Disusun Oleh :
i
DAFTAR ISI
i
Kata Pengantar……………………………………………………………............
ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………..........
iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II
3
PEMBAHASAN
3
A. Pengertian Pesaingan Usaha……..................………………………..
5
B. Persaingan Usaha di Indonesia...........................................................
8
C. Pentingnya Hukum Persaingan Usaha....................................................
13
D. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang Dilarang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………….......................
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah yang
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas Hukum Dagang kelas 4H1 dari Ibu Kiki
Yulinda, S.H, M.H pada bidang studi Ilmu Hukum. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Kiki Yulinda, S.H, M.H selaku dosen
pengampu mata kuliah Hukum Dagang. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah
wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak kesalahan.
Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca
temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca
Penulis
i
BAB
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
masyarakat banyak dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan
pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka
menyosong era perdagangan bebas, kita juga dituntut untuk menyiapkan dan
mengharmonisasikan rambu-rambu hukum yang mengatur hubungan
ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan demikian dunia internasional juga
mempunyai andil dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-
undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran
ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup
untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal
yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan
antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat
melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan
melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat
persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan
pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses
persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan
dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku
usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja
ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa
keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang
disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian
nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur
pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara
sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun
dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan
mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya
hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking) dari
pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak
istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi
William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber
utama penyebab inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat pada ekonomi
biaya tinggi (high cost economy).
4
Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan
usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam
Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini
pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi
Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-
undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada
tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut
hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI
No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia
memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.
5
1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam
iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,
dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh
Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
6
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
7
tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat
bukti dalam kasus persaingan usaha.
Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu
kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang
berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis
dan otentik sebagai alat bukti yang kuat.
Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti
adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum
Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim
Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada
umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk
memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis,
yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya
perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang
bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian
yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1. Oligopoli,
2. Penetapan harga
8
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing,
sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur harga. Hal ini
bisa juga disebut kartel harga. Penetapan harga adalah salah satu
bentuk perjanjian pengaturan harga. Di luar itu ada bentuk perjanjian
price discrimination (diskriminasi terhadap pesaing), predatory
pricing (banting harga), dan resale price maintenance (mengatur
harga jual kembali atas suatu produk).
3. Pembagian wilayah,
4. Pemboikotan,
5. Kartel,
6. Trust,
7. Oligopsoni,
9
Perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa dalam
suatu pasar oleh 2 s.d. 3 pelaku usaha atau 2 s.d. 3 kelompok pelaku
usaha tertentu.
10
3. Penguasaan pasar. Ada beberapa kegiatan yang termasuk kategori
kegiatan penguasaan pasar yang dilarang:
3) Posisi Dominan
11
Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku
usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila:
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau
jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
E. Lembaga KPPU
12
Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas
tugas KPPU terdiri dari:
13
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 5
tahun 1999.
8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6
tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
9. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
10. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti
lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
12. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
13. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa
keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14
hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan
keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam
ini, KPPU bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan
pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh
14
karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada
kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum
antimonopoli.
Hal ini sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang
tercantum dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yakni
untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu
yang berkaitan dengan persaingan usaha.
2. Adapun falsafah yang melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut
ada tiga hal, yaitu:
1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam
iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,
dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh
Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
3. Tujuan diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat.
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
4. Perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha:
16
a. Oligopoli, f. Trust,
a. Monopoli,
b. Monopsoni,
c. Penguasaan pasar,
d. Persekongkolan.
1
DAFTAR PUSTAKA
http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-persaingan-usaha.html. Diakses
tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:39
http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-
usaha/. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:33
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-di-susun-
guna.html. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:27
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-5-1999.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2014
Pukul 00:20
http://www.kppu.go.id/docs/buku/buku_ajar.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2014
Pukul 00:12
18