Anda di halaman 1dari 6

NIHILISME KEADILAN:

Skenario Penerapan Prinsip-Prinsip Keadilan pada Putusan Hakim

Herman Bakir

ABSTRAK

Sesi-sesi pengambilan keputusan atas perkara-perkara di ruang sidang, mengharuskan seorang


hakim (model pengadilan hiper-utilitarianis) untuk masuk ke zona ketidakberhinggaan dari
jagad nilai. Bertahta sesuatu berciri meta-ekslusif di keluasan ini, sesuatu yang akan telah
memiliki posisi sendiri secara strategis-objektif, posisi yang tetap-tidak pernah berubah
(mutlak) serta memiliki keberlakuan universal. Ia adalah Aequitas, daya aktif Kosmos yang
suatu ketika diseru Hermeneutika Hukum sebagai Die Erste Tugend (baca: kebajikan
pertama) yang jauh bersemayam di wilayah paling pusat dari segenap kekuatan/kebajikan
interpretatif yang dianut segenap praktik hukum. Sekali lagi, Die Erste Tugend ini adalah
joeie de vivre of Universe atau “vitalitas Semesta” yang bersirkulasi di dalam pertimbangan
(pikiran dan sikap tubuh) seorang hakim di persidangan. Aequitas akan menjadikan sebuah
produk putusan interpretatif para hakim bisa “benar-benar menggeliat dan bekerja” di dalam
sejarah, ilmu pengetahuan serta ruang kemasyarakatannya.

S
emua tesis, argumentasi, gagasan, serta visi kefilsafatan yang
diprojeksikan untuk penguatan/peneguhan sebuah “inflamatori”
(provokasi) tentang kemutlakan/fundamentalisme Iūstitia (baca:
keadilan), Certitudo (kebenaran) dan Veritas (kebenaran) di ruang
pengolahan interpretatif hukum, harus memiliki Aequitas
(kepatutan; kepantasan; kelayakan; kesemestian) sebagai fundasi
konstruktif/strukturalnya. Tanpa Aequitas, bahkan setiap orang dapat
memastikan, semua inflamatori terkait, seberapa pun inkredibel, gombal,
memabukkan dan memukaunya, niscaya tidak akan barang sedikit pun
memungkinkan hukum benar-benar dapat bekerja di dalam ilmu, sejarah dan
terutama masyarakat. Aequitas, pada ambang-batas ini adalah the fuel atau
“bahan-bakar” yang memungkinkan segenap tesis, argumentasi, gagasan, serta
visi kefilsafatan tentang Iūstitia, Certitudo dan Veritas sedemikian mendapat
suntikan “tenaga” saat dilepas sebagai “turbin/generator moral yang tengah
bekerja (di dalam hukum).” Tanpa Aequitas, niscaya pertimbangan keadilan,
kepastian dan kebenaran seorang hakim di persidangan, hanyalah “kapal kargo”
yang gagal berlayar mengangkut barang muatannya dengan mengarungi laut
lepas, lantaran kehabisan bahan bakar. Kapal ini hanya terapung di tengah
ketidakpastian cuaca serta arus lepas gelombang yang menggemuruh, tanpa
pernah dapat menjelaskan, apa bisa menepi atau karam sama sekali.
Kapal kargo yang tengah berlayar di atas, bisa saja menjadi salah satu
ancaman terbesar yang akan menenggelamkan keseluruhan postulat yang
dikembangkan/dimutakhirkan barat, sejak duapuluh lima abad terakhir. Sejak
PLATO, sebagian filosof barat, terutama JOHN LOCKE, LEO STRAUSS, JOHN RAWLS,
NOAM CHOMSKY, dan juga MICHAEL SANDEL telah bersepakat bahwa Iūstitia
(baca: keadilan) sebagai tujuan terjauh dari politik pembentukan hukum oleh
pengadilan. Sama persis seorang consul bangsa Romawi, LUCIUS CALPURNIUS


The author is a Ph.D holder in philosophy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
PISO CAESONINUS (58 S.M) yang secara ekspresif/emosional pernah mengungkap
di Macedonia, sebuah semboyan yang hingga hari ini sedemikian terkenal, “fiat
justitia ruat caelum” (keadilan harus tegak, sekali pun langit runtuh) (lihat: Judith
Resnik & Dennis Edward Curtis, 2011: 581). Namun di sinilah kesalahannya.
IŪSTITIA terlalu rapuh untuk diandalkan, mengawal proses-proses hermeneutikal
di persidangan dengan konklusi-konklusi yang memanggul beban objektivitas
keilmuan, sejarah dan sosial sedemikian berat.
Saya dapat memastikan bahwa ekspektasi yang berlebih terhadap klaim
objektivitas dan imparsialitas Iūstitia pada level produk keputusan (ajudikatorial),
tidak ubahnya pemberhalaan bintang selatan yang misterius dan penuh tipu daya.
Cahayanya yang palsu dan menipu, akan menarik sepenggal perhatian/menggoda
panel hakim di persidangan dengan caranya. Si hakim yang bingung seperti
berusaha untuk terus mengejarnya. Namun semakin ingin ia mengejarnya,
semakin jauh pula cahaya itu berlari meninggalkannya. Hingga pada gilirannya,
sang hakim benar-benar telah kehilangan jejak. Kini ia sadar, bahwa tidak
mungkin baginya untuk memaksakan diri melawan mitos tentang skenario
nihilistik dalam politik pembentukan putusan-putusan yang adil (berkeadilan). Ini
hanya menjadikan pertimbangan-pertimbangan terhuyung-huyung di dalam tipu-
daya, skenario-skenario, sensasi-sensasi emosional-sentimental yang
memabukkan. Pendirian ini tampaknya harus diterima, diserap, disimpan baik-
baik di dalam benaknya untuk seumur hidup. Putusan yang adil (keadilan),
hanyalah gagasan kosong-hampa, tautologi atau ideologi tidak berkejelasan, tidak
mungkin, tidak lebih dari sebuah legalitas (pengabsahan) belaka. Seperti diungkap
CARLO FOCARELLI (57: 2012) dalam tingkat kekuatiran yang sebanding dengan
ini,“…a general definition of justice is not only either impossible or empty, but
undesirable and dangerous…”
Hal ini bisa terjadi dikarenakan satu hal. Keadilan bukanlah gejala yang
datang dan terlahir sebagai kristalisasi proses berpikir rasional yang mapan.
Keadilan selalu keluar untuk mewakili penilaian subjek tertentu. Keadilan adalah
ungkapan emosional terhadap apa yang oleh sentimen subjektif seseorang
dirasakan mereduksi kenyamanannya, kebahagiaannya, kesenangannya dan
seterusnya. Sumber penilaian ini ada pada pengalaman emosional yang
bersangkutan, dalam artian, keadilan terkait dengan yang secara emosional
“dirasakan” orang sebagai ketidak-adilan (lihat: Montada & Lerner, 1996: 7).
Semisal kepentingan untuk melanjutkan hidup, kepentingan untuk mendapatkan
kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, bersekolah dan seterusnya. Ringkasnya,
keadilan adalah secercah “rasa” atau “perasaan” terhadap pengalaman personal
seseorang, sehubungan sikap/perlakuan yang dari sudutpandangnya, bertentangan
dengan kepentingan, kenikmatan atau kesenangan personalnya. Inilah
pertimbangan yang kemudian mengilhami penyair-penyair di dunia barat sana
untuk menambahkan kata sense di belakangnya, menjadi: sense of justice
(perasaan keadilan).
Rasa atau perasaan itu sendiri selalu subjektif. Michael Foucault, dikutip
Siobhan Holohan (2005: 98) pernah menelusur-balik mengenai ini: “our minds
can be objective, but our bodies are always subjective. When we feel something
(which acts upon us) it is as entirely subjective experience...” Jalan berpikir
seseorang bisa saja objektif. Namun tidak demikian bahasa yang digunakan
anggota-anggota tubuhnya. Anggota-anggota tubuh yang bersangkutan senantiasa
ada dalam sikap/posisi subjektif. Saat di mana yang bersangkutan mulai
“merasakan” sesuatu hal (dengan persepsi dan indera), maka secara keseluruhan
dapat dipastikan, bahwa ini hanya berkenaan pengalaman subjektif yang
bersangkutan. Dengan demikian, keseluruhan situasi yang berpusat dari rasa atau
perasaan adalah pengalaman subjektif, termasuk rasa atau perasaan keadilan itu
sendiri.
Hal ini misalnya dapat diperhatikan pada tulisan MANIA TELO (27 Oktober
2013) dalam rubrik Opini Kompasiana, “…Presiden RI, SBY... merasa telah
diperlakukan tidak adil atas apa yang menimpa dirinya, keluarganya serta
partainya, Partai Demokrat...” Apa yang ditemukan di dalam kasus SBY di atas,
sebanding dengan yang dicontohkan ALEX ROSS (1969: 274) sehubungan
keadilan, “banging on the table.” SBY dalam penafsiran ini, sama halnya
“seseorang yang tengah berada dalam puncak kemarahan mengetahui dikhianati
isterinya, dan kemudian menumpahkannya dengan cara menggebrak meja atau
membanting daun pintu.” Dengan demikian, keadilan adalah apa yang secara
individual dipikirkan oleh seseorang untuk dipatahkan atau sekurang-kurangnya
disangkal di dalam hatinya. Setiap orang akan mengalami di dalam hidupnya apa
pun yang dari sudutpandang subjektif-personalnya dipandang sebagai
ketidakadilan, dan ia merasa harus “melawan”/“memberontak” sebisa mungkin.
Penggunaan sudutpandang subjektif di dalam terminologi keadilan di atas,
pernah disinggung C. DOUZINAS & A. GEAREY (2005: 116), dua kaum
“dekonstruksionis” (pengikut Derrida) sejaman, “justice is a merely subjective
opinion which is passed off as objective in any legal discourse, including
international law discourse, and is no different in this respect from all
reasoning about natural law.” Kurang lebih yang dapat dipahami dari yang
dikatakan dua dekonstruksionis di atas, bahwa keadilan hanyalah sekedar
penilaian/pandangan subjektif yang pada gilirannya direkayasa/dimanipulasi
dalam diskursus-diskursus hukum sebagai kaidah yang seolah-olah objektif.
Manipulasi ini tidak saja secara berkesinambungan diusahakan pada semua
diskursus-diskursus hukum yang umum, tapi juga khususnya dalam bidang
hukum internasional. Hal yang sama juga dapat diperhatikan pada pekerjaan
filsuf-filsuf dengan keseluruhan kontemplasi reflektif mereka terhadap apa yang
mereka pahami sebagai keadilan. Padahal, sudah menjadi sebuah kodrat, tidak
akan pernah ada keadilan yang objektif, imparsial, independen dan bebas
prasangka sehingga dapat diargumentasikan kesahihannya dengan sebuah
mekanisme penalaran yang abstrak. Klaim keadilan dalam kasus SBY bisa
dijadikan referensi, bahwa apa yang dikeluhkannya itu tidak didasarkan pada
rekonsiliasi universal atau ketaatan/keyakinan rasional dari pihak lain di luar
dirinya. Semata-mata ini hanyalah sejauh ambang-batas perasaan “bersimpati”
pihak lain yang kebetulan memperhatikannya.
Demikianlah, A. MCINTYRE (1998: 125) mengungkapnya lebih jauh dalam
salah satu tulisannya, “what is just in one sense may thus not be just, or equally
just, in another sense.” Apa yang adil dari sebuah sudutpandang tertentu, bisa
saja tidak adil atau dalam cara yang sama tidak adil dari sudutpandang yang lain.
Kontradiksi sudutpandang ini pernah diperdebatkan secara sangat terperinci oleh
seorang MICHAEL J. SANDEL (2011), gurubesar besar filsafat politik terkemuka
Universitas Harvard abad ini. SANDEL dalam uraiannya, mengajukan dua skema
hipotetik:
Pertama: sebuah situasi (perampokan) di mana saya harus memilih berdasar
“sentimen” atau “perasaan keadilan” saya:
1. Membunuh seorang perampok (dengan tujuh anak masih kecil-kecil yang
harus dihidupinya) demi menyelamatkan nyawa lima manusia lain, atau;
2. Tidak melakukan apa pun, sekali pun saya tahu persis bahwa lima orang tak
berdosa akan segera tewas di depan mata saya, jika tidak segera membunuh
ayah (perampok) dengan tujuh orang anak di atas.
Pertanyaannya,
“Apa yang saya harus lakukan untuk (menegakkan) keadilan dalam situasi
ini?”
Serta,
“Hal apa yang paling adil dilakukan dalam menyudahi situasi seperti ini?”
Skema hipotetik kedua diajukan SANDEL, tentang putusan “kanibalisme.”
Setelah duapuluh satu hari tersesat/terkatung-katung di laut lepas, tanpa
kepastian, sang kapten pun akhirnya memutuskan menyembelih orang terlemah di
dalam kapal, yakni: seorang anak kabin (pesuruh kapal). Cukup adil dalam
pertimbangan si kapten, sebab darah, daging serta tulang sumsum si anak kabin,
dapat dimanfaatkan penumpang yang tersisa, untuk lebih lama bertahan hidup.
Secara moral, anak kabin ini memang memiliki hak untuk hidup. Namun sang
kapten (otoritas tunggal pengambil keputusan) berpendirian: menyelamatkan
nyawa dari penumpang dengan jumlah lebih besar, jauh lebih mulia
(berkeadilan), di banding menyelamatkan nyawa seorang anak kabin yang lemah
dan tidak terlalu berguna dalam situasi ini.
Dua skema hipotetik di atas menunjukkan bahwa: spekulasi/asumsi yang
bermain di belakang rasa atau perasaan keadilan seseorang, seringkali
berkontradiksi.
Jawaban pertanyaan tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil untuk
situasi-situasi tertentu tidak selalu hitam dan putih (definitif, jelas). Ada
“ketidakpastian” yang tergambar sangat kuat di sini, sehingga keadilan secara
mutlak “kontradiktif.” Sudah barang tentu, menjadi berbahayanya, bila keadilan
adalah tujuan terakhir atau fundasi teleologikal dari interpretasi hukum. Sebab
selain putusan-putusan hukum kehilangan konsistensialitas atau unsur
kepastiannya, dengan keadilan, putusan-putusan hukum juga dipaksa untuk
kehilangan objektivitasnya. Seperti diketahui, paradigma dari objektivitas adalah
sisi yang sangat dituntut untuk disediakan sebuah ilmu (baca: ilmu hukum) (lihat:
Shepard, 2010: 38). Sebuah keputusan, sebagaimana seringkali dikatakan, hanya
dapat dikualifikasi putusan keilmuan, sejauh memenuhi objektivitas (lihat:
Drewes & Mojau, 2003: 6). Akibat lebih jauh dari ketidakpastian ini adalah
ancaman ketidakadilan dalam jumlah jauh lebih besar. “Mengapa?” Para sarjana
hukum telah mengetahuinya jelas. Digagasnya “sistem” di dalam hukum (sistem
hukum), adalah sebagai tanggapan kolektif terhadap kerinduan pada terciptanya
sebuah suasana pasti di dalam penerapan hukum. Alhasil, menegasikan kepastian,
akan sama halnya dengan menegasikan sistem itu sendiri.
Menyelesaikan polemik ini, saya telah menetapkan sebuah pendirian.
Objektivitas dari Iūstitia atau keadilan bukanlah hal yang tidak mungkin.
Objektivitas dari Iūstitia bisa dicapai, sejauh orang mengapresiasinya sebagai
suatu “prosedur pengajuan klaim atas hak.” Pengertian ini diperoleh dengan
mendasarkan pada format teknikal dari klaim-klaim keadilan itu sendiri. Di dalam
sebuah klaim keadilan akan dikontrol serta didesain, kebutuhan-kebutuhan teknis
apa saja yang ingin dituangkan para pencari keadilan. Pada tingkatan inilah
Iūstitia akan benar-benar dapat menemukan kualifikasi objektifnya. Pengertian
teknikal itu misalnya diperolehnya pada beberapa kondisi di bawah ini, yakni:
1. Saat di mana seseorang menggunakan hak atau tanggungjawabnya
melaporkan tentang telah atau sedang atau diduga terjadinya peristiwa
(kejahatan) pidana ke hadapan pejabat kepolisian;
2. Saat di mana penuntut umum membacakan dakwaan di hadapan hakim,
sehubungan keadaan yang mendahului, menyertai serta mengikuti suatu
pelanggaran hukum pidana yang dipersangkakan;
3. Saat di mana seseorang meminta diputus oleh hakim pengadilan berwenang,
tentang hak-hak perdata yang bersangkutan, yang dalam pandangannya telah
dilanggar secara melawan hukum oleh pihak lain, sehingga timbul kerugian
dari suatu sudutpandang yang bersangkutan;
4. Saat seseorang menggunakan haknya untuk mengajukan banding (terhadap
putusan tingkat pertama), Kasasi (terhadap putusan banding), peninjauan
kembali (PK), Grasi dan seterusnya;
5. Saat seorang melayangkan gugatan kepada pengadilan yang berkompeten
menyangkut sah tidaknya penangkapan atau penahanan atas dirinya
(kesalahan mengenai orang atau hukumnya), atau tentang sah tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan terhadap pihak lain atau tentang
permintaan ganti-rugi dan rehabilitasi atas dirinya atau karena kesalahan
penyitaan yang tidak termasuk alat bukti dan seterusnya;
dan seterusnya…
Begitulah Iūstitia ketika didekati sebagai suatu format teknikal, yakni sebagai
prosedur pengajuan klaim pelanggaran atas hak. Maksudnya jelas, Iūstitia hanya
objektif sejauh didekati dari format teknikal seperti ini, yakni sebuah klaim.
Namun demikian, sekali pun mencapai objektivitasnya dalam cara ini, “isi” atau
“bunyi” dari klaim atas hak itu sendiri selamanya akan selalu “subjektif.” Sebab
isi dari sebuah klaim seperti ini, selalu mengungkap kepentingan subjektif pihak
mengajukan klaim. Di luar definisi teknikal di atas, yakni definisi-definisi
substsansial, sampai kapan pun dan di mana pun, perdebatan tentang keadilan
selalu berakhir dengan kontradiksi.
Seberapa pun kontradiktifnya, keadilan jauh lebih “liat” “kenyal” dan
“handal” di banding hal apa pun yang pernah terbayangkan di benak kelompok
penyangkal (objektivitas) keadilan, yang seringkali dihujat dengan kegagalan-
kegagalan “pendekatan kepastian” (saintifik/positivistik) yang mereka ajukan.
Penyangkal-penyangkal ini bisa saja menghasut hakim-hakim agar membunuh
dan melempar keadilan seperti halnya bangkai organik ke tepian sungai-sungai
kotor melalui pintu belakang gedung pengadilan. Namun sesegera mungkin,
seolah hantu bergentayangan, keadilan sudah kembali datang mengetuk pintu
gerbang pengadilan. Satu hal yang sulit, adalah hal yang mustahil bagi seseorang
hakim bersama penegak hukum lainnya, untuk menjalankan karir
ajudikatorialnya/profesionalnya dengan tanpa melibatkan sama sekali sentimen
atau perasaan keadilan yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Bakir, Herman. 2003. Asas Hukum & Aspek Galiannya. Cet. 1. Jakarta: UPT
Universitas Tarumanagara
___________________., 2005. Kastil Teori Hukum. Cet. 1. Jakarta: Indeks
Gramedia
___________________., 2010. Filsafat Hukum: Desain & Arsitektur
Kesejarahan. Bandung: Refika Aditama
Drewes B.f. & Julianus Mojau M. 2007. Apa Itu Teologi: Pengantar Ke Dalam
Teologi. Cet. 4. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Foracelli, Carlo. 2012. International Law as Social Construct: The Struggle for
Global Justice. Ed. 1. Oxford: Oxford University Press
Holohan, Siobhan. 2005. The Search for Justice in a Media Age: Reading Stephen
Lawrence and Louise Woodward. New Heaven, CT: Yale
University Press
Montada, Leo & Melvin J. Lerner. 1996. Current Societal Concerns about
Justice. New York: Plenum Press
MacIntyre, Alasdair C. 1998. Short History of Ethics: A History of Moral
Philosophy from the Homeric Age to The Twentieth
Century. Ed. 2. London: Routledge
Resnik, Judith & Dennis Edward Curtis. 2011. Representing Justice: Invention,
Controversy, and Rights in City-states and Democratic
Courtrooms. New Heaven, CT: Yale University Press
Shepard, M. 2010. Cengage Advantage Books: Sociology. Ed. 10. Belmont, CA:
Wadsworth, Cengage Learning

Video
Sandel, Michael J. 04/09/2009. “Justice: What Is The Right Thing To Do? Ep. 1:
The Moral Side of The Murder.” On-line. Tersedia di
WWW: http://www.youtube.com/watch?v=kBdfcR-8hEY

Anda mungkin juga menyukai