Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ARBITRASE PENYELESAIAN SENGKETA”

Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Hamid S.H,M.H

Disusun Oleh:

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL
BANJARI
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, penulis
ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada-Nya atas limpahan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya bagi masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah disusun dengan penuh dedikasi dan mendapat
bantuan dari berbagai pihak yang turut membantu kelancaran penulisannya. Oleh
karena itu, penulis ingin mengungkapkan terima kasih kepada semua yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
baik dalam susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu, penulis dengan
senang hati menerima saran dan kritik dari pembaca guna memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Terakhir, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dan inspirasi bagi pembaca serta masyarakat secara keseluruhan.

   
                                                                                     
Banjarmasin, Juli 2023

   
                                                                                              Penyusun

2
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
A. Pengertian Perjanjian Arbitrase............................................................................4
B. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa...............................................................................................................5
C. Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa............................................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................................1
A. Kesimpulan..........................................................................................................1
B. Saran.....................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................2

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelesaian sengketa dalam konteks bisnis, termasuk sengketa bisnis, dapat
diselesaikan melalui dua opsi hukum yang disebut "choice of law". Opsi pertama
adalah melalui lembaga litigasi, yaitu pengadilan umum. Opsi kedua adalah melalui
lembaga nonlitigasi atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
Resolution/ADR), yang mencakup negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Secara umum, dalam konteks nasional di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui
arbitrase (disebut "arbitrare" dalam bahasa Latin) dilakukan melalui dua jenis
lembaga, yaitu Arbitrase Institusional (sebagai organisasi permanen) dan Arbitrase
Ad Hoc (sebagai lembaga sementara atau temporer). Di Indonesia, lembaga arbitrase
institusional yang telah membantu penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang didirikan oleh Kamar Dagang dan
Industri pada tanggal 3 Desember 1977.1
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase banyak diminati oleh pelaku
bisnis karena memiliki kelebihan dibandingkan pengadilan yang bersifat formal.
Kelebihan lembaga arbitrase antara lain proses yang cepat dan sederhana, biaya yang
lebih terjangkau, menjaga kerahasiaan sengketa, memberikan putusan yang
merangkul dan menguntungkan semua pihak (win-win solution), serta menjaga
hubungan bisnis antara para pihak. Oleh karena itu, lembaga arbitrase sering menjadi
pilihan bagi pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa mereka usahawan.
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai
salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan
meningkatnya peranan arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi
niaga, baik nasional maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di
dalam transaksi niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi
menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau
1
R. Subekti. (1980). kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan,
Bandung: Alumni hlm. 1

1
aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau
sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian
luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis. Oleh
sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan secara
spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari kasus yang
ada berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak
ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji
berdasarkan perbedaan subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas
dua prototipe sengketa komersial. Pertama, sengketa komersial domestik, yaitu
sengketa yang terjadi antara subjek-subjek atau para pihak orang Indonesia yang
melakukan kontrak bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak dalam
negeri. Kedua, yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing,
baik individu maupun lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan. Sengketa
tersebut terjadi dari kontrak bisnis internasional.2
Berdasarkan persektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe
sengketa komersial domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-
subjek sengketanya cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di
pengadilan negeri. Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial
tipe yang pertama belum menjadi bagian dari perilaku para pihak domestik.
Sementara itu memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam
rangka menyelesaikan sengketa komersial internasional.
Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa
negara maju menunjukkan bahwa untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe
kedua itu hampir setiap kontrak bisnis internasional mencantumkan klausula
pemilihan forum arbitrase, bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase
ini, A.J. Van den Berg secara ekstrim menyebutkan bahwa “…bevat ongeveer 90%
Van de Internationale contracten een arbitraal beding.” Untuk kasus negara-negara

2
Sudargo Gautama. (1976). kontrak dagang internasional, Bandung: Alumni. hlm. 5

2
lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti itu. Namun belum dapat
dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh karena adakalanya
juga, kontrak bisnis internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing
dengan pengusaha swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase
sebagaimana lazimnya.
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka Penulis mengangkat makalah yang
sesuai dengan tugas yang diberikan dengan Judul “ ARBITRASE PENYELESAIAN
SENGKETA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa
2. Lembaga – lembaga Arbitrase
3. Dasar hukum yang mengatur tentang Arbitrase
C. Tujuan Penulisan.
1. Untuk memahami makna dari Arbitrase
2. Untuk mengetahui pilihan dalam penyelesaian sengketa yang berbeda
3. Dasar pertimbangan memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa
berdasarkan UU No 30 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata-kata seperti arbitrare (dalam bahasa Latin),
arbitrage (dalam bahasa Belanda), arbitration (dalam bahasa Inggris), schiedspruch
(dalam bahasa Jerman), dan arbitrage (dalam bahasa Prancis). Istilah ini merujuk
pada kekuasaan untuk menyelesaikan suatu masalah secara bijaksana atau damai oleh
seorang arbiter atau wasit. Pengertian arbitrase adalah metode penyelesaian sengketa
yang melibatkan hakim partikular yang tidak terikat oleh formalitas yang berlebihan,
memberikan keputusan dengan cepat, dan keputusan tersebut bersifat mengikat
sehingga mudah untuk dilaksanakan karena akan dihormati oleh para pihak.
Pada dasarnya, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak.
Prosedur ini melibatkan arbiter yang dipilih dan diberi wewenang untuk membuat
keputusan. Arbitrase dianggap sebagai pilihan yang sangat menarik, terutama bagi
para pengusaha. Bahkan, arbitrase sering disebut sebagai "pengadilan pengusaha"
yang independen untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan mereka.3
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30 Tahun 1999), dijelaskan bahwa
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase terbatas pada sengketa di bidang
perdagangan dan hak yang sepenuhnya dikuasai oleh pihak yang bersengketa
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sengketa
seperti kasus-kasus keluarga atau perceraian yang melibatkan hak atas harta kekayaan
yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-masing pihak tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase.
Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang melibatkan pihak-pihak yang sepakat untuk menunjuk seorang ahli profesional

3
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Penyelesian Suatu Sengketa Suatu Pengantar.
(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2002). hlm. 19

4
sebagai arbiter sesuai dengan pilihan mereka. Prosedur ini menerapkan peraturan
hukum yang berlaku dan didasarkan pada bukti-bukti dalam perkara, dengan putusan
yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak.
Dalam konteks hukum perjanjian, arbitrase dianggap sebagai perikatan yang
lahir dari perjanjian. Untuk memenuhi syarat sahnya perjanjian, harus ada
kesepakatan antara pihak-pihak yang terikat, kemampuan untuk membuat perikatan,
adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase
harus dibuat secara tertulis. Syarat tertulis ini bisa berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam perjanjian tertulis sebelum timbulnya sengketa, atau perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat setelah timbulnya sengketa. Adanya perjanjian
arbitrase tertulis ini mengecualikan hak para pihak untuk membawa sengketa atau
perbedaan pendapat yang terdapat dalam perjanjian utama ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, Pengadilan Negeri juga tidak memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa antara pihak-pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dengan
demikian, perjanjian arbitrase memberikan kekuasaan mutlak bagi para pihak untuk
menentukan cara penyelesaian sengketa yang mereka inginkan.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam perjanjian tertulis sebelum timbulnya sengketa, atau perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat setelah timbulnya sengketa.

B. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian


Sengketa
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi
yang makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa.
Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk
memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena
tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang

5
terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase merupakan salah satu model
penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian
sengketa komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum
tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.4
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional
terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap
peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan
negeri dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut
oleh para pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi,
sehingga pihak-pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya
diselesaikan melalui pengadilan negeri.5 Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi
lembaga peradilan adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan
normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap
apa yang disebut "keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan
masyarakat" (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang
berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti
karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih
kental "bau formalisme-prosedural" ketimbang kedekatan pada "rasa keadilan warga
masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang
rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan.6
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para
pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka

4
Adi Astiti, N. (2018). Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga
arbitrase. Jurnal Al-Qardh, 3(2), 110-122.
5
Tjahjani, J. (2014). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase.
Jurnal Independent, 2(1), 26-39.
6
Soemartono, Gatot. (2006). Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. hlm. 19

6
apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan
negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas
dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa
bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih
tidak terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu
diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode
pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama
lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih
mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif.7
Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan
argumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam
menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan
dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan
meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi
masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid.

C. Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya dilakukan
menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui Lembaga litigasi
(melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi (di luar
pengadilan).
1. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi
Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan definisi
mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 UU 30/1999

Susanto, Heri. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia. Diss. Universitas


7

Islam Indonesia, 2007.hlm. 86

7
tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang
perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri8
Sehingga dapat disimpulkan bahwa litigasi merupakan proses
menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana setiap pihak
bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan
gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban.
Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian
sengketa melalui Lembaga pengadilan. Menurut Dr. Frans Hendra Winarta, S.H.,
M.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan
bahwa litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional dalam
dunia bisnis seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek
pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya. Proses
litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu,
penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
remidium) setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak
membuahkan hasil9
2. Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi
Rachmadi Usman, S.H., M.H. mengatakan bahwa selain melalui litigasi
(pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur non-
litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS). APS sebagai Alternative to
Adjudication meliputi penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau

8
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa pasal 6
9
Frans Hendra Winarta. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hlm. 1 dan 2.

8
kooperatif Namun dalam perkembangan dan pemberlakuan khususnya di
Indonesia terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut10
a. Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam
UU 30/1999 tentang Pasar Modal mengenai makna maupun pengertian
konsultasi. Namun apabila melihat dalam Black’s Law Dictionary dapat kita
ketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi adalah : “act of consulting
or conferring; e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of
persons on some subject” Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada
prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal
antara satu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan satu pihak lain
yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada
klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Klien dapat menggunakan pendapat yang telah diberikan ataupun memilih
untuk tidak menggunakan adalah bebas, karena tidak terdapat rumusan yang
menyatakan sifat “keterikatan” atau “kewajiban” dalam melakukan
konsultasi.11
Hal ini berarti konsultasi sebagai bentuk pranata APS, peran dari
konsultasn dakam menyelesaikan sengketa atau perselisihan hanyalah
sebatas memberikan pendapat (hukum) saja sebagaimana permintaan klien.
Selanjutnya mengenai keputusan penyelesaian sengketa akan diambil sendiri
oleh para ihak yang bersengketa, meskipun adakalanya pihak konsultan juga
diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
b. Negosiasi
Istilah negosiasi tercantum dalam Pasal 1 Angka (1) UU 30/1999
tentang Arbitrase yaitu sebagai salah satu APS. Pengertian negosiasi tidak

10
Lestari, R. (2013). Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa secara Mediasi di
Pengadilan dan di luar pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 217-237.
11
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. (2016) Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya.
Penerbit : Airlangga University Press. Hlm. 429.

9
diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang, namun dapat dilihat dalam
Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa pada dasarnya para
pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul
dalam pertemuan langsung dan hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam
bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Selain dari ketentuan tersebut tidak
diatur lebih lanjut mengenai “negosiasi” sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa oleh para pihak.
Susanti Adi Nugroho bahwa negosiasi adalah proses tawar menawar
untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi,
komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesian
atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah
pihak.12
c. Mediasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut
PERMA 1/2016) bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak
dengan dibantu oleh Mediator.13
Pengaturan mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3),
(4), dan (5) UU 30/1999 tentang Arbitrase bahwa terhadap sengketa yang
tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi, maka penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator. Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya
penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan
bagi para pihak tetapi menunjang sebagai fasilitator untuk terlaksananya

12
Susanti Adi Nugroho. (2009). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hlm. 21.
13
Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.

10
dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar
pendapat untuk tercapainya mufakat.
d. Konsiliasi
Pengertian mengenai konsiliasi tidak diatur secara eksplisit dalam
UU 30/1999 tentang Arbitrase. Namun penyebutan konsiliasi sebagai salah
satu Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 1 angka (10) dan Alinea ke-9 (Sembilan) dalam penjelasan
umum. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi
menjadi konsiliator, dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih
aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan
menawarkannya kepada para pihak apabila para pihak dapat menyetujui,
solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang
terjadi akan bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang
bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga
mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Konsiliasi memiliki kesamaan
dengan mediasi, kedua cara ini melibatkan pihak ketiga untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.14
e. Penilaian Ahli
Sebagaimana dapat diambil kesimpulan atas pengertian Alternatif
Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 Angka (10) bahwa Penilaian Ahli
merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Penilaian ahli merupakan cara penyelesian sengketa oleh para pihak dengan
meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang
terjadi
f. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase menjelaskan bahwa
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi

14

11
perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi atau konsultasi
maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa
melalui Lembaga peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu
yang lama.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Perjanjian Arbitrase
 Arbitrase adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
melibatkan hakim partikular yang tidak terikat oleh formalitas yang
berlebihan.
 Arbitrase dilakukan berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak dan melibatkan arbiter yang dipilih.
 Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase terbatas pada sengketa di
bidang perdagangan dan hak yang sepenuhnya dikuasai oleh pihak yang
bersengketa menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.
2. Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
 Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa di pengadilan, sedangkan
arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
 Litigasi melibatkan proses konfrontasi antara pihak-pihak yang bersengketa
di hadapan pengadilan, sementara arbitrase melibatkan arbiter yang dipilih
oleh para pihak.
 Penyelesaian sengketa secara non-litigasi melalui arbitrase merupakan
alternatif yang konsensual dan kooperatif.Ada berbagai metode alternatif
penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, seperti konsultasi, mediasi,
negosiasi, adjudikasi, dan expert determination.
B. Saran
Semoga dengan adanya penulisan makalah ini pembaca dapat mengambil
manfaat. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu penulis mengharapkan saran, pendapat maupun kritikan terhadap makalah ini,
supaya makalah ini dapat disempurnakan.

1
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Frans Hendra Winarta. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. (2000). Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada.
R. Subekti. (1980). kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan,
Bandung: Alumni
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. (2016) Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya.
Penerbit : Airlangga University Press.
Sudargo Gautama. (1976). kontrak dagang internasional, Bandung: Alumni.
Susanti Adi Nugroho. (2009). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia.
Abdurrasyid, Priyatna.(2002). Arbitrase dan Penyelesian Suatu Sengketa Suatu
Pengantar. Jakarta: PT. Fikahati Aneska
Soemartono, Gatot. (2006). Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Jurnal
Lestari, R. (2013). Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa secara Mediasi di
Pengadilan dan di luar pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 217-
237.
Tjahjani, J. (2014). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase. Jurnal
Independent, 2(1), 26-39.
Adi Astiti, N. (2018). Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga arbitrase. Jurnal
Al-Qardh, 3(2), 110-122.
Susanto, Heri. (2007). Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia. Diss. Universitas
Islam Indonesia

Undang-Undang

2
Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Pasal 1Angka (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
1999, TentangArbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa

Anda mungkin juga menyukai