Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
KELOMPOK 12
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase
sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-
sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase
merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilihdi antara
berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Olehkarena
arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Fenomena itu telah berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai
lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang
mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha,
termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak
dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui
pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga
peradilan adalah cara pandang hakim mengedepankan metod pertentangan
(adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan
hasil akhir yang kuat yang menang. Sedangkan arbitrase mengutamakan itikad
baik, persetujuan kedua belah pihak, dan win-win solution,dan non-konfrontatif.
Pengusaha-pengusaha sering memakai Arbitrase karena memiliki
keunggulan-keunggulan yang tidak didapatkan di pengadilan. Arbitrase sangat
mengerti kebutuhan bisnis yakni kecepatan dalam proses penyelesaian, sifat
kerahasiaan, dan biaya yang lebih murah apabila pihak yang kalah di pengadilan
mengajukan banding yang tidak senang dengan putusan dan biaya yang keluar
akan lebih banyak.
Maka oleh sebab itu, Arbitrase mulai diperhatikan sehingga UU No 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai kebutuhan
para pengusaha dalam menyelesaikan sengketanya. Pemilihan cara penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak akan
menimbulkan kewenangan mutlak bagi lembaga yang telah dipilih tersebut. Ini
berarti bahwa apabila para pihak telah memilih cara penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri secara mutlak tidak berwenang untuk
mengadili sengketa tersebut. Hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
2
Sengketa yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para 2pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 11 juga menjelaskan bahwa adanya suatu klausul tentang perjanjian
arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase
Lembaga Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar
pengadilan, yang juga basa disebut sebagai “pengadilan wasit” sehingga para
arbiter dalam peradilan arbitrase befungsi layaknya wasit dalam suatu
pertandingan.
Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun
internasional) sebagai suatu cara perdamaian memecahkan ketidak sefahaman
fihak-fihak dibidang kegiata komersial. Bidang komersial tersebut meliputi:
transaksi untuk ekspor-oimpor makanan, perjanjian distribusi, perbankan,
asuransi, pengangkutan penumpang, pesawat udara, kapal laut, konsesi,
perusahaan joint venture, dll.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian cara
damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa
tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan
ruang angkasa komersial, bahkan ada yang mengendaki agar ditetapkan juga
dalam pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
Pada dasarnya yang menjadi kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapat di Ps.
615 – 651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Ps. 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227), dan juga KUHA Perdata.
Sebenarnya selain arbitrase ada 4 yaitu:
1. Mediasi/Negosiasi
2. Badan Pemutus Administrasi
3. Ombudsman
4. Internal Tribunal
Tetapi arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang
paling popular dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi
4
penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal tersebut disebabkan banyaknya 1
kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini. Kelebihan-kelebihan itu adalah
sebagai berikut :
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administrative.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan arboiter merupakan putusan yang mengikat par pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
6. Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding
atau kasasi).
7. Proses arbitrase lebi mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
8. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa diluar pengadilan
umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi
tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Selain itu disamping yang bersifat nasional institusi ini juga ada yang bersifat
internasional, jumlahnya banyak dan terdapat di setiap negara, diantaranya badan
arbitrase tertua di dunia ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua didunia.2
1
Mochammad Tanzil Multazam, “Arbitrase Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Indonesia”, (http://eprints.umsida.ac.id/712/1/Makalah%20Arbitrase.pdf, 22 Desember, 2022).
2
Ibid.
5
B. Klausa Arbitrase
Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula
arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc,
ataupun lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Ada 2 (dua) macam klausula arbitrase sehingga suatu sengketa perdata dapat
diselesaikan melalui peradilan arbitrase yaitu:
Dengan adanya klausula tersebut maka akan meniadakan hak para phak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri
wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaia sengketa yang telah
ditetepkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan UU no.30 tahun 1999. 3
3
Ibid.
4
Mikhail Kartuzov,”Advantages and Disadvantages of International Commercial Arbitration in
Comparison to Litigation and Other Means of Dispute Resolution” National University “Odesa
Law Academy”
6
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengalaman, kebijaksanaan, pengetahuan,
jujur dan adil, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan.5
4. Sikap arbiter atau majelis arbiter dengan kebijaksanaannya dalam
menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan
win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.6
5. Pilihan umum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat
arbitrase dapat diperjanjikan.
6. Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
7. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena
berakhir atau batalnya perjanjian pokok.
8. Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus
mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.
5
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Binacipta, 1981), dalam pengertian arbitrase.
6
Wuraola O. Durosari, “The Role of Arbitration in International Commercial Disputes”, 2014
International Journal of Humanities Social Sciences and education.
7
Lord Hacking,D.(2000). Dispute Resolution in London. The Journal of the Chartered Institute of
Arbitrators, vol66.3.
7
kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan
arbitrase tidaklah mudah.
8
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999.
9
Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999.
8
Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di
Indonesia.Hal ini dapat diartikan bahwa ketentuanketentuan pembatalan tersebut
bukan sebagai dasar bagi pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan
putusan arbitrase internasional.Hal ini terlihat dari penggunaan kata putusan
arbitrase internasional dalam pasal 65 sampai dengan pasal 69 UU Arbitrase yang
dibedakan dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam pasal 70 UU
Arbitrase. Jadi pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase
internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat di dalam negeri hanya
dapat dibatalkan dengan melihat persyaratan limitative dalam pasal 70 UU
Arbitrase.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan
sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:
10
Lord Gacking, David (1997) Arbitration Law Reform: The Impact of the UNCITRAL Model
Law on the English Arbitration Act 1996. The Journal of the Chartered Institute of Arbitrators,
Vol. 63,4.
9
1. nama dan alamat para pihak;
2. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
3. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
4. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
6. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.
10
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Sebagai metode yang paling sering digunakan dalam penyelesaian sengketa,
Arbitrase memiliki pelaksanaan yang bersifat final dan binding bahwa, pelaksanaan
putusan Arbitrase dapat dibagi menjadi 2: nasional dan internasional. Pelaksaanan
putusan nasional diatur dalam UU No 30 Tahun 1999 dan dikenal juga sebagai eksekusi.
Konsekuensi suatu putusan arbitrase yang tidak didaftarkan oleh Arbiter yang memeriksa
suatu perkara arbitrase atau kuasanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diputus berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Dengan
demikian putusan tersebut hanya dapat dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak
tanpa campur tangan pengadilan negeri.
Apabila bersifat internasional maka menilik dari Pasal 65 UU Arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan putusan abitrase internasional di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Kemudian apabila keputusan arbitrase tidak dianggap oleh suatu pihak, maka ada
proses yang dinamakan pembatalan putusan Arbitrase. Pembatalan putusan memiliki
syarat-syarat yang diatur dalam pasal 70 UUAAPS untuk nasional, dan UNCITRAL dan
Keppres Nomor 34 Tahun 1981 untuk arbitrase Internasional. Yang berwenang
melakukan pembatalan putusan arbitrase adalah pengadilan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Durosari, Wuraola O. 2014. “The Role of Arbitration in International
Commercial Disputes”. International Journal of Humanities Social
Sciences and education.
Lord Gacking, David. 1997. Arbitration Law Reform: The Impact of the
UNCITRAL Model Law on the English Arbitration Act 1996. The
Journal of the Chartered Institute of Arbitrators, Vol. 63,4.
Kartuzov, Mikhail. ”Advantages and Disadvantages of International
Commercial Arbitration in Comparison to Litigation and Other Means
of Dispute Resolution”. National University “Odesa Law Academy”.
Subekti, R. 1981. Arbitrase Perdagangan. Penerbit : Binacipta.
iii