Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM PERSAINGAN USAHA

Dosen Pengampu : Misnar Syam, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Kelompok 6 Pengantar Hukum Bisnis M3

1. Asher Vania 2010522040


2. Dicko Rifki Delpiero 2010522038
3. Ilal Nazmi 2010522035
4. Yerobeam Gea 2010522025

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat-Nya kami sebagai
anggota kelompok 6 dapat menyelasikan makalah ini. Makalah ini membahas dan berjudul
“Makalah Hukum Persaingan Usaha”. Selesainya makalah ini, juga hasil dari kerjasama antar
anggota kelompok 6.

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar
Hukum Bisnis (M3). Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah pegetahuan para
mahasiswa dan menambah wawasan dari para pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Misnar Syam, S.H, M.H. selaku dosen
pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Bisnis (M3). Dengan adanya tugas kelompok ini, kami
dapat membahas topik yg diberikan dan menyusun makalah ini untuk menambah dan
memperluas ilmu serta wawasan.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini masih jau dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami sangat menantikan berbagai kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan
makalah ini.

Padang, 6 April 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1. Latar Belakang.................................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
3. Tujuan Pembahasan........................................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha..............................................................................................3
2. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha.............................................................................................4
3. Perjanjian-perjanjian yang dilarang.................................................................................................5
a. Oligopoli......................................................................................................................................5
b. Penetapan harga..........................................................................................................................6
c. Pembagian Wilayah.....................................................................................................................7
d. Pemboikotan...............................................................................................................................7
e. Kartel...........................................................................................................................................8
f. Trust.............................................................................................................................................8
g. Oligopsoni....................................................................................................................................9
h. Integrasi vertikal (vertical integration).........................................................................................9
i. Perjanjian Tertutup (exclusive dealing)......................................................................................10
4. Perbuatan-perbuatan yang Dilarang..............................................................................................11
a. Monopoli...................................................................................................................................11
b. Monopsoni.................................................................................................................................12
c. Penguasaan Pasar......................................................................................................................13
d. Jual Rugi (Predatory Pricing)......................................................................................................13
e. Persekongkolan.........................................................................................................................14
5. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)..................................................................................15
BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................................................19
1. Kesimpulan....................................................................................................................................19

ii
iii
BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Di Indonesia, begitu banyak usaha yang dibentuk oleh para pelaku usaha. Ada usaha
yang kecil, menengah, besar yang mencakup nasional, bahkan usaha yang telah menjalin
hubungan dengan luar negeri. Setiap usaha tersebut, tentunya memiliki strategi-strategi yang
diterapkan untuk mencapai visi dan misinya atau mendapat keuntungan. Akibatnya,
munculah persaingan usaha antar pelaku usaha, yang saling ingin menjadi yang terbaik. Oleh
karena itu, diperlukannya hukum persaingan usaha yang mengatur jalannya usaha-usaha
tersebut dan menjadi landasan dalam bersaingnya para pelaku usaha.

Dalam hukum persaingan usaha memuat seluruh hal yang berkaitan dengan
bagaimana usaha-usaha menjalankan persaingannya dengan baik. Selain itu, juga terdapat
berabagai peraturan perundang-undangan yang mengatur persaingan usaha. Disamping itu,
juga terdapat berbagai kegiatan dan perjanjian yang dilarang dalam jalannya persaingan
usaha. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai berbagai hal
menyangkut tentang hukum persaingan usaha.

2. Rumusan Masalah
Ada beberapa pertanyaan yang akan diajukan dalam makalah ini sebagai rumusan
untuk pembahasannya. Dengan tujuan, agar pembahasan dalam makalah ini tidak
mengambang, namun terarah dan memiliki batas ruang lingkupnya.

Berikut adalah beberapa rumusan masalahnya.

a. Apa pengertian dari Hukum Pengertian Usaha?


b. Apa saja pengaturan hukum yang mengatur persaingan usaha?
c. Apa saja perjanjian-perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha?
d. Apa saja perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam persaingan usaha?
e. Apakah tugas dan wewenang serta hal-hal yang berkaitan dengan KPPU?

3. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai setelah
pembahasan, yaitu:

a. Dapat memahami pengertian dari hukum persaingan usaha


b. Dapat mengetahui peraturan-peraturan/hukum yang mengatur persaingan usaha
c. Dapat mengetahui perjanjian-perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha
d. Dapat mengetahui perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam persaingan usaha
e. Dapat mengenal dan mengetahui berbagai tugas dan wewenang serta hal-hal yang
berkaitan dengan KPPU

2
BAB 2 PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Alfred Marshal dalam buku T. Burke et al., seorang ekonom terkemuka mengusulkan
agar istilah persaingan digantikan dengan “economic freedom” (kebebasan ekonomi) dalam
menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari persaingan usaha1.

Oleh sebab itu persaingan diartikan hal yang positif sebagai jawaban terhadap upaya
mencapai equilibrium. Sistem ekonomi apa pun yang dipergunakan akan menghadapi
pertanyaan mengenai penentuan produksi (termasuk jumlah), apa yang akan diproduksi,
bagaimana output didistribusikan dan bagaimana menentukan pertumbuhan per kapita.

Hukum Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum dan persaingan usaha. Bila
dikehendaki persaingan usaha dapat dipecah lagi menjadi kata persaingan dan usaha. Hukum
merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten)
sehingga hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.

Hukum Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum dan persaingan usaha. Bila
dikehendaki persaingan usaha dapat dipecah lagi menjadi kata persaingan dan usaha. Hukum
merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten)
sehingga hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Menurut
Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagikelakuan atau perbuatan manusia didalam
masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau
keadilan. Utrecht dan Van Apeldoorn beranggapan bahwa untuk memberikan suatu definisi
yang tepat tentang hukum adalah tidak mungkin. Hukum mengatur hubungan didalam
masyarakat antara orang dengan orang atau antara anggota masyarakat yang lain. Bentuk
hubungannya dapat lebih terinci lagi dalam bermacam-macam bentuk seperti perkawinan,
tempat kediaman, perjanjian-perjanjian, dan lain sebagainya.2

Persaingan merupakan suatu perjuangan yang dilakukan oleh seseorang atau


kelompok orang tertentu (kelompok sosial), agar memperoleh kemenangan memperlihatkan
keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan (perusahaan, negara) pada
bidang perdagangan, produksi, maupun persenjataan. Usaha dalam kehidupan sehari-hari
1
T. Burke et al., Competition in Theory and Practice, Routledge, Chapman and Hall, Inc., 1991, hal. 5, 25.
2
Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan UndangUndang Antimonopoli
(Jakarta: Elex Media Komputindo), hlm 20

3
dapat diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan
tertentu, usaha atau dapat juga disebut suatu perusahaan adalah suatu bentuk usaha yang
melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan,
baik yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan
hukum atau tidak berbentuk badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan di suatu daerah
dalam suatu Negara. Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihak (pelaku
usaha) atau lebih berusaha untuk saling mengungguli dalam mencapai tujuan yang sama
dalam suatu usaha tertentu.

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi atau
hubungan perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika
berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.

Hukum persaingan merupakan salah satu perangkat hukum penting dalam ekonomi
pasar (market economy). Melalui hukum persaingan usaha, pemerintah berupaya melindungi
persaingan yang sehat antar pelaku usaha di dalam pasar. Khemani (1998), menjelaskan
bahwa persaingan yang sehat akan memaksa pelaku usaha menjadi lebih efisien dan
menawarkan lebih banyak pilihan produk barang dan jasa dengan harga yang lebih murah.3
2. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
Ketentuan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia
terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai antimonopoli dan


persaingan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut:

 Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


 Pasal 1365 KUHPerdata
 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
 Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 jo
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
 Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
 Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 14 Tahun 1997
tentang Merek
 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

3
Thee Kian Wie, “Kebijakan Persaingan dan Undang-undang Antimonopoli dan Persaingan di Indonesia,” dalam
buku Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru, Cet 1, Jakarta, penerbit Buku Kompas, 2004. hal.173

4
 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan
dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
 Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum

“jo artinya juncto, bertalian dengan, berhubungan dengan”

Keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar hukum persaingan usaha juga
dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana dan peraturan terkait lainnya baik yang
dikeluarkan oleh KPPU dalam bentuk Peraturan Komisi (Perkom), Pedoman KPPU, Surat
Keputusan (SK) dan Surat Edaran (SE), maupun yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma).

3. Perjanjian-perjanjian yang dilarang


a. Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.4

Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan


penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, apabila 2 (dua) atau 3
(tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.5

Terjadinya kerja sama atau kolusi pada pasar oligopoli dapat terjadi secara
sengaja atau secara diam-diam tanpa adanya kesepakatan antara para pelaku usaha (tacit
collusion). Kolusi secara diam-diam dapat terjadi karena adanya ”meeting of minds” di
antara para pelaku usaha untuk kebaikan mereka bersama untuk menetapkan harga atau
produksi suatu barang. Kolusi yang seperti ini disejajarkan dengan kolusi karenanya
dilarang dalam hukum persaingan.6

Contoh: Produksi mie instan yang dipasarkan di Indonesia, 75% berasal dari
kelompok pelaku usaha A, B, dan C. Ini berarti keterikatan pelaku usaha A, B, dan C itu
sudah oligopoli.

4
Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999
5
Pasal 4 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999
6
Alan Devlin, A Proposed Solution to Problem of Parallel: Pricing in Oligopolistic Market, Stanford Law Review,
Feb. 2007, hal. 2

5
b. Penetapan harga
Penetapan harga merupakan salah satu perjanjian yang dilarang karena dapat
meniadakan persaiangan dari segi harga bagi produk yang dijual maupun dipasarkan yang
dapat berakibat pada keuntungan konsumen yang seharusnya dinikmati oleh konsumen
malah dialihkan pada produsen maupun penjual

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 diatur
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, yang terdiri dari perjanjian
penetapan harga (price fixing agreement), diskriminasi harga (price discrimination),
harga pemangsa atau jual rugi (predatory pricing), dan pengaturan harga jual kembali
(resale price maintenance).7

Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama.”

Ketentuan sebagaimana tersebut di atas tidak berlaku bagi:

 Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.


 Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa
memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, di mana bunyi dari pasal
tersebut adalah: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”

Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lainnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory
pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa
yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

7
Hukum Persaingan Usaha Edisi Kedua 2017.KPPU.Hal 95

6
c. Pembagian Wilayah
Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 yang melarang perbuatan tersebut berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau
jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.”

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk


membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yang dilakukan
untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melalui pembagian wilayah
ini, maka para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang
menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan. Dengan demikian dia akan
mudah menaikkan harga ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.8

d. Pemboikotan
Pemboikotan merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh para pelaku
usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama (kompetitor aktual),
maupun mencegah pelaku usaha yang menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang
sama (kompetitor potensial), sehingga pasar itu dapat terjaga hanya untuk kepentingan
pelaku usaha yang terlibat dalam pemboikotan itu

UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan perjanjian pemboikotan sebagai salah


satu perjanjian yang dilarang, yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Thun
1999

Pasal 10 ayat (1) berbunyi : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

8
Hukum Persaingan Usaha Edisi Kedua 2017.KPPU.Hal 104

7
Pasal 10 ayat (1) berbunyi : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku
usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

 Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain.


 Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan
atau jasa dari pasar bersangkutan.

Contoh: Asosiasi produsen rokok bersepakat dengan asosiasi petani tembakau agar para
petani menjual tembakau mereka kepada produsen rokok anggota asosiasi itu saja.

e. Kartel
UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk
perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 11 undang-undang ini
berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau
pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Contoh: sejumlah perusahaan semen sepakat untuk mengu-rangi produksi selama 2 bulan
agar pasokan menipis

f. Trust
Trust sebenarnya merupakan wadah bagi pelaku usaha yang didisain untuk
membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara
beberapa perusahaan yang bersaing dengan membentuk organisasi yang lebih besar yang
akan mengendalikan seluruh proses produksi dan atau pemasaran suatu barang. Suatu
trust terjadi di mana sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka kepada suatu
“badan trustee” yang kemudian memberikan sertifikat dengan nilai yang sama kepada
anggota trust.9
UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa trust merupakan salah satu perjanjian
yang dilarang. Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi: “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi
9
Theodore P. Kovaleff, The Antitrust Division of the Department of Justice: Complete Reports of the First 100 Years
hal. 80.

8
dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara rule of reason sehingga
dapat kita ketahui bahwa trust itu sendiri tidak dilarang, asalkan trust tersebut tidak
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau
semata-mata untuk pemusatan kekuatan tanpa mengakibatkan dampak negatif bagi
masyarakat.10
rule of reason artinya “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”

g. Oligopsoni
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik antipersaingan yang cukup unik,
karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, di
mana biasanya untuk bentuk-bentuk praktik antipersaingan lain (seperti price fixing, price
discrimination, kartel, dan lain-lainnya) yang menjadi korban umumnya konsumen atau
pesaing. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepakatan dengan konsumen lain
dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa
pada pasar yang bersangkutan.

UU No. 5 Tahun 1999 memasukkan perjanjian oligopsoni ke dalam salah satu


perjanjian yang dilarang. Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Sedangkan Pasal 13 ayat (2) menambahkan bahwa: “Pelaku usaha patut diduga
atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.”

10
Hukum Persaingan Usaha Edisi Kedua 2017.KPPU.Hal 117

9
h. Integrasi vertikal (vertical integration)
Ketika suatu pelaku usaha ingin pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih
besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat
efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan
bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya
perusahaan akan melakukan penggabungan ataupun kerja sama dengan pelaku-pelaku
usaha lain yang secara vertikal berada pada level yang berbeda pada proses produksi,
maka kerja sama ini disebut integrasi vertikal

UU No. 5 Tahun 1999 memasukan integrasi vertikal ke dalam pengaturan


kelompok perjanjian yang dilarang. Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan/ atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau
merugikan masyarakat.”

Contoh: Satu perusahaan di hulu mengakuisisi perusahaan di hilirnya. Akuisisi ini


menyebabkan terjadi posisi dominan, yang kemudian disalahgunakan untuk
memenangkan persaingan secara tidak sehat

i. Perjanjian Tertutup (exclusive dealing)


Perjanjian tertutup atau exclusive dealing adalah suatu perjanjian yang terjadi
antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan
distribusi suatu barang atau jasa.11

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
11
Philip Clarke dan Stephen Corones, Competition Law and Policy:Cases and Materials, Oxford University Press,
2000, hal. 376.

10
Contoh : Perjanjian antara produsen terigu A dan produsen mie B, bahwa jenis
terigu yang dijual kepada B tidak boleh dijual kepada pelaku usaha lain.

Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat
dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri
melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

4. Perbuatan-perbuatan yang Dilarang


a. Monopoli
Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.“

Sebenarnya istilah monopoly berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly dan
istilah tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein”
yang berarti sendirian menjual.12

12
H. Kusnadi, Ekonomi Mikro, FE Unbraw, Malang, 1977, hal. 370

11
Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha (penjual)
ternyata Merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu, dan pada
pasar tersebut tidak Terdapat produk substitusi terdekat (pengganti). Akan tetapi karena
perkembangan jaman, maka Jumlah satu (dalam kalimat satu-satunya) kurang relevan
dengan kondisi riil di lapangan, karena Ternyata banyak usaha industri yang terdiri lebih
dari satu perusahaan mempunyai perilaku seperti Monopoli.13

Berdasarkan kamus Ekonomi Collins yang dimaksud dengan monopoli adalah:14

“Salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu
perusahaan dengan Banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta
adanya pemblokiran Pasar (barrier to entry) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha
lainnya”
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:

1. melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk,

2. melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk,

3. menguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli, dan

4. penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha


tidak sehat.

b. Monopsoni
Definisi teoritis tentang monopsoni adalah suatu pembeli dominan atau pembeli
tunggal yang pembelin Berhadapan dengan beberapa penjual. Pada dasarnya monopsoni
adalah pantulan cermin dari Monopoli, apabila monopolis memaksa harga jual dengan
melakukan pembatasan produksi maka Monopsonis akan melakukan kebalikannya yaitu
memaksa harga jual menjadi sedemikan rendah Dengan membatasi pembelian.15

Menurut Pasal 18 UU no. 5 tahun 1999

13
Hukum Persaingan Usaha Edisi Kedua 2017.KPPU.Hal 136
14
Christopher Pass dan Bryan Lowes, dalam Elyta Ras Ginting: Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan
Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 19
15
Robert J. Thornton, Retrospectives How Joan Robinson and B. L. Hallward Named Monopsony, Journal of
Economic Perspectives Vol. 18, Number 2- Spring 2004, hal. 257-261, University of Illinois at Chicago

12
(1)Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2)Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

c. Penguasaan Pasar
Pengaturan mengenai penguasaan pasar di dalam UU No. 5 Tahun 1999 terdapat
di Pasal 19 Yang menyebutkan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun Bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau Persaingan usaha tidak sehat berupa:

 Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan


kegiatan usaha Yang sama pada pasar bersangkutan; atau
 Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
 Melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
 Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; Atau
 Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”

Terdapat empat jenis kegiatan yang dilarang oleh Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:

 Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu untuk Melakukan


Kegiatan Usaha yang sama pada Pasar Bersangkutan
 Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya untuk
Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha Pesaingnya Itu
 Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau Jasa pada Pasar
Bersangkutan
 Melakukan Praktik Diskriminasi Terhadap Pelaku Usaha Tertentu

13
d. Jual Rugi (Predatory Pricing)
Kegiatan jual rugi atau predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan
atau pemasokan barang dan atau jasa yang bertujuan untuk mematikan pesaingnya.
Berdasarkan sudut pandang ekonomi predatory pricing ini dapat dilakukan dengan
menetapkan harga yang tidak wajar, di mana harga lebih rendah dari pada biaya variabel
rata-rata. Dalam praktik penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit dilakukan, oleh
karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan, bahwa predatory pricing merupakan
tindakan menentukan harga di bawah harga rata-rata atau tindakan jual rugi.16

Dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan, bahwa:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

e. Persekongkolan
Menurut UU no. 5 tahun 1999

Pasal 22 : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain dan/atau pihak
yang terkait dengan pelaku usaha lain (nb: ditambah MK (putusan no. 85/PUU-XIV/201
tgl. 28 sep 2016) tgl 20 sep 2017) untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23 : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain dan/atau pihak
yang terkait dengan pelaku usaha lain (nb: ditambah MK (putusan no. 85/PUU-XIV/201
tgl. 28 sep 2016) tgl 20 sep 2017) untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24 : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain dan/atau pihak
yang terkait dengan pelaku usaha lain (nb: ditambah MK (putusan no. 85/PUU-XIV/201
tgl. 28 sep 2016) tgl 20 sep 2017) untuk menghambat produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa

16
Partnership for Business Competition, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Elips
Project, Jakarta, Februari 2001, hal. 44.

14
yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah,
kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

5. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)


KPPU adalah lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU
No.5/1999 dan UU No.20/2008, terdiri dari Anggota KPPU yang diangkat oleh Presiden
Republik Indonesia berdasarkan rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat.17

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek


Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 3 : menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
kepentingan mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku
usaha kecil, mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha dan terjadinya efektifitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha.
 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah menyebutkan bahwa pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan
teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan
usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pelaksanaan
kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan
bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
Tentang UMKM di Pasal 31 yang mengamanatkan KPPU untuk melakukan
pengawasan pelaksanaan kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, di Pasal 32 disebutkan mengenai
kewenangan KPPU dalam pengenaan sanksi administratif terhadap pelaksanaan
kemitraan.
 Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pengawasan
dan Penanganan Perkara Kemitraan di Pasal 2 menyebutkan bahwa Komisi
melakukan pengawasan kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha
Kecil, Usaha Menengah dengan Usaha Besar dan/atau yang dilakukan oleh
Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan Usaha Menengah.

17
kppu.go.id

15
Tugas dan wewenang KPPU diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.

Tugas KPPU18 adalah :

 melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya


praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
 melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
 melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
 mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi;
 memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
 menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang
ini;
 memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang KPPU :

a) menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b) melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
c) melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari
penelitiannya;

18
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat

16
d) menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
f) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini;
g) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
h) meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini;
i) mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
k) memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l) menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yangmelanggar ketentuan Undang-undang ini.19

Kedudukan KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha yang independen


berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu KPPU mempunyai fungsi penegakan
hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun kedudukan KPPU merupakan
lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan
administratif.

19
Suyud Margono, 2009, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, h. 145

17
Skema Penanganan Perkara di KPPU berdasarkan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019.

Seluruh persangan usaha yang ada di Indonesia, akan diawasi oleh KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha) dan KPPU akan menindaklanjuti kasus-kasus persaingan
usaha yang tidak sehat atau menjurus pada praktek monopoli.

Begitu juga dengan perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Perusahaan
atau pelaku usaha yang ingin melakukan merger dan akuisisi akan berurusan langsung
dengan KPPU, baik itu sebelum, maupun sesudah merger dan akuisisi.

18
BAB 3 PENUTUP

1. Kesimpulan
Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi atau
hubungan perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika
berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. Persaingan usaha juga berlandaskan hokum
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. Adapun perjanjian-
perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha, yaitu Oligopoli, Penetapan Harga,
Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian
Tertutup. Begitu juga dengan adanya perbuatan-perbuatan yang dilarang, yaitu Monopoli,
Monopsoni, Penguasaan Pasar, Jual Rugi, dan Persengkongkolan. Di Indonesia, terdapat
lembaga resmi yang melakukan pengawasan terhadap persaingan segala usaha yang ada,
lembaga tersebut ialah KPPU atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPPU memiliki
berbagai tugas dan tanggung jawab yang yang berhubungan dengan pengawasan dalam
persaingan usaha, agar tidak ada persaingan usaha yang tidak sehat dan monopoli yang
muncul di Indonesia.

19
20

Anda mungkin juga menyukai