Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM DAN ARBITRASE BISNIS SYARIAH


PEMAHAMAN TERHADAP SENGKETA BISNIS SYARIAH

Dosen Pengampu : Muhamad Mukhsin,M.E

Disusun oleh:
Risna Wati (20631072)
Sefi Andiani(20631075)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN CURUP
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Curup,15 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 5
C. Tujuan..................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Eksistensi Bisnis Syariah............................................. 6


B. Sengketa Bisnis Syariah dan Karakteristiknya...................................... 7
C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah.................................. 8
D. Hukum Yang Mengatur Arbitrase di Indonesia...................................... 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................ 15
B. Saran..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan berkembang
menjadi sengketa apabila pihak yang mengalami kerugian menyatakan rasa
ketidakpuasan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab atas ketidakpuasannya itu. Secara prinsip dalam hal
penegakan hukum di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang
dilembagakan secarakonstitusional yang lazim disebut badan yudikatif sesuai dengan
pasal 24 UUD 1945.Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman
yang berpuncak di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua proses, yaitu penyelesaian
sengketa di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Proses penyelesaian tertua
adalah melalui proses litigasi di dalam pengadilan. Setiap penyelesaian sengketa yang
timbul di dalam masyarakat diselesaikan melalui pengadilan, karena dianggap bisa
memberikan keputusan yang adil namun ternyata belum memuaskan banyak pihak,
terutama pihakpihak yang bersengketa, karena hanya menghasilkan kesepakatan yang
bersifat adversial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya
yang mahal, tidak responsif,dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang
bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
meresahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika mengandalkan pengadilan
sebagai satu-satunya penyelesaian sengketa,tentu dapat mengganggu kinerja pebisnis
dalam menggerakan kinerja bisnis dalam menggerakan perekonomian, serta
memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan instrument yang lebih
efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa.
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan pada masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Apa pengertian dan eksistensi bisnis syariah?

4
2.Apa sengketa bisnis syariah dan karakteristiknya?
3.Apa lembaga penyelesaian sengketa bisnis syariah?
4.Apa hukum yang mengatur arbitrase di Indonesia ?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui pengertian dan eksistensi bisnis syariah
2.Untuk mengetahui sengketa bisnis syariah dan karakteristiknya
3.Untuk mengetahui lembaga penyelesaian sengketa bisnis syariah
4.Untuk Mengetahui hukum yang mengatur arbitrase di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

5
A. Pengertian dan Eksistensi Bisnis Syariah
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata bisnis antara lain diartikan sebagai
usaha dagang; usaha komersial dalam perdagangan. Bisnis adalah interaksi antara dua
pihak atau lebih dalam bentuk tertentu guna meraih manfaat dan karena interaksi
tersebut mengandung resiko, maka diperlukan manajemen yang baik untuk
meminimalkan sedapat mungkin resiko itu.Dalam defenisi lain, bisnis adalah segala
bentuk aktifitas dari berbagai transaksi yang dilakukan manusia guna menghasilkan
keuntungan, baik berupa barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari. Adapun yang dimaksud dengan syariah adalah hukum-hukum
(peraturan) yang diturunkan oleh allah SWT, melalui rasulnya yang mulia, untuk
umat manusia, agar mereka keluar dari kegelapan kedalam terang dan mendapatkan
petunjuk kearah yang lurus. Oleh karena itu, maka yang dimaksud dengan bisnis
syariah adalah serangkaian aktifitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak
dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan harta (barang/jasa) termasuk profitnya,
namun dibatasi dengan cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (atas aturan halal
dan haram).
Dalam beberapa dekade terakhir, bisnis islami telah berkembang begitu pesat,
bahkan telah berhasil menciptakan sejumlah peluang baru dan telah menarik perhatian
sejumlah kalangan. Dimulai dari sektor Islamic finance, sekarang bisnis islami
bergeser ke sektor traveling, Food, Cosmetics, Fashion dan e-commerce, tentu
kondisi tersebut telah memantik optimisme bagi sejumlah kalangan terutama bagi
para pelaku usaha bisnis islami, tak terkecuali para akdemisi yang selama ini telah
giat mengampanyekan ekonomi dan bisnis syariah.1

Akan tetapi di tengah optimisme tersebut, muncul sebuah tantangan baru yang
berasal dari perubahan zaman yang sedang beralih kepada penggunaan teknologi
informasi sebagai primadona, termasuk di dalamnya pada sektor bisnis (revolusi
industri 4.0). Adapun tantangan yang dimaksud tersebut adalah apa yang disebut
dengan “disruption”, dalam kontek bisnis, “disruption” telah menyebabkan dampak
dan perubahan struktur pasar yang begitu cepat dan kuat, penyebabnya adalah
masuknya berbagai inovasi dibidang bisnis dengan penggunaan teknologi informasi
sebagai pendekatan utama bisnisnya, bahkan, “disruption” juga telah menimbulkan
1
Mardani,2009,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah,Sinar Grafika Jakarta.

6
sejumlah konflik dan ketidak nyamanan bagi sejumlah kalangan, terutama bagi para
pelaku bisnis yang sudah berada pada “zona nyaman” dan sudah mempunyai nama
besar.
B. Sengketa Bisnis Syariah dan Karakteristiknya
Keterikatan pada hukum Islam berlakubagi para pihak baik yang muslim maupun
para pihak non muslim yang secara sukarela menundukkan dirinya untuk tunduk
pada Hukum Islam pada kontrak atau akad syariah yang telah dibuat. Dalam
suatu transaksi bisnis diperlukan prinsip kafah itu sendiri yang berarti sejak awal
penandatanganan kontrak hingga akhir pelaksanaannya maka menundukkan diri
pada syariah, termasuk pula instrumen penyelesaian sengketanya jika terjadi sengketa
ekonomi syariah di kemudian hari.
Dengan diterapkan prinsip itikadbaik dalam suatu perjanjian baik dalam skema
hukum konvensional maupu hukum Islam, maka kinerja suatu kontrak akan terhindar
dari munculnya suatu sengketa. Al Quran yang merupakan sumber hukum utama
syariah bertujuan untuk mewujudkan standar dasar bagi masyarakat muslim dan
membimbing masyarakat tersebut dalam hak dan tanggung jawab mereka.Pada saat
wahyu yang itu memberikan seperangkat prinsip progresif salah satunya adalah good
faith, di samping nilai-nilai compassion (cinta kasih),justice (keadilan) dan etika
agama ( religious ethics). Pada kenyataanya dari 6000 ayat dalam Al Quran, namun
dapat dikatakan hanya 80 ayat saja yang bersifat hukum yang tegas.2

Dalam suatu transaksi bisnis diperlukan prinsip kafah itu sendiri yang berarti sejak
awal penandatanganan kontrak hingga akhir pelaksanaannya maka menundukkan diri
pada syariah,termasuk pula instrumen penyelesaian ssengketany jika terjadi sengketa
ekonomi syariah di kemudian hari.Sementara pada perkembangan ekonomi dunia, di
beberapa negara mulai nampak akan kebutuhan masyarakat atas perangkat hukum
Islam(syariah) untuk berkontribusi sebagai hukum yang mengatur suatu kontrak
(pembuatan dokumen keuangan syariah) hingga menjadi landasan hukum dalam
penyelesaian suatu sengketa bisnis syariah. Hal ini menunjukkan pentingnya
pembahasan hukum Islam sebagai sumber hukum pembuatanbkontrak syariah dan
sebagai hukum yang mengatur proses penyelesaian sengketa baik secara nasional
maupun internasional.

2
Cik Basir,2009, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah
Syariah,Kencana, Jakarta

7
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik sharia compliance (ketundukan pada
syariah) dalam upaya penyelesaian sengketa ekonomi syariah tercermin pada sebagai
berikut :
a) Sharia Compliance dalam pembuatan kontrak(Choice ofLaw)
b) Sharia Compliance dalam pembuatan kontrak (Choice of Law) dalam
(Choice of Forum) baik melalui litigasi maupun non litigasi
c) Sharia Compliance dalam penanganan default atau delays
payment(Ta’widh)
d) Sharia Compliace dalam eksekusi Hak Tanggungan berbasis akad Syariah
e) Sharia Compliance dalam Taflis (kepailitan syariah) .3

C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah


Saat ini bisnis syariah berkembang dengan pesat. Fakta di lapangan menunjukkan
hampir di semua aktivitas bisnis yang berbasiskan konvensional telah diikuti dengan
bisnis yang berbasiskan prinsip syariah. Sebagai contoh, perbankan konvensional
yang diikuti dengan perbankan syariah; asuransi konvensional, yang diikuti dengan
asuransi syariah, pasar modal konvensional, yang diikuti dengan pasar modal syariah,
dan sebagainya
Dalam bisnis, baik berdasarkan konvensional ataupun syariah, konflik atau
sengketa kadangkala terjadi dan tidak bisa dihindari. Konflik yang terjadi bisa saja
disebabkan oleh adanya salah satu pihak yang ingkar janji atas perjanjian yang telah
disepakati bersama di dalam kontrak. Konflik yang terjadi dalam aktivitas bisnis
seyogyanya diselesaikan dengan cepat, jika tidak diselesaikan secara cepat, tentu akan
menghambat kinerja bisnis yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian.
bisnis syariah yang dioperasikan dengan berdasarkan prinsip syariah, maka
diharapkan konflik yang timbul di dalamnya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang
berdasarkan prinsip syariah pula. lembaga tersebut dibagi menjadi dua adalah sebagai
berikut :
1.Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,
hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat
untuk mengetahui substansinya serta hal yang senantiasa ada menyertai substansi

3
Fiska Silvia Raden Roro, Departemen Hukum Islam Universitas Airlangga, Karakteristik Sharia Compliance
Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,Vol.1,No.1,Mei 2017/1438 H

8
perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan
perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah
mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses
pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa
perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal
penting yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum proses di persidangan dimulai.
Adapun halhal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tersebut antara lain,
sebagai berikut :
a. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung
klausa arbitraseInilah hal penting yang pertama-tama harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum memeriksa lebih lanjut perkara perbankan syariah yang diajukan ke
pengadilan agama, yakni memastikan terlebih dahulu bahwa perkara perbankan
syariah yang ditangani tersebut bukan termasuk perkara perjanjian yang di dalamnya
terdapat klausula arbitrase (arbitration clause).
b. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para
pihakSetelah dipastikan bahwa perkara erbankan syariah yang ditangani tersebut
bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase.4
2. Tidak Melalui Persidangan (Non Ligitasi)
a.Arbitrase Syariah (Tahkim)
Kata arbitrase berasal bahasa latin yaitu ‘arbitare’ yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau
wasit. dapat dipahami bahwa arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dilakukan berdasarkan perjanjian yang disepakati oleh para
pihak. Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase dianggap relevan karena
lebih fleksible, cepat, tidak begitu formal dan berbiaya yang relatif murah
dibandingkan dengan peradilan biasa.
Dalam Hukum Islam, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dikenal dengan
nama tahkim. Tahkim diakui sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian
sengketa yang diperbolehkan di luar lembaga peradilan (al-Qada). Takhim dapat
didefinisikan sebagai penyerahan suatu sengketa oleh dua pihak atau lebih kepada
pihak ketiga (hakam) untuk diselesaikan berdasarkan syariah. Pengaturan tentang
tahkim ini juga tertulis secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadith. Terdapat

4
Wirdyaningsih dkk,Bank dan Asuransi Islamdi Indonesia,Grafika Persada Bandung.h.240

9
beberapa ayat dalam al-Quran yang mengatur pelaksanaan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, antara lain:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan kebaikan,
niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 4:35)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka merasa tidak keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS 4 : 65)

Ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa Allah SWT mendukung


penyelesaian sengketa melalui tahkim (arbitrase) dan mengajurkan kepada umat
Muslim untuk memilih seseorang sebagai hakam dalam menyelesaikan sengketa
mereka. Meski pada ayat pertama di atas secara tekstual terkait tentang masalah
keluarga, namun penting untuk dicatat bahwa tahkim tidak hanya semata-mata
digunakan untuk menyelesaikan perkara keluarga saja, namun juga bisa digunakan
untuk menyelesaikan sengketa komersial, keuangan, perbankan dan sengketa sipil
(civil) lainnya. Nabi Muhammad SAW juga secara jelas mengakui praktik tahkim.
Ketika masa hidup Nabi, ada banyak contoh di mana Nabi sendiri mempraktikan
tahkim, dan sering bertindak sebagai hakam (arbiter) antara individu-individu dan
suku-suku Arab dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
Menurut Syed Khalid Rashid Islam mendorong penyelesaian sengketa melalui
tahkim (arbitrase). Dalam tahkim, proses penyelesaian sengketa dilakukan secara
informal, tidak teknis, murah dan cepat. Masing-masing pihak berhak untuk
menarik diri dari proses arbitrase sebelum putusan (award) diberikan. Jika para
pihak telah menetapkan batas waktu untuk kenyamanan mereka, maka harus
dipatuhi. Pihak yang bersengketa dapat menunjuk seorang arbiter. Lalu, arbiter
dalam hukum Islam tidak terbelenggu dengan prosedur berbelit-belit. Jika
penyelesaian sengketa tidak tercapai, maka arbiter bisa memberikan putusan yang
mengikat secara hukum kepada kedua belah pihak. Dalam memberikan suatu
putusan, arbiter diperbolehkan menggunakan intuisinya berdasarkan kewajaran,
keadilan dan kesetaraan (amiable composition) selama hal tersebut tidak

10
melanggar prinsip syariah atau peraturan kebiasaan yang relevan dalam
menyelesaikan perselisihan.5
Berdasarkan penjelasan di atas, tahkim sangat berguna dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Dalam menyelesaikan ekonomi syariah, sebaiknya
ditunjuk individu yang ahli di bidangnya sehingga penyelesaiannya lebih
maksimal dan ditangani oleh individu yang kompoten. Saat ini, di beberapa
negara seperti Indonesia dan Malaysia telah menerapkan arbitrase yang
berdasarkan prinsip syariah guna menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Di
Indonesia arbitrase syariah (tahkim) dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS), di Malaysia, dikenal dengan Kuala Lumpur Regional
Centre for Arbitration (KLRCA) juga telah mengeluarkan Islamic Banking and
Finance Rules of KLRCA untuk menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan
syariah.
Pertama, penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah
mufakat.Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini merupakan
jalur paling awal yang dilalui oleh pihak yang bersangkutan sebelum akhirnya
masuk padabjalur hukum atau pengadilan. Berikut ini langkah-seluruh perkaranya
terbuka untuk umum sehingga dapat diakses oleh siapa saja.
Langkah dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat,
yaitu: (1) mengembalikan pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya; (2)
para pihak yakni nasabah dan bank kembali duduk bersama dan fokus kepada
masalah yang dipersengketakan; (3) mengedepankan musyawarah dan
kekeluargaan, hal ini sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa; dan
(4)tercapainya perdamaian antara pihak yang bersengketa.
Kedua, penyelesaian sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
disingkat LAPS (alternative dispute resolution). dengan cara mediasi, konsultasi,
negosiasi ,konsiliasi dan pendapat para ahli.

D. Hukum Yang Mengatur Arbitrase di Indonesia


Landasan hukum arbitrase Indonesia itu adalah undang-undang nomor 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang didasarkan atas
undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman yang telah diamandemen melalui undang-undang nomor 04 tahun 2004
5
Abdul Ghafur Anshori,Tanya Jawab Perbankan Syariah,(Yogyakarta:UII Pres,2008).h.32.236

11
dan undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam
penjelasan pasal 3 ayat (1) undang-undang nomor 14 tahun 1970 itu disebutkan,
bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
pengadilan.Penyelesaian sengketa, terutama dikalangan pebisnis banyak diminati. Hal
ini mengingat arbitrase dipandang banyak memberikan kemudahan dan aman dari
pemberitaan, yang terkadang sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan bisnis.
Secara umum, kelebihan dan keuntungan arbitrase dapat dicermati dari beberapa butir
pernyataan berikut:
1) Dapat menyimpan rahasia. Dengan kata lain, bahwa segala jenis sengket
iselesaikan melalui jalur arbitrase adalah tertutup untuk umum, kecuali apabila
diminta atau diizinkan oleh para pihak.
2) Cepat dan murah. Apabila diselesaikan melalui pengadilan memerlukan waktu
yang sangat lama, mulai pengadilan tingkat pertama yang berbulan-bulan, belum
lagi pengadilan tinggi pada saat banding, dan mahkamah agung apabila
melakukan kasasi. Sedangkan alam arbitrase waktu yang tersedia relatif pendek,
dibatasi sampai dengan 180 hari. 6
3) Final dan mengikat. Dalam penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase tidak
dikenal banding dan kasasi. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan satu proses,
dan putusan final, memiliki kekuatan hukum dan mengikat semua pihak untuk
menaati dan mematuhinya.

“lembaga yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan yang (mungkin) terjadi di


antara dua pihak yang mengadakan perjanjian”, sepanjang hal itu disetujui oleh kedua
belah pihak, secara sah diakui di negara kita. Dalam praktik “lembaga” dimaksud, ada
yang menamakannya “peradilan wasit” atau “wasit” saja dan ada pula yang
menamakan “Badan Arbitrase”.
Pasal 3 ayat (2) UU 4/2004 (ekuivalen dengan pasal 2 ayat (2) UU 48/2009) berbunyi
“Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila”. Sedangkan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Ketentuan ini tidak
menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara
melalui perdamaian atau arbitrase.” (Pasal 3 ayat (1) UU 4/2004 ini ekuivalen dengan

6
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,(Bandung:PT Citra Bakti,1993).h.276

12
Pasal 2 ayat (3) UU 48/2009 dan tidak ada Penjelasan lebih lanjut untuk Pasal ini
sebab arbitrase telah diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab XII Pasal 58-61). Arbitrase
ini dalam konteks hukum Islam tentunya adalah Arbitrase Syariah.
Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang –
Undang ini merupakan perubahan atas peraaturan mengenai arbitrase yang sudah
tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan internasional. Ketentuan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatblad 1847 : 52), Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staatblad 1941 :
44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buistengewesten, Staatsblad 1927 : 227), Sudah tidak berlaku.
Surat Keterangan (SK) MUI (Majelis ulama Indonesia) SK Dewan pimpinan MUI
No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 tentang badan arbitrase syariah
nasional. Badan arbitrase syariah nasional adalah lembaga hakim (arbitrase syariah)
satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa
muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain-
lain. 7

7
Suyud Margono,2000 ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum,Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm114

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bisnis syariah adalah serangkaian aktifitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang
tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan harta (barang/jasa) termasuk profitnya,
namun dibatasi dengan cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (atas aturan halal
dan haram).Dalam beberapa dekade terakhir, bisnis islami telah berkembang begitu
pesat, bahkan telah berhasil menciptakan sejumlah peluang baru dan telah menarik
perhatian sejumlah kalangan. Dimulai dari sektor Islamic finance, sekarang bisnis
islami bergeser ke sektor traveling, Food, Cosmetics, Fashion dan e-commerce dan
lainnya.karakteristik sengketa bisnis syariah adalah Sharia Compliance dalam
pembuatan kontrak(Choice ofLaw),Sharia Compliance dalam pembuatan kontrak
(Choice of Law) ShariaCompliance dalam (Choice of Forum) baik melalui litigasi
maupun non litigasi,Sharia Compliance dalam penanganan default atau delays for
payment(Ta’widh),Sharia Compliace dalam eksekusi Hak Tanggungan berbasis
akad Syariah,Sharia Compliance dalam Taflis (kepailitan syariah) .lembaga
penyelesaian sengketa ada dua yaitu litigasi (melalui persidangan) dan non
litigasi.dasar hukum arbiterase yaitu Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca dan kami sadar makalah ini
jauh dari kata sempurna oleh sebab itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk dari
pembaca.untuk perbaikan makalah selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur Anshori,Tanya Jawab Perbankan Syariah,(Yogyakarta:UII


Pres,2008).h.32.236

Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,(Bandung:PT Citra


Bakti,1993).h.276

Cik Basir,2009, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan


Mahkamah Syariah,Kencana, Jakarta

Fiska Silvia Raden Roro, Departemen Hukum Islam Universitas Airlangga, Karakteristik
Sharia Compliance Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia,Vol.1,No.1,Mei 2017/1438 H

Mardani,2009,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah,Sinar


Grafika Jakarta.

Suyud Margono,2000 ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase Proses


Pelembagaan dan Aspek Hukum,Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm114

Wirdyaningsih dkk,Bank dan Asuransi Islamdi Indonesia,h.240

15

Anda mungkin juga menyukai