HUKUM BISNIS
“Arbitrase Penyelesaian Sangketa”
Disusun Oleh :
Kelompok 4
PRODI MANAJEMEN B
FAKULTAS EKONOMI
2022
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini. Dalam makalah kami membahas mengenai Arbitrase penyelesaian Sangketa.
Dalam makalah ini, kami menyadari akan banyak bantuan dari berbagai pihak
baiksecara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan yang baik ini kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dalam penyelesaian makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
guna penyempurnaan isi makalah ini kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Dan kami mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak, baik dalam hal pengetahuan maupun terapan.
Penyusun,
Kelompok 4
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal kemerdekaan
Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para usahawan.
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun
bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun
internasional.Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik nasional
maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan sengketa.Beragam sengketa
yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut
sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa
komersial).Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan
bisnis.Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan secara
spesifik.Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari kasus yang ada
berdasarkan kebutuhan kajian ini.Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak ditentukan
berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan
perbedaan subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa
komersial. Pertama, sengketa komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi antara subjek-
subjek atau para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak bisnis satu sama lain, dan
objek sengketanya terletak dalam negeri. Kedua, yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak
atau subjek-subjek asing, baik individu maupun lembaga swasta yang berlainan
kewarganegaraan.Sengketa tersebut terjadi dari kontrak bisnis internasional.
Berdasarkan persektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa
komersial domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek
sengketanya cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri.
Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial tipe yang pertama belum
menjadi bagian dari perilaku para pihak domestik.Sementara itu memilih forum arbitrase
umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menyelesaikan sengketa komersial
internasional.
Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa negara maju
menunjukkan bahwa untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir
2
setiap kontrak bisnis internasional mencantumkan klausula pemilihan forum arbitrase,
bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. Van den Berg secara ekstrim
menyebutkan bahwa “…bevat ongeveer 90% Van de Internationale contracten een arbitraal
beding.” Untuk kasus negara-negara lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti
itu.Namun belum dapat dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh
karena adakalanya juga, kontrak bisnis internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta
asing dengan pengusaha swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase
sebagaimana lazimnya
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka Penulis mengangkat makalah yang sesuai dengan
tugas yang diberikan dengan Judul “ ARBITRASE PENYELESAIAN SENGKETA”
Rumusan Masalah
1. Apa dasar pertimbangan memilih Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa?
2. Apa saja lembaga-lembaga Arbitrase Nasional?
3. Apa saja lembaga Arbitrase Internasional?
4. Apa Dasar Hukum yang mengatur tentang Arbitrase?
5. Apa saja Kelebihan dan Kelemahan lembaga Arbitrase?
Tujuan
1. Untuk mengetaui dasar pertimbangan memilih Arbirase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa.
2. Untuk mengetahui lembaga-lembaga Arbitrase Nasional.
3. Untuk mengetahui lembaga Arbitrase Internasional.
4. Untuk mengetahui dasar Hukum yang mengatur tentang Arbitrase.
5. Untuk mengetahui Kelebihan dan Kelemahan lembaga Arbitrase.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DASAR PERTIMBANGAN MEMILIH ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang makin
lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi Indonesia
sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia
yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat
menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional.Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih
di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia.Oleh karena
arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable,
efektif, dan efisien.
4
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses pemeriksaan
yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku bisnis sejak awal
sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan
diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar hal itu,
maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa bisnis merupakan
kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi
pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal.
Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan
mampu melahirkan keadilan substansial. Adapun faktor yang membedakan adalah,
pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang
bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan
arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif.
Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan
pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya
hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka
diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka
lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan
normatif yang rigid.
5
laut, konsesi,perusahaan joint venture, dll.Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata
tata cara penyelesaiancara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang
sengketatentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan
penggunaanruang angkasa komersial, bahkan ada yang mengendaki agar ditetapkan
jugadalam pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.Pada dasarnya yang menjadi
kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapatdi Ps. 615 – 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglemen op de Rechtsvordering,Staatsblad 1847:52) dan Ps. 377 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui ( HetHerziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan pasal 705
ReglemenAcara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten,Staatsblad 1927:227), dan juga KUHA Perdata.
6
5) Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naikbanding atau
kasasi)
6) Proses arbitrase lebi mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
7) Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks.
7
Oleh karena sangat pentingnya keberadaan lembaga arbitrase ini, maka hampir setiap
negara mendirikannya untuk keperluan para pebisnis.Apalagi di masa globalisasi ini,
frekuensi bisnis sangat padat dan hampir tanpa ada pemisah antarnegara. Dengan
demikian, di kemudian hari pasti akan timbul permasalahan bisnis antara pihak.
Penyelesaian perkara melalui badan arbitrase dianggap lebih murah, cepat dan dapat
menjaga kredibilitas perusahaan.Itulah alasannya, mengapa di setiap negara didirikan
badan arbitrase dan keberadaannya sangat dibutuhkan.
Dewasa ini, di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan
ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan
telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain
karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-lose solution, dan
tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.
Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain
arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain
sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase
tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang
melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan
arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar
negeri.
Berdasarkan sejarah, perkembangan dan tujuan dari Badan Arbitrase Nasional
indonesia (BANI) itu sendiri maka dapat di definisikan bahwasannya Badan Arbitrase
Nasional Indonesia adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang
berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Yang dimana terbentuk nya Badan Arbitrase Nasional
Indonesia ini hanya lah semata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa atau beda
pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui
arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di
bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan
8
intelektual, lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran / maritim, lingkungan hidup,
penginderaan jarak jauh, dan lain-lain.
Disamping itu perlu dipertegas bahwasanya setiap putusan arbitrase terhadap
penyelesaian sengketa atau beda pendapat pada prinsipnya bersifat final dan mengikat,
tidak ada banding ataupun kasasi. Pengaturan putusan arbitrase yang bersifat final dan
mengikat dapat dilihat pada pasal 60, UU No. 30 tahun 1999. Yaitu jelas dikatakan di
dalam pasal 60 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.
Mengenai arbitrase pula, maka tidak jarang pula kita jumpai istilah choice of
forum dan choice of law.Maka perlulah diketahui perbedaan antara kedua istilah ini.
Menurut Dr. Eman Suparman, choice of forum adalah pemilihan yang dilakukan terhadap
instansi peradilan atau instansi lain yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang
akan menangani sengketa mereka jika terjadi di kemudian hari. Jadi, choice of forum
hanya merupakan pilihan mengenai di lembaga mana penyelesaian sengketa akan
dilakukan. Sedangkan, untuk choice of law adalah mengenai hukum apa yang akan
dipakai untuk mengadili sengketa tersebut. Jadi, ketika terjadinya persengketaan diantara
para pihak, maka bisa saja memilih choice of forum di Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) tetapi menggunakan rules dari Singapore International Arbitration
Center (SIAC) atau memilih choice of forum di Singapore International Arbitration
Center (SIAC), tetapi menggunakan rules dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI). Dasarnya adalah kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
Berdasarkan dukungan Bapepam-LK dan beberapa perusahaan seperti PT Bursa Efek
Jakarta (BEI), PT Bursa Efek Surabaya (BES), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI), dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) serta 17 asosiasi di lingkungan
pasar modal Indonesia membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan sebuah lembaga
Arbitrase yang kemudian diberi nama Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
(BAPMI).Tujuan didirikannya lembaga ini tidak terlepas dari keinginan pelaku pasar
modal Indonesia untuk mempunyai sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan khusu di bidang pasar modal yang ditangani oleh orang-orang yang
9
memahami pasar modal, dengan proses cepat dan murah, keputusan yang final dan
mengikat, serta memenuhi rasa keadilan. BAPMI menawarkan tiga jenis penyelesian
sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak, yaitu: Pendapat Mengikat, Mediasi, dan
Arbitrase.
3. Badan Arbitase Komoditi Berjangka Indonesia
Pada tanggal 7 November 2008, PT Bursa Berjangka Jakarta (BBI), PT Kliring
Berjangka Indonesia/ persero (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan
Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI), dengan difasilitasi dan
didukung penuh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI),
menandatangani akta pendirian Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi
(BAKTI) yang bertempat di Auditorium Utama Departemen Perdagangan dengan
disaksikan oleh Menteri Perdagangan. Tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu sebagai
salah satu bentuk perlindungan hukum kepada masyarakat dan pelaku pasar perdagangan
berjangka komoditi melalui penyediaan sarana penyelesaian sengketa yang adil, lebih
sederhana dan lebih cepat daripada pengadilan.BAKTI merupakan badan independen dan
mandiri yang memfasilitasi penyelesaian sengketa perdata di bidang Perdagangan
Komoditi Berjangka.
4. Badan Arbitrase Syariah Nasioanal (BASYARNAS)
Lembaga ini diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1993 dengan namanya Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).Peresmian ini ditandai dengan penandatanganan
akta notars Yudo Paripurno, SH oleh Dewan Pimpinan MUI Pusat yang diwakili KH
Hasan Basri dan HS Prodjokusumo (Ketua dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan
MUI). Sebagai saksi ikut menandatangani akta notaris antara lain : HM Sedjono (Ketua
MUI) dan H. Zainulbahar Noor, SE (Direktur utama Bank Muamalat Indonesia). Pada
tanggal 24 Desember 2003, atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk menyelesaikan perselisihan atau
sengketa perdata dengan prinsip yang mengutamakan usaha perdamaian, menyelesaikan
sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan syariat Islam sebagai dasarnya, serta
10
memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah yang
timbul dalam bidang perdagangan, industry, jasa, dan lain-lain.
5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual
Pada tanggl 19 April 2012, dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak
Kekayaan Intelektual (BAM HKI) yang berkedudukan di Jakarta. Lembaga ini
memberikan jasa penyelesaian sengketa yang bersifat adjudikatif, yakni arbitrase dan
yang non-adjudikatif termasuk mediasi, negosiasi, dan konsiliasi untuk sengketa yang
timbul dari transaksi-transaksi komersial atau hubungan yang melibatkan bidang HKI.13
BAM HKI merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang sifatnya membantu
penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Bidang-bidang yang dapat ditangani oleh BAM HKI antara lain Paten, Merek,
Indikasi Goegrafis, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Rahasia Dagang, Varietas Tanaman, serta bidang lainnya yang terkait dengan HKI.
ICSID (International Center for the Settlment of Investment Disputers) adalah badan
yang dilahirkan Bank Dunia.Konvensi yang mendirikan badan ini, yaitu konvensi ICSID
atau kadang-kadang disebut Konvensi Washington atau Konvensi Bank Dunia,
ditandatangani di Washington DC 18 Maret 1965.Badan arbitrase ICSID berkedudukan
di Washington dan berafiliasi dengan Bank Dunia. Konvensi mulai berlaku pada 14
Oktober 1966, sebelum setelah 20 negara meratifikasinya
Tindakan ini sangat mengejutkan pihak asing karena dengan adanya UU tersebut
berati tanah milik orang asing (Prancis) berikut kekayaan yang terkadung di dalamnmya
11
seluas 1 juta hektar ternasionalisasi.Dalam suatu pernyataanya, Presiden Tunisia Habib
Bourgouiba menyatakan bahwa selama ini Tunisia telah cukup menderita di bawah
ekspoiltasi Prancis selama 83 tahun.Beliau juga menolak perjanjian yang diadakan
sebelumnya antara Tunisia dan Prancis bahwa negerinya dapat membeli hak milik asing
(Prancis) yang masih ada berbasarkan ketentuan-ketentuan hukum kolonial.
Presiden Prancis Jenderal Charles de Gaulle, pada waktu itu, berekasi keras
terhadap tindakan pemerintah bekas jajahannya. Beliau menyatakan tindakan tersebut
sebagai tindakan brutal dan serta merta membatalkan semua rencana bantuan keuangan
(ekonomi) negarannya kepada Tunisia.Hubungan kedua negara pada waktu itu praktis
sangat tegas dan panas.Kasus ini mengejutkan masyarakat intenasional yang merasa
khawatir hubungan kedua negara dapat menjurus kearah tujuan perang terbuka yang
sudah barang tentu dapat merunggut banyak korban jiwa.
Pada waktu itu reaksi dari pemilik tanah dan investor Prancis yang tanah atau
perusahaanya dinasionalisasi, adalah mengajukan masalah ini kepada lembaga
internasional, antara lain Bank Dunia. Namun, upaya tersebut tidak membawa hasil yang
berarti karena lembaga-lembaga itu memang tidak memiliki wewenang sama sekali
dalam menangani kasus-kasus seperti nasionalisasi. Beberapa waktu kemudian, setelah
kasus tersebut mereda, Bank Dunia lalu memprakasi pembentukan suatu badan arbitrase
internasional yang akan mengenai sengketa-sengketa penanaman modal antara investor
asing dengan negara tuan rumah. Upaya ini membawa hasilnya yaitu dengan
ditandatanginya the Convention the Settlement of Investment Disputes between States
and Nationals of Other States.
Tujuan ICSID
Tujuan pertama konvensi ini terefleksi dari perannan ICSID.Wewenang badan ini
khusus dan terbatas pada sengketa modal saja yang dalah satu pihaknya adalah negara
penerima modal dengan penanam modal yang negaranya adalah juga konvensi ICSID.
Shihata, mantan sekjen ICSID, mengungkapkan dua tujuan dibentukan ICSID, yaitu:
12
1. Memberikan forum penyelesaian sengketa yang sifatnya menjembatani
kepentingan dan keinginan para pihak yang bersengketa, yaitu negara
penerima modal dan investor.
2. Mencegah politisasi penyelesaian sengketa internasional di bidang
penanaman modal.
Tujuan pertama tercermin dari komposisi badan kelengkapan ICSID yaitu the
Administrative Council (Council).Council terdiri dari satu orang perwakilan dari setiap
negara anggota konvensi.Setiap perwakilan memliki satu hak suara. Dengan adanya hak
suara yang sama diantara sesama negara anggota, konvensi ICSID member jaminan suara
yang sama di antara negara-negara anggotanya.
Shinata mengungkapkan bahwa tujuan kedua ICSID sebenarnya adalah yang utama dan
terpenting, ICSID berupaya memberikan suatu iklim investasi yang sehat yang
menimbulkan kepercayaan di antara negara penerima modal dengan investor.Dengan
adanya iklim investasi yang sehat ini memungkinkan peningkatan investasi dari negara
maju ke negara berkembang. Manakala suatu sengketa, the center akan membentuk suatu
panel arbitrase atau konsiliasi untuk menanganinya. Selanjutnya, perananan the center
hanyalah mengawasi jalannya persidangan dan memberikan aturan-aturan hukum
acaranya.
Pada masa awal pertumbuhan ternyata konvensi ini, meski telah diratifikasi
banyak negara, kurang mendapat sambutan.Sejak Konvensi berlaku tahun 1966. ICSID
praktis sama sekali tidak ada sengketa. Baru pada bulan Desember1970 yang berarti 4
tahun kemudian-suatu jangka waktu yang relative cukup lama untuk menanti suatu
sengketa penanaman modal muncul, badan arbitrase menangani kasus pertamnya.Pada
perkembangan selanjutnya, terutama hingga 1981, baru 9 kasus yang dipercayakan
kepada badan arbitase ICSID untuk diselesaikan.Pada tahun 1981-1982, kasus yang
masuk meningkat tajam.Ada 13 kasus, sepuluh kasus berkenenaan dengan arbitrase, 2
konsilidasari dan 10 menyangkut pembatasan keputusan.
13
Alasan kurangnya sosialisasi dan pemahaman arbitrase ICSID terungkap dari hasil
seminar arbitrase internasional di Roma pada tahun 1982.Para peserta di seminar ini
sepakat bahwa badan arbitrase ini diabaikan dan banyak penanaman modal yang ridak
sadar arau tahu keberadaan badan arbitrase ICSID. Sehingga manakala suatu ketika
mereka menghadapi masalah atau sengketa yang mereka rekomendasikan adalah badan
arbitrase lain khususnya badan arbitrase menurut ICC (Internasional Chamber of
Commerce)
Karena itu pula segala sengketa yang timbul dari penanaman modal harus pula
diselesaikan oleh pengadilan nasionalnya dan hukum dari negara penerima penanaman
modal.penyelesaian di luar pengadilan nasional atau bukan hukum nasional-nya
merupakan pengingkaran terhadap kedaulatan negara. Sewaktu Dewan Gubernur Bank
Dunia menyerukan Executive Director Bank Dunia untuk mengesahkan rancangan
Konvensi ICSID yang telah dilaksanakan sejak tahun 1961, reaksi negative muncul dari
negara berkembang khususnya negara-negara Amerika Latin.Negara-negara ini dengan
tegas menolak upaya atau cita-cita adanya badan arbitrase internasional.
Dewasa ini peran badan arbitrse ICSID ini semakin meningkat.Hal ini tampak pada
peningkatan jumlah kasus yang didaftarkan di Sekretariat ICSID.Berdasarkan hasil
pengamatan UNCTAD, dewasa ini kasus yang terdaftar sekitar satu kasus per
bulan.Hingga awal 2009, sebanyak 156 sengketa telah diputus, dan 125 sengeta yang
masih dalam protes. Perkembangan peningkatan jumlah kasus yang terdaftar di ICSID ini
dapat dijelaskan karena adanya beberapa alasan berikut:
14
dalamnya. Kebijakan hukum seperti ini dilakukan antara lain oleh Afghanistan,
Kongo, Tunisia dan Niger.
2. Adanya perjanjian bilateral penanaman modal (BIT) yang menyisipkan klasula
arbitrase yang menunjuk badan arbitrase ICSID untuk menyelesaikan sengketa.
Obadia menambahkan bahwa di samping BIT, perjanjian sejenis yaitu perjanjian
peningkatan dan perlindungan penanaman modal, juga telah memacu penggunaan
arbitrase ICSID sebagai forum penyelesaian sengketa penanaman modal. sebagai
contoh Indonesia pernah menadatangi perjanjian penanaman modal antara RI
dengan Thailand pada tahun 1998. Perjanjian tersebut yaitu Agreement between
the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the
Kingdom of Thailand for the Promotion and Protection of Investment (17 Febuari
1998).
3. Peran yang dimainkan oleh Bank Dunia dalam memberikan bantuan biaya
pembangunan proyek di banyak negara. Peran yang dimainkan yaitu memonitor
atau mengawasi kontrak yang dibuat untuk pelaksaan proyek tersebut. disini Bank
Dunia bisa saja merekomendasikan kepada negara-negara yang bersangkutan
dalam membuat kontrak-kontraknya dan menyarankan penyantuman klasul
arbitase ICSID.
B. INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC)
15
Sekretariat internasional organisasi dibentuk di Paris dan International Court of
Arbitration ICC didirikan tahun 1923.Presiden pertama ICC adalah Etienne Clémentel.
Bulan Desember 2004 Dewan Dunia memilih Yong Sung Park sebagai Pimpinan ICC,
Marcus Wallenberg sebagai Wakil Pimpinan dan Jean-Rene Fourtou sebagai Pimpinan
Kehormatan. Bulan Juni 2005, Guy Sebban terpilih menjadi Sekretariat Internasional
oleh Dewan Dunia.
Meskipun ICC bermarkas di Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam
menerapkan hukum bagi para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.Kasus yang
diserahkan melalui ICC akan di”adili” oleh arbitrator dengan mendasarkan pada
persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang
bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang berkembangan dalam
penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain sebagainya maka ICC
memiliki kewenangan untuk menetapkannya.
Dalam konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat
persetujuan dari ICC (international court of arbitration) yang memiliki kewenangan untuk
membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan oleh kedua belah pihak
secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan arbitrase akan mensyaratkan
pembayaran administrasi dan biaya arbitrator. Perhitungan biaya (cost) didasarkan pada
jumlah biaya yang telah ditentukan oleh ICC dan jumlah biaya yang disengketakan.
Sekretariat mensyaratkan pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai
pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi pembiayaan, cost yang dikeluarkan sangatlah
besar.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut serta dalam berkembangnya
ICC.ICC Indonesia merupakan sebuah komite nasional perpanjangan tangan dari ICC
dan KADIN Indonesia.ICC Indonesia memiliki visi untuk meningkatkan perdagangan
internasional dengan para pembeli dari luar negeri.
LCIA adalah salah satu lembaga internasional terkemuka dunia untuk penyelesaian
sengketa komersial. LCIA menyediakan administrasi arbitrase yang efisien, fleksibel dan
tidak memihak serta proses ADR lainnya, terlepas dari lokasi, dan berdasarkan sistem
hukum apa pun. Sifat internasional dari layanan LCIA tercermin dalam fakta bahwa,
biasanya, lebih dari 80% pihak dalam kasus LCIA yang tertunda bukan berkebangsaan
Inggris.
LCIA memiliki akses ke arbitrator, mediator, dan pakar yang paling terkemuka
dan berpengalaman dari banyak yurisdiksi, dan dengan jangkauan keahlian terluas.
Layanan penyelesaian sengketa LCIA tersedia untuk semua pihak yang berkontrak, tanpa
persyaratan keanggotaan. Untuk memastikan layanan yang hemat biaya, biaya
16
administrasi LCIA, dan biaya yang dikenakan oleh pengadilan yang ditunjuknya, tidak
didasarkan pada jumlah yang dipermasalahkan. Biaya pendaftaran dibayarkan dengan
Permintaan Arbitrase dan, selanjutnya, tarif per jam diterapkan oleh arbiter dan oleh
LCIA.
LCIA adalah lembaga yang berbasis di London , Inggris Raya yang menyediakan
layanan arbitrase internasional .Markas administrasi LCIA berada di London.LCIA
adalah lembaga internasional, yang menyediakan forum untuk proses penyelesaian
sengketa untuk semua pihak, terlepas dari lokasi atau sistem hukum mereka.Meskipun
arbitrase dan sementara pengadilan arbitrase formal adalah fokus utama lembaga, LCIA
juga aktif dalam mediasi , suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif (ADR).Pada
tanggal 5 April 1883, Pengadilan Umum Dewan Kota London membentuk komite untuk
menyusun proposal untuk pembentukan pengadilan untuk arbitrase domestik dan,
khususnya, sengketa komersial trans-nasional yang timbul dalam lingkup kota.
Kamar itu secara resmi dilantik pada 23 November 1892, di hadapan pertemuan
besar dan terhormat, yang termasuk Presiden Dewan Perdagangan saat itu.Minat yang
cukup besar juga ditunjukkan oleh pers dan kalangan komersial yang legal.Pada bulan
April 1903, pengadilan diubah namanya menjadi Pengadilan Arbitrase London dan, dua
tahun kemudian, Pengadilan pindah dari Guildhall ke lokasi terdekat Kamar Dagang
London. Struktur administrasi Pengadilan sebagian besar tetap tidak berubah selama
tujuh puluh tahun ke depan. Pada tahun 1975, Institut Arbiter (kemudian Chartered
Institute) bergabung dengan dua badan administrasi lainnya dan komite arbitrase
sebelumnya menjadi Komite Manajemen Bersama, berkurang dari semula dua puluh
empat anggota menjadi delapan belas, enam perwakilan dari masing-masing tiga
organisasi . Direktur Institut Arbiter menjadi Panitera Pengadilan Arbitrase London. Pada
tahun 1981, nama Pengadilan diubah menjadi Pengadilan Arbitrase Internasional London
, untuk mencerminkan sifat pekerjaannya, yang pada waktu itu, sebagian besar
internasional.
17
LCIA tetap menjadi salah satu lembaga arbitrase internasional permanen yang lebih besar
saat ini.Ini mengumumkan aturan dan prosedurnya sendiri, yang sering diadopsi dalam
arbitrase ad hoc bahkan di mana LCIA sendiri tidak terlibat.LCIA dibentuk sebagai
perusahaan nirlaba yang dibatasi oleh jaminan . Dewan Direksi LCIA (sebagian besar
terdiri dari praktisi arbitrase terkemuka yang berbasis di London) prihatin dengan operasi
dan pengembangan bisnis LCIA dan dengan kepatuhannya pada hukum perusahaan yang
berlaku.Dewan tidak memiliki peran aktif dalam administrasi prosedur penyelesaian
perselisihan, meskipun Dewan memiliki kepentingan yang layak dalam pelaksanaan
fungsi administrasi LCIA.Pengadilan LCIA adalah otoritas terakhir untuk penerapan
Aturan LCIA yang tepat.Fungsi utamanya adalah menunjuk pengadilan, menentukan
tantangan bagi arbiter, dan mengendalikan biaya.Meskipun Pengadilan LCIA bertemu
secara teratur dalam sesi pleno, sebagian besar fungsi yang harus dilakukan olehnya
berdasarkan aturan dan prosedur LCIA dilakukan, atas namanya, oleh Presiden, oleh
Wakil Presiden atau oleh Divisi Pengadilan. Pengadilan terdiri dari tiga puluh lima
anggota, yang dipilih untuk memberikan dan menjaga keseimbangan para praktisi
terkemuka dalam arbitrase komersial, dari area perdagangan utama dunia, dan yang tidak
lebih dari enam mungkin berkebangsaan Inggris. Di antara pihak-pihak lain, Perjanjian
Kayu Softwood 2006 antara Amerika Serikat dan Kanada membentuk mekanisme
penyelesaian sengketa berbasis di sekitar LCIA untuk masalah perdagangan internasional
kedua pihak mengenai kayu lunak.
Aturan arbitrase LCIA berlaku secara universal, sesuai untuk semua jenis
perselisihan yang dapat arbitrasi. Mereka menawarkan kombinasi fitur terbaik dari sistem
hukum perdata dan common law, termasuk khususnya:
1) Fleksibilitas maksimum bagi para pihak dan pengadilan untuk menyetujui hal-
hal prosedural.
2) Kecepatan dan efisiensi dalam penunjukan arbiter, termasuk prosedur yang
dipercepat.
3) Cara mengurangi penundaan dan menangkal taktik menunda.
4) Ketentuan arbitrator darurat.
5) Kekuatan pengadilan untuk memutuskan yurisdiksi mereka sendiri.
6) Berbagai langkah sementara dan konservatif.
7) Kekuatan pengadilan untuk memerintahkan keamanan untuk klaim dan biaya.
8) Kekuatan khusus untuk bergabung dengan pihak ketiga dan konsolidasi.
9) Pengabaian hak banding.
10) Biaya dihitung tanpa memperhatikan jumlah yang disengketakan.
11) Setoran bertahap - para pihak tidak diharuskan untuk membayar seluruh
arbitrase di muka.
18
2.4 DASA HUKUM YANG MENGATUR TENTANG ARBITRASE
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam Pasal 58
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan, upaya
penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya
legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari
pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa atas dasar kata sepakat.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
19
Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah
Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus
1981. Ketentuan ini bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and the
Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New York
1958, ke dalam tata hukum di Indonesia.
5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990, yang
bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 1990
tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana
diatur dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui dan Reglement op de
Rechtsvordering (Rv) tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase asing.
6. UNCITRAL Arbitration Rules
Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam sistem hukum
nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai
Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by
the General Assembly in 15 December 1976). Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL
adalah untuk mengglobalisasikan dan menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara
arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagangan
internasional.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut terdapat juga kelemahan dari arbitrase yaitu sebagai
berikut :
1) Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
2) pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, perlu perintah
pengadilan untuk melaksanakan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3) Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih
menjadi hal sulit.
4) Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahan-
perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase, mudah.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang makin lama
makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan salah satu
model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa
komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses pemeriksaan
yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku bisnis sejak awal
sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan
diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
a. Lembaga Arbitrase Nasional :
1. BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
2. BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA
3. BADAN ARBITRASE KOMODITI BERJANGKA INDONESIA
4. BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)
5. BADAN ARBITRASE DAN MEDIASI HAK KEAKAYAAN INTELEKTUAL
b. Lembaga Arbitrase Internasional
1. INTERNATIONAL CENTER FOR THE SETTLMENT OF INVESTMENT
DISPUTERS (ICSID).
2. INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC).
3. LONDON COURT OF INTERNATIONAL ARBITRATION( LCIA )
c. Dasar Hukum Abitrase
1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal.
4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
PelaksanaanPutusan Arbitrase Asing.
6. UNCITRAL Arbitration Rules
22
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/igodigital/59912368e995f0090f34d1a2/inilah-lembaga-arbitrase
yang-berwenang-dalam-menyelesaikan-sengketa(diakses pada Rabu, 02 november 2022, jam
21.00 ).
https://rindaamalia.wordpress.com/2013/07/21/icsid-international-center-for-the-settlment-of
investment-disputers/. (diakses pada Rabu, 02 November 2022, jam 22.00 ).
https://www.academia.edu/17539075/Penyelesaian_Sengketa_Bisnis?swp=rr-rw-wc-5435064.
(diakses pada Rabu, 02 November 2022, jam 22.30).
https://www.academia.edu/38241640/PERJANJIAN_ARBITRASE_SEBAGAI_DASAR_SUAT
U_PROSES_PENYELESAIAN_SENGKETA_BISNIS_.docx?swp=rr-rw-wc-24048350.
(daikses pada Kamis , 03 November 2022, jam 10.00).
Antasari, Ritna. 2018. Hukum Bisnis. Malang : Setara Pers.
Melo, I.J. 2019. Buku Ajar Hukum Dagang. Tandono : Universitas Negeri Manado.
Atmadjaja, Djoko Hukum Dagang Indonesia, sejarah, Prinsip hukum dagang indonesia. Malang
: Setara Press.
23