Anda di halaman 1dari 34

PEGADAIAN SYARIAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pengantar Lembaga Keuangan Islam
Dosen pengampu:
Ibu Suci Aprilliani Utami, S.P.d., M.E.Sy.

Disusun Oleh:
Sintia Sri Nurcahyani (1600243)
Fitri Sri Handayani (1600260)
Nada Nadhifah Hasuri (1606943)
Muhammad Zeinny Hasbunallah Sasmita (1606623)
El Islam Purnama Alam (1605953)

PROGRAM STUDI ILMU DAN EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini yang berjudul “PEGADAIAN SYARIAH”. Semoga makalah ini
dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam pembelajaran Pengantar Lembaga Keuangan Islam.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini, dan agar kedepannya dapat menjadi lebih baik.

Makalah ini kami akui masih ada kekurangan. Oleh karena itu kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Kami pun berterima kasih
kepada Ibu Dosen pengampu mata kuliah Pengantar Lemnbaga Keuangan Islam
yang sudah memberikan tugas ini.

Bandung, 29 Oktober 2017

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah........................................................................................................................ 2
3. Tujuan Penelitian ......................................................................................................................... 2
4. Manfaat Penelitian ....................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Pengertian Pegadaian Syariah..................................................................................................... 3
B. Sejarah Pegadaian Syariah .......................................................................................................... 4
C. Dasar Hukum Pegadaian Syariah ................................................................................................ 5
D. Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah ......................................................................................... 6
E. Ketentuan Gadai Barang ............................................................................................................. 9
1. Akad Perjanjian Gadai ............................................................................................................... 11
2. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo .......................................................................... 13
3. Berakhirnya Akad Gadai ........................................................................................................... 14
4. Aspek pendirian lembaga pegadaian syariah ............................................................................. 15
5. Mekanisme Pegadaian Syariah .................................................................................................. 17
6. Mekanisme Perjanjian Gadai ..................................................................................................... 18
7. Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah ............................ 23
8. Kendala dan Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah .......................................................... 25
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 27
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 27
B. Saran ......................................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 29

ii
DAFTAR GAMBAR

Skema 1 Skema Pegadaian Syariah .........................................................................................17


Skema 2 Skema Pelayanan Pinjaman ......................................................................................18
Skema 3 Skema Pelayanan Pelunasan .....................................................................................23

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nilai Taksiran dan Biaya Administrasi Berdasarkan Golongan .................................19


Tabel 2 Tarif Jasa Simpanan dan Setiap Kelipatannya berdasarkan Nilai Taksiran................20
Tabel 3 Pembagian Konstanta, Tarif Jasa Simpana, Jangka Waktu, dan Jasa
Simpan Berdasarkan Taksiran..................................................................................................21
Tabel 4 Perbedaan Perhitungan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional..................22
Tabel 5 Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian
Syariah......................................................................................................................................23

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Islam telah mengatur pemeluknya dalam segala aspek kehidupan melalui


syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah dasar dan aturan-aturan. semua
pemeluk Islam di wajibkan untuk mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam
praksis kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat Islam
yang berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat perlu
panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku. Karena itu perlu pengkajian
aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang
berawal dari interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya dalam hal
ekonomi.1
Praktik gadai di Indonesia telah berjalan sejak masa sebelum kemerdekaan
Indonesia yang terus berlangsung sampai saat ini. Masyarakat cukup memahami
dan mengenal Pegadaian untuk kebutuhan dana yang cepat dan jumlah yang
minim atau besar. Literasi keuangan laku pandai (finacial inclusion) telah berjalan
di Pegadaian sejak dahulu kala sebelum banyak orang mengakses keuangan bank
dan non bank.
Kini, masyarakat ditawarkan beberapat produk gadai. Di mana masyarakat
tidak hanya meminjam uang untuk kebutuhan konsumtif tetapi ada pilihan untuk
produktif dan permodalan. Apalagi produk-produk syariah yang lebih banyak
variasi dan inovasinya.
Pegadaian syariah memiliki produk gadai sebagai basis utama bisnisnya,
disamping itu juga memiliki produk pembiayaan untuk kendaraan bermotor
disebut Amanah, produk kerjasa permodalan disebut Arrum, tabungan emas yang
mengkomversi rupiah langsung pada emas, jual beli emas secara murabahah
disebut Mulia, bahkan ada tabungan untuk ongkos haji. Semua produk itu berbasis
gadai (rahn). (Tribun, 2017)

1
Ahmad Supriyadi, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam, (Semarang: STAIN Kudus, Juli-Desember
2012) Vol. 5, No. 2, hlm 2

1
2

Akan tetapi, apakah masyarakat saat ini sudah awas dan paham mengenai
kaidah pegadaian syariah atau rahn sendiri? Serta tahu bagaimana mekanisme dan
operasionalnya? Hal ini juga akan memberikan pertanyaan bagi kita apa bedanya
pegadaian syariah dan konvensional.
Secara umum, sistem pembiayaan pegadaian syariah tidak jauh berbeda
dengan pegadaian yang bersifat konvensional. Namun demikian ada beberapa
transaksi yang harus dilakukan agar sesuai dengan syariat Islam. Pada Pegadaian
konvensional, biasanya menggunakan sistem bunga, sedangkan pada pegadaian
syariah menggunakan ijarah atau ujroh. Dari ijarah atau ujrah inilah pegadaian
syariah mendapatkan keuntungan. Makalah ini akan menjelaskan apa itu
pegadaian syariah dari dasar dan mekanismenya.

2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Pegadaian Syariah?


2. Apa saja yang termasuk kedalam dasar hukum Pegadaian Syariah?
3. Bagaimana rukun dan syarat Pegadaian Syariah?
4. Bagaimana proses akad Pegadaian Syariah?
5. Bagaimana mekanisme dan operasional Pegadaian Syariah?

3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Pegadaian Syariah


2. Mengetahui dasar hukum dalam Pegadaian Syariah
3. Mengetahui rukun dan syarat dalam Pegadaian Syariah
4. Mengetahui proses akad dari Pegadaian Syariah
5. Mengetahui mekanisme dan operasional dalam Pegadaian Syariah

4. Manfaat Penelitian

1. Menjelaskan pengertian dari Pegadaian Syariah, landasan hukum


Pegadaian Syariah, cara pelaksanaan dalam Pegadaian Syariah, serta
praktiknya dari zaman dahulu, dan praktiknya pada zaman kontemporer.

2. Hasil ini dapat dimanfaatkan untuk acuan dalam memperoleh ilmu, dan
agar dapat terjelaskan mengenai praktik dalam Pegadaian Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pegadaian Syariah

Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang


menjalankan sistem gadai sesuai dengan hukum islam. Sistem Gadai menurut
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1150 adalah hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai hak piutang atas suatu barang bergerak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang
mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
Pegadaian Syariah sistem gadai atau yang disebut rahn dalam bahasa arab ini
dijalankan sesuai dengan hukum islam. Kata “rahn” berarti tetap atau lama,
dengan kata lain juga dapat dikatakan penahanan barang dalam jangka waktu
tertentu, barang yang memiliki nilai harta ini dijadikan jaminan dalam utang-
piutang. Sama seperti lembaga lain yang berlabel syariah, landasan pembentukan
Pegadaian Syariah adalah Al – Qur’an dan Hadist.2
Menurut Burhanuddin S, istilah rahn secara bahasa berarti “menahan”.
Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang.
(Burhanuddin, 2009, hal. 175) Sedangkan pengertian gadai menurut hukum syara’
adalah:

‫ْث ي ُْم ِك ُن ا َ ْخذ ُ ذَ ِل َك الدَّيْنَ أ َ ْو‬


ُ ‫ش ْرعِ َوثِقَةٌ بِدَي ٍْن ِب َحي‬ ْ ‫عا ِليَهٌ فِي ن‬
َّ ‫َظ ِر ال‬ َ ٌ‫َج ْع ُل َعي ِْن لَ َها قِ ْي َمة‬
‫ضهُ ِم ْن تِ ْل َك ْال َعي ِْن‬
َ ‫ا َ ْخذ ُ َب ْع‬
“Menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.” (Sabiq, 1995, hal. 187)
Maka kesimpulannya, Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang menjalankan sistem jaminan utang yang memungkinkan
orang yang berhutang untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang
tersebut.

2
Dr.Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet.15, (Jakarta : Rajawali Pers), 2014, hlm.
230.

3
4

B. Sejarah Pegadaian Syariah

Usaha pegadaian di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda


(VOC) di mana pada saat itu tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk
meminjamkan uang dengan jaminan gadai. Pada mulanya usaha ini dijalankan
oleh pihak swasta, namun dalam perkembangan selanjutnya usaha pegadaian ini
diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian dijadikan perusahaan
negara, menurut undang-undang pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu
dengan status Dinas Pegadaian.3
Menurut Sejarahnya, Pegadaian Negara dijadikan sebagai Perusahaan
Negara di bawah lingkup Departemen Keuangan berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 176 Tahun 1961. Kemudian berdasarkan Undang Undang No. 9
Tahun 1969, Intruksi Presiden No. 17 Tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 17
Tahun 1969, serta Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. 664/ MK/ 9/ 1969,
bentuk pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN). Namun
setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990, Perjan
Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum Pegadaian.4
Dikeluarkan UU No.7 tahun 1992 dan penyempurnaan menjadi UU No.10
Tahun 1992 dan penyempurnaan menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang pokok-
pokok perbankkan yang di dalamnya mengatur tentang Pegadaian Syariah
memberi peluang berdirinya lembaga keuangan syariah yang berdasarkan sistem
bagi hasil. Kondisi ini dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh umat Islam dengan
mendirikan perbankan Islam seperti Bank Muamallat Indonesia (BMI), Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT) Asuransi Takaful serta Reksa Dana Syariah. Namun
demikian mekipun lembaga keuangan Islam sudah cukup lengkap, kebanyakan
lembaga-lembaga tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam yang mempunyai
ekonomi cukup baik, sedangkan mayoritas umat Islam yang ekonominya lemah
belum bisa merasakan manfaat nyata dari keberadaan lembaga tersebut.5
Berkembangnya perbankan dan lembaga keuangan syariah merupakan
peluang pasar baru bagi pegadaian yang masih menggunakan system

3
Dr. Kasmir, op.cit., hlm. 231.
4
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 8.
5
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabetha, 2011), hlm. 80.
5

konvensional yaitu sistem bunga. Perum Pegadaian yang merupakan lembaga


keuangan non bank sekitar tahun 2000 mengadakan studi banding ke Negara
Malaysia, di Malaysia nama lembaga tersebut adalah Ar-Rahn beroperasi sudah
lama dan milik pemerintah. Pegadaian syariah merupakan salah satu unit layanan
syariah yang dilaksanakan oleh Perum Pegadaian. Berdirinya unit layanan syariah
ini di dasarkan atas perjanjian musyarakah dengan sistem bagi hasil antara perum
pegadaian dengan bank muamallat Indonesia (BMI) untuk tujuan melayani
nasabah Bank Muamallat Indonesia maupun Pegadaian. Nasabah pegadaian yang
ingin memanfaatkan jasa dengan menggunakan prinsip syariah. Dalam perjanjian
musyarakah ini BMI yang memberikan modal bagi berdirinya Pegadaian Syariah,
karena untuk mendirikan lembaga keuangan syariah modalnya juga harus di
peroleh dengan prinsip syariah pula, sedangkan Perum Pegadaian yang
menjalankan operasionalnya dan penyedia sumber daya manusia dengan
pertimbangan pengalaman Perum Pegadaian dalam pelayaan jasa gadai.
Ketentuan nisbah disepakati yaitu 45,5 untuk Bank Muamallat Indonesia dan 55,5
untuk Perum Pegadaian perjanjian kerja sama ini di sepakti pada tanggal 20
Desember 2002 dengan nomor 446/SP300.233/2002 dan 015/BMI/PKS/XII/2002.
Bank syariah selaim mem-back-up dana juga 16 memfasilitasi ke Dewan Syariah
yang mengawasi ke Dewan Syariah yang mengawasi operasional apakah sesuai
prinsip syariah atau tidak.6

C. Dasar Hukum Pegadaian Syariah

1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah: 283:

...ٌ‫ان ّم ْقب ُْوضّة‬


ٌ ‫سفّ ٍر ّولّ ْم ت ّ ِجد ُْوا ّكاتِبًافّ ِر ّه‬
ّ ‫َوإٍ ْن ُك ْنت ُ ْم عّلّى‬
“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang
juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang…”
2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a., ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. pernah membeli makanan dengan berutang
dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”

6
Hamid, Arifin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia cet.1, (Bogor: Ghalia,
2007).
6

3. Hadis Nabi riwayat al-Syafi’I, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi SAW. bersabda:
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.”
4. Hadis Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’I, Nabi SAW.
bersabda:
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menangung biayanya.” Orang yang menggunakan kendaraan
dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan
pemeliharaan.7
5. Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, 1985, V: 181).
6. Kaidah Fiqh:
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya (MUI, 2002)
Selain itu, secara praktik dasar hukum gadai syariah di Indonesia telah
diatur dalam:
1. BAB XIV Pasal 372 hingga pasal 412 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah.
2. Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
3. Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
4. Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
5. Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas
Secara Tidak Tunai.

D. Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah

Dalam menjalankan Pegadaian Syariah, Pegadaian harus memenuhi rukun


gadai Syariah. Rukun Karya tersebut antara lain:8

7
Dr. Mardani, op.cit., hlm. 173-174.
8
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta : Bank Indonesia
dan Tazkia Institute, 1999), hlm. 215..
7

1. Ar-Rahin (yang menggadaikan)


Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
akan digadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh Rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Al-Marhun/rahn (Barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan Rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan
utang.
4. Al-Marhun bih (Utang)
Sejumlah dana yang diberikan Murtahin kepada Rahin atas dasar besarnya
tafsiran Marbun.
5. Sighat, Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara Rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
Menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, dalam gadai disyaratkan beberapa
syarat sebagai berikut:
1. Persyaratan aqid
Kedua orang yang akan melakukan akad harus memenuhi kriteria al-
ahliyah, yaitu orang yang sudah sah untuk melakukan jual beli, yakni berakal
dan mumayiz. Rahn (gadai) tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk,
gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh.
2. Syarat shigat
Ulama Hanfiah berpendapat, bahwa shigat dalam rahn (gadai) tidak
boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Adapun menurut ulama
selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang shahih dan ada yang rusak
(fasid). Penjelasannya sebagai berikut:
a. Ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa syarat dalam rahn ada tiga :
- Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar
sehingga jaminan tidak dapat disita.
8

- Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar


hewan yang dijadikan jaminan diberi makanan tertentu. Syarat seperti ini
batal, tetapi akadnya sah.
- Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan
merugikan murtahin.
b. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn
sahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang didalamnya
mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus
berada di bawah tanggung ajwab rahin.
c. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa seperti pendapat ulama Malikiyah
diatas, yakni rahn terbagi dua, shahih dan fasid. Rahn shahih adalah rahn
yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
3. Syarat Marhun (Barang)
Aturan pokok dalam madzhab Maliki tentang masalah ini ialah, bahwa
gadai itu dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua macam jual-
beli, kecuali pada jual beli mata uang atau syarat dan pokok modal pada salam
yang berkaitan dengan tanggungan pada saat disyaratkan tunai atau yakni
kedua belah pihak saling menerima.9
Menurut pendapat ulama Syafi'iyah koma memiliki tiga syarat:
pertama berupa utang yang kedua menjadi tetap. yang ketiga mengikatnya
gadai tidak sedang dalam proses penantian terjadi dan tidak menjadi wajib,
seperti gadai dalam kitabah.10
Adapun syarat marhun yaitu :
a. Dapat diperjualbelikan.
b. Bermanfaat.
c. Jelas.
d. Milik rahin.
e. Bisa diserahkan.
f. Tidak bersatu dengan harta lain.
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin.
9
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990), hlm. 306.
10
Ibnu Rusyd, Ibid, hlm.308.
9

h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.


4. Syarat Murtahin Bih
Adapun syarat murtahin bih, yaitu :
Menurut ulama Hanafiyah, syarat Murtahin bih yaitu :
a. Marhun bih hendaknya barang yang diwajibkan diserahkan.
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
c. Hak atas marhun bih harus jelas.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, syarat marhun bih, yaitu :
a. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b. Utang harus lazim pada waktu akad.
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.11

E. Ketentuan Gadai Barang

Dalam mengadaikan barang di Pegadaian Syariah harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut :

1. Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang
yang digadaikan diakui oleh masyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan
jaminan.
2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang
pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai
jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai penutup utang dengan benda-
benda yang digadaikan, padahal barang yang di-gasab, dipinjam dan
barang-barang yang telah diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan
tidaklah dapat digunakan sebagai penutup utang.
3. Gadai itu tidaklah sah apabila utangnya belum pasti. Gadai yang utangnya
sudah pasti hukumnya sah, walaupun utangnya belum tetap, seperti utang
penerima pesanan dalam akad salam terhadap pemesan. Gadai dengan
utang yang akan menjadi pasti juga sah, seperti harga barang yang masih
dalam khiar.

11
Rahmat Syafei’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 162-164.
10

4. Disaratkan pula agar piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua pihak.
Ini dikatakan oleh Ibnu Abdan dan pengarang kitab al-Istiqsha’ serta Abu
Khalaf al-Thabari yang diperkuar oleh Ibnu Rif’ah.
5. Menerima barang gadai oleh Pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai
atas tetapnya gadaian. Gadai belum ditetapkan selama barang yang
digadaikan itu belum diterima oleh pengadiaian.
6. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 283, “…maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang
menerima gadiaian)”. Berarti penerima gadaian barang tersebut menjadi
syarat sahnya.
7. Seandainya ada orang mengadaikan barang namun barang tersebut belum
diterima oleh Pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
Sebab gadaian yang belum diterima akad-nya masih jaiz (boleh) boleh
diubah oleh pihak nasabah sebagaimana masa khiar dalam jual-beli.
8. Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka akad
rahn (gadai) telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
9. Penarikan kembali (pembatalan) akad gadai itu ada kalanya dengan ucapan
dan adakalanya dengan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang
gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status
kepemilikan, maka batallah akad gadai itu. Contoh jika pegadaian menjual
barang untuk dijadikan mas kawin atau upah kerja maka batal. Begitu pula
juka barang gadaian itu di gadaikan lagi ke orang lain, atau memberikan
barang gadaian itu kepada orang lain.
10. Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya
tidak termasuk pembatalan. 12
11. Jika masa hutang pada gadai lebih awal daripada masa sewa (masa
sewanya lebih lama daripada masa gadai) maka tidaklah termasuk
pembatalan gadai, dan memperbolehkan penjualan barang yang di
gadaikan hal ini termasuk kaul yang ashah.
12. Barang gadaian merupakan amat di tangan penerima gadai, karena dia
telam menerima barang itu dengan seizin nasabah. Jadi pegadaian tidak
12
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), h. 177-
178.
11

wajib memenanggung kerusakan barang gadai kecuali jika disengaja atau


lengah.
13. Jika barang tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak pegadaian,
pegadaian tidak wajib menanggung barang tersebut dan dan jumlah
pinjaman yang telah diterima oleh pegadaian tidak boleh dipotong atau
dibebaskan. Sebab barang tersebut adalah amanat dari nasabah untuk
mendapatkan pinjaman.
14. Seandainya pegadaian mengaku bahwa barang tersebut musnah, maka
pengakuan tersebut dapat dibenarkan disertai sumpah, sebab pegadaian
tidak menjelaskan sebab-sebab musnahnya barang tersebut, atau ia
menyebutnya tetapi tidak jelas. Apabila menyebutnya dengan jelas maka
pengakuannya juga tidak bisa diterima jika tidak disertai bukti. Sebab
pegadaian bisa menunjukan bukti-bukti apabila sebab barangnya musnah
itu jelas.
15. Seandainya pegadaian telah mengaku mengembalikan barang gadiaian,
pengakuan tersebut tidak dapat diterima kecuali dengan disertai bukti
(kesaksian) sama halnya dengan pengakuan musta’ir (peminjam).
16. Jika pegadaian itu lengah atau merusak barang gadaian karena sengaja
atau memanfaatkan barang yang dilarang untuk dipergunakan, maka
pegadaian harus menggantinya. 13

1. Akad Perjanjian Gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pegadaian bisa sah bila memenuhi


tiga syarat :

1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.


2. Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digadaikan tidak
terhalang, seperti mushaf.
3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang
gadai

13
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), hlm.
179.
12

Berdasarkan tiga aspek di atas, maka dapat diambil alternatif dalam


mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian.
Ketiga akad tersebut adalah:

1. Akad al-Qaradul Hasan


Akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan pihak penerima gadai
pada kasus nasabah yang mengadaikan barangnya bertujuan untuk mendapatkan
uang tunai yang diperuntukkan untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian,
nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian
(murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadai (marhum). Akad al-
qardu al-hasan dimaksud pada prinsipnya tidak boleh pembebanan biaya selain
biaya administrasi. Namun ketentuan biaya administrasi dimaksud berdasarkan
cara :
- Biaya administrasi harus dinyatakan dengan nominal, bukan presentase.
- Biaya administrasi harus bersifat jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada hal-
hal mutlak yang diperlukan dalam akad atau kontrak.14
2. Akad al-Mudharabah
Akad mudharabah yaitu suatu akad yang diberikan oleh pihak pemberi
gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin). akad ini dilakukan untuk
nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau
pembiayaan produktif (pembiayaan investasi dan modal dengan kerja). Dengan
demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) yang
diperoleh kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang
dijaminkan terlunasi. 15
3. Akad Bai’ al-Muqayadah
Akad Bai’ al-Muqayadah yaitu akad yang dilakukan oleh pemilik sah
harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda
dimaksud mempunyai manfaat produktif.16 artinya dalam menggadaikan, rahin
tersebut mengginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan untuk
memperoleh dana pinjaman barang jaminan yang dapat dijaminkan dalam akad ini

14
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 83.
15
Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pengadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2007), hlm. 29.
16
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm, 92-93.
13

adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan


oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang
yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up
kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai
batas waktu yang telah ditentukan. 17

2. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo

Ulama berpendapat bahwa penjualan yang dilakukan oleh penerima gadai.


Pendapat mereka sebagai berikut :

1. Menurut Imam Syafi’I penerima gadai tidak boleh menjual barang gadai
setelah jatuh tempo, kecuali oleh wakil yang adil dan terpercaya.
Argumentasinya, karena pemberi gadai menghendaki kesabaran terhadap
barang yang akan di jual dan kecermatan terhadap harga. Hal ini berbeda
dengan penerima gadai bila yang menghendaki agar hak pelunasan cepat
terpenuhi, maka apabila penjualan dilakukan oleh penerima gadai maka
dikhawatirkan penjualan tersebut tidak dengan harga yang tepat dan dapat
memberi kerugian/mudarat pihak pengadai18.
2. Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, apabila dalam akad gadai
diisyaratkan penjualan oleh penerima gadai setelah jatuh tempo, maka hal itu
dibolehkan. Demikian pula pendapat Imam Ahmad bin Hambal, ia
membolehkan penerima gadai menjual barang gadaian setelah jatuh tempo,
alasannya apa yang sah untuk di wakilkan oleh selain pemberi dan penerima
gadai, maka sah untuk di wakilkan oleh mereka berdua.19
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, apabila telah jatuh tempo,
pemberi gadal dapat mewakilkan penerima gadai atau penyimpanan atau pihak
ketiga untuk menjual harta kepadanya.20

17
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), hlm. 179-
178.
18
Dr. Mardani. Op.cit., hlm. 184.
19
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Sinar.Grafika,2013), hlm. 242-243.
20
Pasal 406 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
14

Menurut Pasal 407:


1. Apabila jatuh tempo, penerima gadai harus memperingatkan pemberi
gadai untuk segera melunasi hutangnya
2. Apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi hutangnya, maka harta gadai
dijual paksa melalui lelang
3. Hasil penjualan harta gadai digunakan untuk melunasi hutang. Biaya
penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik pemberi gadai dan kekurangan
menjadi kewajiban pemberi gadai.
Menurut Pasal 408:
Jika pemberi gadai tidak diketahui keberadaannya, maka penerima gadai
boleh menunjukan kepada pengadilan agar pegadaian menetapkan bahwa
penerima gadai boleh menjual harta gadai untuk melunasi utang pemberi gadai.

3. Berakhirnya Akad Gadai

Akad gadai akan berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut :


a. Barang gadai telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b. Rahin membayar utangnya.
c. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
d. Pembebasan utang dengan cara apa pun, meskipun tidak ada persetujuan
dari pihak rahin.21
e. Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak lain.
f. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
g. Memanfaatkan barang gadai dengan penyewaan, hibah atau sedekah, baik
dari pihak rahin ataupun murtahin.
h. Meninggalnya rahin (menurut Malikiyah) dan/atau murtahin (menurut
Hanafiyah), sedangkan Syafi’iyah dan Hanbaliah, menanggap kematian
para pihak tidak mengakhiri akad rahn.22

21
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: UGM Press,2010),
hlm. 129.
22
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Sinar.Grafika,2013), hlm. 243.
15

4. Aspek pendirian lembaga pegadaian syariah

1. Aspek legalitas
Mendirikan lembaga pegadaian syariah dalam bentuk perusahaan
memerluka izin pemerintah. Namun sesuai dengan peraturan pemerintah no.10
tahun 1990 tentang pengalihan bentuk perusahaan jawatan (perjan) pegadaian
menjadi perusahaan umum (perum) pegadaian, pasal 3 ayat (1) a. Menyebutkan
bahwa perum pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang
untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi
dari perum pegadaian dapat diperiksa anatara lain pada pasal 5 ayat (2) b, yaitu
pencegahan praktek ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. 23
2. Aspek permodalan
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar, karena selain
diperlukan untuk dipinjamkan kepda nasabah, juga diperlukan investasi untuk
penyimpanan barang gadai. Permodalan gadai syariah tidak boleh diperoleh
dengan sistem bagi hasil, seperti mengumpulkan dana dari beberapa orang
(musyarakah), atau dengan mencari sumber dana (shahibul maal), seperti bank
atau perorangan untuk mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah).24
3. Aspek Sumber Daya Manusia
SDM pegadaian syariah harus memahami filosofi gadai dan sistem
operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu menangani masalah
taksiran barang gadai, penentuan instrumen pembagian rugi laba atau jual beli,
menangani masalah-masalah yang dihadapi nasabah yang berhubungan
penggunaan yang gadai, juga berperan aktif dalam syiar Islam di mana
pegadaian itu berada.25 SDM yang diperlukan dalam pengelolaan pegadaian
syariah misalnya, tenaga ahli penaksir objek gadai, tenaga analisis kelayakan
usaha yang andal calon-acalon manajer pun dipersiapkan untuk pimpinan pusat
dan cabang.26

23
Abdul Ghafur Anshari, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga
Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 53.
24
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 180.
25
Ibid.
26
Dr. Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015) hlm. 192
16

4. Aspek Kelembagaan
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang pembentukan badan hukum
berupa PT bagi lembaga keuangan berdasarkan prinsip syariah memiliki dasar
pembenaran, misalnya adanya ketentuan yang memberikan eksistensi Dewan
Pengawas Syariah (DPS) untuk menjalankan fungsi pengawasan atas kegiatan
perusahaan kaitannya dengan pelaksanaan prinsip syariah.27
Pengaturan mengenai DPS ini dalam UU No. 40 Tahun 2007 terdapat
dalam Pasal 109, yang secara lengkapnya sebagai berikut:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
selain mempunyain Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas
Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud (1) bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar
sesuai dengan prinsip syariah.
5. Aspek sistem dan prosedur
Sistem dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah –dimana keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah.
Oleh karena itu gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat
dimana gadai itu berada maka sistem dan prodesural gadai syariah berlaku
fleksibel asal sesuai dengan prinsip gadai syariah.28
6. Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah
maka gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan
Pengawas Syariah bertugas mengawasi operasionalisasi gadai syariah supaya
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.29

27
Ibid.
28
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 181.
29
Ibid.
17

5. Mekanisme Pegadaian Syariah

Marhun Bih
(pembiayaan) 3. Pegadaian membayar nasabah

2. Akad

4. menebus Jaminan

Marhun (Jaminan)
1. Nasabah memberikan jaminan

Skema 1
Skema Pegadaian Syariah

Operasi Pegadaian Syariah mengambarkan hubungan di antara nasabah


dan pegadaian. Adapun teknis Pegadaian Syariah adalah sebagai berikut:30
1) Nasabah meminjamkan barang kepada pegadaian syariah untuk
mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan
untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2) Pegadaian Syariah dan nasabah menyetujui akad gadai, akad ini mengenai
berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan,
pelunasan dan sebagainya.
3) Pegadaian Syariah menerima biaya biaya administrasi dibayar diawal
transaksi, sedangkan untuk jasa simpan disaat pelunasan utang.
4) Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad, pelunasan
penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat
bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda sementara biaya gadai hanya
sekali dan ditetapkan di muka.

30
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 185-186.
18

6. Mekanisme Perjanjian Gadai

Mekanisme perjanjian gadai sangat ditentukan oleh banyak hal. Di


antaranya adalah subyek dan obyek perjanjian gadai. Subyek perjanjian gadai
adalah rahin, sedangkan objeknya adalah marhun, serta murtahin adalah yang
menahan barang gadai tersebut. Mekanisme perjanjian gadai ini dapat dirumuskan
apabila tekah diketahui beberapa hal, diantaranya:31
1) Syarat rahin dan murtahin
2) Syarat marhun dan utang
3) Kedudukan marhun
4) Risiko atas kerusakaan marhun pemindahan milik marhun
5) Perlakukan bunga dan riba dalam perjanjian gadai
6) Pungutan hasil marhun
7) Biaya pemeliharaan marhun
8) Pembayaran utang dari marhun
9) Hak murtahin atas harga peninggalan

Penaksiran Barang Gadai


Besarnya pinjaman dari Pegadaian Syariah yang akan diberikan kepada
nasabah tergantung dari besarnya nilai barang yang akan digadaikan. Barang yang
diterima dari calon nasabah harus ditaksirkan oleh petugas penaksir untuk
mengetahui nilai dari barang tersebut. Mekanisme penaksiran dan pembayaran
gadai dapat digambar sebagai berikut.32

NASABAH PENAFSIRAN

Form Permintaan Pinjaman


(FPP) FPP
Surat Bukti Rahn
Barang Barang (SBR)
Gadai Gadai
Uang (Rp)
KASIR
SBR

31
Skema 2
Ibid, hlm. 186.
32
Ibid, hlm. 187-189.
Skema Pelayanan Pinjaman
19

Dalam penaksiran nilai barang gadai, Pegadaian Syariah harus


menghindari hasil penaksiran merugikan nasabah atau pengadain syariah itu
sendiri . oleh karena itu Pegadaian Syariah dituntut petugas penaksir yang
memiliki kriteria :
1) Memiliki pengetahuan mengenai jenis barang gadai yang sesuai dengan
syariah ataupun barang gadai yang tidak sesuai syariah.
2) Mampu memberikan penaksiran secara akurat atas nilai barang gadai,
sehingga tidak merugikan satu diantara dua belah pihak.
3) Memiliki sarana dan prasarana penunjang dalam memperoleh keakuratan
penilaian barang gadai, seperti alat untuk mengosok berlian atau emas dan
lain sebagainya.
Barang gadai mampu ditaksirkan atas beberapa pertimbangan, seperti jenis
barang, nilai barang, usia barang, dan lain sebagainya. Dalam hal ini penaksiran
barang operasi Pegadaian Syariah didasarkan pada pembagian level tanggung
jawab penentuan taksiran :
1) Golongan A dilaksanakan oleh penafsir yunior
2) Golongan B dan C dilaksanakan oleh penafsir Madya
3) Golongan D dan E dilaksanakan oleh penafsir Senior/Manajer Cabang
Besarnya nilai taksiran dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan
kepada setiap golongannya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Nilai Taksiran dan Biaya Administrasi Berdasarkan Golongan

Golongan Besarnya Taksiran (Rp) Biaya Administrasi


(Rp)
A 100.000,- s.d 500.000,- 5.000,-
B 510.000,- s.d 1.000.000,- 6.000,-
C 1.050.000,- s.d 5.000.000,- 7.500,-
D 5.050.000,- sd 5.000.000,- 10.000,-
E 10.050.000,- 15.000,-
20

Dalam pegadaian syariah besarannya biaya administrasi didasarkan pada :

1) Biaya rill yang dikeluarkan, sepatu ATK, perlengkapan dan biaya tenaga
kerja.
2) Besarnya ditetapkan berdasarkan SE tersendiri.
3) Dipungut dimuka pada saat pinjaman dicairkan.
Sedangkan besarannya tarif jasa simpanan pegadaian syariah didasarkan
pada :
1. Nilai taksiran barang yang digadaikan.
2. Jangka waktu gadai ditetapkan 90 hari. Perhitungan tarif jasa simpanan
dengan kelipatan5 hari, dimana satu hari dihitung 5 hari.
3. Tarif jasa simpan per 5 hari.

Tabel 2
Tarif Jasa Simpanan dan Setiap Kelipatannya berdasarkan Nilai Taksiran

Nilai Taksiran (Rp) Tarif Jasa Simpan(Rp) Setiap kelipatan(Rp)

s.d 500.000,- 45 10.000,-

 500.000,- s.d 225 50.000,-


1.000.000,-
 1.000.000,- s.d 450 100.000,-
5.000.000,-

 5.000.000,- s.d 2.250 500.000,-


10.000.000,-

 10.000.000,- 4.500 1.000.000,-

Penentuan jasa simpanan dalam pegadaian syariah didasarkan;


1. Unit layanan gadai syariah memperoleh pendapatan dari jasa atas
penyimpanan barang gadai.
2. Tarif dihitung berdasarkan vulume dan nilai barang gadai.
3. Dipungut dibelakang pada saat nasabah melunasi utangnya.
4. Tarif ditetapkan sebesar Rp. 45,- (empat puluh lima rupiah) untuk
setiap kelipatan nilai taksiran barang gadai emas Rp. 10.000,-
21

Rumus perhitungan jasa simpanan barang jaminan Emas/berlian


sebagai berikut :33
𝑁𝑇×𝑇×𝑊
𝐾×5

Dimana :
NT = nilai taksiran
T = tarif jasa simpan
W= jangka waku kredit
K = konstan ; 10 ribu, 50 ribu, 100 ribu, 500 rb dan 1 juta.

Jasa simpanan dalam jangka waktu 15 hari dapat dihitung sebagai berikut :

Tabel 3
Pembagian Konstanta, Tarif Jasa Simpana, Jangka Waktu, dan Jasa Simpan
Berdasarkan Taksiran

Tarif jasa Jangka Jasa


Taksiran Dibulatkan Konstanta
simpan waktu simpan
205.400,- 210.000,- 10.000,- 45 15:5 2.835
724.800,- 700.000,- 50.000,- 225 15:5 9.450
2.465.000,- 2.500.000,- 100.000,- 450 15:5 33.750
6.502.900,- 6.500.000,- 500.000,- 2.250 15:5 87.750
15.525.000,- 16.000.000,- 1.000.000,- 4.500 15:5 316.000

Rumus untuk menghitung jasa simpanan selain emas dan berlian dihitung
dengan cara mengkalikan rumus di atas dengan 1,1 untuk barang elektronik; 1,25
untuk sepeda motor,1,5 untuk mobil.
Perbandingan perhitungan gadai syariah dan gadai konvensional dapat di
tunjukan sebagai berikut:

33
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 189.
22

Tabel 4
Perbedaan Perhitungan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional

Gadai syariah Gadai konvensional


Tafsiran barang =Rp. 5.500.000,- Tafsiran barang = Rp. 5.550.000,-
Uang pinjaman yang diterima Uang pinjaman yang diterima =
=90%× 𝑹𝒑 𝟓. 𝟓𝟓𝟎. 𝟎𝟎𝟎, − 88%× 𝑅𝑝 5.550.00,
= Rp.5.000.000,- (pembulatan) = Rp 4.880.000,- (pembulatan)

Biaya administrasi barang gol C Biaya administrasi gol C.


=Rp. 7.500,- =0,5%× 𝑅𝑝. 4.880.000, =
𝑅𝑝 25.000,
Jasa titipan 5 hari. Sewa modal 5 hari.
𝑹𝒑 𝟓.𝟓𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎,− =1.625%× 𝑅𝑝 4.880.000,
= × 𝑹𝒑 𝟒𝟓, − =
𝑹𝒑 𝟏𝟎.𝟎𝟎𝟎,−
=Rp 79.300,- (pembulatan)
𝟐𝟓. 𝟎𝟎𝟎, −

Masa periode waktu 3 bulan. Masa periode waktu 3 bulan.


𝑹𝒑 𝟓.𝟓𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎,− = 9,75%× 𝑅𝑝 4.880.000,
= × 𝑹𝒑 𝟖𝟏𝟎, − =
= Rp. 475.800,-
𝑹𝒑 𝟒𝟒𝟗. 𝟔𝟎𝟎, −
Rp 10.000,-

Pelunasan
Jenis pelunasan pada pegadaian syariah terdiri dari pelunasan penuh, ulang
gadai, angsuran tebus sebagian. Pada dasarnya nasabah dapat melunasi kewajiban
setiap waktu tanpa menunggu jatuh tempo. Setelah adanya pelunasan, nasabah
dapat mengambil barang yang telah digadaikan. Prosedur pelunasan dilaksanakan
dengan cara nasabah membayar pokok pinjaman dan jasa simpanan sesuai dengan
tarif yang telah ditetapkan34

34
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 190-191.
23

NASABAH KASIR

Surat Bukti Rahn


(SBR)
SBR
Surat Bukti Rahn
(SBR)
Uang (Rp) Uang (Rp)

Pemegang
Barang Gadai
Gudang

Skema 3
Skema Pelayanan Pelunasan

7. Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dan


Pegadaian Syariah

Tabel 5
Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah

PERSAMAAN PERBEDAAN
a. Hak gadai atas pinjaman uang. a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan
b. Adanya agunan sebagai jaminan secara sukarela atas dasar tolomh
utang menolong tanpa mencari
c. Tidak boleh mengambil manfaat keuntungan, sedangkan gadai
barang yang digadaikan menurut hukum perdata di samping
d. Biaya barang yang digadaikan berprinsip tolong-menolong juga
ditanggung oleh para pemberi menarik keuntungan dengan cara
gadai menarik bunga atau sewa modal
e. Apabila batas waktu pinjaman b. Dalam hukum perdata hak gadai
uang habis, barang yang hanya berlaku pada benda yang
digadaikan boleh dijual atau bergerak, sedangkan dalam hukum
dilelang islam rahn berlaku pada seluruh
benda, baik benda/ harta bergerak
maupun tidak bergerak
24

c. Dalam rahn tidak ada istilah bunga


d. Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu lembaga
yang di indonesia disebut perum
pegadaian, rahn menurut hukum
islam dapat dilaksanakan tanpa
melalui suatu lembaga

Perbedaan teknis Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional.35

No Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional


1. Biaya administrasi berdasarkan Biaya administrasi berupa
barang persentase yang didasarkan pada
goongan barang
2. 1 hari dihitung 5 hari 1 hari dihitung 15 hari
3. Jasa simpanan berdasarkan Sewa modal berdasarkan uang
simpanan pinjaman
4. Apabila pinjaman tidak dilunasi, Apabila pinjaman tidak dilunasi,
barang jaminan akan dijual kepada barang jaminan akan dilelang
masyarakat kepada masyarakat
5. Uang pinjaman 90% dari taksiran Uang pinjaman untuk golongan A
29% sedangkan untuk golongan B,
C, D 88-86%
6. Penggolongan nasabah D-K-M-I-L Penggolongan nasabah P-N-I-D-L
7. Jasa simpanan dihitung dengan Sewa modal dihitung dengan
konstanta x taksiran persentase x uang pinjaman
8. Maksimanl jangka waktu 3 bulan Maksimal jasa waktu 4 bulan
9. Kelebihan uang hasil dari penjualan Kelebihan hasil lelang tidak
tidak diambil oleh nasabah, tetapi diambil oleh nasabah, tetapi
diserahkan kepada lembaga ZIS menjadi milik pegadaian.

35
Ibid, hlm. 197.
25

8. Kendala dan Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kendala pengembangan


pegadaian syariah, diantaranya:36
1. Pegadaian Syariah relatif baru sebagai system keuangan, sehingga
Pegadaian Syariah kurang popular di kalangan masyarakat. Oleh
karenanya, menjadi tantangan sendiri bagi Pegadaian Syariah untuk
mensosialisasikan syariahnya.
2. Masyarakat kecil masyarakat yang dominan menggunakan jasa pegadaian-
kurang familiar dengan produk rahn di lembaga keuangan syariah.
3. Kebijakan pemerintah tentang gadai syariah belum sepenuhnya
akomodatif terhadap keberadaan Pegadaian Syariah.
Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengembangkan
Pegadaian Syariah antara lain:37
1) Usaha untuk membentuk lembaga Pegadaian Syariah terus dilakukan
sebagai usaha untuk mensosialisasikan praktek ekonomi syariah di
masyarakat menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pendanaan. Maka perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk
menentukan langkah-langkah dalam pembentukan lembaga pegadaian
syariah yang lebih baik.
2) Mayarakat akan lebih memilih pegadaian dibanding bank di saat mereka
membutuhkan dana karena prosedur untuk mendapatkan mereka
membutuhkan dana karena prosedur untuk mendapatkan dana relatif lebih
mudah dibanding dengan meminjam dana langsung ke bank. Maka cukup
alasan bagi pegadaian syariah untuk eksis di tengah-tengah masyarakat
yang membutuhkan bantuan.
3) Pegadaian Syariah bukan sebagai pesaing yang mengakibatkan kerugian
bagi lembaga keuangan syariah lainnya, dan bukan menjadi alasan untuk
menghambat berdirinya Pegadaian Syariah. Dengan keberadaan Pegadaian
Syariah malah akan menambah pilihan bagi masyarakat untuk

36
Ibid, hlm. 182.
37
Ibid
26

mendapatkandana dengan mudah, selain itu hal ini akan meningkatkan


tersosialisasikannya keberadaan lembaga keuangan syariah.
4) Pemerintah perlu untuk mengakomodir keberadaan Pegadaian Syariah ini
dengan membuat peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU)
Pegadaian Syariah. Atau memberikan alternatif keberadaan biro Pegadaian
Syariah dalam Perum Pegadaian Syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang


menjalankan sistem jaminan utang yang memungkinkan orang yang berhutang
untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut, yang
merupakan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh Perum
Pegadaian. Dalam Pegadaian Syariah terdapat sistem gadai atau yang disebut rahn
yang secara bahasa berarti “menahan”. Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk
dijadikan sebagai jaminan utang, Pegadaian Syariah ini dijalankan sesuai dengan
hukum islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Selain itu terdapat
fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama (MUI) dan Undang-
Undang yang dapat dijadikan acuan dalam menjalankan praktik gadai sesuai
syariah.

Dalam Pegadaian Syariah juga terdapat unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya
akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak,
dan pemilikan barang gadai. Dalam praktiknya lembaga gadai syariah perusahaan
bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal, sedang nasabahnya bisa
bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung
alternatif yang dipilih.

Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin
hari semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada
pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian
syariah tetap memperoleh keuntungan

B. Saran

Tingkat pemahaman masyarakat terhadap sistem di Pegadaian Syariah masih


kurang dan masih terdapat banyak kekeliruan, dikarenakan sosialisasi yang
kurang oleh pihak pegadaian dan masyarakat yang sudah paham seperti kita.
Seharusnya Pengadaian Syariah dan kita sebagai masyarakat yang sudah paham
terus meningkatkan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat luar tidak hanya
kepada masyarakat yang sudah menjadi nasabah, sehingga masyarakat mampu
memahami tentang sistem di Pegadaian Syariah dan manfaat yang akan diperoleh.

27
28

Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan melalui media cetak seperti surat
kabar, majalah, internet serta media interpersonal seperti teman dan keluarga. Hal
ini diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas kepada nasabah nantinya
akan produk yang ditawarkan di Pegadaian Syariah. disini Pihak Pegadaian dapat
memberikan sosialisasi mengenai keunggulan-keunggulan yang ada di Pegadaian
Syariah Indonesia, misalnya mengenai biaya administrasi yang rendah dan
tingginya return yang diberikan oleh pihak pegadaian. Dan Pegadaian Syariah
hendaknya mengeluarkan produk yang lebih bervariasi lagi, sehingga masyarakat
mempunyai banyak pilihan terhadap produk apa yang akan mereka gunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainudin. (2008). Hukum Gadai Syariah, cet ke-1. Jakarta: Sinar Grafika.
Ali, Zainuddin. (2006). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Anshori, Abdul Ghofur Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: UGM
Press,2010), hlm. 129.
Anshari, Abdul Ghafur Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan,
Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 53
Antonio, M. Syafi’i. (1999). Bank Syariah, Wacana Ulama dan Cendekiawan.
Jakarta : Bank Indonesia dan Tazkia Institute.
Djamil, Fathurrahman. (2013). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Firdaus, Muhammad. (2007). Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah.
Jakarta: Renaisan.
Hamid, Arifin. (2007). Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia.
Bogor: Ghalia.
Kasmir. (2014). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet.15, Jakarta :
Rajawali Pers
Sabiq, S. (1995). Al-Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
S. Burhanuddin. (2009). Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam.
Yogyakarta: The Syariah Institute.
Sudarsono, Heri. (2015). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta :
Ekonisia.

Sutedi, Adrian. (2011) Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabetha.


Syafei’i, Rahmat. (2001). Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Website
MUI, D. (2002, Juli 26). Rahn. Dipetik Oktober 27, 2017, dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia. https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/
Koran
Tribun. (2017, September 30). Halal Lifestyle. hal. 1.

29

Anda mungkin juga menyukai