). Namun demikian, ketika Syariah yang berkaitan
dengan muamalah, misalnya perkawinan, ini dikualifikasi sebagai Hukum Islam;
Hal di atas tidak terlepas dari politik hukum pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah
Indonesia sendiri yang phobia terhadap Islam. Padahal Islam merupakan ajaran yang
“mencerahkan” masyarakat pribumi dari kultur tradisionalnya semasa pemerintahan
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, dan kemudian umat Islam merupakan stakeholders
terbesar NKRI. Namun, watak umat Islam memang anti penindasan, penjajahaan dan
kesewenang-wenangan, siapaun yang berkuasa, “tidak disukai” penguasa.
KEBERLAKUAN HUKUM ISLAM
Keberlakukan Hukum Islam bagi Bangsa Indonesia didasarkan pada beberapa teori, yaitu:
1. Teori Kredo, seperti yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb (teori otoritas hukum), bahwa
Hukum Islam berlaku karena merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid (syahadat), yaitu
bagi mereka yang sudah bersyahadat maka baginya berlaku Hukum Islam, baik bersifat non
teritorialitas Imam Syafii (Hukum Islam belaku bagi orang Islam dimanapun berada)
maupun ketika bersifat teritorialitas Imam Hanafi (Hukum Islam berlaku di wilayah yang
diberlakukan Hukum Islam);
2. Teori receptio in complexu, seperti yang dikemukakan van den Berg, bahwa Hukum Islam
berlaku bagi orang Islam, sekalipun dalam pelaksanaanya terdapat berbagai
penyimpangan. Berpedoman pada teori ini, pemerintah kolonial membuat berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat kolonial dalam menyelesaikan perselisihan
pribumi, termasuk mereka yang beragama Islam. Penerapan teori ini merupakan upaya
Belanda untuk mereduksi Teori Kredo;
3. Teori receptie, seperti yang dikemukakan Snouck Hurgronye, yaitu Hukum Islam dapat
berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Adat. Teori ini menggantikan teori receptio
in complexu, yang dimaksudkan untuk memperlemah keberlakuan Hukum Islam, karena
banyak pemberontakan kepada Pemerintah Kolonial sebagai bagian pelaksanaan ajaran
Islam;
KEBERLAKUAN…
4. Teori receptie exit, seperti yang dikemukakan Hazairin, yaitu semua peraturan
perundang-undangan zaman Belanda yang bertentangan dengan UUD 45 harus
“exit”, tidak beerlaku lagi, karena teori receptie yang menjadi dasar
keberlakuannya (Hukum Adat dan Hukum Belanda) bertentangan dengan Al
Qur’an dan Sunnah, yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 45. Teori ini mulai berlaku di
awal kemerdekaan dan menggantikan peran teori receptie;
5. Teori receptio a contrario, seperti yang dikemukakan Sayuti Thalib, yaitu lawan
dari teori receptie, dimana Hukum Adat berlaku bagi orang Islam sepanjang tidak
bertentangan dengan agama dan Hukum Islam. Kebalikan teori receptie yang
mendahulukan Hukum Adat untuk melemahkan Hukum Islam, justru teori
receptio a contrario lebih mendahulukan Hukum Islam, tanpa mengurangi
eksistensi Hukum Adat;
HUKUM NASIONAL
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk pasca 17 Agustus 1945 disebut dengan Hukum Nasional
(nation=bangsa). Landasan pembentukannya jelas atas perintah Konstitusi Indonesia dan perintah
peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk atas dasar Konstitusi, atau karena kebutuhan
bangsa, negara dan masyarakat Indonesia itu sendiri, dengan mengacu pada Konstitusi. Jadi Hukum
Nasional selalu mengacu pada UUD NRI Tahun 1945 dan sumber hukum lainnya yang termasuk Konstitusi
(Tap MPR atau Konvensi Ketatanegaraan);

Hukum Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat yang telah diformulasi ulang atau di formalkan dalam
peraturan perundang-undangan, menjelma menjadi Hukum Nasional. Begitu pula hukum antar bangsa
yang telah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan juga menjadi Hukum Nasional;

Namun demikian, untuk kepentingan studi di program S1 ini, kajian hanya tertuju pada bidang hukum yang
berlaku secara nasional, yang hukum yang berlaku untuk seluruh wilayah negara dan wilayah yurisdiksi
atau tempat-tempat lain yang dipersamakan dengan hal itu. Artinya, peraturan perundang-undangan lokal
(local wet), seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Darah Istimewa (Perdasi), Peraturan Daerah
Otonomi Khusus (Perdasus) ataupun Qonun tidak termasuk objek studi disini. Kata “nasional” dalam istilah
“Hukum Nasional” memang berarti pada ketentuan hukum yang berlaku bagi “segenap” dan “seluruh”
masyarakat dan wilayah Indonesia;
HUKUM INTERNASIONAL
Sebagian Hukum Indonesia berasal dari hasil pergaulan bangsa-bangsa, yang telah
berlangsung sejak awal pertumbuhan negara bangsa (nation state). Sebagai suatu
subyek, negara juga melakukan pergaulan dengan negara lain, baik antara dua negara
(bilateral), antar negara-negara dalam satu kawasan (regional) ataupun juga antar
banyak negara (multilateral). Umumnya, hukum yang lahir dari pergaulan antara
negara tersebut sering disebut dengan Hukum Internasional, yang juga sebagian
diantara menjadi Hukum Indonesia;
Kesepahaman yang terjadi dalam pergaulan antara negara tersebut membentuk
kebiasaan internasional, yang menjadi sumber utama Hukum Internasional.
Adakalanya juga pergaulan antar negara itu dituangkan dalam perjanjian-perjanjian
internasional, yang juga mengikat sebagai hukum, berdasarkan prinsip pacta sunc
servanda (setiap perikatan yang dibuat sah, menjadi undang-undang bagi
pembuatnya). Perjanjian-perjanjian terkadang dilakukan oleh kelompok negara melalui
organisasi internasional, sehingga membentuk apa yang disebut konvensi
internasional.
BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL
Kebiasaan internasional umumnya terkait dengan tata cara berhubungan antar negara,
oleh karena itu umumnya mengikat negara sebagai suatu subyek hukum, dan bukan
ditujukan untuk mengikat seorang warga suatu negara. Kecuali orang-orang yang diberi
kedudukan khusus dalam Hukum Internasional, seperti: Kepala Negara, Utusan Khusus,
Duta Besar, Konsul, Diplomat dan lain sebagainya yang berasal dari Indonesia, ketika
mengadkan interaksi dengan sejawatnya dari negara lain, padanya juga diberlakukan
kebiasaan internasional tertentu dimaksud;
Bagi masyarakat Indonesia, tidak semua Hukum Internasional langsung menjadi Hukum
Indonesia. Melainkan adanya proses pengesahan, perjanjian internasional yang dibuat
ataupun konvensi internasional yang ditandatangani Indonesia, untuk menjadi Hukum
Indonesia. Pengesahan dimaksud disebut dengan ratifikasi, yang menjadi kewenangan
parlemen (DPR RI) sebagai representasi rakyat. Oleh karena itu perjanjian internasional
atau konvensi internasional yang telah diratifikasi, pada dasarnya telah menjadi Hukum
Nasional yang berasal dari Hukum Internasional;
SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
Subyek Hukum Internasional yang utama karenanya adalah negara, yaitu satu kesatuan masyarakat
yang membentuk pemerintahan, yang berdaulat (diakui kedaulatannya oleh negara lain) di suatu
wilayah tertentu. Tahta Suci Vatikan, juga dipandang sebagai subyek Hukum Internasional
tersendiri, dan bukan masuk kategori negara. Vatikan merupakan entitas yang dipimpin oleh
pemimpin agama Katolik (Paus), yang mempunyai kekuasaan duniawi;
Selain itu, negara-negara juga membentuk organisasi-organisasi internasional, yang dipandang juga
mendukung hak dan kewajiabn tertentu, sehingga juga dipandang sebagai subyek Hukum
Internasional, seperti UN, ILO, FAO, ASEAN, EUROPAN UNION, dan lain sebagainya. Palang Merah
Internasional juga dipandang sebagai subyek Hukum Internasional. Peran, kedudukan dan fungsinya
yang khas, menyebabkan dalam literatur biasanya organisasi dipandang sebagai subyek tersendiri;
Kelompok pemberontak tertentu juga dipandang subyek Hukum Internasional, sepanjang
organisasi itu merupakan bagian dari kombatan dalam suatu peperangan, memiliki hak yang sama
untuk menentukan nasib sendiri, berhak memilih sistem ekonomi, politik dan sosial sendiri, serta
berhak menguasai sumber daya alam di wilayah yang dikuasainya;
Akhirnya invidu tertentu yang masuk kategori sebagai pelaku kejahatan internasional juga
dipandang sebagai subyek Hukum Internasional, karena telah melakukan kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kesepakatan jahat bertaraf
internasional;
HUKUM INDONESIA
DILIHAT DARI BENTUKNYA
BENTUK HUKUM INDONESIA
Seperti umumnya dewasa ini hukum di banyak negara, Hukum Indonesia dapat dibedakan
dalam bentuknya yang tertulis (written law) dan yang tidak tertulis (unwritten law). Melihat
pada kebudayaan “Indonesia”, sebenarnya akan lebih menonjol hukum yang tidak tertulis
yang menjadi ciri bentuk Hukum Indonesia. Misalnya, jika Hukum Adat dipandang sebagai
hukum asli masyarakat “Indonesia”, maka sudah sewajarnya jika kemudian yang dominan
adalah hukum tidak tertulis. Namun demikian, seperti telah dikemukakan sebelumnya,
pengaruh kebudayaan Eropa sangat besar bagi perkembangan Hukum Indonesia.
Perkembangan Bangsa Eropa yang didominasi kebudayaan tulisan, menyebabkan dalam
perkembangannya Hukum Indonesia pun lebih banyak dibangun dalam bentuk hukum yang
tertulis;
Meskipun sebenarnya kebudyaan tulisan dimulai di Mesir sekitar 2000 BC, yang menandai
dimulainya fase sejarah (sebelumnya disebut pra sejarah), tetapi bangsa Yunani dan Romawi
memang sangat gandrung dengan bidang filsafat dan sastra yang kental dengan budaya tulis
menulis itu. Hal ini menyebabkan sekalipun tetap diakui hukum kebiasaan (customary law)
sebagai sumber hukum tidak tertulis di Eropa, tetapi mempertahankannya dipandang tindak
berkemajuan. Hukum tidak tertulis merupakan kebudayaan yang belum maju (traditional
law). Pandangan ini sangat mempengaruhi perkembangan Hukum Indonesia, sehingga guna
mendapatkan kesan “modern” dikembangkanlah hukum dalam bentuk yang tertulis itu;
KELEBIHAN HUKUM TERTULIS
Sejumlah catatan penting dikemukakan sebagai alasan mengapa hukum tertulis dipandang
lebih menjanjikan, lebih modern dan lebih sesuai dengan kebutuhan zaman ke depan,
yaitu:
1. Hukum tertulis lebih mudah dikenali dan ditemukan kembali daripada hukum tidak
tertulis. Tulisan yang dibuat khusus untuk menjadi catatan-catatan tentang hukum,
dapat dengan mudah ditelusuri kembali untuk menemukan hukum bagi kejadian-
kejadian serupa. Berbeda dengan hukum kebiasaan yang tidak tertulis itu, sangat
tergantung dari kesungguhan masyarakat itu sendiri untuk “mempertahankan tradisi”
mereka, sehingga suatu persoalan dapat ditentukan hukumnya;
2. Hukum tertulis dikatakan lebih menjamin kepastian hukum karena perkara-perkara
yang sama atau mirip mendapat status hukum yang sama, dan perkara-perkara yang
berbeda maka berbeda pula hukumnya. Hal ini menjadikan treat like case alike and
different case differently sebagai asas penting dalam Hukum Indonesia. Berbeda
halnya dengan hukum tidak tertulis, karena setiap kali diadakan pelanggaran hukum
maka saat itu pula ditentukan hukumnya, maka sangat situasional sifatnya, bahkan
dikatakan sangat tergantung pada subyektifitas aktor-aktor yang menentukan dibidang
hukum;
KEKURANGAN HUKUM TERTULIS
Sebaliknya sejumlah catatan penting dikemukakan sebagai kelemahan hukum tertulis dan sebaliknya
menjadi keunggulan hukum tidak tertulis, yaitu:
1. Hukum tertulis lebih kaku (rigit) karena sangat tergantung pada struktur bahasa dan masalah-
masalah teknis pembentukannya. Mengadakan perubahan hukum tertulis lebih sulit daripada
hukum tidak tertulis. Bahasa Indonesia yang menjadi bahan baku pembentukan Hukum
Indonesia, mulanya hanya sebagai lingua franca dalam pedagangan masyarakat nusantara,
sehingga terkadang tidak cukup mewadahi kebutuhan idiom-idiom hukum yang sangat teknis
dan ilmiah. Sebaliknya hukum tidak tertulis tidak memerlukan bentuk formal yang disusun dalam
kata-kata atau kalimat-kalimat penuh makna, sehingga dapat lebih mudah mengikuti
perkembangan zaman. Penyesuaian-penyesuaian lebih mudah dilakukan dalam hukum tidak
tertulis, mengikuti kebutuhan masyarakat.
2. Hukum tertulis dibentuk oleh negara (state law) sehingga terkadang resistensi masyarakat sangat
besar, apalagi ketika asalnya merupakan “cara penjajah” untuk dapat eksis di tengah masyarakat
“Indonesia”. Hukum tertulis lebih banyak mewadahi kemauan penguasa daripada dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakatnya Sedangkan hukum tidak tertulis berkembang bersamaan
dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri (society law). Dikatakan orang ketika suatu tradisi
ditinggalkan, pada dasarnya telah hadir suatu tradisi baru, sehingga lahir pula hukum tidak
tertulis yang baru yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang baru itu juga;
PILIHAN POLITIK TENTANG BENTUK HUKUM INDONESIA
Pada fase mula-mula Indonesia merdeka, hampir tidak ada waktu yang cukup untuk membangun Hukum Indonesia.
Agresi Militer Belanda I dan II, pemberontakan PKI, PRRI/PERMESTA atau DI/TII, Konfontasi dengan Malaysia, menyita
waktu pemerintah dan masyarakat Indonesia sehingga abai dengan masalah hukum. Diterapkannya sistem
parlementer menyebabkan umur kabinet sangat singkat, situasi dalam negeri penuh dengan perebutan kekuasaan
politik, sehingga belum ada kecenderungan pemikiran yang mantap tentang bagaimana sebaiknya bentuk Hukum
Indonesia kedepan;

Baru sekitar tahun 1970-an, di masa orde baru, pikiran-pikiran untuk membangun Hukum Indonesia mengemuka,
yang umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Para pewaris tua (Koesno dkk) menghendaki Hukum Indonesia dikembalikan kepada Hukum Adat. Hukum Barat
merupakan hukum penjajah dan bukan yang dicita-citakan;
2. Para generasi muda (Adnan Buyung Nasution dkk), menghendaki Hukum Indonesia adalah hukum modern,
tertulis mengikuti bangsa-bangsa yang telah maju. Hukum Adat dipandang telah sangat tertinggal dan tidak lagi
dapat dipertahankan;
3. Kelompok moderat (Mochtar Kusumaatmadja dkk), menyatakan bahwa kerangka Hukum Barat tidak dapat
dibuang sama sekali, tetapi substansi Hukum Indonesia harus diisi dengan nilai-nilai asli masyarakat Indonesia
yang kaya tradisi (Hukum Adat) dan relegius (Hukum Islam);
Diangkatnya Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Kehakiman (1974-1978) menyebabkan pilihan ketiga menjadi
keputusan politik dalam pembangunan Hukum Indonesia. Pandangannya yang terkenal adalah “Hukum sebagai
sarana pembangunan”, yang merupakan modifikasi dari teori Roscoe Pound (Law as a tool of social engineering);
CARA PEMBENTUKAN HUKUM TERTULIS
Menempatkan hukum tertulis sebagai sumber hukum utama di Indonesia, mengharusnya
studi tentang hal ini juga tertuju pada cara pembentukannya. Ada tiga kegiatan yang
melahirkan hukum tertulis, yaitu:
1. Kegitan Pengaturan, yaitu pembuatan peraturan (berasal dari kata “Aturan”) yang berifat
umum, abstrak dan menerus, oleh lembaga-lembaga negara yang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang lainnya. Dalam Hukum Indonesia sekarang
ini hasil Kegiatan Pengaturan disebut dengan Peraturan Perundang-Undangan (Regeling);
2. Kegiatan Penetapan, yaitu pembuatan ketetapan (berasal dari kata “Tetapan”) yang
bersifat individual, konkrit dan final oleh lembaga atau pejabat administrasi negara.
Dalam Hukum Indoesia sekarang ini hasil Kegiatan Penetapan dikenal dengan Keputusan
(Beshickking);
3. Kegiatan Pengadilan, yaitu pembuatan solusi (lebih tepat hasilnya disebut “Adilan”) atas
sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Dalam Hukum Indonesia hasil Kegiatan
Pengadilan disebut dengan Putusan (Vonnis);
Kesemuanya merupakan Hukum Indonesia yang tertulis, yang mempunyai kontribusi terbesar
memberikan jawaban apakah yang menjadi hukum di Indonesia;
HUKUM TIDAK TERTULIS
Sekalipun demikian, hukum tidak tertulis tetap penting dalam khazanah Hukum Indonesia, bukan
saja sebagai “sumber pembentukannya”, seperti Hukum Adat dan Hukum Islam, tetapi juga
dalam rangka melengkapi, menyempurnakan dan menghaluskannya;
Dalam bidang ketatanegaraan, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap-Tap
MPR RI) sebagai sumber hukum, juga dikenal konvensi ketatanegaraan, yaitu praktek yang baik
(good practices) penyelenggaraan negara yang dipelihara dan dilaksanakan secara terus menerus
(ajeg). Misalnya, pidato kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16 Agustus setiap tahunnya di
depan sidang Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Demikian pula kebiasaan-
kebiasaan internasional dalam pergaulan antar bangsa, merupakan hukum tidak tertulis yang
penting, yang sangat diperlukan guna menghindari kesalahpahaman atau miskomunikasi, yang
bisa berujung pada keadaan persona non grata terhadap diplomat Indonesia ataupun masalah
hubungan diplomatik;

Demikian pula halnya dalam hubungan-hubungan antar anggota masyarakat (sipil), hukum tidak
tertulis memegang peranan penting, yang kadangkala mengalahkan kekuatan mengikat peraturan
perundang-undangan;
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertulis yang paling penting. Peraturan perundang-undangan
dibuat dalam suatu susunan yang bersifat hirarkhis, yakni adanya susunan hukum yang berjenjang-jenjang dan
bertingkat-tingkat, dimana hukum yang lebih tinggi menjadi dasar pembentukan hukum yang lebih rendah dan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Hal ini meneladan
pandangan Sarjana Jerman Hans Kelsen, dengan teorinya yang terkenal stufenbau teorie (teori anak tangga);
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Hirarkhi Peraturan
perundang-undangan dalam Hukum Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar;
2. Ketapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang dan/atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah.

Selain yang disebutkan di atas, juga menjadi peraturan perundang-undangan adalah produk yang dikeluarkan
lembaga negara atau pejabatnya yang bersifat tetap, yang bersifat mengatur, umum dan abstrak, dengan
ketentuan lembaga/pejabat yang tinggi menghasilkan peraturan yang lebih tinggi diatas produk
lembaga/pejabat yang lebih rendah kedudukannya.
ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan atas dasar:
Asas Kejelasan Tujuan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan jelas yang
hendak dicapai
Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undanga harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki kewenangan.
Peraturan perundang-undangan dapat batal atau dibatalkan demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang. 
Asas Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan. 
Asas Dapat Dilaksanakan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, yaitu peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas Kejelasan Rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, dan juga bahasa hukum jelas
dan juga mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 
Asas Keterbukaan, yaitu pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan yang sifatnya transparan dan juga terbuka. Sehingga,
bagi seluruh lapisan pada masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SEBAGAI PEMBUATAN NORMA HUKUM
Pembentukan Peraturan perundang-undangan merupakan proses pembentukan norma hukum kenegaraan (state’s
law) yang sangat penting. Ada berbagai aspek yang hasru diperhatikan, yang ketidakuratan mengenai hal itu akan
berdampak terhadap keabsahannya. Misalnya, lembaga atau pejabat yang berwenang untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan, ditentukan oleh jenisnya. Demikian juga, tata cara pembentukannya juga sangat
tergantung oleh jenis peraturan perundang-undangan dimaksud;

Menentukan jenis peraturan perundangan yang tepat ketika mengatur suatu hal, sangat ditentukan oleh materi
muatan yang dapat dimuat oleh suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, Undang-Undang Dasar yang
dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang memuat
norma (hukum) dasar suatu negara (staatsfundamental norm). Makanya Undang-Undang Dasar tidak mengatur hal
yang sifatnya operasional atau teknis penyelenggaraan suatu negara, melainkan hal-hal mendasar saja, seperti:
tujuan dan cita-cita moral negara, identitas negara, pembagian kekuasaan negara, hak-hak warga negara dan hak
asasi manusia, dan tata cara perubahan dasar negara tersebut;

Operasionalisasi dari staatsfundamental norm tersebut dimuat dalam norma Undang-Undang yang bentuk atas
persetujuan bersama Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, materi muatan undang-undang
pertama-tama adalah dalam rangka melaksanakan perintah pengaturan yang disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar. Peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang, misalnya Peraturan Pemerintah, merupakan norma
eraturan yang sifatnya pelaksanaan saja dan tidak boleh memuat norma baru yang berdiri sendiri daripada yang
terdapat dalam undang-undang dimaksud. Oleh karena itu posisi peraturan-peraturan tersebut dalam hirarkhis
peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting;
DASAR DAN TAHAPAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan
menentukan bahwa suatu Undang-Undang dibentuk atas dasar:
1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan UUD, yaitu UU yang dibentuk atas perintah langsung UUD itu
sendiri;
2. Perintah Undang-Undang untuk mengatursuatu hal dalam atau dengan Undang-Undang;
3. Pengesahan Perjanjian Internasional tertentu;
4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan dibentuknya suatu Undang-
Undang tentang suatu hal; dan/atau
5. Pemenuhan Kebutuhan Hukum Masyarakat yang harus atau perlu diwadahi dalam suatu Undang-
Undang

Sedangkan tahap-tahap pembentukan Undang-Undang dilakukan sebagai berikut:


6. Perencanaan;
7. Penyusunan;
8. Pembahasan;
9. Pengesahan; dan
10. Pengundangan.
PERENCANAAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU tertentu)
menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya kenal dengan
istilah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut
kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR.

Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas
Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT).
Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah
sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.

Namun Prolegnas bukanlah satu-satunya acuan dalam perencanaan pembentukan UU.


Dimungkinkan adanya pembahasan atas RUU yang tidak terdapat dalam proleganas,
baik karena muncul keadaan tertentu yang perlu segera direspon.
PENYUSUNAN KONSEP UNDANG-UNDANG
Tahap Penyusunan atau lebih tepatnya tahap penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang
merupakan tahap penyiapan naskah atau konsep undang-undang, sebelum dibahas bersama antara DPR dan
Pemerintah. Tahap ini terdiri dari:
1. Pembuatan Naskah Akademik;
2. Penyusunan Rancangan Undang-Undang;
3. Harmonisasi, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi.

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya tehadap suatu
masalah tertentu, yang meliputi alasan filosofis, alasan yuridis dan alasan sosiologi perlunya pembentukan suatu
undang-undang, sehingga hal itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat;
Penyusunan RUU adalah pembuatan rancangan peraturan pasal demi pasal yang menjadi batang tubuh dan
penjelasan suatu undang-undang;
Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi adalah suatu tahapan untuk:
1. Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan:
a. Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain;
b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam RUU
PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk
topik-topik tertentu) melalui dua tingkat pembicaraan. Pembahasan Tingkat Pertama
adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi,
rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Pembahsaan Tingkat kedua adalah
pembicaraan dalam rapat paripurna.
Pengaturan sebelum adanya putusan MK No. 92/PUU-X/2012 hanya “mengijinkan” DPD
untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat pertama, namun setelah putusan MK
tersebut, DPD ikut dalam pembahasan tingkat kedua. Namun peran DPD tidak sampai
kepada ikut memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama
terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden dan DPR.
Apa yang terjadi pada tahap pembahasan adalah “saling kritik” terhadap suatu RUU.
Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan
pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD
akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD,
maka Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.
PENGESAHAN DAN PENGUNDANGAN UNDANG-UNDANG
Pengesahan
Setelah dilakukan pembahasan, dan telah menjadi kata sepakat antara Presiden dan DPR, maka
RUU disahkan menjadi UU. Dengan demikian, pengesahan dilakukan setelah adanya persetujuan
bersama antara Presiden dan DPR, yaitu dengan pembubuhan tanda tangan Presiden pada
undang-undang yang telah disetujui. Penandatangan dilakukan paling lambat 30 hari setelah RUU
disetujui bersama Presiden dan DPR Dalam Presiden tidak membubuhkan tanda tangannya
dalam waktu yang ditentukan, maka UU tersebut dipandang sah berlaku. Setelah UU
ditandatangani Presiden atau lebih dari tigapuluh hari sejak disetujui bersama Presiden dan DPR,
maka Menteri Sekretaris Negara memberi nomor dan tahun undang-undang dimaksud;
Pengundangan
Pengundangan dilakukan dengan memuat batang tubuh UU tersebut dalam Lembaran Negara
(LN) dan penjelasan serta lampirannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN).
Sebelumnya Menteri Hukum dan Ham membubuhkan tanda tangan dan memberi nomor LN atau
TLN dimaksud. Tujuan dari pemuatan UU dalam LN dan TLN adalah untuk membuat semua orang
mengetahui tentang undang-undang tersebut sesuai dengan fiksi hukum setiap undang-undang
yang telah diundangkan setiap orang dinggap mengetahuinya (presumptio iures de iure). Hal ini
menyebabkan ketidaktahuan hukum tidak dapat dimaafkan (ignorantia juris no excusat)
HUKUM INDONESIA
DILIHAT DARI ISI YANG DIATURNYA
SISTEMATIKA HUKUM KLASIK
Dilihat dari isi yang diaturnya, sistematika hukum secara klasik (classical school) biasanya meliputi:
1. Hukum Publik, misalnya Hukum Tata Negara (staatsrecht, contitutional law), yaitu bidang hukum
yang mengatur organisasi kekuasaan negara dan hal-hal yang berkaitan dengan organisasi kekuasaan
negara tersebut, dan Hukum Pidana (strafrech, criminal law), yaitu bidang hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan individu;
2. Hukum Privat, misalnya Hukum Perdata (civiel recht, privat law), yaitu bidang hukum yang
mengatur hubugan antar individu;
Dari bidang-bidang hukum inilah kemudian dibentuk disiplin-disiplin yang lebih spesifik, dengan
memperhatikan sifat-sifat kekhususannya. Misalnya, Hukum Tata Negara dibedakan lebih lanjut dari
Hukum Administrasi Negara. Hukum Tata Negara merupakan pengaturan tentang organisasi negara
dalam keadaan diam, sedangkan organisasi negara dalam keadaan bergerak dengan adanya kegiatan
melahirkan keputusan-keputusan oleh pejabat-pejabatnya, inilah yang disebut dengan Hukum
Administrasi (Negara). Demikian pula Hukum Perdata dibedakan dengan Hukum Dagang, yaitu ketika
hubungan antar individu itu khusus berkenaan dengan perniagaan;
Namun demikian, perkembangan paham negara kesejahteraan (welfare state school), menyebabkan
tidak lagi memungkinkan ditempatkannya suatu bidang hukum yang lintas disiplin ke dalam salah satu
kelompok pembagian hukum yang klasik itu. Misalnya, Hukum Kesehatan, yang didalamnya terdapat
aspek-aspek administrasi, pidana dan perdata sekaigus.
BASIC AND SECTORAL LAW
Perkembangan lebih lanjut tersebut menyebabkan sistematika hukum dilihat dari isi yang
diaturnya meliputi:
1. Hukum Dasar (basic laws), yaitu bidang-bidang hukum yang mengatur hal-hal yang mendasar,
baik bagi dalam pengorganisasian negara maupun individu;
2. Hukum Sektoral (sectoral laws), yaitu bidang-bidang hukum yang mengatur sektor tertentu,
dalam hubungannya dengan bidang-bidang pembangunan suatu negara atau masyarakat;
Pembagian dengan cara demikian, menyebabkan substansi yang menjadi isi suatu bidang hukum
lebih mudah ditemukenali. Suatu disiplin yang sulit dimasukkan dalam suatu bidang menurut
sistematika yang klasik, kemudian dapat diidentifikasi sebagai suatu bidang lintas disiplin, yang
memuat pengaturan secara komprehensif suatu bidang pembangunan;
Selain itu, tekanan pengaturan pada salah satu disiplin dalam sistematika yang klasik
menyebabkan tujuan hukum hanya untuk hukum itu sendiri. Padahal paham yang lebih modern
mengharuskan menempatkan tujuan hukum justru di luar hukum itu sendiri, yaitu dalam rangka
membawa kesejahteraan masyarakat. Hukum karenanya bukan tujuan tetapi hanya alat untuk
pencapaian suatu tujuan. Oleh karena itu, sistematika yang klasik di atas tidak lagi dapat
dipertahankan, digantikan dengan sistematika baru yang menempatkan hukum sebagai sarana
pembangunan masyarakat;
BASIC LAWS

Sejumlah disiplin dipandang memuat pengaturan yang bersifat mendasar (basic) yang
meliputi:
1. Hukum Pidana, dikenal juga dengan Hukum Pidana materiel atau Hukum Pidana
substantif, yaitu bidang hukum yang mengatur hubungan negara dan individu;
2. Hukum Perdata, dikenal juga denga Hukum Perdata materiel, yaitu bidang hukum
yang mengatur hubungan antar individu;
3. Hukum Dagang, yaitu bidang hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam
perniagaan;
4. Hukum Perdata Internasional, yaitu bidang hukum yang mengatur hubungan antar
individu yang berdimensi internasional, yaitu memiliki unsur asing;
5. Hukum Acara Pidana, yaitu bidang hukum yang diadakan untuk menegakkan atau
mempertahankan Hukum Pidana materiel;
6. Hukum Acara Perdata, yaitu bidang hukum yaang diadakan untuk menegakkan atau
mempertahankan Hukum Perdata materiel;
SECTORAL LAWS
Sejumlah disiplin dipandang memuat pengaturan yang bersifat sektoral (sectoral) dalam hubungannya
dengan pembangunan di Indonesia, yang meliputi:
1. Hukum di sektor pembangunan manusia, yang dulu dikenal sebagai bidang-bidang hukum yang
diadakan untuk mengatur peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sekarang tekanannya terutama
untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, baik fisik maupun karakternya. Misalnya: Hukum
Kesehatan, Hukum Pendidikan, Hukum Kependudukan dan Kewarganegaraan;
2. Hukum di sektor pembangunan perekonomian, yang dulu dikenal seagai bidang-bidang hukum yang
diadakan untuk mengatur peningkatan ekonomi dan industri. Sekarang tekanannya terutama untuk
pembangunan perekonomian, dimana industri hanya dipandang sebagai salah satu bagiannya saja.
Misalnya: Hukum Ekonomi, Hukum Perburuhan, Hukum Perbankan, Hukum Pasar Modal, Hukum
Asuransi, Hukum Pertambangan, Hukum Kehutanan, Hukum Perkebunan, Hukum Perhubungan, dan
Hukum Lingkungan;
3. Hukum di sektor pembangunan kemaritiman, terutama berkaitan dengan pembangunan di bidang
kelautan. Misalnya pembangunan tol laut, laut sebagai poros maritime;
4. Hukum di sektor pembangunan politik, pertahanan dan keamanan yaitu bidang-bidang hukum yang
mengatur organisasi negara, pengisian jabatan-jabatan politik, pertahanan negara dan keamanan
dalam negeri. Misalnya, Hukum Pemilu, Hukum Lembaga Negara dan Lembaga Kepartaian, Hukum
Pemerintahan (Pusat dan Daerah), Hukum Humaniter, Hukum Laut, Udara dan Luar Angkasa;
HUKUM PIDANA

Hukum Pidana dalam arti luas sebenarnya meliputi :


1. Hukum Pidana, yaitu hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (tindak pidana), syarat-
syarat seseorang untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
(pertanggungjawaban pidana), dan jenis serta jumlah sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana dan dapat dimintai tanggung
jawab pidana (sanksi pidana);
2. Hukum Acara Pidana, yaitu hukum yang berisi proses dan prosedur bagaimana
menerapkan Hukum Pidana dalam suatu kejadian konkrit atau hukum yang diadakan
untuk mempertahankan atau menegakkan Hukum Pidana;
3. Hukum Pelaksanaan Pidana, yaitu hukum yang diadakan utuk menyelenggarakan
pemidanaan atau merupakan mekanisme mengeksekusi putusan pengadilan dalam
perkara pidana;
Namun demikian, yang dimaksud dengan Hukum Pidana dalam hal ini adalah Hukum Pidana
dalam pengertian yang pertama. Sedangkan Hukum Acara Pidana merupakan basic law
tersendiri, sedangkan Hukum Pelaksanaan Pidana masuk dalam kategori sectoral law;
Asas-asas Hukum Pidana
• Asas legalitas berdasarkan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenale. Artinya, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan. Asas ini tampak daari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP.
• Asas teritorialitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang
yang melakukan perbuatan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi
mereka yang memiliki hak kekebalan diplomatik berdasarkan asas “eksteritorialitas”.
• Asas nasionalitas aktif ialah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang
Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas
ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan
juga asas personalitet.
Lanjutan....
• Asas nasionalitas pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP
terhadap siapa pun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan
pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan
kepentingan suatu negara. Asas ini dinamakan asas perlindungan.
• Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk
merugikan kepentingan Internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat
berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi yang
diutamakan olah asas tersebut adalah keselamatan Internasional. Contoh :
pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu
bukan negara Indonesia.
HUKUM PERDATA

Hukum Perdata dalam arti luas sebenarnya meliputi :


1. Hukum Orang, yaitu hukum tentang subyek hukum perdata, baik orang
perseorangan (natuurlijke persoon) maupun badan hukum (recht persoon);
2. Hukum Perikatan, yaitu hukum yang menentukan kekuatan mengikat perikatan,
syarat-syarat sahnya perjanjian, akibat hukum terkait tidak dipenuhinya syarat-
syarat perjanjian itu ;
3. Hukum Benda, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek dan
benda-benda yang dimilikinya;
4. Hukum Pembuktian dan Lewat Waktu, yaitu hukum yang mengatur tentang
pembuktian dan lewat waktunya berkenaan dengan hubungan-hubungan
keperdataan ;
Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana mempunyai tugas untuk :
• Mencari dan mendapatkan kebenaran material.
• Memperoleh keputusan oleh hakim tentang bersalah tidaknya seseorang atau
sekelompok orang yang disangka/didakwa melakukan perbuatan pidana.
• Melaksanakan keputusan hakim.
Dilihat dari tugasnya tersebut diatas dapatlah dimengerti bahwa hukum acara
pidana tidak semata-mata menerapkan hukum pidana, tetapi lebih
menitikberatkan pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau
sekelompok orang yang diduga dan atau didakwa telah melakukan perbuatan
pidana.
Asas-asas Hukum Acara Pidana
• Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
• Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
• Asas Oportunitas
• Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
• Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim
• Asas Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
• Asas Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
• Asas Akusator
• Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan dengan Lisan
Asas-Asas Hukum Acara Perdata
• Hakim Bersikap Menunggu
• Hakim Bersifat Pasif
• Persidangan Bersifat Terbuka 
• Mendengar Kedua Belah Pihak
• Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
• Beracara Dikenakan Biaya
• Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Hukum Dagang
• Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan orang
yang lainnya, khususnya dalam hal perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus.
Sumber Hukum Dagang
1. Pokok : KUHS, Buku III tentang Perikatan.
2. Kebiasaan
a. Ps 1339 KUHS : Suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk apa yang semata-mata telah
diperjanjikan tetapi untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan
b. Ps 1347 KUHS : hal-hal yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian,
meskipun tidak secara tegas diperjanjikan harus dianggap juga tercantum dalam setiap
perjanjian semacam itu.
3. Yurisprudensi
4. Traktat
5. Doktrin
Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata internasional merupakan subsistem dari sistem hukum yang berlaku dalam sebuah
negara. Ketentuan-ketentuannya mengatur tentang hubungan hukum perorangan dalam usaha
memenuhi kebutuhan individunya. Dan sebagai aturan hukum yang berlaku dalam sebuah negara,
maka hukum perdata itu merupakan hukum nasional negara tersebut. Kalau suatu hubungan
hukum terjadi dan menyangkut dua individu atau lebih dalam bidang keperdataan yang ada orang
asingnya, yaitu terlibat unsur asing di dalam hubungan hukum perdata itu, maka timbullah
masalah yang memerlukan penyelesaian secara Internasional.
Perkataan “Internasional” dapat diartikan sebagai antar bangsa-bangsa dari pelbagai negara, dan
dalam kaitannya dengan hukum perdata arti bangsa-bangsa, merupakan kompleksitas peraturan
hukum perdata yang dibawa dari masing-masing negara dan dlaksanakan dalam suatu negara.
Sedangakan negara tempat bertemunya peraturan hukum dari para pembawa juga memiliki
peraturan hukum perdata. Kalau terjadi peristiwa hukum perdata yang menyangkut orang-orang
asing dalam suatu negara, perlu diperhatikan tempat kejadian peristiwa itu. Hal ini berarti bahwa
hukum perdata nasional yang harus berperanan untuk menyelesaikannya.
Dengan demikian hukum perdata nasional harus dianggap berlaku sebagai hukum perdata
internasional. Jadi, hukum perdata internasional ialah peraturan hukum perdata nasional yang
berusaha mengatur hubungan hukum perdata yang menyangkut unsur-unsur asing didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai