Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

FIQIH MUAMALAH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
1. Adinda Ragil D.T.W (22101082038)
2. Wulan Puspitasari (22101082051)
3. Ardalena Sriputri I.S (22101082054)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Auditing.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa untuk mengetahui
tentang Etika Bisnis dalam Islam bab Fiqih Muamalah. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkandemi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terimakasih pada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita.

Malang , 8 April 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................4
A. Murabahah.................................................................................................................................4
a. Pengertian Murabahah...........................................................................................................4
b. Dasar Hukum Murabahah......................................................................................................4
c. Rukun Jual Beli Muarabahah.................................................................................................4
d. Murabahah Dengan Permintaan Pembeli...............................................................................5
e. Implementasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah..............................................5
B. Salam.........................................................................................................................................5
a. Pengertian Salam...................................................................................................................5
b. Dasar Hukum Salam..............................................................................................................6
c. Rukun Jual Beli Salam...........................................................................................................6
d. Implementasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Salam................................................6
C. Ijarah..........................................................................................................................................6
a. PengertianI Ijarah...................................................................................................................6
b. Dasar Hukum Ijarah...............................................................................................................7
c. Rukun dan Syarat Ijarah.........................................................................................................7
d. Udzur Yang Dapat Merusak Akad Ijarah.............................................................................10
e. Implementasi Ijarah Dalam Perbankan Syariah...................................................................10
D. Mudharaba...............................................................................................................................11
a. Pengertian Mudharabah.......................................................................................................11
b. Dasar Hukum Mudharaba....................................................................................................12
c. Rukun dan Syarat Mudharabah............................................................................................12
d. Implementasi Mudharabah dalam LKS................................................................................14
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................16
A. Kesimpulan..............................................................................................................................16
B. Saran........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17

2
3
BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Fiqih muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, merekduksi
permusuhan dan perselisihan diantara manusia. Allah tidak akan menurunkan syariat, kecuali
dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hambanya, tidak bermaksud
memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Salah satu bentuk dari
muamalah tersebut adalah sistem bagi hasil (kerjasama antara pemilik modal dengan
pengelola yang pembagian hasilnya menurut perjanjian yang telah disepakati).
Dalam suatu kerjasama pemodal dan pengelola harus memiliki rasa saling percaya,
pengelola tidak bisa berbuat sesuka hatinya kecuali sesuai izin pemodal dan jika dia
mengizinkan untuk menjual maka dia tidak berhak menyewakan karena perbuatannya harus
dengan izin dan dia tidak punya wewenang terhadap yang tidak diizinkan
Transaksi yang sering ditemui ditengah masyarakat adalah akad bagi hasil yang mana
salah satu pihaknya bertindak sebagai pemilik modal (sahibul maal) dan yang lain menjadi
pengelolanya (mudhârib), atau dalam Fikih muamalah adalah mudhârabah. Mudhârabah
merupakan kerjasama antara pemilik modal dan pengelola dimanan kerugian ditanggung oleh
pemilik modal dan persentase bagi hasil ditentukan sesuai awal akad.
b. Rumusan Masalah
1. Apakah perngertian dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba?
2. Apakah dasar hukum dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba?
3. Apakah syarat dan rukun dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba?
4. Menyebutkan Implementasi dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba?
c. Tujuan
1. Untuk mengetahui perngertian dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba.
3. Untuk mengetahii syarat dan rukun dari Murabahah, Salam, Ijarah, Mudharaba.
4. Agar dapat menyebutkan Implementasi dari Murabahah, Salam, Ijarah,
Mudharaba.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Murabahah
d. Pengertian Murabahah
Murabahah adalah prinsip yang diterapkan melalui mekanisme jual beli barang secara
cicilan dengan penambahan margin keuntungan bagi bank. Porsi pembiayaan dengan akad
Murabahah saat ini berkontribusi 60% dari total pembiayaan Perbankan Syariah Indonesia.
Nilai keuntungan yang didapat suatu bank bergantung pada margin laba. Nah, pembiayaan
akad murabahah adalah dijalankan dengan basis ribhun (laba) melalui jual beli secara cicil
maupun tunai.
Dalam praktiknya, murabahah adalah akad yang memberikan kemudahan bagi
perbankan syariah dalam proses perizinan dan pengawasan produk, membantu memudahkan
pelaksanaan dan pengembangan produk oleh pelaku industri, serta memberikan kepastian
hukum dan transparansi produk yang mendukung terciptanya market conduct yang dapat
mempengaruhi prinsip perlindungan konsumen dalam layanan produk jasa perbankan
syariah. Itu berarti sebuah transaksi jual-beli amanah yaitu penjual memberikan transparansi
terkait harga modal dan margin secara jelas serta jujur kepada pembeli.
e. Dasar Hukum Murabahah
Berdasarkan dari Q.S. Al-Baqarah [2]:275, yang berbunyi, “Dan Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” Kemudian pada Q.S. An-Nisa[4]:29 yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha penyayang
kepadamu.“
f. Rukun Jual Beli Muarabahah
Rukun jual beli murabahah sama halnya dengan jual beli pada umumnya, yaitu
adanya pihak penjual, pihak pembeli, barang yang dijual, harga dan akad atau ijab kabul.
Syarat yang terkait dengan sigat atau akad. Akad harus jelas, baik ijab maupun kabul. Dalam
akad harus ada kesesuaian antara ijab dan kabul, dan kesinambungan antara keduanya.
Syarat sah jual beli murabahah yaitu:
 Akad jual beli harus sah.
 Pembeli harus mengetahui harga barang.

5
 Adanya padananya serta dapat diukur, ditakar, ditimbang atau jelas ukurannya, kadar
dan jenisnya.
 Jual beli pada akad yang pertama bukan barter barang dengan barang ribawi yang
tidak boleh di tukar dengan barang sejenis.
g. Murabahah Dengan Permintaan Pembeli
Murabahah dengan permintaan pembeli adalah bila ada dua pihak dimana pihak
pertama mengajukan permohonan atau permintaan kepada pihak kedua untuk membelikan
suatau barang, kemudian pihak pertama akan memberikan keuntungan.
 Jual beli murabahah dengan perjanjian yang mengikat.
 Jual beli murabahah tanpa dengan perjanjian yang mengikat.
h. Implementasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam fiqh muamalah terdapat banyak macam akad jual beli. Jenis-jenis jual beli
salah satunya yaitu Murabahah, yaitu jual beli barang dengan margin keuntungan yang
disepakati dengan memberi tahu harga pokok dan keuntungannya sebagai tambahan.
Murabahah dalam konteks lembaga keuangan syariah adalah akad jual beli antara lembaga
keuangan dengan nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang telah disepakati
bersama.lembaga keuangan akan akan mengadakan barang yang dibutuhkan dan menjualnya
kepada nasabah dengan harga setelah ditambah keuntungan yang telah disepakati. Ibnu
Qudamah mendefinisikan murabahah sebagai jual beli dengan menghitung modal ditambah
keuntungan tertentu yang diketahui. Dapat disimpulkan, murabahah merupakan salah satu
bentuk jual beli amanah berdasarkan pada penetapan harga, yaitu bentuk pertukaran obyek
jual dengan harga yang merupakan jumlah harga perolehan ditambah laba tertentu.
Berkaitan dengan akad jual beli tersebut maka untuk memastikan keseriusan nasabah
untuk membeli barang yang ada didepannya maka lembaga keuangan meminta atau
mensyaratkan kepada nasabah atau pembeli untuk membayar uang muka setelah uang muka
dibayarkan, maka nasabah membayar sisanya berangsur dengan jangka waktu dan jumlah
yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Dalam hal ini jumlah anagsuran dan jangka
waktu disesuaikan dengan kemampuan nasabah atau pembeli. Apabiala nasabah telat dalam
membayar angsuran, maka lembaga keuangan tidak diperkenankan mengambil dendam dari
nasabah.
B. Salam
a. Pengertian Salam

6
Arti salam adalah memberikan atau Al-Taslif. Jual beli salam atau salaf adalah jual
beli dengan sistem pesanan, pembayaran dimuka, sementara barang diserahkan diwaktu
kemudian. Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ayat 34 mendefinisikan
"Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya
dilakukan bersama dengan pemesanan barang."
b. Dasar Hukum Salam
Jual beli salam dilaksanakan berdasarkan pada ayat Al-Qur'an, Al-Sunnah dan Ijma.
Ayat yang menjadi landasan pelaksanaan jual beli salam terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 282, sementara landasan Al-Sunnah terdapat pada riwayat Ibnu Abbas, yang terakhir
dasar hukum dari landasan Ijma ulama yaitu Ibnu Mundzir.
c. Rukun Jual Beli Salam
 Jumhur ulama berpandangan bahwa rukun salam ada tiga yaitu:
1. Pertama, sighah yang mencakup ijab dan kabul.
2. Kedua, pihak yang berakad, orang yang memesan dan yang menerima pesanan
3. Ketiga, barang dan uang pengganti uang barang.
 Syarat-syarat jual beli salam adalah:
1. Jenis objek jual beli salam harus jelas.
2. Sifat objek jual beli salam harus jelas .
3. Kadar atau ukuran objek jual beli salam haru jelas.
4. Jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas.
5. Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.
d. Implementasi Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Salam
Transaksi ba’i salam merupakan transaksi yang biasanya dilakukan bukan oleh
pedagang . ada bentuk khusus dari ba’i salam yang digunakan oleh bank syariah sebagai
instrumen pembiayaan, yaitu yang disebut pararel salam.
Pararel salam adalah back to back sales contact. Salam pararel merupakan transaksi
pembelian atas barang tertentu oleh nasabah kepada LKS. Pembelian tidak secara langsung
dengan melakukan penyerahan barang, akan tetapi nasabah hanya memberikan spesifikasi
barang kemudian LKS memesan barang yang diminta nasabah kepada produsen.
Pembayaran nasabah kepada pihak bank dapat dilakukan dimuka pada saat
ditandatanganinya akad salam atau secara tunai pada saat penyerahan barang (salam wal
ba’iu muthlaqah) atau dengan cara mengangsur (salam wai murabahah)
C. Ijarah

7
a. PengertianI Ijarah
Ijarah secara etimologi adalah masdar, yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi
sebuah pekerjaan. Al-Ajru berarti makna dasarnya adalah pengganti, baik yang bersifat
materi maupun immateri. Akad ijarah ada 2 macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa
tenaga atau jasa (pengupahan).
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu” (ganti) dan oleh
sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). Lafal al-ijarah dalam bahasa arab
berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain.
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’ berarti
melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan
membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.
b. Dasar Hukum Ijarah
Ulama memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari Al-Qur'an, Al-Sunnah dan
Ijma'. Legitimasi dari Al-Qur'an antara lain:
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233
2. Firman Allah dalam aurat Al-Talaq ayat 63.
3. Firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 26-27
Sementara Legalitas dari Al-Sunnah ada beberapa riwayat yang menyatakan disyariatkannya
ijarah antara lain:
1. Hadist riwayat dari Abdullah Bin Umar
2. Hadist riwayat dari Abu Hurairah
Ijarah juga dilaksanakan berdasarkan Qiyas. Ijarah di qiyaskan dengan jual beli dimana
keduanya sama-sama ada unsur jual beli, hanya saja dalam ijarah yang menjdi objek jual beli
adalah manfaat barang. Praktek ijarah di Indonesia juga mendapat legitimasi dari Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 251-277.
c. Rukun dan Syarat Ijarah
 Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu
pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan. Sedangkan menurut jumhur ulama,
rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad), sighat, upah, dan
manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di uraikan sebagai berikut:

8
1. Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir. Mu’jir
adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan Musta’jir adalah
orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu bagi yang
berakad ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat
mencegah terjadinya perselisihan.
Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu
kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau
anak kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak sah.
2. Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah. Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan
dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak
yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah
adanya ijab. Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab
dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan
3. Ujroh (upah)
Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan
atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya :
a. Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik, karena itu
ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
b. Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena
dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari
pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu
pekerjaan saja.
c. Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa.
Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap.
4. Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan
manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang. Semua harta benda boleh diakadkan ijarah diatasnya, kecuali yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:

9
a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini dapat
dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika informasi secara
transparan tentang kualitas manfaat barang.
b. Objek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak
mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah
atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c. Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara‟. Misalnya
menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat tidak sah.
d. Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa rumah
untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-
menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon
mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil
keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.
e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isty’mali,
yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan
kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki
adalah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti
makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.
 Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :
a. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab
Syafi‟I Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal
seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh
(tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab
Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia
baligh , tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan akad Ijarah dengan
ketentuan disetujui oleh walinya.
b. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan
akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka
akadnya tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi
perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah.
d. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh
10
menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
Umpamanya rumah atau toko harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung
kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu
atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis sewanya baru dapat
disewakan oleh orang lain.
e. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang
untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat
berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan
rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka beribadat.
d. Udzur Yang Dapat Merusak Akad Ijarah
Ijarah dikatakan telah berakhir apabila akad dari Ijarah atau ijab qabul telah terpenuhi,
baik itu berupa batasan waktu yang ditentukan telah berakhir maupun pekerjaan telah
diselesaikan sesuai kesepakatan di awal. Namun akad Ijarah bisa menjadi batal apabila terjadi
suatu udzur.
Ulama Hanafiyah menjelaskan adatiga udzur yang dapat merusak akad Ijarah, yaitu:
a) Udzur yang terjadi pada pihak penyewa, seperti penyewa pailit atau bangkrut
sehingga
tidak mampu membayar biayasewa atau upah jasa atau pekerjaan. Apabila si penyewa tidak
mampu melanjutkan akad sewa kecuali dengan sesuatu yang dapat membahayakan, maka ia
berhak untuk menghentikan akad Ijarah.
b) Udzur yang terjadi pada pihak yang memberi sewa, misalnya adanya jatuh tempo
utang
yang tidak dapat terbayar kecuali dengan menjual barang yang ia sewakan, maka akad
menjadi fasakh. Contoh lain, apabila barang yang disewakan adalah barang yang baru dibeli
ternyata ada cacat yang membuatnya tidak berfungsi maksimal, maka ia berhak
mengurungkan atau menghentikan akad Ijarah.
c) Udzur yang terjadi pada barang yang disewakan, seperti orang yang menyewa kamar
mandi, ternyata di dalamnya airnya habis habis karena sebab tertentu. Dalam kondisi seperti
ini maka akad Ijarah menjadi rusak dan tidak dapat dilanjutkan. ( Hasan, 2018)
Apabila terdapat udzur namun akad tetap dilanjutkan, maka akad tidak mengikat
kedua belah pihak. Apabila barang yang disewakan rusak atau hilang maka dilihat dahulu
bagaimana kejadiannya. Apabila rusak atau hilang bukan karena kelalaian penyewa maka

11
menjadi tanggung jawab pemilik barang yang disewakan. Namun penyewa mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan merawat barang yang disewa.

e. Implementasi Ijarah Dalam Perbankan Syariah


Bentuk implementasi ijarah yang ada pada Bank Syariah, sudah memiliki objek sewa
lalu nantinya akan dijual kepada nasabah atau calon jemaah sesuai dengan harga paket yang
tertera pada travel rekanan umrah masing-masing. Di mana akan diperoleh imbalan atau upah
dari hasil sewa jasa atau manfaat tersebut. Menurut Abu Hanifah dan Malik, sewa itu berhak
diterima berangsur-angsur. Setiap selesai diambil manfaat pada suatu hari, berhaklah dibayar
sewanya.
Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakan kepada nasabah
sehingga perbankkan syariah dikenai Al- Ijrah Al-Muntahiyah Bittamalik (sewa yang diikuti
dengan perpindahan kepemilika ). Khalid Al-Kafi, ia menyatakan bahwa ijarah muntahiyah
bittamalik adalah akad antara dua pihak dimana salah satu menyewakan barang kepada pihak
lainnya dengan pembayaran secara angsur dalam jangka waktu tertentu, pada akhir masa
sewa, kepemilikan barang tersebut berpindah kepada pihak penyewa akad baru
D. Mudharaba
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu akad yang diaksaknakan dua pihak, pemilih modal
(sahibul mal) dan pelaku usaha yang menjalankan modal (mudarib). Mudharabah adalah
bentuk perjanjian kerja sama antara pemilik harta dengan pengelola harta. Pemilik harta
menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dibisniskan. Jika untung, keuntungannya
dibagi kepada pemilik harta dan pihak pengelola harta, sesuai dengan kesepakatan di awal.
Dalam aspek perbankan syariah, akad mudharabah adalah jenis akad yang cukup
banyak ditemukan di berbagai jenis produk maupun program yang ditawarkan oleh bank
syariah. Berdasarkan pengertian yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu
produk bank syariah yang memiliki ketentuan operasional menggunakan akad mudharabah
adalah pembiayaan. Hal ini ditekankan berdasarkan prinsip bank syariah secara umum.
Penting bagi pihak bank selaku penyedia modal menyalurkan pembiayaan serta bagi
hasil berdasarkan akad mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah Islam dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan. Dalam Undang-undang nomor
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga dijelaskan bahwa kerugian dalam perjanjian

12
yang sedang berlangsung nantinya akan ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali
jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian atau
detail dari akad mudharabah yang telah disetujui. Dengan kata lain, akad mudharabah adalah
bentuk perjanjian kerja sama yang mendapat dukungan penuh dari hukum di Indonesia.
Dalam pengertian yang diterbitkan oleh OJK, akad mudharabah adalah akad yang bisa
digunakan untuk kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk investasi syariah. Investasi
syariah yang dimaksud hadir dalam bentuk deposito, tabungan, atau bentuk produk
perbankan lainnya.
b. Dasar Hukum Mudharaba
1. Al-Qur’an
“.. maka, jika sebagian kamu mempercayai yang lain, hendaklah yangdipercayai itu
menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...”. (QS. Al-
Baqarah: 283)
2. As-Sunnah
Dari Su’aib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah bersabda: “Tiga perkara yangdidalamnya
terdapat keberkatan yaitu; jual beli secara tangguh,muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandumdengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk jual beli. (HR.
IbnuMajah)“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah,ia
mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautandan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Ketikapersyaratan yang ditetapkan Abbas
didengar Rasulullah SAW, beliaumembenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)
3. Ijma’.
Diantara ijma’ mengenai mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jama’ah dari shahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut
tidak ditentang oleh shahabat lainnya.
4. Qias.
Mudharabah diqiaskan kepada al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola
kebun). Diantara manusia ada yang miskin dana tetapi mau bekerja sedangkan mereka tidak
memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas,yakni untuk kemashlahatan manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan merek. Dengan memperhatikan dasar-dasar hukum yang
dikemukakan diatas, baik dari al-Qur an, hadis, ijtihad shahabat, ijma’, dan qiyas, semuanya
menunjukkan bahwa perikatan berbasis mudharabah adalah hukumnya boleh, malah
perikatan seperti itu sudah terjadi semenjak zaman Rasulullah SAW dan zaman sahabat.

13
c. Rukun dan Syarat Mudharabah.
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yaitu lafazh yang menunjukkan
ijab dan qabul dengan menggunakan kata-kata mudharabah, atau muqaradhah atau kata-kata
yang searti dengannya. Jumhur Ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu
dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’ qud alai), dan shighat ( ijab dan
Qabul). Ulama Syafi’iyah lebih merinci lagi bahwa rukun mudharabah menjadi lima macam
yaitu: modal, pekerjaan, laba, shigat, dan dua orang yang ber akad. Adiwarman A.Karim,
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang harus ada atau rukun dalam akad mudharabah
adalah :
1. Pelaku atau pemilik modal maupun pelaksana usaha.
Pelaku, jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad
jual beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pelaku dalam akad
mudharabah harus ada minimal dua pihak pelaksana .Pihak pertama bertindak sebagai
pemilik modal, sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha.Tanpa ada dua
pelaku ini maka akad mudharabah tidak ada. Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan
akad, harus orang yang cakap bertindak atas nama hukum. yakni pemilik modal dan
pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan
harta pemilik modal, yaitu menjadi wakil, Namun demikian tidak disyaratkan harus muslim.
Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di
Negara Islam. Adapun ulama Malikiyah memandang makruh melakukan mudharabah dengan
orang kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka
melakukan riba.
2. Objek mudharabah atau modal dan kerja.
Objek, hal ini merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para
pihak. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan
bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang
diserahkan bisa berbentuk kehalian, keterampilan dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad
mudharabah pun tidak akan ada. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal
mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan
taksiran harganya dan mengakibatkan ketidak pastian (gharar) besarnya modal mudharabah
Namun para ulama Mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran
harus disepakati pada saat akad oleh kedua belah pihak. Yang jelas tidak boleh adalah modal

14
mudharabah yang belum disetor. Para fukaha’ telah sepakat tidak bolehnya mudharabah
dengan hutang, tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan
kontribusi apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang
hal itu karena merusak shahnya akad.

3. Persetujuan kedua belah pihak atau ijab dan qabul.


Persetujuan, merupakan faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak
merupakan konsekuensi dari prinsip sama-sama riil (‘an-taradhin minkum). Disini kedua
belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diridalam akad mudharabah.
Pemilik dana setuju dengan perannya mengkontribusikan dana, Sementara si pelaksana usaha
setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
4. Nisbah keuntungan
Nisbah keuntungan, merupakan rukun keempat adalah rukun yang khas dalam akad
mudharabah yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang
berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan
imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapatkan imbalan atas modalnya.
Nisbah keuntungan inilah yang mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah
pihak mengenai cara pembagian keuntungan. Syarat yang berkaitan dengan keuntungan,
bahwa pembagian keuntungan harus jelas prosentasenya seperti 60 % : 40 %, atau 50% : 50
% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama. Biasanya dicantumkan dalam surat
perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian apabila terjadi persengketaan,
maka penyelesaiannya mudah dilakukan. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka
menurut ulama Mazhhab Hanafi akadnya fasid (rusak ), demikian juga halnya jika pemilik
modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung bersama, maka akadnya batal, sebab
dalam akad mudharabah kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
d. Implementasi Mudharabah dalam LKS

15
Secara sederhana aplikasi mudharabah dalam perbankan syari’ah adalah digambarkan
sebagai berikut:

Keterangan:
1. Nasabah investor menetapkan dananya dalam bentuk tabungan mudharabah.
2. Bank syariah akan menyalurkan seluruh dana nasabah penabung dalam bentuk
pembiayaan.
3. Bank syariah mendapatkan pendapatan atas pembiayaan yang telahdisalurkan.
4. Bank syariah akan menghitung bagi hasil atas dasar Revenue Sharing, yaitu
pembagian bagi hasil atas dasar pendapatan sebelum dikurangi biaya. Jumlahnya
disesuaikan dengan saldo rata-rata tabungan dalam bulan laporan.
5. Pada akhir bulan, nasabah penabung akan mendapatkan keuntungan dari bagi hasil
yang telah ditentukan sebelumnya.

16
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Fiqih Muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang
berdasarkan hukum-hukum syariat mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang
diperoleh dari dalil-dalil islam secara terperinci. Jenis-Jenis Fiqih Muamalat, sebagai berikut :
1. Mudharabah.
2. Salam
3. Ijarah
4. Mudharaba
Dan mengenai pembagian “Fiqih Muamalah” ialah “Al-Muamalah Al-Madiyah” yang
maksudnya adalah muamalah yang mengkaji jenis-jenis muamalah yang ada
dikehidupan ber-masyarakat umum yang sesuai syariat islam. Sedangkan “Al-MuamalahAl-
Adabiyah” maksudnya adalah, muamalah yang mengkaji tata cara bermuamalah
dengan mengutamakan keridhaan setelah akad.
B. Saran
Materi Fiqih Muamalah sangatlah penting untuk dipelajari, terutama bagi
parapencari ilmu yang lebih jauh membahas tentang hubungan-hubungan antara
manusia dengan syariat islam.

17
DAFTAR PUSTAKA

azizah, z. (2022, Juni 25). Implementasi Akad Ijarah pada Produk Perbankan Syariah.
Retrieved from kumparan: https://kumparan.com/azizahhzhraa13/implementasi-akad-
ijarah-pada-produk-perbankan-syariah-1yL51mldWtR/1

cimbniaga. (2019, april 26). Murabahah adalah Akad yang Penting dalam Perbankan
Syariah. Retrieved from cimbniaga:
https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/murabahah-adalah-akad-yang-
penting-dalam-perbankan-syariah

cimbniaga. (2020, maret 9). Akad Mudharabah adalah Salah Satu Akad yang Perlu Anda
Ketahui. Retrieved from cimbniaga:
https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/akad-mudharabah-adalah-
salah-satu-akad-yang-perlu-anda-ketahui

firdaweri. (2014). Perikatan Syari'ah Berbasis Mudharabah . raden intan , 38-68.

fiska, r. (2019, juni 16). IMPLEMENTASI JUAL BELI SALAM DI LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH. Retrieved from academia:
https://www.academia.edu/30672757/IMPLEMENTASI_JUAL_BELI_SALAM_DI_
LEMBAGA_KEUANGAN_SYARIAH

18

Anda mungkin juga menyukai