Anda di halaman 1dari 15

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM ARBITRASE

Dosen Pengampuh : Moh. Ramdan Suyitno, M.H.

Disusun Oleh :

Siti Nurkhaliza G. Daud: 202042027

Fitrianingsih Marzuki: 202042029

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanau Wata’ala yang
telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Judul Makalah yang penulis ambil
adalah “Penyelesaian Sengketa Dalam Arbitrase”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Hukum Perbankan


Syariah yang diajar oleh Bapak Moh. Ramdan Suyitno, M.H. Makalah ini kami
susun dengan sungguh-sungguh. Banyak rintangan yang kami lewati, baik itu
yang datang dari diri kami sendiri maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.

Gorontalo, Desember 2022

KELOMPOK 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 3

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4

A. Pengertian Arbitrase .............................................................................. 4

B. Klausa Arbitrase .................................................................................... 6

C. Keuntungan dan Kelemahan Arbitrase ................................................... 6

D. Mekanisme Pembatalan Putusan Arbitrase ............................................. 8

E. Pengajuan Permohonan Arbitrase .......................................................... 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 11

2.1 Kesimpulan .............................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arbitrase sebagai bentuk alternative dari penyelesaian sengketa yang tidak
membutuhkan proses peradilan. Abritrase merupakan proses yang digunakan
sebagai bentuk persetujuan antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan
sengketa. Keputusan oleh arbitrase bersifat mengikat, baik oleh seseorang atau
sebuah badan, bukan oleh badan pengadilan nasional yang memiliki yurisdiksi,
tetapi tidak digunakan oleh kedua belah pihak. Proses arbitrase dilakukan sesuai
asas konsensual, yang hanya bisa berlaku apabila kedua belah pihak mencapai
kesepakatan. Arbitrase bersama mediasi dan minitrial dikalisifikasikansebagai
APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) yang menyelesaikan sengketa dengan
bantuan pihak ketiga, dalam arbitrase disebut sebagai arbiter, yang tidak
bersengketa, untuk menentukan dan menetapkan perseilisihan sebagaimana
penilaiannya, bagaimanapun arbiter merupakan ahli di bidang hukum dan
mengerti konsekuensinya.
Arbitrase lahir dari baik pengadilan internasional dan nasional yang dibentuk
sebagai alternatif sistem pengadilan kerajaan pada Abad Pertengahan. Pengadilan-
pengadilan ini dibentuk sebagai tanggapan terhadap permintaan para pedagang
untuk sistem alternatif pengganti untuk menyelesaikan kasus-kasus dagangkarena
sistem pengadilan kerajaan dianggap lambat dan tidak cocok untuk perselisihan
perdagangan dan tidak dapat diakses oleh pihak-pihak yang bukan penduduk di
Inggris. Ciri utama dari pengadilan ini adalah bahwa formalitas yang ketat harus
dibebaskan atau dikesampingkan dalam kasus-kasus komersial agar hukum dapat
diatur dengan cepat. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase lebih disukai oleh
para pedagang dan pengusaha karena lebih cepat, lebih efisien, dan lebih dapat
diandalkan dibandingkan pengadilan.
Arbitrase, baik secara nasional maupun internasional memiliki peran dan
fungsi yang makin lama makin penting dalam kerangka prosespenyelesaian
sengketa. Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah

1
memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase
sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-
sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase
merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilihdi antara
berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Olehkarena
arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Fenomena itu telah berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai
lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang
mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha,
termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak
dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui
pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga
peradilan adalah cara pandang hakim mengedepankan metod pertentangan
(adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan
hasil akhir yang kuat yang menang. Sedangkan arbitrase mengutamakan itikad
baik, persetujuan kedua belah pihak, dan win-win solution,dan non-konfrontatif.
Pengusaha-pengusaha sering memakai Arbitrase karena memiliki
keunggulan-keunggulan yang tidak didapatkan di pengadilan. Arbitrase sangat
mengerti kebutuhan bisnis yakni kecepatan dalam proses penyelesaian, sifat
kerahasiaan, dan biaya yang lebih murah apabila pihak yang kalah di pengadilan
mengajukan banding yang tidak senang dengan putusan dan biaya yang keluar
akan lebih banyak.
Maka oleh sebab itu, Arbitrase mulai diperhatikan sehingga UU No 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai kebutuhan
para pengusaha dalam menyelesaikan sengketanya. Pemilihan cara penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak akan
menimbulkan kewenangan mutlak bagi lembaga yang telah dipilih tersebut. Ini
berarti bahwa apabila para pihak telah memilih cara penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri secara mutlak tidak berwenang untuk
mengadili sengketa tersebut. Hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

2
Sengketa yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para 2pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 11 juga menjelaskan bahwa adanya suatu klausul tentang perjanjian
arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan arbitrase?
2. Apa saja klausa arbitrase?
3. Apa saja keuntungan dan kelemahan arbitrase?
4. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase?
5. Bagaimana pengajuan permohonan arbitrase?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan arbitrase
2. Mampu mengetahui apa saja klausa arbitrase
3. Mampu mengetahui apa saja keuntungan dan kelemahan arbitrase
4. Mampu mengetahui bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase
5. Mampu mengetahui bagaimana pengajuan permohonan arbitrase

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase
Lembaga Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar
pengadilan, yang juga basa disebut sebagai “pengadilan wasit” sehingga para
arbiter dalam peradilan arbitrase befungsi layaknya wasit dalam suatu
pertandingan.
Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun
internasional) sebagai suatu cara perdamaian memecahkan ketidak sefahaman
fihak-fihak dibidang kegiata komersial. Bidang komersial tersebut meliputi:
transaksi untuk ekspor-oimpor makanan, perjanjian distribusi, perbankan,
asuransi, pengangkutan penumpang, pesawat udara, kapal laut, konsesi,
perusahaan joint venture, dll.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian cara
damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa
tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan
ruang angkasa komersial, bahkan ada yang mengendaki agar ditetapkan juga
dalam pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
Pada dasarnya yang menjadi kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapat di Ps.
615 – 651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Ps. 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227), dan juga KUHA Perdata.
Sebenarnya selain arbitrase ada 4 yaitu:
1. Mediasi/Negosiasi
2. Badan Pemutus Administrasi
3. Ombudsman
4. Internal Tribunal
Tetapi arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang
paling popular dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi

4
penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal tersebut disebabkan banyaknya 1
kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini. Kelebihan-kelebihan itu adalah
sebagai berikut :
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administrative.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan arboiter merupakan putusan yang mengikat par pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
6. Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding
atau kasasi).
7. Proses arbitrase lebi mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
8. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa diluar pengadilan
umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi
tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Selain itu disamping yang bersifat nasional institusi ini juga ada yang bersifat
internasional, jumlahnya banyak dan terdapat di setiap negara, diantaranya badan
arbitrase tertua di dunia ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua didunia.2

1
Mochammad Tanzil Multazam, “Arbitrase Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Indonesia”, (http://eprints.umsida.ac.id/712/1/Makalah%20Arbitrase.pdf, 22 Desember, 2022).
2
Ibid.

5
B. Klausa Arbitrase
Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula
arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc,
ataupun lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Ada 2 (dua) macam klausula arbitrase sehingga suatu sengketa perdata dapat
diselesaikan melalui peradilan arbitrase yaitu:

1. Dengan dicantumkan klausul dalam perjanjian pokok, yang berisi bahwa


penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pada perjanjian itu akan
diselesaikan denga peradilan arbitrase (Ps. 1 ayat1,3 UU Arbitrase) atau
biasa juga disebut dengan “Pactum decompromittendo”.
2. Dengan suatu perjanjia tesendiri, diluar perjanjian pokok. Perjanijan itu
dibuat secara khusus bila setelah timbul sengketa dalam melaksanakan
perjajian pokok. Suratperjajian semacam ini disebut “akta compromis”
(Ps. 2 UU Arbitrase).

Dengan adanya klausula tersebut maka akan meniadakan hak para phak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri
wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaia sengketa yang telah
ditetepkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan UU no.30 tahun 1999. 3

C. Keuntungan dan Kelemahan Arbitrase


Dapat ditilik dari pasal 77 UU No 33 Tahun 1999, pada umumnya lembaga
arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum,
yaitu sebagai berikut:

1. Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan


sengketa para pihak terjamin. 4
2. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif dapat
dihindari.

3
Ibid.
4
Mikhail Kartuzov,”Advantages and Disadvantages of International Commercial Arbitration in
Comparison to Litigation and Other Means of Dispute Resolution” National University “Odesa
Law Academy”

6
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengalaman, kebijaksanaan, pengetahuan,
jujur dan adil, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan.5
4. Sikap arbiter atau majelis arbiter dengan kebijaksanaannya dalam
menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan
win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.6
5. Pilihan umum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat
arbitrase dapat diperjanjikan.
6. Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
7. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena
berakhir atau batalnya perjanjian pokok.
8. Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus
mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Namun, arbitrase juga memiliki beberapa kelemahan seperti:

1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk


memberikan keputusan yang memuaskan untuk melakukan rasa keadilan
para pihak.7
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase,
maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas
putusan arbitrase tersebut.
3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing
masih menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah
perusahaan-perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan

5
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Binacipta, 1981), dalam pengertian arbitrase.
6
Wuraola O. Durosari, “The Role of Arbitration in International Commercial Disputes”, 2014
International Journal of Humanities Social Sciences and education.
7
Lord Hacking,D.(2000). Dispute Resolution in London. The Journal of the Chartered Institute of
Arbitrators, vol66.3.

7
kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan
arbitrase tidaklah mudah.

D. Mekanisme Pembatalan Putusan Arbitrase


Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, para pihak dapat
mengajukan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-
unsur antara lain8:

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan


dijatuhkan, diakui palsu dan/atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis dalam waktu tiga puluh


(30)9hari kepada pengadilan wilayah hukum di mana keputusan arbitrase diambil,
hal ini didasarkan pada syarat putusan arbitrase asing (internasional), yang apabila
permohonan dikabulkan, maka dalam waktu 30 hari ketua pengadilan negeri akan
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase. Untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak lawan, berdasarkan
ketentuan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase dinyatakan bahwa terhadap putusan
pembatalan dari pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Akan tetapi
UU Arbitrase tidak mengatur tentang ketentuan mengenai batas waktu pengajuan
banding dan memori banding, maka hal ini harus didasarkan kepada ketentuan
hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan memori banding
oleh pemohon banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari setelah
permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. Sejak permohonan
banding diterima paling lama tiga puluh hari kemudian sudah harus diputus.
Untuk putusan arbitrase internasional, seperti disebutkan didalam pasal 70, pasal
71, pasal 72 UU Arbitrase, hanya memberi wewenang kepada pengadilan

8
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999.
9
Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999.

8
Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di
Indonesia.Hal ini dapat diartikan bahwa ketentuanketentuan pembatalan tersebut
bukan sebagai dasar bagi pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan
putusan arbitrase internasional.Hal ini terlihat dari penggunaan kata putusan
arbitrase internasional dalam pasal 65 sampai dengan pasal 69 UU Arbitrase yang
dibedakan dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam pasal 70 UU
Arbitrase. Jadi pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase
internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat di dalam negeri hanya
dapat dibatalkan dengan melihat persyaratan limitative dalam pasal 70 UU
Arbitrase.

E. Pengajuan Permohonan Arbitrase


Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan
Arbitrase oleh pemohon pada Sekretariat BANI.

Di dalam permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal


tentang kalusula arbitrase, kedudukan pemohon dikaitkan dengan perjanjian
arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara,
hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam
penyelesaian melalui forum arbitrase.

Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan


para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul
sengketa (Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).10

Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu


memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya sengketa
antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa
melalui BANI.

Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan
sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:
10
Lord Gacking, David (1997) Arbitration Law Reform: The Impact of the UNCITRAL Model
Law on the English Arbitration Act 1996. The Journal of the Chartered Institute of Arbitrators,
Vol. 63,4.

9
1. nama dan alamat para pihak;
2. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
3. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
4. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
6. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya


pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu
dalam register BANI.

Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut untuk


menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah
cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa
tersebut.

10
BAB III
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Sebagai metode yang paling sering digunakan dalam penyelesaian sengketa,
Arbitrase memiliki pelaksanaan yang bersifat final dan binding bahwa, pelaksanaan
putusan Arbitrase dapat dibagi menjadi 2: nasional dan internasional. Pelaksaanan
putusan nasional diatur dalam UU No 30 Tahun 1999 dan dikenal juga sebagai eksekusi.
Konsekuensi suatu putusan arbitrase yang tidak didaftarkan oleh Arbiter yang memeriksa
suatu perkara arbitrase atau kuasanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diputus berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Dengan
demikian putusan tersebut hanya dapat dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak
tanpa campur tangan pengadilan negeri.

Apabila bersifat internasional maka menilik dari Pasal 65 UU Arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.

Kemudian apabila keputusan arbitrase tidak dianggap oleh suatu pihak, maka ada
proses yang dinamakan pembatalan putusan Arbitrase. Pembatalan putusan memiliki
syarat-syarat yang diatur dalam pasal 70 UUAAPS untuk nasional, dan UNCITRAL dan
Keppres Nomor 34 Tahun 1981 untuk arbitrase Internasional. Yang berwenang
melakukan pembatalan putusan arbitrase adalah pengadilan.

11
DAFTAR PUSTAKA
Durosari, Wuraola O. 2014. “The Role of Arbitration in International
Commercial Disputes”. International Journal of Humanities Social
Sciences and education.
Lord Gacking, David. 1997. Arbitration Law Reform: The Impact of the
UNCITRAL Model Law on the English Arbitration Act 1996. The
Journal of the Chartered Institute of Arbitrators, Vol. 63,4.
Kartuzov, Mikhail. ”Advantages and Disadvantages of International
Commercial Arbitration in Comparison to Litigation and Other Means
of Dispute Resolution”. National University “Odesa Law Academy”.
Subekti, R. 1981. Arbitrase Perdagangan. Penerbit : Binacipta.

iii

Anda mungkin juga menyukai