Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM BISNIS

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Hukum Bisnis

Dosen Pengampu : Nuryanti Taufik., S.E., M.Si.

Disulkan oleh :

Aghni Iklasul Amal (173402136)


Isma Nur Amalia (213402009)
Rizki Insan Muhammad (213402054)
Salsabilsa Gantiara Rizviani (213402505)
Shaky Purnama Nur Rizki (213402256)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SILIWANGI

KOTA TASIKMALAYA

2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari hokum bisnis utamanya
mengenai Badan Arbritase Nasional.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, Oktober 2021

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................................iii
BAB1.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1. Latar Belakang.....................................................................................................1
2. Identifikasi dan Rumusan Masalah....................................................................2
3. Tujuan Makalah...................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN...............................................................................................................4
Arbitrase.......................................................................................................................4
1. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase................................................................5
2. Lembaga Arbitrase..................................................................................................7
 Badan Arbitrase Nasional Indonesia..............................................................7
 Badan Arbitrase dan Mediasi Penjaminan Indonesia (BAMPI)..................9
 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).......................................9
 Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI)................................................11
3. Ruang Lingkup Arbitrase......................................................................................11
4. Dasar Hukum Berarbitrase...................................................................................11
5. Perjanjian Arbitrase..............................................................................................12
6. Prosedur Arbitrase.................................................................................................13
7. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional.............................................................14
BAB III...........................................................................................................................16
PENUTUPAN.................................................................................................................16
Studi Kasus.................................................................................................................16
Kesimpulan.................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20
BAB1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan


fungsi yang makin lama makin penting dalam kerangka proses
penyelesaian sengketa. Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil
yang telah memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang
terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia
yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari
perdagangan internasional.

Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang


dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial
yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat
penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional
terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah
berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat
menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu
memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha,
termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga
pihak-pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya
diselesaikan melalui pengadilan negeri.

Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan


adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-
prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya
menangkap apa yang disebut "keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal
menangkap "keadilan masyarakat" (social justice). Hakim telah
meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-
putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian
besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental
"bau formalisme-prosedural" ketimbang kedekatan 2 pada "rasa keadilan
warga masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari
semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi
pengadilan.

Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena


proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak
heran jika para pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat

1
di dalam kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan
melalui forum di luar pengadilan negeri. Fungsi mengadili dapat dilakukan
dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar hal itu, maka memilih forum
arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa bisnis merupakan
kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang
formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk
yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu
melahirkan keadilan substansial.

Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan


mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak
yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang
akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-
konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak
bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga
yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya


pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus
mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri
untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk
membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus
terbelenggu pada aturan normatif yang rigid. Oleh karena itu penyusun
memilih judul untuk makalah ini adalah “LEMBAGA ARBITRASE
SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF 3 PENYELESAIAN
SENGKETA DILUAR PENGADILAN” untuk menambah wawasan kita
akan lembaga arbitrase ini.

2. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penyusun akan membahas “Lembaga arbitrase


sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan”
dengan permasalahan sebagai berikut :

A. Identifikasi Masalah
1. Pengertian dasar arbitrase
2. Lembaga arbitrase
3. Ruang lingkup arbitrase
4. Dasar hukum arbitrase
5. Perjanjian arbitrase
6. Prosedur arbitrase
7. Pelaksanaa putusan arbitrase nasional

2
3. Tujuan Makalah

Untuk mengetahui lebih detail mengenai Badan Arbitrase Naional


Indonesia dan dasar – dasar hukum serta pelaksanaannya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Arbitrase
Perkataan arbitrase berasal dari kata arbitrase (bahasa Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya
arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah pengertian tentang
arbitrase, karena dapat menimbulkan kesan seolah – olah seorang arbiter atau
suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan
norma – norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut
hanya pada kebijaksanaan. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis
tersebut juga menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau
pengadilan.

Beberapa sarjana dan peraturan perundang – undangan serta prosedur


Badan Arbitrase yang ada, memberikan definisi abitrase sebagai berikut:

Subekri (1992:1) menyatakan, bahwa arbitrase adalah:

“Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.”

HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang memperguknakan istilah Perwasitan


untuk arbitrase ini, menyatakan bahwa:

“Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat


agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk
oleh para pihak sendiri dan putusannya menikat bagi kedua-belah pihak.”

Sedangkan menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah:

“Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang


didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.”

Berbagai pengertian arbitrase di atas menunjukkan adanya unsur – unsur


yang sama, yaitu:

4
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa –sengketa,
baik yang akan atau telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang
pihak ketiga di luar peradilan umun untuk diputuskan.
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang
menyangkut hak pribadi yang dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini
dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan.
3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat (final and
binding).

1. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase


Dalam dunia bisnis tentunya banyak pertimbangan yang mendasari mereka
memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan mereka
hadapi. Namun demikian, kadangkala pertimbangan mereka itu, berbeda jika
ditinjau secara teoritis, maupun dilihat secara empiris atau kenyataannya di
lapangan. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: (H.
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004: 35)

a. Ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri

Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat suatu


gugatan melalui Pengadilan,akan menhabisan jangka waktu yang relatif
panjang. Hal ini disebabkan karena biasanya melalui Pengadilan Umum
akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Apabila diperoleh putusan
dari Pengadilan Negeri (tingkat pertama) pihak yang merasa tidak puas
dengan putusan itu akan naik banding dan kasasi sehingga akan memakan
waktu yang panjang dan berlarut - larut.

b. Prosesnya cepat

Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali lebih


cepat atau tidak terlalu formal, dan lebih murah daripada proses litigasi di
Pengadilan. Pada umumnya prosedur arbitrase ditentukan dengan
memberikan batas waktu penyelesaian dalam pemeriksaan sengketa,

c. Dilakukan secara rahasia


Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu sengketa
kepada badan/majelis arbitrase, yaitu bahwa pemeriksaan maupun
pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara
tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga
kerahasiaannya.

5
d. Bebas memilih arbiter

Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yag akan
menyelesaikan persengketaan mereka. Jika dalam ini para pihak tidak
bersepakat dalam memilih arbiter maka dalam Pasal 13 (1) UU No. 30
Tahun 1999, “apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan
arbiter atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.”

e. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)

Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase ini, para pihak yang bersengketa
dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter, yang serba mengetahui
masalah yang dipersengketakan.

Dengan demikian, para pihak memilih arbitrase ini, karena mereka


memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter terhadap
persoalan yang dipersengketakan, dibandingkan jika mereka
menyerahkannya kepada Pengadilan Negeri.

f. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)

Putusan arbitrase pada umumnya dianggap final dan binding (tidak ada
upaya untuk banding). Namun, apabila hukum yang berlaku dalam
yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksaan putusan arbitrase
melalui Pengadilan, Pengadilan harus mengesahkannya dan tidak berhak
meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.

g. Biaya lebih murah

Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya administrasi


dan biaya arbiter yang sudah ditentukan tarifnya. Prosedur arbitrase dibuat
sesederhana mungkin, tidak terlalu formal, disamping itu para arbiter
adalah para ahli dan praktisi di bidan atau pokok yang dipersengketakan
sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan
objektif.

h. Bebas memilih hukum yang diberlakukan

Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan
oleh para pihak sendiri dalam perjanjian. Khusus dalam kaitannya dengan

6
para pihak yang berbeda kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih
hukum ini, berkaitan dengan teori Pilihan Hukum dalam Hukum Perdata
Internasional (HPI). Karena masing – masing negara memiliki HPI
tersendiri.

2. Lembaga Arbitrase
Menutut Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999, Lembaga Arbitrase
adalah “badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau oleh Lembaga Arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.”

Lembaga Arbitrase dikenal ada dua yaitu Arbitrase Ad Hoc dan Arbitrase
Institusional. Jenis lembaga Arbitrase Ad Hoc sering kali disebut “arbitrase
volunter” karena jenis lembaga ini dibentuk khusus untuk mnyelesaikan atau
memutus perselisihan tertentu. Sedangkan lembaga Arbitrase Institusional adalah
lembaga atau badan arbitrase bersifat permanen. Maka Pasal 1 ayat (2) Konvensi
New York 1958 menyebut jenis lembaga ini “Permanent Arbitral Body”.

Ciri lembaga arbritrase intitusional ini, yang dapat pula dikatakan sebagai
perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc, yaitu:

a. Arbitrase institusional sengaja didirikan untuk bersifat


permanen/selamanya. Sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan
akan bubar setelah perselisihan selesai putus.
b. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan
timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul
oleh pihak yang bersangkutan.
c. Karena sifatnya permanen/selamanya, maka pendirian arbitrase
institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada
umumnya tercantuk dalam Anggaran Dasar pendirian lembaga tersebut,
sedangkan arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali.

Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada yang bersifat
internasional. Dikatakan bersifat nasional, karena pendiriannya hanya untuk
kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sedangkan dikatakan
bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan
antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional yang dikenal adalah:

7
 Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center) adalah


lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan
arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.

BANI didirikan pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN) melalui SK No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 November
1977 dan dikelola serta diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang
terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis.

BANI berkedudukan di Jakarta dan memiliki perwakilan di beberapa kota


besar di Indonesia, yaitu Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar, Palembang,
Pontianak dan Jambi.

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk


bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan,
BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu
di mana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan
dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia.

Dengan status sebagai organisasi arbitrase Indonesia pertama dan


terkemuka di kancah Internasional, dengan pengalaman lebih dari 4 dekade kini
BANI telah memiliki lebih dari 100 arbiter yang berlatarbelakang dari berbagai
profesi baik berkebangsaan Indonesia maupun asing.

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai


meningkat sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa
di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan
sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase
menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada
lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya
lebih cepat.

Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta-merta (final) dan


mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential), di mana proses
persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal
balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat
dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang
melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.

BANI didirikan untuk tujuan:

8
1. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia
menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi
diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase
dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di
bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak
Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/Maritim,
Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
2. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa
lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat
yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan
prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
3. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan
keadilan.
4. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program
pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa.

BANI adalah salah satu pendiri dan anggota dari Asia Pacific Regional
Arbitration Group (APRAG). BANI juga merupakan salah satu pendiri dari
Regional Arbitrators Institutes Forum (RAIF). Selain itu, BANI merupakan
anggota International Council for Commercial Arbitration (ICCA).

 Badan Arbitrase dan Mediasi Penjaminan Indonesia (BAMPI)

BAMPI adalah lembaga yang didirikan 17 lembaga penjaminan yang juga


merupakan anggota Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Lembaga
yang didirikan pada 10 April 2015 ini bisa membantu masalah konsumen yang
berkaitan dengan pegadaian dan pembiayaan. Termasuk jika konsumen memiliki
pengaduan atas tindakan debt collector saat meminta pembayaran cicilan kredit.

Masalah di lembaga pembiayaan merupakan masalah klasik yang banyak


terjadi di masyarakat bawah. Pemahaman yang keliru tentang aturan dan
kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian pembiayaan yang seharusnya masuk
ranah hukum perdata sering kali justru berakhir pada tindakan kekerasan yang
membawa masalah ke ranah pidana. Sosialisasi hadirnya lembaga ini sangat
penting untuk meminimalkan permasalahan yang ada di lapangan.

 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)

BAPMI merupakan sebuah lembaga yang membantu mengatasi masalah


sengketa yang berkaitan dengan pasar modal. Lembaga ini didirikan pada 2002,
jauh sebelum OJK mengeluarkan peraturan tentang adanya LAPS. Apabila

9
mengalami masalah seputar pasar modal, seperti misalnya tentang repurchase
agreement (repo), konsumen bisa menghubungi BAPMI agar bisa dibantu
melakukan mediasi.

Pendirian BAPMI tidak terlepas dari keinginan pelaku Pasar Modal


Indonesia untuk memiliki sendiri lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan khusus di bidang Pasar Modal yang ditangani oleh orang-orang yang
memahami Pasar Modal, dengan proses yang cepat dan murah, hasil yang final
dan mengikat serta memenuhi rasa keadilan.

Di bawah dukungan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), maka


selanjutnya pada tahun 2002 Self Regulatory Organizations (SROs) di lingkungan
Pasar Modal yaitu PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan PT Bursa Efek Surabaya
(BES) [kini PT Bursa Efek Indonesia (BEI)], PT Kliring Penjaminan Efek
Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) bersama-sama
dengan 17 asosiasi di lingkungan Pasar Modal Indonesia menandatangani MOU
(Akta No. 14, dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy SH) untuk mendirikan sebuah
lembaga Arbitrase yang kemudian diberi nama Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia, disingkat "BAPMI".

Akta Pendirian BAPMI (Akta No. 15, dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy
SH) ditandatangani di Jakarta oleh PT BEJ dan PT BES [kini PT BEI], PT KPEI
dan PT KSEI pada tanggal 9 Agustus 2002 disaksikan oleh Bapak Boediono
selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia pada saat itu, dalam suatu upacara
di auditorium Kementerian Keuangan Republik Indonesia di Jakarta. Selanjutnya
BAPMI memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui Keputusan
Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No: C-2620
HT.01.03.TH 2002, tanggal 29 Agustus 2002. Pengesahan itu telah diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Oktober 2002, Nomor
84/2002, dan Tambahan Berita Negara Nomor 5/PN/2002.

BAPMI memberikan jasa penyelesaian sengketa apabila diminta oleh pihak-


pihak yang bersengketa melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan (out-
of-court dispute settlement). Namun tidak semua persengketaan dapat diselesaikan
melalui BAPMI. Adapun persengketaan yang bisa diselesaikan oleh BAPMI harus
memenuhi syarat sebagai berikut:

a. hanyalah persengketaan perdata yang timbul di antara para pihak di bidang


atau terkait dengan Pasar Modal;
b. terdapat kesepakatan di antara para pihak yang bersengketa bahwa
persengketaan akan diselesaikan melalui BAPMI;

10
c. terdapat permohonan tertulis (pendaftaran perkara) dari pihak-pihak yang
bersengketa kepada BAPMI;
d. persengketaan tersebut bukan merupakan perkara dalam ruang lingkup
hukum pidana dan atau hukum administratif.

BAPMI menyediakan 4 jenis layanan penyelesaian sengketa di luar pengadilan


yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa, yaitu:

1. Pendapat Mengikat
2. Mediasi
3. Adjudikasi
4. Arbitrase

Di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga alternatif penyelesaian


sengketa, BAPMI menjamin kemandirian dan imparsialitasnya. Hal ini dapat
dilihat bahwa tidak seorangpun diperkenankan oleh BAPMI untuk bertindak
sebagai Mediator/ Adjudikator/ Arbiter atas suatu persengketaan apabila yang
bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan kasus yang ditangani atau
dengan salah satu pihak yang bersengketa atau kuasa hukumnya. Jika keadaan
benturan kepentingan baru diketahui kemudian, maka Mediator/ Adjudikator/
Arbiter itu harus diganti dengan yang lain yang tidak memiliki benturan
kepentingan.

 Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI)

BAVI adalah lembaga mediasi yang didirikan pada tahun 2014 oleh empat
perusahaan: PT Sarana Jatim Ventura, PT Bahana Artha Ventura, PT Pertamina
Dana Ventura, dan PT Astra Mitra Ventura. Lembaga ini fokus pada pemberian
bantuan mediasi terkait dengan masalah yang menyangkut modal ventura.

Salah satu jenis masalah yang mungkin timbul dari sektor keuangan
ventura adalah bagi hasil yang tidak sesuai dengan kontrak oleh pemilik modal
ventura atau pelanggaran kontrak bagi hasil yang dilakukan pemodal ventura.

3. Ruang Lingkup Arbitrase


Ruang lingkup arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999, kalau dilihat
dari pengertian arbitrase sebagaimana yang telah dikutip ternyata cukuplah luas,
yaitu semua jenis sengketa dalam bidang keperdataan. Dalam hal ini tentunya
yang bisa diselesaikan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang
bisnis,sengketa-sengketa di bidang perburuhan/ketenagakerijaan, sepanjang
sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh

11
para pihak. Adapun yang dimaksud dengan hak pribadi adalah hak-hak yang
untuk menegakkannya tidak bersangkut paut dengan ketertiban atau kepentingan
umum, misalnya: proses-proses mengenai perceraian, status anak, pengakuan
anak, penetapan wali, pengampuan, dan-lain-lain.

4. Dasar Hukum Berarbitrase


Dasar hukum berarbitrase maksudnya adalah dasar hukum yang
dipergunakan seseorang untuk dapat menyelesaikan perselisihannya melalui
arbitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun internasional. Dasar
hukumnya tersebut adalah:

a. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


Umum.
b. UU No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman
Modal.
c. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New
York 1958.
d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 mengenai Peraturan lebih
lanjut pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
5. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian abitrase yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana dan kapan
perjanjian arbitrase tersebut dibuat. Secara teoretis bentuk perjanjian arbitrase itu
dikenal dengan Istilah:

a. Akta Kompromitendo adalah suatu klausula dalam perjanjian pokok di mana


ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada
seorang atau majelis arbitrase. Akta kompromitendo atau disebut juga Pactum de
compromitendo ini hanya merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian pokok. Dengan demikian, pactum de compromitendo ini
telah dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Oleh karena itu, jenis ini sering kali
disebut juga dengan klausula arbitrase, dan umumnya dibuat bersamaan atau
bersatu dengan perjanjian pokoknya.

b. Akta Kompromis adalah merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah


terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang
telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan.
Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk tertulis yang harus ditanda tangani
oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris.

Masing-masing klausula tersebut, baik Pactum de Compromitendo


maupun Akta Kompromis, masing-masing mempunyai keuntungan dan
kelemahan.

12
Pactum de compromitendo, seperti yang telah dikemukakan, dibuat
bersamaan dengan perjanjian pokoknya. Oleh karenanya untuk bersepakat
menyerahkan permasalahan sengketa pada arbitrase lebih mudah. Adapun
kelemahan dari klausula ini terletak pada tidak diketahuinya dengan pasti pokok
sengketa apa yang akan terjadi sehingga sulit untuk menunjuk arbiter yang sesuai
keahliannya dengan pokok yang disengketakan.

Akta kompromis karena dibuat setelah terjadinya sengketa yang


menyangkut pelaksanaan perjanjian, maka sudah dapat ditentukan permasalahan
yang harus atan akan diselesaikan melalui arbitrase. Juga dengan akta kompromis
ini sudah bisa ditentukan arbiter-arbiter yang akan dipilih. Namun, kelemahan dari
akta kompromis karena sengketa telah terjadi, maka para pihak telah dapat
mengetahui posisi masing-masing dalam sengketa tersebut atau dengan kata lain
akan sulit diperoleh persetujuan di antara kedua-belah pihak untuk menyelesaikan
kasus mereka melalui arbitrase. Malah bisa jadi akan diajukan ke Pengadilan
karena para pihak atau salah satu pihak telah mengetahui dan merasa bahwa
dengan membawa perselisihan tersebut ke Pengadilan akan lebih menguntungkan
bagi mereka.

6. Prosedur Arbitrase
Bila telah terjadi perselisihan yang penyelesaiannya disepakati untuk diselesaikan
melalui arbitrase, maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.

a. Permohonan Arbitrase

Dalam tahap pertama berarbitrase harus dimulai dengan mengajukan permohonan


arbitrase. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan: salinan naskah atau akta
perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada
arbiter/majelis arbitrase (Akta Kompromis), atau perjanjian yang memuat klasula,
bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh
arbiter/majelis arbitrase (Pactum de Compromitendo).

Dalam surat permohonan paling tidak harus memuat: (Pasal 38 UU No. 39 Tahun
1999)
1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak,
2) uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti: dan
3) isi tuntutan yang jelas.

Apabila surat permohonan diajukan oleh seorang juru kuasa (Penerima Kuasa),
maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus
dilampirkan pula. Dalam surat permohonan tersebut pemohon dapat menunjuk

13
(memilih) seorang arbiter, atau menyerahkan penunjukan arbiter itu kepada
lembaga arbitrase yang dipilih.

b. Para Pihak Tidak Menunjuk Arbiter

Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka oleh Ketua
lembaga arbitrase yang dipilih akan menunjuk (membentuk) suatu tim yang terdiri
atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika
sengketa itu dianggapnya sederhana dan mudah, akan ditunjuk seorang arbiter
tunggal untuk memeriksa dan memutusnya.

c. Proses Pemeriksaan dan Tenggang Waktu yang Diperlukan

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu


perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses
pemeriksaan) arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak
bertentangan dengan UU No, 30 Tahun 1990 tersebut. Demikian juga para pihak
bebas menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/
persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbitrase yang akan memutuskan. 

7. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional


Instansi atau perjabat yang berwenang untuk melaksanakan atau
mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis
arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki
kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan
putusan). Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena
majelis tersebut tidak bersifat yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita
yang bertugas melaksanakan eksekusi.
Oleh karena itu, maka dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase
nasional ada beberapa tahap yang akan dilalui, sebagaimana diuraikan berikut:

1. Tahap Pertama Pendaftaran Putusan Arbitrase.


Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999, menentukan, bahwa tahap pertama
yang harus dilaksanakan dalam rangka eksekusi putusan arbitrase
adalah tahap pendaftaran/penyimpanan atau yang disebut dengan
istilah "deponir" pada Pengadilan Negeri dalam wilayah mana putusan
tersebut dikeluarkan. Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling
lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dan
yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah:
a) salah seorang anggota arbiter, atau
b) seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter.

14
Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yang
bersengketa sendiri, bukan arbiter.

2. Tahap Kedua Permohonan Eksekusi.


Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan.
Dengan demikian, tahap kedua adalah mengajukan permohonan eksekusi
yaitu permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan
perintah eksekusi terhadap putusan arbitrase. Perintah eksekusi akan
diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 62 ayat (1)
UU No. 30 Tahun 1999). Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah
eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan arbitrase itu sah atau tidak.

Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila :


a).Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak
untuk diselesaikan melalui arbitrase.
b). Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase
yang menyangkut perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.

15
BAB III

PENUTUPAN

Studi Kasus

Proyek flow meter disetop, Global Haditech resmi gugat


SKK Migas ke arbitrase.
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Satuan Kerja Khusus kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) digugat ke Badan Arbitrase Nasional
Indonesia. Hal itu buntut dari penghentian proyek sistem monitoring produksi
minyak bumi berbasis online real time pada fasilitas produksi migas atau flow
meter.

Penggugat ialah PT Global Haditech sebagai vendor pemenang tender pemasang


alat flow meter tersebut. Gugatan itu diketahui sudah melalui masa sidang
beberapa kali dan yang terakhir sidang berlangsung pada tanggal 20 Mei 2019
kemarin.

Namun Sayang, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu
Prabawa Taher belum bisa menyampaikan hasil dari sidang terakhir itu. Namun
yang pasti, keberlajutan proyek flow meter ini menunggu hasil akhir dari
keputusan arbitrase tersebut. "Ini paralel kita tetap melakukan assesment untuk
persiapan nanti agar proyek bisa kita laksanakan," terangnya saat ditemui di
Kantor Kementerian ESDM, Rabu (12/6).

Ia juga belum mau membeberkan berapa nilai gugatan yang diajukan oleh PT
Global Haditech itu. Tapi kata Wisnu, besarannya nilainya sudah ada dan yang
berhak memberitahu nilai tersebut adalah majelis hakim badan arbitrase. "Ada di
majelis. Karena kewenangan di sana, kita tidak bisa bicara," jelasnya.

Nah, untuk mengetahui apakah adanya kerugian negara dalam proyek flow


meter yang dihentikan ini, kabarnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini akan
turun ke lapangan melihat beberapa proyek yang sudah dilakukan pemasangan.
"Tapi secara nominal tidak ada kerugian," tandasnya.

Asal tahu, proyek flow meter ini adalah salah satu KPI kinerja SKK Migas yang
sudah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 39 Tahun 2016 Tetang
Sistem Monitoring Produksi Minyak Bumi Berbasis Online Real Time pada
Fasilitas Produksi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

16
Deputi Operasi SKK Migas, Fataryani Abdurahman menyampaikan, setelah
penghentian proyek itu, pihaknya akan mengkaji ulang study engineering, supaya
flow meter yang dipasang sesuai dengan peruntukkannya. "Mau ditender lagi.
Supaya terbuka semua," terangnya. Namun proses tender akan dilakukan setelah
arbitrase selesai dilaksanakan dan SKK Migas dinyatakan tidak bersalah atas
penghentian proyek.

Sebagaimana diketahui, alasan SKK Migas menghentikan proyek itu dikarenakan


alat flow meter milik PT Global Haditech tidak akurat dan tidak
memberikan performance yang diharapkan. Kendati sudah menjadi KPI SKK
Migas, Kementerian ESDM meminta supaya proyek flow meter ini bisa selesai di
akhir tahun ini.

Fataryani bilang, pihaknya juga akan kembali melakukan desain ulang,


ditargetkan bisa selesai pada tahun ini. "Jadi meter selectionnya tahun ini. kita
seleksi meter mana yang cocok untuk di mana lokasinya," tandasnya.

Kalaupun proyeknya kembali berjalan, kata Fataryani, tahun ini ditargetkan hanya
akan memasang flow meter pada 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
yang produksinya berkisar 80% dari produksi nasional.

Melalui surat yang diterima KONTAN, lelang proyek flow meter dengan nomor
BAC-148/012A-ULP/2017 itu, tercantum nilai harga perkiraan sendiri mencapai
Rp 59,54 miliar dengan anggaran dari APBN 2017. Dan, pemenang lelang dari
flow meter PT Global Haditech yang menawarkan harga 58,19 miliar.[ CITATION
Azi19 \l 1057 ]

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) mengaku tengah mengkaji sejumlah opsi perihal kasus flow meter.

Kabarnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) disebut mengabulkan


gugatan PT Global Haditech selaku vendor proyek flow meter.  Hal ini membuat
SKK Migas diharuskan membayar ganti rugi mencapai Rp 39 miliar akibat
menghentikan proyek tersebut pada tahun 2017 silam.

Adapun, alasan SKK Migas menghentikan proyek itu lantaran tingkat akurasi dan
kinerja flow meter tidak sesuai harapan. Menanggapi hal tersebut, Wakil Kepala
SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman bilang pihaknya belum menerima informasi
tersebut secara resmi. "Info yang kami terima baru secara lisan," sebut Fatar ke
Kontan.co.id, Rabu (11/9). Sayangnya, Fatar enggan merinci soal detail kabar
tersebut.

Disisi lain, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto yang ditemui di Gedung
Kementerian ESDM mengungkapkan, kini pihaknya tengah mengkaji soal
keputusan tersebut. "Saat ini kita sedang pelajari, apa ada langkah lain yang bisa
dilakukan (langkah hukum)," sebut Dwi, Kamis (12/9).

17
Mengenai ketentuan denda yang harus dibayar, Dwi bilang dirinya belum bisa
memastikan lebih jauh. Yang terang, SKK Migas disebut siap mencari upaya lain
yang mungkin dilakukan. Kendati tersangkut kasus hukum, SKK Migas
berencana terus melanjutkan proyek flow meter.

Dwi menambahkan, pemasangan alat ukur merupakan sesuatu yang dibutuhkan


dengan melalui kajian teknologi yang tepat. "Pengukuran dengan teknologi serta
meminimalisir keterlibatan manusia sangat dibutuhkan dan perlu dilanjutkan,"
jelas Dwi.

Kedepannya Dwi memastikan akan ada tender ulang dalam proyek alat ukur yang
baru. Namun, proyek tersebut dipastikan tidak akan berlangsung pada tahun ini
mengingat sejumlah persiapan yang perlu dilakukan.

"Tahun ini kami perlu merancang pengukuran real time dengan teknologi yang
tepat, harus lanjut tapi tidak ditahun ini, ditahun depan," ugkap Dwi. Nantinya
SKK Migas merencanakan skema pilot project untuk proyek ini. Jika pilot project
berjalan lancar, maka SKK Migas siap memperluas cakupan wilayah pemasangan
alat ukur. Langkah ini dirasa perlu demi meminimalisir kesalahan yang sama pada
tahun 2017 lalu.

Mengutip catatan Kontan.co.id, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar


menegaskan, proyek flow meter harus tetap dilaksanakan sebab merujuk pada
Permen yang masih berlaku.

Adapun permen yang dimaksud yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor


39 Tahun 2016 Tetang Sistem Monitoring Produksi Minyak Bumi Berbasis
Online Real Time pada Fasilitas Produksi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi.

Sementara itu, Fatar sempat mengungkapkan, SKK Migas menargetkan hanya


akan memasang flow meter pada fasilitas milik 12 Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) yang produksinya berkisar 80% dari produksi nasional.

Berdasarkan data yang diterima KONTAN, lelang proyek flow meter bernomor
BAC-148/012A-ULP/2017 itu memperlihatkan nilai harga perkiraan sendiri
(HPS) mencapai Rp 59,54 miliar yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2017. Di lelang itu, Global Haditech menawarkan
harga Rp 58,19 miliar, lebih rendah dari nilai HPS.[ CITATION Azi191 \l 1057 ]

Kesimpulan
Di Indonesia, arbitrase sudah dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

18
Poin penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur
pengadilan menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan
arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan
tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah
arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang
ditangani. Keberadaan lembaga arbitrase ini telah mempunyai landasan yuridis/
dasar hukum yang tetap dalam sistem hukum nasional Indonesia, antara lain pada
pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg, Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata
atau Rv, dimulai dari pasal 615 s/d pasal 651 Rv, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, pada pasal 1338 ayat (1), Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3, UU No. 5 tahun
1968, dan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Perkembangan
sejarah pemberlakuan pranata arbitrase sudah ada sejak zaman Hindia Belanda,
zaman pemerintahan Jepang, dan saat Indonesia Merdeka. Di dalam sistem hukum
Indonesia, ada dua jenis arbitrase yang diakui eksestensi dan kewenangannya
untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang
bersengketa yaitu, Arbitrase Ad Hoc (volunteer) dan Arbitrase Institusional
(permanent). Kedua arbitrase tersebut sama-sama memiliki wewenang untuk
mengadili dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang mengadakan
perjanjian. Adapun perbedaan antara kedua jenis arbitrase tersebut terletak pada
terkoordinasi atau tidak terkoordinasi. Arbitrase ad hoc (arbitrase yang tidak
terkoordinasi oleh suatu lembaga) sedangkan arbitrase institusional (arbitrase
yang dikoordinasi oleh suatu lembaga). Arbitrase institusional yang telah diakui di
Indonesia antara lain : Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Perdagangan
Berjangka Komoditi (BAKTI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas),
dan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI). Adapun
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
hukum acara yang berlaku di pengadilan, di wilayah negara mana permohonan
eksekusi diajukan. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak. Eksekusi putusan arbitrase akan hanya
dilaksanakan jika putusan arbitrase tersebut telah sesuai dengan perjanjian
arbitrase dan memenuhi persyaratan yang ada di UU No. 30 tahun 1999 serta
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Putusan dari arbitrase
juga dapat dibatalkan oleh para pihak yang bersengketa dengan meminta kepada
Pengadilan Negeri baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan, apabila diduga
mengandung unsur-unsur tertentu yang dapat membuat putusan tersebut batal.

19
DAFTAR PUSTAKA

baniarbitration.org. (t.thn.). Tentang BANI. Diambil kembali dari


baniarbitration.org: https://baniarbitration.org/about-bani

cermati.com. (2017, Mei 2). 7 Lembaga Mediasi Ini Siap Membantu


Menyelesaikan Sengketa Keuangan. Diambil kembali dari
https://www.cermati.com/: https://www.cermati.com/artikel/7-lembaga-
mediasi-ini-siap-membantu-menyelesaikan-sengketa-keuangan

Husaini, A. (2019, september 12). Kalah arbitrase dalam kasus flow meter, SKK
Migas wajib bayar Rp 39 miliar. Diambil kembali dari
industri.kontan.co.id: https://industri.kontan.co.id/news/kalah-arbitrase-
dalam-kasus-flow-meter-skk-migas-wajib-bayar-rp-39-miliar

Husaini, A. (2019, juni 12). Proyek flow meter disetop, Global Haditech resmi
gugat SKK Migas ke arbitrase. Diambil kembali dari industri.kontan.co.id:
https://industri.kontan.co.id/news/proyek-flow-meter-disetop-global-
haditech-resmi-gugat-skk-migas-ke-arbitrase

OJK. (t.thn.). Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Diambil kembali dari


ojk.go.id: https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-
konsumen/pages/lembaga-alternatif-penyelesaian-sengketa.aspx

Zaeni Asyhadie, S. M. (2005). Hukum Bisnis. Depok: RajaGrafindo Persada.

20

Anda mungkin juga menyukai