Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TUGAS DAN FUNGSI KEWENANGAN ARBITRASE

Disusun Oleh :
Nama : Lorensa Putri
Npm : 2174201084

Dosen Pengampu:
DR Novran harisa SH., MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “Tugas dan Fungsi
Kewenangan Arbitrase ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung, Nabi akhir zaman, manusia
terbaik yang diturunkan Allah SWT ke muka bumi ini dan satu-satunya nabi yang
berhak memberi syafa’at, yakni Nabi Muhammad SAW, beliau yang telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini. semoga kita termasuk ke dalam umat beliau dan
berhak mendapatkan syafa’atnya nanti di yaumul qiyamah. Aamiin.
Ucapan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah
mengampu dan membimbing kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Bengkulu, Juni 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Pembahasan........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Arbitrase........................................................................................... 2
1. Pengertian Arbitrase .............................................................. 2
2. Sejarah Arbitrase.................................................................... 3
3. Sumber Hukum Arbitrase...................................................... 4
B. Tugas dan Fungsi Kewenangan Arbitrase................................... 9
1. Instrumen Hukum ................................................................. 9
2. Kesepakatan Para Pihak......................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 16
B. Saran................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, ciri perekonomian yang paling
menonjol adalah serba cepat yang mendorong manusia memasuki free market dan
free competition. Terlaksananya dengan baik apa yang diperjanjikan bersama
merupakan harapan dari semua pihak yang terikat dalam perjanjian. Namun dalam
kenyataannya tidak jarang bahwa dalam pelaksanaan perjanjian terjadi
perselisihan baik yang bersumber dari perbedaan persepsi/penafsiran terhadap
term-term dalam perjanjian maupun yang bersumber dari tindakan yang dapat
dikategorikan wanperstasi dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang
tidak efisien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis, dan biaya
produksi yang meningkat. Dalam keadaan yang demikian, dari ratusan transaksi
bisnis yang terjadi, tidak mungkin dihindari terjadinya perselisihan/konflik yang
menuntut penyelesaiaan yang cepat. Penyelesaian sengketa yang muncul dalam
pelaksanaan suatu perjanjian, pada dasarnya dapat diselesaikan dengan
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang dimaksud dengan Arbitrase?
2. Bagaimana Tugas dan Fungsi Kewenangan Arbitrase?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa Yang dimaksud dengan Arbitrase
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Tugas dan Fungsi Kewenangan
Arbitrase

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Arbitrase
1. Pengertian
Arbitrase berasai dari bahasa Latin, yaitu dari kata arhitrare yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan. Terdapat beberapa pengertian arbitrase yang didefinisikan
oleh para sarjana, di antaranya adalah sebagai berikut: Abdulkadir
Muhammad, mengatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di
luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia
perusahaan. Arbitrase adalah pcradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri
secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaba yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pcngadilan Negara merupakan kehendak bebas ini dapat
dituangkan dalam perjanjian lertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah
terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum
perdata. Subekti. menyatakan bahwa Arbitrase adalah suatu penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang bedasarkan
persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang
akan dibcrikan oleh wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk
tersebut.1
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa Arbitrase adalah cara-cara
penyelesaian hakim partikelir yang tidak terikat dengan berbagai fonnalitas,
cepat dalam memberikan keputusan. Karena dalam instansi terakhir serta
mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. pada Pasal 1 ayat (1) discbutkan
bahwa Arbitrase adalah cara suatu penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari pengertian-pengertian di atas
dapat disimpulkan, bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa

1 A Rahmat Rosyadi, 2002, Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, him. 67-68.

2
para pihak yang dilakukan oleh wasit di luar lembaga peradilan bedasarkan
kesepakatan, baik sebelum atau sesuda terjadinya sengketa.'

2. Sejarah Arbitrase
Berkaitan dengan sejarah kapan munculnya. atau kapan mulai
dipergunakannya lembaga arbitrase, dalam catatan sejarah membuktikan
bahwa pada masa Mesir kuno. Yunani kuno. maupun pada masa Romawi,
arbitrase sudah dipergunakan. Di Inggeris. pada masa pemerintahan Raja
Edward IV (1483), atau jauh sebelum Arbitration Act 1697 diundangkan.
arbitrase sudah dikenal.2
Sedangkan keberadaan arbitrase di Indonesia diwakili oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa
tiga pakar hokum terkemuka, yaitu Prof. Soebekti, SH. Haryoiio
Tjitrosocbono. SH.. dan Prof.Dr. Priyatna Abdurrasyid. BAN I dikelola dan
diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasihat yang terdiri dari tokoh-
tokoh masyarakat dan sector bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan
perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Surabaya,
Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang. Medan dan Batam.
Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk
bertindak secara otonomi serta independen dalam penegakan hukum dan
keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri. termasuk
batasan waktu dimana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan
ini dipergunakan dalam arbitrase domestic dan internasional yang
dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini BANI memiliki lebih dari 100 arbiter
berlatar belakang berbagai profesi, 30% di antaranya adalah asing.
Di Indonesia minat unluk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase
dan APS). Perkemhangannya saat ini scjalan dengan arah globalisasi, di
mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku
bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik

2 Achmad Romsan. 2008, Teknik Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan: Negoisasi,


Mediasi dan Arbitrase, Universitas Sriwijaya Press, Palembang. him. 104.

3
cepat, efisien, dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, serta
tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya
arbitrase juga lebih terukur karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain
arbitrase adalah putusannya serta merta (final) dan mengikat (banding), selain
sifatnya Yang rahasia (confidential) karena proses persidangan dan putusan
arbitrase tidak dipublikasikan.
Berdasarkan asas timbale balik putusan arbitrase asing yang melibatkan
perusahaan asing, dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan
arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing, akan dapat
dilaksanakan di luar negeri.3

3. Sumber Hukum Arbitrase


Pada masa kolonial Belanda sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diberlakukan
sebagai sumber hukum positif bagi penyelenggaraan arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa terhadap berbagai sumber hukum yang niengaturnya'
Sekadar untuk mengetahui dan menambah wawasan yang berkaitan dengan
perkembangan sumber hukum arbitrase pada masa kolonial sampai dengan
sekarang, maka di bawah ini disampaikan beberapa sumber hukum arbitrase
yang pemah berlaku. "Hal ini didasarkan Pada Suatu asumsi bahwa di
kalangan praktisi hukum. apalagi di kalangan masyarakat awan, masih
banyak yang tidak mengetahui rujukan ketentuan yang menyangkut arbitrase
dalam tata hukum Indonesia. Sumber-sumber hukum arbitrase, yaitu :
a. Pasal 377 HIR
Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesich Reglement/HIR, Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705
Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buistengewesten/RBG, Staatblad 1927: 227),
menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka
mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku

3 Khotibui Umam, 2010. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadiian, Pustaka


Yustisia,Jakarta, him. 49

4
bagi bangsa Eropa. Pasal 377 HIR tersebut menjadi dasar keberadaan
arbitrase dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga dalam paraktek
hukum pasal ini menjadi landasan hukumnya. Oleh karena itu, pasal
ini menegaskan hal-hal sebagai berikut:
a) Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan
menyelesaaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase.
b) Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk
menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.
c) Untuk ilu. baik para pihak maupun arbiter "wajib" tunduk
menurut peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau
golongan Eropa.
b. Pasal 615-Pasal 651 Rv
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa para pihak ternyata
Pasal 377 HIR dan Pasal 307 RBG mengalami kekurangan dalam
prakteknya karena keduanya tidak memuat aturan lebih lanjut tentang
arbitrase. Untuk mengisi kekosongan ini. Pasal 377 HIR atau Pasal
307 RBG langsung menunjuk pasal-pasal arbitrase yang yang terdapat
dalam Reglemen Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering/Rv Staatblad 1847-52 jo 1849- 63). Secara jelas
terbaca dalam kalimat "wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara
yang berlaku bagi bangsa Eropa". Dapat diketahui dalam buku ketigas
Reglemen Hukum Acara Perdata tentang Aneka Acara, pada BAB I
diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) yang terdiri atas
pasal 615 - Pasal 651 Rv. Pasal-pasal inilah sebagai landasan hukum
arbitrase sejak masa kolonial sampai sekarang, baik untuk penduduk
golongan Bmiputera. Timur asing maupun Eropa. Sebagai pedoman
umum aturan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata
meliputi 5 (lima) bagian pokok berikut:
a) Bagian pertama (Pasal 615 - Pasal 623) : Persetujuan arbitrase
dan pengangkatan arbiter.
b) Bagian kedua (Pasal 624 - Pasal 630) : Pemeriksaan di muka
badan arbitrase.

5
c) Bagian ketiga (Pasal 631 - Pasal 6400) : Putusan arbitrase.
d) Bagian keempat (641 - Pasal 647) : Upaya-upaya terhadap
putusan arbitrase.
e) Bagian kelima (Pasal 647 - Pasal 651): Berakhimya acara-
acara arbitrase.
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Dasar diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat berpijak
pada penjelesan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tenteang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan bahwa penyelesain perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan. Walaupun
demikian. putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial
setelah memperoleh izin atau perintah untuk dicksekusi (exsecutoir) dari
pengadilan. Tampaknya penggunaan Pasal 615 Reglemen Acara Perdata
(Reglemen of de rechtsvordering, staatblad 1847: 52). Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch reglemen
Staatblad 1941: 44), dan Pasal 705 Reglemen acara untuk luar Daerah
Luar .Tawa Dan Madura (Reglement Buitengewesten, Staatblad 1927:
227) sebagai pedoman arbitrase dianggap sudah tidak memadai lagi
dengan kondisi ketentuan dagang yang bersifat intemasioanl. Peninjauan
kembaii pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan condition sine
qua non dan perlu perubahan secara substantive dan filosofis atas
pengaturan mengenai arbitrase yang bcrlaku sejak zaman kolonial.4
Dengan di sahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif Penyelesaian sengketa, pada
tanggal 12 Agustus 1999, dalam BAB X I KETENTUAN PENUTUP,
melalui Pasal 81 discbutkan bahwa pada saat undang-undang ini berlaku.
Ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud pada Pasal 615
sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de
Rechtsviordering. Staatblad 1847: 52) dan pasal 377 Reglemen Indonesia

4 Gatot Soemartono, Op. Cit. him. 69-71.

6
yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement. Staatblad 1941:
44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement. Staatblad 1927: 227), dinyatakan tidak berlaku.'

d. Jenis-jenis Arbitrase
Berdasarkan sifatnya, arbitrase terdiri dari dua macam sebagai berikut:
a) Arbitrase Ad-Hoc
Menurut Yahya Harahap, pengertian arbitrase ad-hoc adalah
arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus
perselisihan tertentu. Oleh karena itu keberadaan arbitrase ad-hoc ini
bersifat incidental. Dan apabila sengketa telah diputus, arbitrase ad-
hoc tersebut menjadi berakhir. Arbitrase ad-hoc dilaksanakan oleh
para pihak bedasarkan klausal pactum de commpromittendo atau
fakta compromise. Pada kalausal ini dicanlumkan bahwa apabila
terjadi perselisihan, para pihak telah bersepakat untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut secara arbitrase yang berdiri sendiri. Dalam arti,
arbitrase yang dilakukan berada di luar institusi arbitrase yakni
dengan hanya menunjuk satu orang arbiter yang disepakati oleh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa.
b) Arbitrase Institusional
Jenis arbitrase kedua, yaitu arbitrase Institusional. Menurut M
Yahya Marahap. arbitrase institusional sengaja didirikan untuk
menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Arbitrase ini
merupakan suatu wadah yang sengaja didirikan untuk penampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian. Suyud Margono
mengatakan bahwa arbitrase institusional (institusional arbitration)
merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen
sehingga disebut "permanent arbitral body".

7
Lembaga arbitrase Yang bersifat permanen dan didirikan secara
resmi yang menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga yang
bergerak di bidang penyelesaian perselisihan di luar pengadilan.
Lembaga ini tidak secara otomatis bubar setelah sengketa yang
ditangani telah diputus. Arbitrase institusional terdiri dari beberapa
jenis sebagai berikut:5
 Arbitrase Institusional Nasional
Lembaga arbitrase yang sengaja didirikan dengan bertujuan
untuk kepentingan suatu bangsa atau negara dan hanya memiliki
yurisdiksi di wilayah bangsa atau Negara. Meskipun ruang
lingkup dari badan arbitrase ini hanya mencakup suatu wilayah
atau bangsa, tidak tertutup kemungkinan bahwa lembaga ini juga
dapat menangani sengketa yang bersifat internasional seiama
para pibak menghendaki hal tersebut.
Beberapa arbitrase Insititusional yang bersifat nasional
yang ada di luar wilayah Indonesia sebagai berikut:
a. The Japan Commercial Arbitration Association.
b. The Netherlands Arbitrage Institute.
c. The American Arbitration Association
 Arbitrase Institusional Internasional
Lembaga arbitrase yang menangani sengketa terhadap masalah
tertentu dengan para pihak adalah pihak yang berbeda
kewarganegaraan. Beberapa arbitrase internasional tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Internasional chamber of Commerce (ICC)
b. Internasional Center For Settlement of Investment
Disputes(ICSID).
c. United Nations Commision on Internasional Trade Law
(UNCITRAL).

 Arbitrase Institusional Regional


5 Jimmy Joses Semblring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan,
berikut:Visimedia, Jakarta, him. 97-98.

8
Lembaga arbitrase yang menangani sengketa untuk wilayah
Atau kawasan tertentu. Arbitrase jenis ini didirikan dengan dasar
bahwa negara ketiga/negara berkembang, sering dalam posisi
yang lemah karena arbitrase yang bersilat Internasional pada
dianggap lebih memihak kepada negara maju (dalam hal terjadi
sengketa antara pihak negara maju dan pihak negara
berkembang). Untuk wiiayah regional, lembaga arbitrase yang
dikenal adalah AsiaAfrica Legal Consultative Commctte
(AALCC).

B. Tugas dan Fungsi Kewenangan Arbitrase


Jurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di dalam
arbitrase. Isu inilah yang pertama-tama akan lembaga arbitrase, mahkamah
arbitrase atau majelis arbitrase angkat sebelum memeriksa dan memutus suatu
sengketa.6 Suatu badan arbitrase yang memutuskan bahwa ia memiliki jurisdiksi,
akan menentukan kelanjutan dari sesuatu sengketa. Sebaliknya, ketika badan
arbitrase memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia akan segera
menolak untuk memeriksa sengketa. Jurisdiksi atau kewenagan hukum suatu
badan arbitrase lahir dari7

1. Instrumen Hukum
Instrumen hukum baik internasional atau nasional adalah prasyarat utama
(premier) untuk lahirnya kewenangan hukum atau jurisdiksi (badan)
arbitrase.Untuk instrumen hukum nasional, batas-batas kewenangan suatu badan
arbitrase ditentukan oleh keputusan badan legislatif yang membuat peraturan
perundangundangan di bidang arbitrase. Misalnya, Undang-Undang No.30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 5 UU
Arbitrase menegaskan bahwa sengketasengketa yang dapat diselesaikan oleh
arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dansengketa yang menurut
peraturan perundangundangan dapat diadakan perdamaian. Ruang lingkup hukum

6 Bahder Johan Nasution, Metode Peneltian Ilmu Hukum, Cetakan ke-1, Bandung:
CV.Mandar Maju, hlm.87.
7 Huala Adolf, Op.cit, hlm.139.

9
perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan
intelektual.8

2. Kesepakatan Para Pihak


Kesepakatan para pihak adalah prasyarat tambahan (subsider) untuk
lahirnya kewenangan hukum (badan) arbitrase Mengenai jurisdiksi badan
Arbitrase BANI, di dalam pasal 1 Peraturan Prosedur Arbitrase BANI
dirumuskan “Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis
secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka
sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke
arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau
menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan
di bawah penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut”9
Agar suatu sengketa dapat diserahkan pemeriksaannya dan
pemutusannya kepada BANI, maka di dalam surat perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, harus dimuat suatu pasal berisikan klausula arbitrase sebagai
berikut: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan
dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat
kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama
dan terakhir”10
Penting untuk diperhatikan bahwa dalam klausul arbitrase atau dalam
perjanjian arbitrase untuk menyingkat proses dinyatakan bahwa keputusan
arbitrase/BANI mengikat kedua belah pihak sebagai putusan pertama dan
terakhir yang tidak dapat lagi dibanding ke Mahkamah Agung11.
Memperhatikan sifat arbitrase sebagai lembaga volunter atau extra judicial
dibandingkan dengan kedudukan dan keberadaan peradilan sebagai badan

8 Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang No.30 Tahun 1999


9 Pasal 1 Peraturan Prosedur Arbitrase BANI
10 Priyatna Abdurrasyid , Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan ke-2,
Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011, hlm.147
11 Ibid, hlm.148

10
resmi yang diberi fungsi dan kewenangan mengadili dan memutus perkara,
apakah klausula arbitrase yang disepakati para pihak dapat menyingkirkan
yurisdiksi badan pengadilan memeriksa dan mengadili sengketa? Supaya lebih
jelas berikut akan dibahas mengenai kewenangan yang dimiliki oleh arbitrase
adalah kewenangan absolut dan prinsip umum dari arbitrase.
a. Kewenangan Absolut Arbitrase
Jika sudah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian untuk
membawa suatu perkara perdata kepada arbitrase, maka sengketa
tersebut harus diselesaikan melalui forum arbitrase, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Arbitrase yang
berbunyi:“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak dalam
perjanjian untuk mengajukan penyelesaiaan sengketa yang terkait
dengan perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri.
Menyangkut perjanjian atau klausul arbitrase merupakan
fondasi atau dasar bagi arbitrase, menjadikan asas yang berkembang di
bidang hukum kontrak yaitu pacta sunt servanda memiliki arti penting
dalam arbitrase terkait dengan sifat dari perjanjian atau klausul
arbitrase. Adapun bunyi asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam
Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai
dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang, persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.”
Oleh karena klausula arbitrase merupakan persetujuan atau
kesepakatan yang dituangkan para pihak dalam perjanjian, berlaku
sepenuhnya terhadap perjanjian arbitrase:
a) Persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak

11
b) Apabila timbul sengketa dari apa yang telah mereka perjanjikan,
kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus sengketa,
“mutlak” menjadi kewenangan arbitrase.
c) Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa
secara mutlak
d) Gugurnya klausula arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas
ditarik kembali atas kesepakatan para pihak
e) Tidak dapat dibenarkan hukum penarikan secara diam-diam,
apalagi penarikan secara sepihak.
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan dalam
perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai
forum penyelesaiaan persengketaannya,25 sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 11UU Arbitrase:
1. “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.”
2. “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaiaan sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang
ditetapkan dalam undang-undang ini.” 12
Bahkan di dalam arbitrase kesepakatan para pihak yang tertuang
dalam perjanjian atau klausul arbitrase juga mengikat pihak ketiga,
terutama pengadilan atau lembaga yang berwenang dengan peradilan 13.
Implikasi lain dari pacta sunt servanda dalam bunyi ketentuan Pasal 3 dan
Pasal 11 UU Arbitrase agak menyimpangi salah satu prinsip yang dikenal
luas, yaitu bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya
Adapun kewenangan absolut arbitrase masih ditegaskan pada
pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (4) UU Arbitrase yang
berbunyi “Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau

12 Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999


13 Huala Adolf, Ibid, hlm.26.

12
pertimbangan dari putusan Arbitrase.” Dengan demikian, Ketua
Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk meninjau suatu
putusan arbitrase secara material.
b. Prinsip Umum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
a) Prinsip Competence Competenc
Prinsip ini telah diterima umum sebagai suatu prinsip dalam
arbitrase komersial internasional. Salah satu doktrin yang kemudian
menjadi prinsip penting arbitrase mengenai jurisdiksi badan arbitrase
adalah doktrin prinsip competence-competence14.
Berdasarkan prinsip ini, badan arbitrase memiliki kewenangan
untuk menentukan sendiri apakah dirinya memiliki jurisdiksi untuk
mendengar dan memutus sengketa terkait dengan keabsahan suatu
perjanjian atau klausul arbitrase. Bertolak dari uraian di atas, menurut
hemat penulis apabila ada para pihak yang mempersoalkan keabsahan
suatu klausul arbitrase maka untuk menentukan pihak yang berhak
memutus kewenangan tersebut adalah bukan Pengadilan Negeri atau
badan peradilan lainnya melainkan badan arbitrase-lah yang paling
berhak. Menurut Huala Adolf, UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternartif Penyelesaian Sengketa tidak secara eksplisit
mengatur atau memuat prinsip Competence-Competence disebabkan
ketentuan yang terkait dengan kewenangan 15 arbitrase atau majelis
arbitrase di dalam menentukan kewenangannya, tidak secara langsung
menyangkut kewenangan arbitrase dengan jurisdiksi.
Namun kekosongan mengenai prinsip competence-competence
dalan UU Arbitrase tidak berlaku bagi Peraturan Prosedur BANI,
terlihat di dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Prosedur BANI berbunyi:
“Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak
berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau
keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.”
14 Huala Adolf, Arbitrase Negara-Negara ASEAN, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, 2009, hlm.51
15 Ibid, hlm.164.

13
b. Prinsip Final dan Binding
Akibat atau dampak hukum putusan arbitrase bagi para pihak adalah
bersifat final dan binding. Prinsip ini tercermin di dalam
ketentuanPasal 60 UU Arbitrase yang berbunyi “Putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
16
pihak.” Maksud putusan bersifat final adalah putusan Mahkamah
Arbitrase merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir.
Artinya terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding,
kasasi, atau peninjauan kembali. Maksud putusan bersifat binding
adalah putusan tersebut sejak dijatuhkan langsung mengikat kepada
17
para pihak. Terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan
bindingini memberikan keistimewaanberperkara melalui lembaga
arbitrase karena dapat menghemat waktu, biaya, pikiran, dan tenaga
bagi para pihak yang berperkara.
c. Prinsip Pengambilan Keputusan
Berdasarkan Keadilan dan Kepatutan Pada lembaga pengadilan
dalam memeriksa, mengadili, dan memberikan putusannya lebih
didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Artinya, pemberian
putusan yang didasarkan pada hukum semata akan menghasilkan pihak
yang kalah dan menang (win-lose). Sementara itu, pemutusan sengketa
yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan
melihat pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa
akan menghasilkkan putusan yang bersifat win-win solution.18
Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan kepatutan dan keadilan ini
dipertegas dalam Pasal 56 UU Arbitrase yang berbunyi:
a) “Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan
ketentuan hukum, atau berdasar keadilan dan kepatutan.”

16 Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase


17 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.cit, hlm.88-89.
18 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.cit, hlm.25.

14
b) “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul
antara para pihak.” yang bersifat win-win solution
merupakanputusan yang sama-sama diinginkan para pihak19.
d. Prinsip Sidang Tertutup untuk Umum
Di kalangan pebisnis nama baik merupakan sebuah indikator
yang dapat menghantarkan mereka ke dalam dua kemungkinan, yaitu
sukses atau hancur (gulung tikar). Mereka akan sukses bilamana di
mata masyarakat mereka mempunyai image baik dan begitu juga
sebaliknya.38Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya keadaan
tersebut di atas, salah satu kiat yang dilakukan para pebisnis adalah
menyelesaikan sengketa melalui jalur non-litigasi yaitu salah satunya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.Prinsip pemeriksaan tertutup
untuk umum ini diatur dalam Pasal 27 UU No.30 Tahun 1999 yang
berbunyi “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup”20

19 Pasal 56 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa
20 Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.cit, hlm.26.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arbitrase sebagi lembaga extra judicial kewenangan hukum yang lahir
dari instrumen hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional di
bidang arbitrase dan kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian yang memuat
klausul arbitrase. Terhadap suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
memberi kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal
11 UU Arbitrase. Adapun terhadap putusan arbitrase Pengadilan Negeri tidak
diizinkan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 62 ayat (4) yang menunjukkan bahwa
terhadap substansi perkara adalah kewenangan absolut arbitrase.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Untuk itu bimbingan, saran serta kritik dari
semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan
konstruktif sangat penulis butuhkan demi perbaikan makalah ini agar lebih
sempurna di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna , Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan
ke-2, Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Adolf, Huala, Arbitrase Negara-Negara ASEAN, Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, 2009.
Batubara, Suleman dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional Penyelesaian
Sengketa Asing Melalui ICSID, UNCITRAL, dan SIAC, Cetakan ke-1,
Jakarta: Raih Asa Sukses.
Black, Henry, Black’s Law Dictionary 2nd pocket ed, (Bryan A. Garner, West
Publishing Co.1996).
Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, Cetakan ke-1, Jakarta: PT RajaGrafindo,
2014.
Harahap, Yahya, Arbitrase, Cetakan ke-3, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Margono, Suyud, Peneyelesaian Sengketa Bisnis Alternative Dispute Resolutions
(ADR) Teknik & Strategi dalam Negosiasi, Mediasi & Arbitrase,
Cetakan ke-1, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010.
Nasution, Bahder Johan, Metode Peneltian Ilmu Hukum, Cetakan ke-1, Bandung:
CV.Mandar Maju
Soemartono, Gatot, Arbitrase danMediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dalam
Perspektif Peraturan PerundangUndangan, Jakarta: Gramata Publishing,
2013.
Widjaja, Gunawan, Arbitrase vs. Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut)
yang Tidak Pernah Selesai, Cetakan ke-1, Jakarta:Kencana, 2008.
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional, Cetakan ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa.


Peraturan Prosedur Arbitrase BANI. KUHPer, Permata Press, 2008.

17

Anda mungkin juga menyukai