Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEL.

4
Kegiatan Usaha Bank Syari’ah 2
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Lembaga Keuangan Syari’ah

Dosen Pengampu : Dr. Syafruddin Kalimy Kamaluddin M.A

Disususn Oleh :

Ajral Muhsinin 2113010055


Addina ashalam helman F. 2113010017
Bastio juliandra 2113010026
Marissa elidhia Fitri 2113010028

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UIN IMAM BONJOL
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kegiatan Usaha Bank Syari’ah 2”. Adapun
tugas ini kami susun guna memenuhi persyaratan nilai tugas dalam mata kuliah Lembaga
Keuangan Syari’ah dan menambah pengetahuan dan wawasan kami. Tak lupa, shalawat serta
salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah menuntun kita ke jalan
yang baik.
Kami sebagai penyusun makalah berterima kasih kepada Bapak Dr. Syafruddin Kalimy
Kamaluddin M.A selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara PTUN yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih juga kami
ucapkan kepada kedua orang tua kami yang tak lelah untuk mendukung dan mendoakan kelancaran
tugas kami, tak lupa pula kepada teman - teman yang selalu memberikan motivasi dan kerja sama
dalam kelancaran penyusunan makalah ini. Kami selaku penyusun sadar akan ketidak sempurnaan
dan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun dengan kerendahan
hati berharap atas kritik dan saran yang membangun guna mengembangkan pengetahuan kita
bersama dan meningkatkan kualitas penyusunan makalah agar kedepannya lebih baik lagi.
Kami berharap, semoga makalah ini memberikan kebermanfaatan bagi kami para penyusun
dan para pembaca serta agar dapat dijadikan referensi bagi penyusunan makalah yang senada di
waktu yang akan datang.

Penyusun

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
2.1 Produk Penyaluran Dana (Financing) ........................................................................... 2
A. Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli dengan Akad Murabahah, Bai’ as salam,
Istishna’ ................................................................................................................... 2
1. Murabahah .................................................................................................. 2
2. Ba-I As-salam ............................................................................................. 3
3. Istishna ........................................................................................................ 3
B. Pembiayan Dengan Prinsip Sewa, Ijarah, IMBT, PTMJ ........................................ 3
1. Ijarah .......................................................................................................... 3
2. IMPT .......................................................................................................... 4
3. PTMJ .......................................................................................................... 8
C. Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah, Musyarakah, Musyarakah
Mutanaqishah .......................................................................................................... 8
1. Mudharabah ................................................................................................ 8
2. Musyarakah ................................................................................................ 10
3. Musyarakah mutanaqishah.......................................................................... 11
D. Pembiayaan Dengan Prinsip Aqad-aqad Pelengkap Hawalah, Rahn, Qardh,
Wakalah, Kafalah .................................................................................................... 11
1. Hawalah ...................................................................................................... 11
2. Rahn ............................................................................................................ 11
3. Qard............................................................................................................. 13
4. Wakalah ...................................................................................................... 13
5. Kafalah ........................................................................................................ 14
E. Produk Jasa (Service) Sharf (Jual beli valuta asing), Wadiah (safety box) ............ 14
1. Sharf ............................................................................................................ 14
2. Wadiah ........................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipeunuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier, ada kalanya masyarakat tidak
memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya oleh karenanya, dalam
perkembangan perekonomian masyrakat yang ditawarkan oleh lembaga keuangan dan
keuangan non bank.
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah islam, yakni
bagian muamalah sebagai yang mengatur hubungan sesame manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam syariah islam dilandakan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan
bahwa ma la yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan
kegiatan ekonomi ) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan
perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga
perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan .
Dalam transaksi sewa-menyewa dalam perbankan konvensional tidak ada perlihan hak
milik, artinya jika masa sewa berkahir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik
sewa sehingga pada ummnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi
lain halnya dalam prakek perbankan syariah disertai dengan pemidahan kepemilikan ? hal
inilah yang menarik untuk dikaji dan seleanjuta dan di uraikan dalam pembahasan berikut

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli dengan Akad Murabahah, Bai’ as salam,
Istishna’ ?
2. Apa itu Pembiayan dengan Prinsip Sewa, Ijarah, IMBT, PTMJ
3. Apa itu Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah, Musyarakah, Musyarakah
Mutanaqishah ?
4. Apa itu Pembiayaan Dengan Prinsip Aqad-aqad Pelengkap Hawalah, Rahn, Qardh,
Wakalah, Kafalah ?
5. Apa itu Produk Jasa (Service) Sharf (Jual beli valuta asing), Wadiah (safety box) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa itu Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli dengan Akad
Murabahah, Bai’ as salam, Istishna’.
2. Untuk Mengetahui apa itu Pembiayan Dengan Prinsip Sewa, Ijarah, IMBT, PTMJ

1
3. Untuk Mengetahui ap aitu Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah,
Musyarakah, Musyarakah Mutanaqishah.
4. Untuk Mengetahui Ap aitu Pembiayaan Dengan Prinsip Aqad-aqad Pelengkap Hawalah,
Rahn, Qardh, Wakalah, Kafalah.
5. Untuk Mengetahui Ap aitu Produk Jasa (Service) Sharf (Jual beli valuta asing), Wadiah
(safety box).

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Produk Penyaluran Dana (Financing)

A. Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli dengan Akad Murabahah, Bai’ as salam, Istishna’

1. Murabahah
Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan
yang disepakati. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) karena dalam transaksi
jual beli bank menyebut jumlah keuntungannya (margin/mark up). Bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati
tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya
dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang
diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.

Landasan syariah murabahah adalah Fatwa DSN MUI :


• No. 04/ DSN-MU1/1V/2000 tentang Murabahah,
• No. IO/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
• No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah, No. 16/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah
• No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah
• No.46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah
• No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah
Tidak Mampu Membayar
• No. 48/DSN-MU1/11/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
• No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
• No. 84 (Metode Pengakuan Keuntungan al- Tamwil bi al-Murabahah (Pembiayaan
Murabahah) di Lembaga Keuangan Syariah).

Fitur dan Mekanisme:


• Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi murabahah
dengan nasabah.
• Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang tela
disepakati kualifikasinya.

3
• Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan
nasabah.
• Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa dijanjikan
di muka.

2. Ba’I As-Salam
Akad salam adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara
cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah
keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan
talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua
pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan
dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada, seperti
pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau
secara cicilan.
Landasan syariah salam adalah Fatwa DSN MUI No. 05/ DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam.
Fitur dan Mekanisme Akad Salam:
• Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi salam dengan
nasabah.
• Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis
berupa akad pembiayaan atas dasar salam.
• Penyediaan dana oleh bank kepada nasabah harus dilakukan di muka secara penuh,
yaitu pembayaran segera paling lambat 7 hari setelah pembiayaan atas dasar salam
disepakati.
• Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang
nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.

3. Istishna’
Akad istishna' adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni) dan penjual atau pembuat (shani). Produk istishna'
menyerupai produk salam, namun dalam istishna' pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Landasan syariah istishna' adalah Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MU1/1V/2000 tentang
Jual Beli Istishna' dan No. 22/DSN-MU1/111/2002 tentang Jual Beli Istishna' Paralel.

4
B. Pembiayan Dengan Prinsip Sewa, Ijarah, IMBT, PTMJ

1. Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu yang berarti ganti. Dalam Bahasa
Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian sejumlah uang. Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh.
• Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan.
• Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan transaksi terhadap suatu manfaat yang
dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaat kan dengan imbalan tertentu.
• Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabi lah mendefinisikannya dengan: “pemilikan manfaat
sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan” .
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama terhadap
pengertian al-ijarah. Sedangkan menurut Sutan Remy al Ijarah adalah akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Rukun al-Ijarah Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab
(ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi,
jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:
a) orang yang berakad
b) sewa/imbalan
c) manfaat
d) shighat (ijab dan qabul).
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat,
termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya. hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu
dari beberapa rukun sewa-menyewa (al-ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad sewa-
menyewanya dikategorikan tidak sah. Sebab ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas
bersifat kumulatif (gabungan) dan bukan alternatif.
Prinsip-Prinsip Pokok Transaksi al-Ijarah Menurut Islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah
haruslah dipenuhi oleh seseorang dalam suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukakannya.
Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah :
a) Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang di transaksikan adalah jasa yang halal
sehingga dibolehkan melakukan transaksi al-ijarah untuk keahlian memproduksi
barang-barang keperluan sehari-hari yang halal seperti untuk memproduksi makanan,
pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Namun tidak dibolehkan transaksi al-

5
ijarah untuk keahlian membuat minuman keras, membuat narkoba dan obat-obat
terlarang atau segala aktifitas yang terkait dengan riba.
b) Memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah yaitu :
• Kedua pihak yang melakukan transaksi memiliki kerelaan dan tidak didasarkan
suatu paksaan dari pihak mana pun.
• Barang yang menjadi objek transaksi harus jelas adanya.
• Barang yang menjadi objek transaksi harus halal sesuai syariat Islam.
• Barang yang menjadi objek transaksi menjadi hak Mu’jar atas seizin pemiliknya.
• Manfaat yang didapatkan harus diinformasikan secara terang dan jelas
c) Transaksi ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah
memanfaatkan sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan
seorang ajîr, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya, sehingga untuk mengontrak
seorang ajîr tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh
karena itu, jenis pekerjaaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Karena transaksi
ijarah yang masih kabur hukumnya fasid (rusak). Dan waktunya juga harus ditentukan,
misalkan harian, bulanan, atau tahunan. Disamping itu upah kerjanya harus ditetapkan.
Karena itu dalam transaksi ijarah ada hal-hal yang harus jelas ketentuannya yang
menyangkut:
• bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-amal)
• Masa kerja (muddah al-amal).
• Upah kerja (ujrah al-amal)
• Tenaga yang dicurahkan saat bekerja (al-juhd alladziy yubdzalu fii al-amal)
Macam-Macam al-Ijarah Dilihat dari obyeknya, akad al-ijarah oleh para ulama dibagi
menjadi dua yaitu:
a. Al-Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraann
pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan
syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh
dijadikan obyek sewa menyewa.
b. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqh
hukumnya boleh, apabila jenis pekerjaan itu jelas.
Berakhirnya Akad al-Ijarah Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan
berakhir jika:
a. Obyek hilang atau musnah
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan

6
apabila yang disewa itu adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal
ini disepakati oleh semua ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-
ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama,
akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena manfaat
menurut meraka, boleh diwariskan.
d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak

2. IMPT
Ijarah wa Iqtina (Ijarah Muntahiyah Bittamlik) adalah akad sewa-menyewa atas
barang tertentu antara bank sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku penyewa
(musta’jir) untuk suatu jangka waktu dan dengan harapan yang disepakati. Pada akhir masa
sewa,bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dengan harga
yang disepakati pula.1
Aplikasi IMBT dalam perbankan syariah berupa:
a. Pembiayaan investasi;seperti untuk pembiayaan barang-barang modal, seperti mesin-
mesin.
b. pembiayaan konsumer;seperti untuk pembelian mobil,rumah,dan sebagainya.
Bank-Bank islam yang mengoperasikan produk al-ijarah dapat melakukan
leasing,baik dalam bentuk operating lease maupun financial leas. Akan tetapi,pada
umumnya,bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahiyan
bittamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan.Selain itu,Bank pun tidak direpotkan
untuk mengurus pemeliharaan aset,baik pada aset leasing maupun sesudahnya.
Pembiayaan ijarah dan IMBT di perbankan syariah memiliki persamaan perlakuan
dengan pembiayaan murabahah.Sampai saat ini,produk pembiayaan bank syariah masih
terfokus dengan produk-produk murabahah(prinsip jual beli).Kesamaan keduanya bahwa
pembiayaan tersebut termasuk dalam kategori natural certainty contract, dan pada dasarnya
adalah kontrak jual beli.Perbedaan dua jenis pembiayaan (ijarah/IMBT dengan
murabahah)hanyalah objek transaksi yang diperjual belikan tersebut.Dalam pembiayaan
murabahah,objek transaksi adalah barang seperti rumah dan mobil,sedangkan dalam
pembiayaan ijarah,objek transaksinya adalah jasa,baik manfaat atas barang maupun
manfaat atas tenaga kerja.Dengan pembiayaan murabahah,bank syariah hanya dapat
melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang,sedangkan nasabah yang
membutuhkan jasa tidak dapat dilayani.Dengan skim ijrah bank syariah dapat pula
melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa. 2
Pada prinsipnya, bank syariah adalah sama dengan perbankan konvensional,yaitu
sebagai instrumediasi yang menerima dana dari orang-orang yang surplus dana (dalam

1
Imam mustofa,”Fikih Muamalah Kontemporer”,;Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2016),h.123.
2
Veithzal Rivai dan Andrian Permata Veithzal sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,Fiqih
Mu’aŵalah Kontemporer,(Jakarta:rajawali Pers,2008),h.104.

7
bentuk penghimpunan dana) dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan
(dalam bentuk produk pelemparan dana).Sehingga produk-produk yang disediakan oleh
bank-bank konvensional, baik itu produk penghimpunan dana (funding) maupun produk
pembiayaan,pada dasarnya dapat pula desediakan oleh bank-bank syariah.3
Misalkan pada produk pembiayaan kepemilikan rumah atau KPR di pebankan
syariah dengan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) perbankan konvensional yang memiliki
berbagai macam perbrdaan di antaranya adalah; pemberlakuan sistem kredit dan sistem
mark up,kebolehan dan ketidakbolehan tawar menawar (bergaining position) antara
nasabah dengan bank, prosedur pembiayaan dan lain sebagainya.4 Objek dalam IMBT
harus dapat di nilai dan diidentifiksi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas apakah
objek tersebut statusnya milik orang lain atau bukan dan termasuk jangka sewa dan nilai
sewa. Pada pembiayaan ijarah muntahiyah bittamlik, calon nasabah harus memenuhi
prosedur pelaksanaan pembiayaan yang di tetapkan oleh bank syariah. Persyaratan dan
proses pembiayaan yang merupakan prosedur pelaksanaan pembiayaana dilakukan untuk
mengetahui calon nasabah layak untuk menerima pembiayaan.5
Dalam Peraturan Bank Indonesia tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah
dijelaskan bahwa obyek ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:

• obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan


sebagai pemberi sewa (muajjir).
• manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang.
• manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir)
• manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam
• manfaatnya harus ditentukan dengan jelas
• spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik,
kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya.
Berikut aplikasi skema pembiayaan IMBT:6
• Bank syariah dan Developer mengadakan perjanjian kerjasama(MOU) pemilikan
rumah. Bank syariah akan menyediakan fasilitas pembiayaan pemilikan rumah
bagi calon pembeli rumah Devoloper.

3
Helmi Haris sebagaimana dikutip oleh Ali Syukron,”Pemďiayaan Kepemilikan Rumah
la riba,Jurnal Ekonomi Islam,Vol.1,No1,Juli 2007,h.84
4
Ali Syukron,”Implementasi Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik;IMBTͿ Syaƌi’ah”,Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam,Vol.2,No.2(2012)
5
Di Kaqtikanati,Liliek Istiqomah,Dyah Susanti,”Pembudayaan Modal Kerja Dengan Akad Ijarah Muntahiyah Bit-
tamlik Pada Bab Syaƌiah”,;Universitas Jember,2013),h.5.
6
Fahurrahman Djamil sebagaimana dikutip oleh Ali Syukron Mata Kuliah Fiqh Muamalah Dalam Keuangan Dan
Peƌidikan Syaƌi’ah”,Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam,Vol.2,No.2(2012),h.84

8
• Pembeli atau calon nasabah bermaksud membeli rumah di lokasi milik Developer
dan mengajukan pembiayaan pemilikan rumah kepada bank syariah. Calon
nasabah melengkapi persyaratan permohonan pembiayaan sesuai kriteria yang
dipersyaratan . Jika persyaratan lengkap, bank syariah selanjutnya melakukan
analisa kelayakan pembiayaan terhadap calon nasabah.
• Jika calon nasabah layak dibiayai, maka bank syariah akan mengeluarkan surat
persetujuan kepada calon nasabah (surat penawaran). Calon nasabah melakukan
negoisasi dengan bank. Jika terjadi kesepakatan, calon nasabah menandatangani
surat penawaran dan berjanji (wa‟ad) untuk melakukan transaksi IMBT dengan
bank syariah.
• Bank syariah melakukan transaksi rumah (berdasarkan perjanjian kerjasama)
dengan Developer sesuai spefisikasi rumah yang diminta oleh calon nasabah,
secara prinsip(fiqih)rumah menjadi milik bank syariah(dokumentasi rumah
dibuat atas nama nasabah)
• Nasabah dan bank syariah melakukan perjanjian pembiayaan pemilikan rumah
berdasarkan prinsip IMBT dengan janji (wa‟ad) dari bank syariah untuk
melepaskan kepentingannya atas rumah (akad fiqik hibah) setelah seluruh
kewajiban nasabah lunas.
• Developer sebagai wakil bank (berdasaran perjanjian kerjasama) menyerahkan
rumah kepada nasabah (Nasabah mendapatkan manfaat rumah selama masa
IMBT.
• Nasabah membayar kewajiban ke bank syariah sesuai jadwal yang disepakati.
• Sesuai kesepakatan di awal akad, Bank syariah dan nasabah sepakat untuk
melakukan revew terhadap jumlah kewajiban nasabah pada setiap periode yang
ditentukan.
• Di akhir masa IMBT, bank syariah merealisasikan janjinya (wa‟ad) dengan
melepaskan kepentingan atas rumah dan menyerahkan rumah kepada nasabah
(akad fiqih hibah) setelah seluruh kewajiban nasabah dilunasi.
Al-Ijārah al-Muntahiya bit al-Tamlik (IMBT) merupakan salah satu alternatif skim
syariah untuk memfasilitasi pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang yang
sesuai dengan jenis usaha nasabah sekaligus mengamankan kepentingan bank.
Dibandingkan dengan akad mudharabah, akad IMBT ini lebih fleksibel dan kompetitif
bagi nasabah dalam penetapan harga sewa, walaupun ada beberapa risiko yang mungkin
terjadi yang harus diantisipasi seperti risiko default yaitu nasabah tidak membayar cicilan
dengan sengaja, aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah,
terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh si
pemberi sewa (muajjir), dan nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli
aset tersebut. Akibatnya bank harus menghitung kembali keuntungan dan
mengembalikan sebagian kepada nasabah.

9
Contoh Kasus Ijarah Muntahiyah Bittamlik Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah:
Seorang nasabah yang bernama bapak Santosa yang sedang melakukan proyek
pembangunan gedung, membutuhkan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya, lalu
memohon kepada Bank syariah untuk menyewa alat-alat berat itu. Bapak Santosa
mencicil sewa alat-alat tersebut. Dan pada akhir masa sewa bapak Santosa membeli alat-
alat tersebut.
3. PTMJ
Ijarah Multijasa Menurut etimologi, ijarah adalah ‫ )المنفعة بیع‬menjual manfaat).
Menurut terminologi syara’. ijarah diterjemahkan sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah):
mengambil manfaat tenaga manusia dan sewa-menyewa: mengambil manfaat dari barang.
Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan
jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.
Menurut bahasa, ijarah berarti upah atau ganti atau imbalan. Sedangkan lafaz
ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda
atau imbalan sesuatu kegiatan atau upah karena melakukan sesuatu
aktivitas.7Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh ulama fikih. Ulama mazhab
Hanafi mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Ulama
mazhab Syafi’i mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu, Ulama mazhab
Maliki dan Hanbali mendefinisikan dengan pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan
dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.8
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang
boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk
diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.9
Menanggapi pendapat di atas, Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam
I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama
fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma’ maupun qias yang shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu
manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah,
pohonnya tetap ada dan dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk
mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil
manfaatnya.10
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Pada ijarah objek transaksinya adalah

7
Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Cet. 2, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm.29
8
Abdul Azis Dahlan (Ed.), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta, Ichtiar Baru van Hooeve, Cet. 1, hlm. 660
9
Rachmat Syafe’I, 2006, Fiqih Mu’amalah, Bandung, CV Pustaka Setia, Cet. 3, hlm.121-122
10
Wahbah Al-Juhaili, 1989, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuh, Bairut, Dar al Fikr, Jus IV,hlm. 733-734

10
barang maupun jasa.11 Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada tiga jenis:
a) Ijarah, sewa murni. Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu
equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakandalam waktu dan
hanya yang telah disepakati kepada nasabah.
b) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa
dan beli, di mana si penyewa mempunyai hakuntuk memiliki barang pada akhir
masa sewa (finansial lease).
c) Musyarakah Mutanaqisah/Descreasing Participation. Jenis ini adalah kombinasi
antara Musyarakah dengan Ijarah (perkongsian dengan sewa).
DSN-MUI memandang LKS sebagai lembaga keuangan syariah perlu merespon
kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang yang berkaitan dengan jasa misalnya,
bank memberikan pembiayaan sejumlah uang kepada nasabah yang bisa digunakan untuk
biaya pendidikan, biaya perawatan kesehatan, biaya perkawinan, biaya bayar pajak
kendaraan bermotor dan biaya bayar utang, sehingga perlu menetapkan suatu fatwa yang
mengatur tentang pembiayaan tersebut, yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional no.44/DSN-
MUI/VIII/2004) tentang Pembiayaan Multijasa. Pembiayaan multijasa ini dapat
menggunakan Akad Al-Ijarah dan Akad Kafalah. Adapun pelayanannya bisa berbentuk
barang maupun jasa berupa upah, fee/ujrah (imbalan). Ujrah dalam ijarah harus disepakati
pada saat akad; akan tetapi, dalam kondisi tertentu terkadang salah satu atau para pihak
memandang perlu untuk melakukan review atas besaran ujrah yang telah disepakati
tersebut.

C. Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah, Musyarakah, Musyarakah Mutanaqishah

1. Mudharabah
Akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak
pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan
pihak kedua ('amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan
membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad,
sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, Ialai, atau menyalahi perjanjian.
Landasan syariah pembiayaan mudharabah adalah Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
Fitur dan Mekanisme Akad Pembiayaan Mudharabah
• Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang menyediakan dana dengan
fungsi sebagai modal kerja dan Nisbah sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu
yang telah disepakati, maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka
pembinaan nasabah.

11
Muhammad, 2005, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, hlm. 96

11
2. Musyarakah
Musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.12 Bentuk umum dari usaha bagi hasil
adalah musyarakah (syirkah atau syarikah). Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki
secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana
mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewirausahaan (entrepreneurship), kepandaian (skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau
goodwill), kepercayaan atau reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang
dapat dinilai dengan uang. Dengan meragkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi
masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat
fleksibel.

Ketentuan umum Pembiayaan Musyarakah adalah sebagai berikut:


• Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyawarah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan
usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk
menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindkan seperti:
Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi,Menjalankan proyek musyarakah
dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya, Memberi pinjaman kepada pihak
lain.
• Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila, Menarik diri dari
perserikatan, Meninggal dunia, Menjadi tidak cakap hukum.
• Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui
bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi
sesuai dengan porsi kontribusi modal.

12
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm.67

12
• Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk
bank.

3. Musyarakah Mutanaqishah.
Mutanaqisah berasal dari kata tanaqisha-yatanaqishu-tanaqishan mutanaqishun
berarti mengurangi secara bertahap (to dimish). Jadi musyarakah mutanaqisah merupakan
suatu akad kemitraan atau kerjasama untuk memiliki barang secara bersama-sama dimana
kepemilikan salah satu pihak akan berkurang dan pindah kepada rekanannya secara
bertahap sampai menjadi utuh dimiliki satu pihak.
Musyarakah mutanaqisah (decreasing participation) adalah nasabah dan bank
berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah atau kendaraan) yang
kepemilikannya bersama dimana semula kepemilikan bank lebih besar dari nasabah lama-
kelamaan pemilikan bank akan berkurang dan nasabah akan bertambah atau disebut juga
perkongsian yang mengecil. 13
Syarat dan Rukun Musyarakah Mutanaqisah Secara bahasa, rukun adalah sesuatu
yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan
(peraturan atau petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.
Dalam syariah rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu
transaksi.14 Karena musyarakah mutanaqisah merupakan suatu akad maka rukun dan
syaratnya harus sesuai dengan rukun dan syarat suatu perikatan. Ada empat komponen
yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad yaitu al-‘aqidain, mahall al-
‘aqh, maudhu’ al-‘aqd dan shighat al-‘aqd.
• Subjek Perikatan (al-‘aqidain) Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad.
Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu berupa akad (perikatan), dari sudut
hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum
seringkali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban, yang terdiri dari dua
macam yaitu manusia dan badan hukum.
• Objek Perikatan (mahall al-‘aqd) Mahall al-‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek
akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat
berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud. Syarat yang harus dipenuhi
dalam mahall al-‘aqd adalah
1. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan, perikatan yang objeknya
tidak ada adalah batal, misalnya menjual anak hewan yang masih dalam perut
induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh.
2. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah, benda-benda yang menjadi objek
perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.

13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Jakarta: BI Dan Taskie Institut, 1999,
hlm. 173
14
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm 49-50

13
3. Objek akad harus jelas dan dikenali, benda (barang atau jasa) yang menjadi
objek perikatan harus jelas dan diketahui oleh ‘aqid, hal ini bertujuan agar tidak
terjadi kesalah pahaman diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa.
4. Objek dapat diserahterimakan, artinya objek dapat diserakan pada saat akad
terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Disarankan objek perikatan
berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkan pada
pihak kedua.
• Tujuan Perikatan (maudhu’ al-‘aqd)
Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan
tersebut. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah
dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
- Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang
bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
- Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
- Tujuan akad harus dibenarkan syara’.
• Ijab dan Qabul (shighat al-‘aqd)
Shighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa
ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak
pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu
pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama. Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan qabul
agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
- Jala’ al-ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
- Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.
- Jazm al-iradataini yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak
secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.Ijab dan qabul dapat dilakukan
dengan empat cara sebagai berikut:
1. Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan
secara jelas.
2. Tulisan, adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu secara langsung dalam
melakukan perikatan, atau untuk perikatan

D. Pembiayaan Dengan Prinsip Aqad-aqad Pelengkap Hawalah, Rahn, Qardh, Wakalah, Kafalah

1. Hawalah
Akad hawalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak lain
yang wajib menanggung atau membayar. Landasan syariah hawalah adalah Fatwa DSN
MUI No. 12/DSN-MUI/ IV/2000 tentang Hawaiah dan Fatwa DSN MUI No. 58/DSN-

14
MU1/ V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah.Dalam praktik perbankan syariah fasilitas
hawalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk
mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan
piutang dengan yang berutang.

2. Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah
jaminan hutang atau gadai. Biasanya akad yang digunakan adalah akad qardh wal ijarah,
yaitu akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan
tugas agar bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.Barang yang digadaikan wajib
memenuhi kriteria, yaitu milik nasabah sendiri; memiliki nilai ekonomis sehingga bank
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil seluruh atau sebagian piutangnya; harus jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar; dapat dikuasai namun
tidak boleh dimanfaatkan bank.

3. Qardh
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Menurut teknis perbankan, qardh adalah pemberian pinjaman dari bank kepada nasabah
yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti dana talangan dengan kriteria
tertentu dan bukan untuk pinjaman yang bersifat konsumtif. Pengembalian pinjaman
ditentukan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan bersama) sebesar pinjaman
tanpa ada tambahan keuntungan dan pembayarannya dilakukan secara angsuran atau
sekaligus. Bank dapat meminta jaminan atas pinjaman ini kepada peminjam (QS al-Hadid
57:11)

4. Wakalah
Wakalah atau perwakilan, berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.
Yakni bank diberikan mandat oleh nasabah untuk melaksanakan suatu perkara sesuai
dengan amanah/permintaan nasabah. Secara teknis perbankan, wakalah adalah akad
pemberi wewenang/kuasa dari lembaga/seseorang (sebagai pemberi mandat) kepada pihak
lain (sebagai wakil, dalam hal ini bank) untuk mewakili dirinya melaksanakan urusan
dengan batas kewenangan dan dalam waktu tertentu. Segala hak dan kewajiban yang
diemban wakil harus mengatasnamakan yang memberi kuasa. Bank dan nasabah yang
dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum.

5. Kafalah

15
Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain
kafalah berarti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang
pada tanggungjawab orang lain sebagai penjamin (QS. Yusuf 12:72).
Secara teknis perbankan, kafalah merupakan jasa penjaminan nasabah dimana bank
bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin
(makfullah). Prinsip syariah ini sebagai dasar layanan bank garansi, yaitu penjaminan
pembayaran atas suatu kewajiban pembayaran.Bank dapat mempersyaratkan nasabah
untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai jaminan. Atas dana tersebut
bank dapat memperlakukannya denagn prinsip wadiah. Dalam hal ini bank mendapatkan
imbalan atas jasa yang diberikan.

E. Produk Jasa (Service) Sharf (Jual beli valuta asing), Wadiah (safety box)

1. Sharf
- Ketentuan tentang penukaran valuta asing (sharf) telah diatur dalam fatwa DSN, berikut
Pertama: Ketentuan umum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
• Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
• Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
• Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama
dan secara tunai (at-taqabudh).
• Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
- Kedua: Jenis-jenis transaksi valuta asing:
a) Transaksi spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat
dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya boleh, karena dianggap tunai, sedangkan
waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (L
l?) dan merupakan transaksi internasional.
b) Transaksi forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang,
antara 2 x 24 jam hingga satu tahun. Hukumnya haram, karena harga yang
digunakan yakni harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya
dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan itu belum tentu
sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentukforward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c) Transaksi swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga
spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama

16
dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi).
d) Transaksi option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau
hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada
harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena
mengandung unsur maisir (spekulasi).

- Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya

2. Wadiah
Wadi’ah secara bahasa diartikan sebagai titipan murni, yang dapat diambil pemilik
barang titipan sesuai kebutuhan. Pengertian wadi’ah sebagaimana dalam Bank Muamalat
Indonesia ialah diartikan dengan titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan
bank. Titipan murni tersebut dapat berupa uang dan barang, ataupun dokumen berharga,
dan pihak perbankan sebagai penerima titipan tidak diperkenankan mempergunakan
barang yang dititipkan, selain itu pihak bank dapat mengenakan biaya penitipan itu.15
Wadi’ah ialah sebagai amanah, tetapi dalam dinamikanya kini, ia dapat menjadi dhamanah
dengan ganti rugi dengan berbagai kondisi berikut:
a. Abai dalam pemeliharaan titipannya.
b. Penerima titipan menitipkannya pada orang lain.
c. Penerima titipan menggunakan barang titipan.
d. Bepergian dengan membawa titipan.
e. Mengingkari wadi’ah , penerima titipan menahan barang titipan meskipun ia
mampu mengembalikannya.
f. Bercampurnya barang titipan dengan barang lainnya.
g. Menyalahi syarat atau tidak memenuhi standar dalam pemeliharaan yang disepakati
atau pada umumnya, seperti penerima titipan mengingkari kesepakatan dengan
memindah tempat penyimpanan barang yang disyaratkan.16
Dari sudut pandang demikian, Safe Deposit Box dapat dipandang sebagai akad
yang sesuai dengan konsep titipan dalam Islam yakni wadiah yad al-amanah hal ini
dikarenakan barang yang dititipkan dalam Safe Deposit Box tidak dapat dipindah ataupun
digunakan oleh bank se Dalam konsep wadi’ah yad amanah, penerima titipan wajib
mengganti atau bertanggungjawab terhadap titipan atau aset dalam kondisi:

15
Siti Aisyah, Penghimpunan Dana Masyarakat Dengan Akad Wadi’ah Dan Penerapannya Pada Perbankan Syariah,
Jurnal syariah, Univ. Islam Indragiri, Vol. V, No. 1, April 2016
16
Rozalinda, Fikih Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), cet.1, h.162164-165

17
1. Jika terjadi kerusakan dikarenakan penerima titipan tidak melakukan pemeliharaan
atau tidak dijaga sebagaimana mestinya (terstandar) atau keilangan, maka ia
berkewajiban mengganti. Seperti misalhnya ada pencurian dan dia bisa menghentikan
itu, tetapi dibiarkan, itu artinya ia tidak menjaga aset sebagaimana mestinya, misal
penerima titipan membiarkan barang titipan di luar rumah, maka itu juga tidak dapat
dikatakan penjagaan yang sudah wajar atau layak. maka ia juga berkewajiban
menggantinya. Dalam hal ini, Safe Deposit Box dalam perjanjiannya telah dijelaskan
mengenai tingkat keamanan benda yang disimpan dalam box. Hanya saja terjadi
dilema jika anak kunci dihilangkan oleh nasabah sendiri, pihak bank tidak turut
menanggung risiko yang diakibatkan hilangnya anak kuncibagai penyedia jasa Safe
Deposit Box .
2. Ketika penerima menitipkan kembali pada orang lain yang bukan semestinya, seperti
orang jauh atau bukan kerabatnya atau pada orang yang tidak dikenalnya, hal tersebut
adalah tindakan yang termasuk abai atau tidak masuk standar amanah, maka kondisi
tersebut wadiah menjadi Yad adhDhamanah. Dalam artian, penerima titipan pertama
wajib bertanggungjawab. Menurut Abu Hanifah dan Hanabilah. Dalam hal ini tentu
produk Safe Deposit Box tidak mungkin dilakukan pemindahan barang yang disimpan
dalam box apalagi tanpa seizin pemilik barang.
3. Ketika penerima titipan memanfaatkan aset titipan, misalnya dititipi motor, dan motor
tersebut digunakan, maka ketika terjadi kerusakan atau kehilangan maka wadi’ah
tersebut berubah menjadi Yad adh-Dhamanah. Menurut Malikiyyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah ketika aset mengalami kerusakaan setelah dimanfaatkan, walaupun
disebabkan oleh Force Majeur, ia harus mengganti karena ia telah berani untuk
memanfaatkan aset tersebut. Dari sinilah jelas bahwa perjanjian Safe Deposit Box
sebenarnya selaras dengan prinsip-prinsip dalam wadi’ah yad al-amanah.
Jika penerima titipan mencampur aset keduanya, maka status Wadi’ah berubah
menjadi Yad Dhamanah, yaitu penerima titipan wajib bertanggung jawab untuk
menggantinya.
Alur skema transaksi produk Safe Deposit Box sebagai akad yang bertingkat ialah sebagai
berikut:
a. Nasabah menitipkan barang yang secara formil sudah ditulis jenis dan bentuk
barangnya yang disimpan, dengan menggunakan akad wadi’ah .
b. Nasabah menyewa box yang akan digunakan untuk menyimpan barang tersebut.
Dalam transaksi ini yakni menggunakan akad ijârah karena ia menyewa box (kotak).
c. Nasabah dapat mengambil barang yang ia titipkan dalam Safe Deposit Box sesuai
dengan kebutuhan dan tidak membebankan biaya atas jumlah barang. Atas dasar ini
maka wadi’ah dalam produk Safe Deposit Box sebenarnya merupakan bentuk aplikatif
dari wadi’ah yad al-amanah.

18
d. Nasabah hanya dibebankan ongkos (ujrah) terhadap penyewaan box–nya. Sehingga
akad ijârah menjadi kata kunci dalam penentuan waktu akad. Dan nasabah dikenakan
ongkos sewa box yan biasanya mingguan, bulanan, atau tahunan.
e. Barang dalam Safe Deposit Box yang dititipkan tidak boleh diperdayakan,
dipergunakan oleh pihak bank.

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah islam, yakni
bagian muamalah sebagai yang mengatur hubungan sesame manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam syariah islam dilandakan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa
ma la yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan
ekonomi ) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian
tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi
wajib untuk diadakan.
Produk Penyaluran Dana (Financing) Adapun didalamnya terdapat Pembiayaan dengan
Prinsip Jual Beli dengan Akad Murabahah, Bai’ as salam, Istishna’, Pembiayan Dengan Prinsip
Sewa, Ijarah, IMBT, PTMJ, Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil Mudharabah, Musyarakah,
Musyarakah Mutanaqishah, Pembiayaan Dengan Prinsip Aqad-aqad Pelengkap Hawalah, Rahn,
Qardh, Wakalah, Kafalah, Produk Jasa (Service) Sharf (Jual beli valuta asing), Wadiah (safety
box).

20
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. (2016). Penghimpunan Dana Masyarakat dengan akad Wadiah dan penerapannya pada
perbankan syariah. jurnal syariah, vol v no 1.

Al-Juhaili, W. (1989). Al-Fikh Al- Islami Wa adillatuhu. Bairut: Dar Al fikh.

Al-Juhaili, W. (1997). Fikh Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Antonio, M. S. (1999). Bank Syariah bagi Bankir & Praktisi Keuangan . Jakarta: BI dan Taskie Institut .

Dahlan, A. A. (1996). Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtian baru van Hooven.

Dewi, G. (2005). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Di kaqtikanati, L. I. (2013). Pembudayaan Modal kerja dengan aqad ijarah muntahiyah bit tamlik .
jember: Universitas Jember.

Djamil, F. (2012). Fikh Muamalah dalam keuangan dan pendidikan Syadiah. Jurnal Ekonomi dan Hukum
islam, Vol 2 no 2.

Haris, H. (2007). Pembudayaan kepemilikan rumah la riba . Jurnal Ekonomi Islam, V0l 1 no 1.

Muhammad. (2005). Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Mustofa, I. (2016). Fikih Muamalah Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Rozalinda. (2016). Fikih Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudarsono, H. (2004). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.

Syafei, R. (2006). Fikih Muamalat. Bandung: CV PUstaka setia.

Syukron, A. (2012). Implementasi Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik. Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam,
vol 2 no 2.

Veithzal, V. R. (2008). Fiqh Muamalah Kontemporer. jakarta: Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai