MAKALAH
Disusun Oleh:
Sintia Sri Nurcahyani (1600243)
Fitri Sri Handayani (1600260)
Nada Nadhifah Hasuri (1606943)
Muhammad Zeinny Hasbunallah Sasmita (1606623)
El Islam Purnama Alam (1605953)
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini yang berjudul “PEGADAIAN SYARIAH”. Semoga makalah ini
dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam pembelajaran Pengantar Lembaga Keuangan Islam.
Makalah ini kami akui masih ada kekurangan. Oleh karena itu kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Kami pun berterima kasih
kepada Ibu Dosen pengampu mata kuliah Pengantar Lemnbaga Keuangan Islam
yang sudah memberikan tugas ini.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
Ahmad Supriyadi, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam, (Semarang: STAIN Kudus, Juli-Desember
2012) Vol. 5, No. 2, hlm 2
1
2
Akan tetapi, apakah masyarakat saat ini sudah awas dan paham mengenai
kaidah pegadaian syariah atau rahn sendiri? Serta tahu bagaimana mekanisme dan
operasionalnya? Hal ini juga akan memberikan pertanyaan bagi kita apa bedanya
pegadaian syariah dan konvensional.
Secara umum, sistem pembiayaan pegadaian syariah tidak jauh berbeda
dengan pegadaian yang bersifat konvensional. Namun demikian ada beberapa
transaksi yang harus dilakukan agar sesuai dengan syariat Islam. Pada Pegadaian
konvensional, biasanya menggunakan sistem bunga, sedangkan pada pegadaian
syariah menggunakan ijarah atau ujroh. Dari ijarah atau ujrah inilah pegadaian
syariah mendapatkan keuntungan. Makalah ini akan menjelaskan apa itu
pegadaian syariah dari dasar dan mekanismenya.
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Manfaat Penelitian
2. Hasil ini dapat dimanfaatkan untuk acuan dalam memperoleh ilmu, dan
agar dapat terjelaskan mengenai praktik dalam Pegadaian Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Dr.Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet.15, (Jakarta : Rajawali Pers), 2014, hlm.
230.
3
4
3
Dr. Kasmir, op.cit., hlm. 231.
4
Zainudin Ali, Hukum Gadai Syariah, cet ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 8.
5
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabetha, 2011), hlm. 80.
5
6
Hamid, Arifin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia cet.1, (Bogor: Ghalia,
2007).
6
3. Hadis Nabi riwayat al-Syafi’I, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi SAW. bersabda:
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.”
4. Hadis Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’I, Nabi SAW.
bersabda:
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menangung biayanya.” Orang yang menggunakan kendaraan
dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan
pemeliharaan.7
5. Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, 1985, V: 181).
6. Kaidah Fiqh:
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya (MUI, 2002)
Selain itu, secara praktik dasar hukum gadai syariah di Indonesia telah
diatur dalam:
1. BAB XIV Pasal 372 hingga pasal 412 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah.
2. Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
3. Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
4. Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
5. Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas
Secara Tidak Tunai.
7
Dr. Mardani, op.cit., hlm. 173-174.
8
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta : Bank Indonesia
dan Tazkia Institute, 1999), hlm. 215..
7
1. Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang
yang digadaikan diakui oleh masyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan
jaminan.
2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (di-gasab) atau barang yang
pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai
jaminan. Sebab, gadai bermaksud sebagai penutup utang dengan benda-
benda yang digadaikan, padahal barang yang di-gasab, dipinjam dan
barang-barang yang telah diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan
tidaklah dapat digunakan sebagai penutup utang.
3. Gadai itu tidaklah sah apabila utangnya belum pasti. Gadai yang utangnya
sudah pasti hukumnya sah, walaupun utangnya belum tetap, seperti utang
penerima pesanan dalam akad salam terhadap pemesan. Gadai dengan
utang yang akan menjadi pasti juga sah, seperti harga barang yang masih
dalam khiar.
11
Rahmat Syafei’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 162-164.
10
4. Disaratkan pula agar piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua pihak.
Ini dikatakan oleh Ibnu Abdan dan pengarang kitab al-Istiqsha’ serta Abu
Khalaf al-Thabari yang diperkuar oleh Ibnu Rif’ah.
5. Menerima barang gadai oleh Pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai
atas tetapnya gadaian. Gadai belum ditetapkan selama barang yang
digadaikan itu belum diterima oleh pengadiaian.
6. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 283, “…maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang
menerima gadiaian)”. Berarti penerima gadaian barang tersebut menjadi
syarat sahnya.
7. Seandainya ada orang mengadaikan barang namun barang tersebut belum
diterima oleh Pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
Sebab gadaian yang belum diterima akad-nya masih jaiz (boleh) boleh
diubah oleh pihak nasabah sebagaimana masa khiar dalam jual-beli.
8. Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka akad
rahn (gadai) telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
9. Penarikan kembali (pembatalan) akad gadai itu ada kalanya dengan ucapan
dan adakalanya dengan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang
gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status
kepemilikan, maka batallah akad gadai itu. Contoh jika pegadaian menjual
barang untuk dijadikan mas kawin atau upah kerja maka batal. Begitu pula
juka barang gadaian itu di gadaikan lagi ke orang lain, atau memberikan
barang gadaian itu kepada orang lain.
10. Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya
tidak termasuk pembatalan. 12
11. Jika masa hutang pada gadai lebih awal daripada masa sewa (masa
sewanya lebih lama daripada masa gadai) maka tidaklah termasuk
pembatalan gadai, dan memperbolehkan penjualan barang yang di
gadaikan hal ini termasuk kaul yang ashah.
12. Barang gadaian merupakan amat di tangan penerima gadai, karena dia
telam menerima barang itu dengan seizin nasabah. Jadi pegadaian tidak
12
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), h. 177-
178.
11
13
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), hlm.
179.
12
14
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 83.
15
Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pengadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2007), hlm. 29.
16
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm, 92-93.
13
1. Menurut Imam Syafi’I penerima gadai tidak boleh menjual barang gadai
setelah jatuh tempo, kecuali oleh wakil yang adil dan terpercaya.
Argumentasinya, karena pemberi gadai menghendaki kesabaran terhadap
barang yang akan di jual dan kecermatan terhadap harga. Hal ini berbeda
dengan penerima gadai bila yang menghendaki agar hak pelunasan cepat
terpenuhi, maka apabila penjualan dilakukan oleh penerima gadai maka
dikhawatirkan penjualan tersebut tidak dengan harga yang tepat dan dapat
memberi kerugian/mudarat pihak pengadai18.
2. Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, apabila dalam akad gadai
diisyaratkan penjualan oleh penerima gadai setelah jatuh tempo, maka hal itu
dibolehkan. Demikian pula pendapat Imam Ahmad bin Hambal, ia
membolehkan penerima gadai menjual barang gadaian setelah jatuh tempo,
alasannya apa yang sah untuk di wakilkan oleh selain pemberi dan penerima
gadai, maka sah untuk di wakilkan oleh mereka berdua.19
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, apabila telah jatuh tempo,
pemberi gadal dapat mewakilkan penerima gadai atau penyimpanan atau pihak
ketiga untuk menjual harta kepadanya.20
17
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta : Ekonisia, 2015), hlm. 179-
178.
18
Dr. Mardani. Op.cit., hlm. 184.
19
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Sinar.Grafika,2013), hlm. 242-243.
20
Pasal 406 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
14
21
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: UGM Press,2010),
hlm. 129.
22
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Sinar.Grafika,2013), hlm. 243.
15
1. Aspek legalitas
Mendirikan lembaga pegadaian syariah dalam bentuk perusahaan
memerluka izin pemerintah. Namun sesuai dengan peraturan pemerintah no.10
tahun 1990 tentang pengalihan bentuk perusahaan jawatan (perjan) pegadaian
menjadi perusahaan umum (perum) pegadaian, pasal 3 ayat (1) a. Menyebutkan
bahwa perum pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang
untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi
dari perum pegadaian dapat diperiksa anatara lain pada pasal 5 ayat (2) b, yaitu
pencegahan praktek ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. 23
2. Aspek permodalan
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar, karena selain
diperlukan untuk dipinjamkan kepda nasabah, juga diperlukan investasi untuk
penyimpanan barang gadai. Permodalan gadai syariah tidak boleh diperoleh
dengan sistem bagi hasil, seperti mengumpulkan dana dari beberapa orang
(musyarakah), atau dengan mencari sumber dana (shahibul maal), seperti bank
atau perorangan untuk mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah).24
3. Aspek Sumber Daya Manusia
SDM pegadaian syariah harus memahami filosofi gadai dan sistem
operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu menangani masalah
taksiran barang gadai, penentuan instrumen pembagian rugi laba atau jual beli,
menangani masalah-masalah yang dihadapi nasabah yang berhubungan
penggunaan yang gadai, juga berperan aktif dalam syiar Islam di mana
pegadaian itu berada.25 SDM yang diperlukan dalam pengelolaan pegadaian
syariah misalnya, tenaga ahli penaksir objek gadai, tenaga analisis kelayakan
usaha yang andal calon-acalon manajer pun dipersiapkan untuk pimpinan pusat
dan cabang.26
23
Abdul Ghafur Anshari, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga
Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 53.
24
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 180.
25
Ibid.
26
Dr. Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015) hlm. 192
16
4. Aspek Kelembagaan
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang pembentukan badan hukum
berupa PT bagi lembaga keuangan berdasarkan prinsip syariah memiliki dasar
pembenaran, misalnya adanya ketentuan yang memberikan eksistensi Dewan
Pengawas Syariah (DPS) untuk menjalankan fungsi pengawasan atas kegiatan
perusahaan kaitannya dengan pelaksanaan prinsip syariah.27
Pengaturan mengenai DPS ini dalam UU No. 40 Tahun 2007 terdapat
dalam Pasal 109, yang secara lengkapnya sebagai berikut:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
selain mempunyain Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas
Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud (1) bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar
sesuai dengan prinsip syariah.
5. Aspek sistem dan prosedur
Sistem dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah –dimana keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah.
Oleh karena itu gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat
dimana gadai itu berada maka sistem dan prodesural gadai syariah berlaku
fleksibel asal sesuai dengan prinsip gadai syariah.28
6. Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah
maka gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan
Pengawas Syariah bertugas mengawasi operasionalisasi gadai syariah supaya
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.29
27
Ibid.
28
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 181.
29
Ibid.
17
Marhun Bih
(pembiayaan) 3. Pegadaian membayar nasabah
2. Akad
4. menebus Jaminan
Marhun (Jaminan)
1. Nasabah memberikan jaminan
Skema 1
Skema Pegadaian Syariah
30
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 185-186.
18
NASABAH PENAFSIRAN
31
Skema 2
Ibid, hlm. 186.
32
Ibid, hlm. 187-189.
Skema Pelayanan Pinjaman
19
1) Biaya rill yang dikeluarkan, sepatu ATK, perlengkapan dan biaya tenaga
kerja.
2) Besarnya ditetapkan berdasarkan SE tersendiri.
3) Dipungut dimuka pada saat pinjaman dicairkan.
Sedangkan besarannya tarif jasa simpanan pegadaian syariah didasarkan
pada :
1. Nilai taksiran barang yang digadaikan.
2. Jangka waktu gadai ditetapkan 90 hari. Perhitungan tarif jasa simpanan
dengan kelipatan5 hari, dimana satu hari dihitung 5 hari.
3. Tarif jasa simpan per 5 hari.
Tabel 2
Tarif Jasa Simpanan dan Setiap Kelipatannya berdasarkan Nilai Taksiran
Dimana :
NT = nilai taksiran
T = tarif jasa simpan
W= jangka waku kredit
K = konstan ; 10 ribu, 50 ribu, 100 ribu, 500 rb dan 1 juta.
Jasa simpanan dalam jangka waktu 15 hari dapat dihitung sebagai berikut :
Tabel 3
Pembagian Konstanta, Tarif Jasa Simpana, Jangka Waktu, dan Jasa Simpan
Berdasarkan Taksiran
Rumus untuk menghitung jasa simpanan selain emas dan berlian dihitung
dengan cara mengkalikan rumus di atas dengan 1,1 untuk barang elektronik; 1,25
untuk sepeda motor,1,5 untuk mobil.
Perbandingan perhitungan gadai syariah dan gadai konvensional dapat di
tunjukan sebagai berikut:
33
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 189.
22
Tabel 4
Perbedaan Perhitungan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional
Pelunasan
Jenis pelunasan pada pegadaian syariah terdiri dari pelunasan penuh, ulang
gadai, angsuran tebus sebagian. Pada dasarnya nasabah dapat melunasi kewajiban
setiap waktu tanpa menunggu jatuh tempo. Setelah adanya pelunasan, nasabah
dapat mengambil barang yang telah digadaikan. Prosedur pelunasan dilaksanakan
dengan cara nasabah membayar pokok pinjaman dan jasa simpanan sesuai dengan
tarif yang telah ditetapkan34
34
Heri sudarsono, Loc, cit., hlm. 190-191.
23
NASABAH KASIR
Pemegang
Barang Gadai
Gudang
Skema 3
Skema Pelayanan Pelunasan
Tabel 5
Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah
PERSAMAAN PERBEDAAN
a. Hak gadai atas pinjaman uang. a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan
b. Adanya agunan sebagai jaminan secara sukarela atas dasar tolomh
utang menolong tanpa mencari
c. Tidak boleh mengambil manfaat keuntungan, sedangkan gadai
barang yang digadaikan menurut hukum perdata di samping
d. Biaya barang yang digadaikan berprinsip tolong-menolong juga
ditanggung oleh para pemberi menarik keuntungan dengan cara
gadai menarik bunga atau sewa modal
e. Apabila batas waktu pinjaman b. Dalam hukum perdata hak gadai
uang habis, barang yang hanya berlaku pada benda yang
digadaikan boleh dijual atau bergerak, sedangkan dalam hukum
dilelang islam rahn berlaku pada seluruh
benda, baik benda/ harta bergerak
maupun tidak bergerak
24
35
Ibid, hlm. 197.
25
36
Ibid, hlm. 182.
37
Ibid
26
Dalam Pegadaian Syariah juga terdapat unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya
akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak,
dan pemilikan barang gadai. Dalam praktiknya lembaga gadai syariah perusahaan
bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal, sedang nasabahnya bisa
bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung
alternatif yang dipilih.
Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin
hari semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada
pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian
syariah tetap memperoleh keuntungan
B. Saran
27
28
Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan melalui media cetak seperti surat
kabar, majalah, internet serta media interpersonal seperti teman dan keluarga. Hal
ini diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas kepada nasabah nantinya
akan produk yang ditawarkan di Pegadaian Syariah. disini Pihak Pegadaian dapat
memberikan sosialisasi mengenai keunggulan-keunggulan yang ada di Pegadaian
Syariah Indonesia, misalnya mengenai biaya administrasi yang rendah dan
tingginya return yang diberikan oleh pihak pegadaian. Dan Pegadaian Syariah
hendaknya mengeluarkan produk yang lebih bervariasi lagi, sehingga masyarakat
mempunyai banyak pilihan terhadap produk apa yang akan mereka gunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainudin. (2008). Hukum Gadai Syariah, cet ke-1. Jakarta: Sinar Grafika.
Ali, Zainuddin. (2006). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Anshori, Abdul Ghofur Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: UGM
Press,2010), hlm. 129.
Anshari, Abdul Ghafur Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan,
Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 53
Antonio, M. Syafi’i. (1999). Bank Syariah, Wacana Ulama dan Cendekiawan.
Jakarta : Bank Indonesia dan Tazkia Institute.
Djamil, Fathurrahman. (2013). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Firdaus, Muhammad. (2007). Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah.
Jakarta: Renaisan.
Hamid, Arifin. (2007). Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia.
Bogor: Ghalia.
Kasmir. (2014). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet.15, Jakarta :
Rajawali Pers
Sabiq, S. (1995). Al-Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.
S. Burhanuddin. (2009). Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam.
Yogyakarta: The Syariah Institute.
Sudarsono, Heri. (2015). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta :
Ekonisia.
29