Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM PERSAINGAN USAHA

OLEH:
NAMA : MISBAHUDDIN
NIM : 2161201845

PROGRAM STUDI MENAJEMEN ITB AHMAD AHLAN JAKARTA


2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala yang
telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah tentang hukum Persaingan Usaha ini,
penyusun selesaikan untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Hukum Bisnis.
Makalah ini berisi tentang pembahasan mengenai sejarah dan pengertian
Persaingan Usaha, pentingnya Persaingan Usaha beserta penjelasan dari
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang merupakan sumber hukum dari
Persaingan Usaha.
Penyusun menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik, saran dan solusinya
agar penyusun dapat menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang.
Dengan demikian, penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan
pembaca umumnya.

Makassar, 05 juni 2022

MISBAHUDDIN

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul……………………………………................................……………….……….i
Kata Pengantar………………………………………………………………...................................ii
iii
Daftar Isi………………………………………………………………………......................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............………........................………….………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pesaingan Usaha………………..................………………………..3
3
B. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.................................................
C. Pentingnya Hukum Persaingan Usaha...............................................5
D. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang Dilarang
8
dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia......................................
13
E. Lembaga KPPU.....................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 16
B. Saran............................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA………..…………………………………………..……...................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup


manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari persaingan
manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang dilakukan secara terus-
menerus untuk saling mengungguli membawa manusia berhasil
menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang berangsur-angsur menuju
arah yang semakin maju dari sebelumnya. Untuk terciptanya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua pihak, persaingan yang harus dilakukan adalah
persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari
sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur
persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan
semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak  yang merasa dirugikan.

Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang


mendasar dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara
lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di banyak negara
disebut Undang-Undang Antimonopoli. Undang-undang seperti ini sudah
sejak lama dinantikan oleh pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim
usaha yang sehat dan bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur sejumlah larangan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya,
dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan ini, pelaku usaha
atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat, serta

1
tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha, sehingga pada
gilirannya penguasaan pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di
samping itu dalam rangka menyosong era perdagangan bebas, kita juga
dituntut untuk menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu hukum
yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan
demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam mewujudkan
lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM PERSAINGAN USAHA


Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto,
hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrumen hukum yang
menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Menurut
Hermansyah hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum
yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan
usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang
dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan kebijakan persaingan
(competition policy) merupakan kebijakan yang berkaitan dengan masalah-
masalah di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku
usaha dalam menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen.
Tujuan kebijakan persaingan adalah untuk menjamin terlaksananya pasar
yang optimal, khususnya biaya produksi terendah, harga dan tingkat
keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.

B. HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA


Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai
perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi
yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980,
dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap
sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga
atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan
pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta

3
berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-
undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran
ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup
untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal
yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan
antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat
melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan
melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat
persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk
merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses
persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan
dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku
usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja
ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa
keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar
yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam
perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha
mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka
dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan
harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka.
Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas
untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan
sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent
seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan
hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar
ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu

4
sumber utama penyebab inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat
pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang
persaingan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya
disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam
hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya
Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada
tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut
hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No.
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia
memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.

C. PENTINGNYA HUKUM PERSAINGAN USAHA.

Sebuah persaingan membutuhkan adanya aturan main, karena


terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat berkerja dengan baik
(adanya informasi yang asimetris dan monopoli). Dalam pasar, biasanya ada
usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menghindari atau menghilangkan
terjadinya persaingan di antara mereka. Berkurangnya atau hilangnya
persaingan memungkinkan pelaku usaha memperoleh laba yang jauh lebih
besar. Di Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun
1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan

5
masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor.
Adapun falsafah yang melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut
ada tiga hal, yaitu:

1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada


terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam
iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,
dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh
Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian
internasional.

Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan


praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk
menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi
setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk meneiptakan persaingan usaha
yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk
lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari
semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku
usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik

6
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan
harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap
pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Adapun beberapa
tujuan diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi


nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah


terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang
usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan
memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan
memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan,
para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif.
Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk
yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik.
Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan
merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri
sebelum undang-undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan
tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.

7
D. PERJANJIAN, KEGIATAN, DAN POSISI DOMINAN YANG DILARANG DALAM
HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
1) Perjanjian yang dilarang
Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 5 Tahun 1999,
perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-
undang No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No. 5
tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat
bukti dalam kasus persaingan usaha.
Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak
begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata
yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti
tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat.
Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai
bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam
Hukum Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan
rezim Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada
umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk
memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk
tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh
karenanya perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang
bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha
akan jarang ditemukan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa
perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

8
1. Oligopoli,

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha


lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Dimana pelaku usaha tersebut patut diduga atau
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa, apabila 2 (dua) atau 3
(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Penetapan harga

Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing,


sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur harga. Hal ini
bisa juga disebut kartel harga. Penetapan harga adalah salah satu
bentuk perjanjian pengaturan harga. Di luar itu ada bentuk
perjanjian price discrimination (diskriminasi terhadap pesaing),
predatory pricing (banting harga), dan resale price maintenance
(mengatur harga jual kembali atas suatu produk).

3. Pembagian wilayah,

Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, untuk


berbagi wilayah pemasaran.

4. Pemboikotan,

Perjanjian di antara beberapa pelaku usaha untuk:

a) Menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry barrier);


b) Membatasi ruang gerak pelaku usaha lain untuk menjual atau
membeli suatu produk.

9
5. Kartel,

Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing,


sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur kuota produksi,
dan/atau alokasi pasar. Kartel juga bisa dilakukan untuk harga
(menjadi price fixing).

6. Trust,

Perjanjian kerja sama di antara pelaku usaha dengan cara


menggabungkan diri menjadi perseroan lebih besar, tetapi
eksistensi perusahaan masing-masing tetap ada.

7. Oligopsoni,

Perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa


dalam suatu pasar oleh 2 s.d. 3 pelaku usaha atau 2 s.d. 3 kelompok
pelaku usaha tertentu.

8. Integrasi vertikal (vertical integration),

Perjanjian di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam


satu rangkaian jenjang produksi barang tertentu, namun semuanya
berada dalam kontrol satu tangan (satu afiliasi), untuk secara
bersama-sama memenangkan persaingan secara tidak sehat.

9. Perjanjian tertutup (exclusive dealing),

Perjanjian di antara pemasok dan penjual produk untuk


memastikan pelaku usaha lainnya tidak diberi akses memperoleh
pasokan yang sama atau barang itu tidak dijual ke pihak tertentu.

10. Perjanjian dengan luar negeri

Semua bentuk perjanjian yang dilarang tidak hanya dilakukan antar


sesama pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga dengan pelaku
usaha dari luar negeri.

10
2) Kegiatan yang dilarang
Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang berkaitan dengan proses dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilarang menurut Undang-
Undang Antimonopoli adalah sebagai berikut:

1. Monopoli, yaitu kegiatan menguasai atas produksi dan/atau


pemasaran barang atau menguasai penggunaan jasa oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tertentu.

2. Monopsoni, yaitu kegiatan menguasai atas penerimaan pasokan


barang/jasa dalam suatu pasar oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha tertentu.

3. Penguasaan pasar. Ada beberapa kegiatan yang termasuk kategori


kegiatan penguasaan pasar yang dilarang:

a) menolak/menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry


barier);
b) menghalangi konsumen berhubungan dengan pelaku usaha
saingannya;
c) membatasi peredaran/penjualan barang/jasa pelaku usaha lain;
d) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha lain;
e) menjual rugi (banting harga).

4. Persekongkolan, yaitu kegiatan (konspirasi) dalam rangka


memenangkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat, dalam
bentuk:

1. persekongkolan untuk memenangkan tender;

2. persekongkolan mencuri rahasia perusahaan saingan;

3. persekongkolan merusak kualitas/citra produk saingan.

11
3) Posisi Dominan

Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan
adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.

Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila:

a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau
jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat


diketahui bahwa posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha karena
dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
dapat dibedakan menjadi 4 macam yakni:

a. Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum;


b. Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi;
c. Kepemilikan saham mayoritas atau terafiliasi;
d. Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan perusahaan.

12
E. LEMBAGA KPPU

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga baru yang


diperkenalkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pembentukannya
secara resmi melalui Kepres No. 75 Tahun 1999 dengan melalui serangkaian
tahap pemilihan yang cukup alot melibatkan Pemerintah dan DPR.

KPPU berkedudukan di Jakarta, tetapi boleh membuka perwakilan di


ibukota provinsi. Organisasi KPPU hanya terdiri dari anggota dan sekretariat.
Jumlah anggota seluruhnya (termasuk seorang ketua dan seorang wakil)
paling sedikit sembilan orang. Keanggotaan KPPU periode yang pertama
(2000–2005) ada 11 orang, dan mereka masih mungkin dipilih untuk satu
periode berikutnya.

Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas


tugas KPPU terdiri dari:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan


terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha.
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi.
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-Undang No. 5 tahun 1999

13
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan DPR.
Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang
No. 5 tahun 1999 memberi wewenang kepada KPPU untuk:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 5
tahun 1999.
8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6
tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
9. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.

14
10. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
12. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
13. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa
keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama
14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam
ini, KPPU bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan
pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh
karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada
kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum
antimonopoli.
Hal ini sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang
tercantum dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yakni
untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat”.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha.
2. Adapun falsafah yang melatarbelakangi kelahiran undang-undang
tersebut ada tiga hal, yaitu:
1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam
iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,
dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh
Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian
internasional.
3. Tujuan diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat.

16
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
4. Perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha:

a. Oligopoli, f. Trust,

b. Penetapan harga g. Oligopsoni,

c. Pembagian wilayah, h. Integrasi vertikal

d. Pemboikotan, i. Perjanjian tertutup

e. Kartel, j. Perjanjian dengan luar negeri

5. Kegiatan yang dilarang dalam persaingan usaha

a. Monopoli,
b. Monopsoni,
c. Penguasaan pasar,
d. Persekongkolan.

6. Posisi Dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai


pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di
antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu.
7. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam
menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara
tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun
pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan
wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden.
B. SARAN

17
Setelah dilakukaan penyusunan makalah ini tentang Hukum
Persaingan usaha ,maka disarankan bagi pembaca dapat menjadi
alternatif dalam menganalisa dan sebagai acuan untuk perspektif yang
lebih luas lagi. Pembaca diharapkan dapat mengetahui hukum atau
aturan apa saja yg dilarang dalam hal persaingan usaha.

DAFTAR PUSTAKA

http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-persaingan-usaha.html. Diakses
tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:39
http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-
usaha/. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:33
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-di-susun-
guna.html. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:27

18
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-5-1999.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2014
Pukul 00:20
http://www.kppu.go.id/docs/buku/buku_ajar.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2014
Pukul 00:12

19

Anda mungkin juga menyukai