Anda di halaman 1dari 11

PENGANTAR HUKUM INDONESIA1

Ida Bagus Anggapurana Pidada S.H,M.H

Dosen Universitas Mahendradatta

1.1 Pengertian PHI

Pengertian Pengantar Hukum Indonesia. Pengantar Hukum Indonesia


artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk
mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya
memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa
sanksi. Sanksi itu ada dua bentuknya adalah berupa sanksi positif seperti
penghargaan dan sanksi negatif meliputi pemulihan keadaan, pemenuhan
keadaan, dan hukuman. Hukuman dapat pula dirinci berupa Hukuman dalam
perkara perdata, tata usaha negara, dan hukuman dalam perkara pidana.
Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan terjemahan dari mata
kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS)
atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924
di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam undang-
undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Pengantar
hukum Indonesia menjelaskan terkait tata hukum Indonesia.

Kata “tata hukum” adalah terjemahan dari kata recht orde (Bahasa Belanda)
yang berarti memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Selama
adanya pergaulan hidup manusia, hukum selalu diperlukan untuk mengatur
kehidupan manusia agar ada keteriban di dalam masyarakat. Hukum yang
berlaku dalam masyarakat sudah tentu akan dapat diberlakukan dengan baik apa
bila disusun dalam suatu tatanan. Dimaksud dengan susunan hukum ini adalah
“memberikan tempat yang sebenarnya” dengan menyusun dengan baik dan tertib
aturan-aturan hukum itu dalam suatu susunan yang disebut dengan “tata
hukum”. Dengan demikian maka tata hukum itu dapat diartikan sebagai suatu

1
Sebagai materi perkuliahan di Universitas Mahendradatta

1
susunan hukum yang memberikan tempat yang sebenarnya pada aturan-aturan
hukum itu untuk terciptanya ketertiban di dalam masyarakat. Tata hukum yang
berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu disebut dengan hukum positif
atau ius constitutum. Sedangkan hukum hukum yang akan berlaku atau hukum
yang dicita-citakan disebut ius constituendum.

1.2 Persamaan antara PIH dan PHI yaitu:

Baik PIH maupun PHI, sama‐sama merupakan mata kuliah dasar, keduanya
merupakan mata kuliah yang objeknya mempelajari hukum. Kerangka dasar dan pisau
analisa yang digunakan dalam mempelajari kedua ilmu ini sama-sama menggunakan
kerangka dasar pemikiran hukum.

 1.3 Perbedaan antara PIH dan PHI:

Pengantar Ilmu Hukum dalam Bahasa Belanda disebut Inleiding tot het
Positiefrecht van Indonesie, atau di dalam bahasa Inggris Introduction Indonesian
of Law atau Introduction Indonesian Positive Law, adalah mata kuliah yang
mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI
menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-
aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar
belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum
dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum). PIH (Pengantar Ilmu Hukum),
dalam bahasa Belanda disebut Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda)
atau di dalam bahasa Inggris Introduction of Jurisprudence atau Introduction
Science of Law, merupakan mata kuliah pengantar guna memperkenalkan dasar-
dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).

Dengan demikian perbedaan antara PIH dengan PHI dapat dilihat dari segi
obyeknya yaitu PHI berobyek pada hukum yang sedang berlaku di Indonesia
sekarang ini, atau obyeknya khusus mengenai hukum positif (ius constitutum).
Sedangkan obyek PIH adalah aturan tentang hukum pada umumnya, tidak
terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.

2
1.4 Hubungan antara PIH dengan PHI:

1) PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akan mempelajari
hukum positif Indonesia (Tata Hukum Indonesia).

2) PIH menjadi dasar dari PHI, yang berarti bahwa, untuk mempelajari PHI (Tata
Hukum Indonesia) harus belajar PIH dahulu karena pengertian-pengertian dasar
yang berhubungan dengan hukum diberikan di dalam PIH. Sebaliknya pokok-pokok
bahasan PHI merupakan contoh kongkrit apa yang dibahas di dalam PIH.

1.5 Tujuan mempelajari PHI

PHI adalah mata kuliah yang berobyekan hukum yang sekarang berlaku di
Indonesia, atau mata kuliah yang berobyekan hukum positif di Indonesia. Adapun
tujuan mempelajari hukum di Indonesia adalah agar dapat diketahui tentang:

a. macam-macam hukum di Indonesia;

b. perbuatan-perbuatan apa yang diharuskan, diwajibkan, dilarang, serta


yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia;

c. kedudukan, hak, dan kewajiban bagi setiap orang dalam bermasyarakat


dan bernegara menurut hukum Indonesia;

d. macam-macam lembaga penyelenggara negara di Indonesia dalam


bidang legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya;

e. prosedur di dalam melaksanakan hukum (acara peradilan dan prosedur


birokrasi dalam negara) menurut hukum positif Indonesia.

1.6Sejarah PHI

Kata sejarah dapat disebut pula dengan historis, yang berarti sesuatu yang

3
pernah terjadi, atau lebih jelas lagi dapat disebutkan sebagai suatu pencatatan
kejadian-kejadian penting masa lalu yang perlu untuk diketahui, diingat, dan
dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa pada masa kini. Jadi bila berbicara
tentang Sejarah Tata Hukum Indonesia, maka kita akan diajak untuk mengetahui
bagaimana tata hukum Indonesia pada masa lampau untuk diketahui, diingat, dan
dipahami. Perlunya pengetahuan tentang sejarah tata hukum Indonesia ini adalah
untuk memahami tentang hukum di Indonesia pada masa lampau untuk menjadi
koreksi tentang bagaimana hukum yang sebaiknya atau seharusnya diterapkan
bagi bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melihat kurun waktunya, sejarah tata hukum Indonesia dapat diklasifikasi


sesuai dengan kurun waktunya dalam beberapa fase:

(A) fase pra kolonial,

(B) fase kolonial,

(C) fase kemerdekaan.

A. Fase Pra Kolonial

Fase pra kolonial, pra– yang dalam kamus ilmial populer diartikan


sebagai sebelum, dan colonial yang diartikan sebagai penjajahan. Berarti fase ini
berlangsung sebelum Indonesia diduduki oleh penjajah. Seperti yang kita ketahui
bahwa dahulu system kerajaan berjaya di nusantara, ada kerajaan Sriwijaya,
Mataram, Majapahit, Kutai, dan lain sebagainya. Di bawah penguasaan kerajaan-
kerajaan nusantara yang tersebar pada wilayah kepulauan nusantara itu, maka
tata hukum bangsa Indonesia saat itu pula masih bersifat kewilayahan
berdasarkan batas wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan. Setiap kerajaan
memiliki tata hukum sesuai dengan kebudayaan masing-masing, kepercayaan,
dan keputusan raja di setiap kerajaan. 

1) Zaman Kerajaan Hindu Budha

4
Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha,
adat yang ada dalam pelaksanaan ajaran Hindu-Buddha yang
mempercayai dewa-dewa. Contoh: Upacara perkawinan, Kelahiran,
Kematian, dll.

2) Zaman Kerajaan Islam

Pada zaman ini hukum adat dipengaruhi ajaran Islam, adat dan
pelaksanaannya menyerap dan melaksanakan hukum islam. Contoh:
Gono-gini, adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah di Padang,
Sumatera Barat, dll.

B. Fase Kolonial

Orang Belanda mulai menjajah bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan


nusantara ini sejak abad XVII sampai abad XX yang diselingi oleh orang Inggris dan terakhir
Jepang sebelum perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya dengan
diplokamirkannya kemerdekaan itu tanggal 17 Agustus 1945. Kedatangan bangsa Eropa itu
tentu memberikan pengaruh-pengaruh terhadap perkembangan tata hukum di Indonesia. 

Fase ini berlangsung sekitar 3½ abad sejak masa Vereenigde Oost


Indische Compagnie (VOC) pada akhir abad XVII, tatanan hukumnya dapat dikualifikasikan
sebagai tatanan hukum represif in optima forma.[ Tatanan hukum yang berlaku saat itu
menguntungkan bangsa Belanda dan merugikan bangsa Indonesia, terutama dalam bidang
ekonomi.

1) Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) 1602-1799

VOC sebagai kompeni dagang, oleh Belanda diberikan hak istimewa seperti
melakukan monopoli, mencetak uang, membentuk prajurit perang, membangun benteng,
mengadakan perdamaian, dan menyatakan perang. Pada tahun 1610, Gubernur Jenderal
Pieter Both di beri wewenang oleh pengurus pusat VOC, yaitu membuat peraturan untuk
menyelesaikan perkara istimewa yang harus di sesuaikan dengan kebutuhan para pegawai

5
VOC di daera-daerah yang dikuasai. Berlakunya setiap peraturan yang dibuat itu
diumumkan lewat plakat-plakat. Namun dalam perkembangannya plakat-plakat tersebut
tidak berjalan dengan baik, pada 1635 tidak diketahui lagi mana plakat yang masih berlaku
atau yang sudah diubah. Tujuh tahun sejak itu plakat-plakat disusun kembali secara
sistematis. Setelah itu diumumkan di Batavia dengan nama “Statuta van Batavia” (Statuta
Batavia), pada tahun 1766 dibuat lagi statuta baru dengan nama “Nieuwe Bataviase
Statuten” (Statuta Batavia Baru).

Tata pemerintahan dan politik pasa zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar
rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi
di masa itu. Hingga VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.

2) Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1800-1942

Sejak tanggal 1 Januari 1800 daerah-daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh
pemerintahan Bataafsche Republiek yang kemudian diubah menjadi Koninklijk Holand.
[10] Untuk mengurusi daerah jajahan raja Belanda yang minarki absolut waktu itu
menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Pada tahun 1811 kepulauan nusantara
dikuasai oleh Inggris, dan Thomas Stamford Raffles pun menjadi Letnan Gubernur. Dalam
bidang hukum Raffles mengutamakan mengenai susunan pengadilan yang di-konkordansi-
kan (diselaraskan/diseimbangkan) susunannya seperti pengadilan di India.

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement atau peraturan tentang


Tata Pemerintahan (Hindia Belanda) yang tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan-
kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan
jajahan.

3) Masa Kolonialisme Jepang

Pada Maret 1942, Terjadi pada saat Jepang ingin menguasai kekuasaan yang Belanda
miliki pada waktu itu. Jepang mulai meduduki seluruh daerah Hindia Belanda. Untuk
melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan balatentara Jepang
berpedoman kepada undang-undangnya yang disebut “Gunseirei”. Masa pendudukan Jepang
pembaharuan hukum tidak banyak terjadi, seluruh peraturan perundang-undangan yang
tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan
hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Lembaga peradilan Hindia

6
Belanda juga tetap digunakan, kecuali Residentiegerecht yang dihapus. Adapun susunan
lembaga peradilan berdasarkan Gunseirei No. 14 Tahun 1942 terdiri dari:

1) Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Peradilan Negeri);


2) Keizai Hooin, berasal dari Landgerecht (Hakim Kepolisian);
3) Ken Hooin, berasal dari Regentschapgerecht (Pengadilan Kabupaten);
4) Gun Hooin, berasal dari Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanaan);
5) Kaikyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam
Tinggi);
6) Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
7) Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan
Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
8) Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda
mewariskan:
9) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan.
10) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing,
Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.

C. Fase Kemerdekaan

1) Masa Orde Baru

Orde Baru dimulai setelah kudeta G.30.S/PKI. Terjadi pergantian


pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto melalui Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang sering disebut dengan “Supersemar”. Dalam orde
ini dirumuskan kebijakan pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka
Panjang I (RPJP I) yang dimulai Tahun 1969 dengan rangkaian pelaksanaan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Reprlita). Kebijaksanaan RPJP I ini menitik
beratkan pada pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada saat itu saat itu
sangat buruk dengan inflasi 600%. Karenanya untuk kelancara dan stabilitas
ekonomi itu mensyaratkan adanya stabilitas politik.

Otoritas politik pada masa itu bertumpu pada tingkat legitimasi

7
pembangunan/stabilitas ekonomi dan stabilitas politik dengan pendekatan
keamanan terhadap berbagai masalah kemasyarakatan. Kebijakan yang
ditetapkan melalui GBHN, dirumuskan dalam “Trilogi Pembangunan” yang terdiri
atas:

a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kemakmuran


yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Idonesia.

b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Melalui Trilogi Pembangunan ini sejak GBHN Tahun 1973 sampai GBHN 1993,
sasaran pembangunan selalu dibagi ke dalam empat bidang, yaitu:

a. Bidang ekonomi;

b. Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan
sosial budaya;

c. Politik, aparatur pemerintahan, hukum dan hubungan luar negeri;

d. Pertahanan keamanan nasional.

Pembangunan hukum sebagai salah satu sektor dari pembangunan di


bidang politik, maka tampak bahwa tatanan hukum lebih dipandang sebagai
subsistem dari tatanan politik yang berarti bahwa tatanan hukum
disubordinasikan dari tatanan politik. Hal ini berarti juga memandang hukum
hanya sebagai instrumen saja.

Penuangan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengacu


pada Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/1973 tentang irarki peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan
apa yang diamanatkan dalam UUD 1945. Hierarki dimaksud adalah:

8
(1) Undang-Undang Dasar 1945

(2) Ketetapan MPR

(3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(4) Peraturan Pemerintah

(5) Keputusan Presiden

(6) Peraturan pelaksanaan lainnya:

a. Instruksi Menteri

b. dan lain-lain.

Pada masa Orde Baru, antara kurun waktu tahun 1993 sampai dengan 1997
terjadi perubahan paradigma politik. Pada saat itu pembangunan hukum
dikeluarkan dari pembangunan bidang politik dan ditempatkan secara tersendiri.
Secara formal GBHN 1993-1998 terbuka jalan bagi pandangan yang tidak lagi
melihat hukum sebagai subsistem dari tatanan politik, melainkan tata hukum
telah dilihat sebagai sub sistem dari sistem nasional. Sasaran pembangunan
dalam GBHN sebagaimana yang diatur dalam Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1993, disebutkan sasaran pembangunan nasional dibagi ke dalam tujuh
bidang, yaitu:

a. Bidang ekonomi

b. Bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan

c. Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

d. Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi

e. Bidang hukum

f. Bidang politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media masa

g. Bidang pertahanan keamanan

9
Penyelenggaraan pemerintahan pada masa Orde Baru menyalah gunakan
ketentuan peraturan perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Penyimpangan
ini dapat dilihat dari praktek-praktek ketatanegaraan dengan melakukan
penafsiran paradigma UUD 1945 melalui konsepsi negara integralistik sebagai
acuan dasar dalam pembangunan politik, sehingga memunculkan kekuasaan
negara yang sangat kuat dan tanpa kontrol, khususnya pada lembaga eksekutif.

2) Masa Orde Reformasi

Pada masa ini, timbul semangat anak komponen bangsa untuk menuntut
reformasi politik di dalam sistem ketatanegaraa Indonesia untuk perbaikan
dalam kehidupan bernegara. Semangat ini muncul dalam suatu gerakan yang
dipelpori oleh mahasiswa yang menginginkan menuntut agar kehidupan
berbangsa dan bernegara dilakukan dengan lebih demokratis. Dari gerakan ini,
maka dilakukanlah perubahan UUD 1945 oleh MPR melalui amandemen yang
dilakukan selama empat kali. Dengan perubahan ini, semula UUD 1945 terdiri
dari 16 bab dan 37 pasal, dan setelah amandemen ini maka UUD 1945 berubah
dalam bentuk 20 butir pasal tetap, 43 butir pasal diubah, dan 128 pasal
merupakan tambahan baru.

Empat kali perubahan itu dapat dilihat dalam bentuk:

a) Perubahan pertama menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden ,


meliputi Pasal 5, 7, 9, 13,14,15, 17, 20, dan 21.

b) Perubahan kedua, ada tiga kali persidangan yang meliputi

c) Perubahan ketiga menyangkut tentang Lembaga Kepresidenana dan


lembaga Perwakilan Rakyat yang belum terbahas dalam amandemen ke
tiga, serta penghapusan lembaga negara Dewan Pertimbangan Agung
dan pelembagaan Bank Indonesia yang diikuti dengan Permasalahan
Pendidikan dan Kebudayaan serta Perekonomian Sosial dan
Kesejahteraan Sosial, yang meliputi: Pasal2, 6A, 8, 11, 16, 23D, 24, 31, 32,
33, 34, 37, Aturan Peralihan I-III, dan Aturan Tambahan I-II.

10
REFERENSI

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1996.

Arif Syahrul Tito, Manfaat Mempeljari Ilmu


Hukum, http://ariefsyahrultiro.blogspot.co.id, tanggal akses 2 September 2020.

Arjie Sukma Wijaya, Sejarah Hukum di Indonesia diunduh dari


https://arjigibs.wordpress.com/2016/10/02/sejarah-hukum-indonesia/ tanggal 2
September 2020

Buku Ajar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Tahun 2017.

 Dwi S& Nugraha partners, Sejarah Hukum Indonesia, http://advokat.blogger.or.id,


tanggal akses 2 September 2020.
Hermawan Rudi, Sejarah Hukum Indonesia, http://hermawanrudi.wordpress.com,
tanggal akses 2 September 2020.
KapryAugustina, Sejarah Sistem Hukum Indonesia, http://kapriyati.blogspot.co.id,
tanggal akses 2 September 2020.
Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Pers, Malang, 2014.
Sunandar Priatma Utama, Sejarah Hukum Indonesia, https://priatma87.wordpress.com,
tanggal akses 2 September 2020.

11

Anda mungkin juga menyukai