Anda di halaman 1dari 36

TUGAS UTS TAFSIR AYAT-AYAT PERADILAN

REKAP MATERI TAAP 1-12

Disusun Oleh :

Addina Ashlam Helman Furqan / 2113010017

Dosen Pembimbing :

Dr. Hj. Kholidah M.Ag

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERIIMAM BONJOL PADANG

1443 H / 2022 M
BAB I

KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM

SESUAI DENGAN KETENTUAN ALLAH SWT

A. Qs. An Nisa ayat 105-106

Asbabun Nuzul

Sebab diturunkan ayat tersebut yaitu ketika terjadi sebuah kasus di mana seorang muslim bernama
Tu'ma mencuri Baju besi milik tetangganya, kemudian ia memasukkannya ke dalam karung berisi
tepung dan pada saat Ia memasukkan dalam karung tersebut robek dengan mengeluarkan tepung dan
hal itu kemudian diketahui oleh tetangganya dan untuk menghindari hukuman serta agar tidak ketahuan
maka ia meletakkan karung tersebut di rumah seorang Yahudi. Kemudian pemilik baju besi tersebut
mengadakan perihal itu kepada Rasulullah dan rasul pun memanggil dirinya dan ia berkata bahwa ia
tidak mengambilnya dan mengatakan bahwa baju tersebut diambil oleh orang Yahudi setelah Rasul
melihat itu terdapat bekas terigu di sepanjang rumah Yahud.i kemudian Rasulullah berkata kepadanya
"Apakah engkau yang mencuri baju ini?" dan ia berkata bahwa bukan ia yang mengambilnya Namun
karena semua tidak mengaku sehingga rasul tidak percaya meskipun bukti itu mengarah kepada orang
Yahudi lalu Wahyu datang pada Rasulullah karena Rasul hampir salah mengambil keputusan kemudian
Rasul beristighfar ketika menyelesaikan perkara tersebut lalu mereka saling berpelukan meminta maaf
takut akan pada apa yang disampaikan rasul tentang orang yang mencuri di neraka kelak

Tafsir Lengkap Kemenag

Kementrian Agama RI

Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk mengadili perkara yang terjadi antara manusia
berdasarkan hukum-hukum yang diajarkan Allah. Berdasarkan kitab itu, Nabi Muhammad saw
memutuskan suatu perkara dengan adil. Beliau dilarang menjadi lawan dari yang benar atau kawan
bagi yang salah. Ayat ini menegur Rasul karena beliau percaya begitu saja terhadap laporan Bani
¨afar dan beliau dengan segera membebaskan thu'mah. Seolah-olah beliau menjadi pembela bagi
orang-orang yang belum tentu benar.

Tafsir al-Jalalain

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

(Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu) yakni Alquran (dengan benar) kaitannya
ialah kepada "menurunkan" (agar kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu). (Dan janganlah kamu menjadi pembela bagi orang yang berkhianat) seperti Thu`mah
dan menjadi penentang mereka atau pihak lawannya.

B. Qs. An Nisa ayat 59

Surat An Nisa ayat 59 memerintahkan kaum muslim agar menaati putusan hukum, yang secara hirarkis
dimulai dari penetapan hukum Allah dalam Al Quran. Selain itu, menaati pula perintah-perintah Nabi
Muhammad SAW, dan juga ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh para pemimpin atau Ulil Amri
selaku pemegang kekuasaan selama ketetapan-ketetapan itu tidak melanggar ketentuan Allah dan
Rasul-Nya.

Dalam Surat An Nisa Ayat 59 juga disebutkan jika terjadi perbedaan pendapat tentang sesuatu masalah
yang tidak dapat dipertemukan, maka kembalikanlah kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah, yakni Al
Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai bukti benar-benar beriman kepada Allah, Rasul dan hari
Kemudian. Serta makna yang terkandung dalam Surat An Nisa Ayat 59 ini sebagaimana dikutip dari
Tafsir Quran Kemenag, bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin taat dan patuh kepada-Nya,
kepada rasul-Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar tercipta
kemaslahatan umum.

C. Qs. Al Baqarah ayat 213

ً‫( َكانَ النَّاسُ ُأ َّمةً ٰو ِح َدة‬Manusia itu adalah umat yang satu)

Yakni mereka pada awalnya dalam satu agama yaitu Islam ketika zaman antara Nabi Adam dan Nabi
Nuh. Pendapat lain mengatakan yang dimaksud adalah Nuh dan orang-orang yang bersamanya diatas
kapal. Pada awalnya mereka berada diatas ketauhidan, dan setelah berlalu beberapa masa menyebarlah
peribadatan kepada berhala-berhala sehingga manusia terbagi menjadi dua, mukmin dan kafir.

َ‫ث اللَّـهُ النَّبِ ِّيۦن‬


َ ‫( فَبَ َع‬maka Allah mengutus para nabi) Yakni untuk memberi petunjuk kepada manusia.

َ‫( ُمبَ ِّش ِرينَ َو ُمن ِذ ِرين‬sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan)

Yakni kabar gembira bagi ahli iman dan pelaku kebaikan, dan peringatan bagi ahli kufur dan
kerusakan.

َ ‫( َوَأنـ َز َل َم َعهُ ُم ْال ِك ٰت‬dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab) Yakni meliputi seluruh kitab yang
‫ب‬
diturunkan Allah.

‫( لِيَحْ ُك َم‬untuk memberi keputusan) Yakni agar kitab tersebut menjadi pemberi keputusan.
۟ ُ‫اختَلَف‬
ْ ‫اس فِي َما‬
‫وا فِي ِه‬ ِ َّ‫( ۚ بَ ْينَ الن‬di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan)

Yakni dalam kitab-kitab samawiyah terdahulu. Dan mereka yang berselisih adalah bani Israil dan para
pengikut Nabi Isa.

ُ‫( ِإاَّل الَّ ِذينَ ُأوتُوه‬melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab) Yakni para ahli kitab.

‫( ۖ بَ ْغ ۢيًا بَ ْينَهُ ْم‬karena dengki antara mereka sendiri)

Yakni mereka tidak berselisih melainkan karena kedengkian dan keserakahan mereka terhadap dunia.
Padahal seharusnya dengan kitab tersebut menjadi bersatu dan menapaki jalan hidayah.
۟ ُ‫اختَلَف‬
ِّ ‫وا فِي ِه ِمنَ ْال َح‬
‫ق‬ ۟ ُ‫فَهَدَى اللَّـهُ الَّ ِذينَ َءامن‬
ْ ‫وا لِ َما‬ َ

(Maka Allah memberi petunjuk orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan)
Yakni kemudian Allah memberi petunjuk kepada umat Muhammad menuju kebenaran dengan apa
yang dijelaskan kepada mereka di dalam Al-Qur’an dalam hal perselisihan kaum-kaum sebelum
mereka.

‫( بِِإ ْذنِ ِهۦ‬dengan kehendak-Nya)

Yakni dengan perintah-Nya. Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah bersabda: kita adalah yang
terakhir dan yang pertama di hari kiamat.

D. Qs. Al Imran ayat 23

Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan orang-orang (Yahudi) yang telah diberi bagian
(pengetahuan) kitab (Taurat)? Mereka diajak (berpegang) pada kitab Allah untuk memutuskan
(perkara) di antara mereka, kemudian segolongan dari mereka berpaling dan menolak (kebenaran).

Ayat ini menerangkan tentang kaum Yahudi yang memalingkan diri dari mengamalkan kitab yang
mereka imani sendiri bilamana kitab itu tidak sesuai dengan keinginan mereka.Inilah tingkah laku
penganut agama Yahudi pada masa Rasulullah saw. Orang Yahudi datang kepada Rasulullah dengan
kemauan mereka yang kuat untuk menerima suatu keputusan.

Tetapi apabila keputusan yang diberikan itu tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, mereka
menolak melaksanakannya. Mereka hanya menghafal sebagian dari isi Taurat, sedang yang lainnya
mereka lupakan. Bagian yang mereka hafal itu tidak mereka pahami dengan baik dan tidak pula mereka
amalkan.

E. Qs. Al Maidah ayat 49-50 dan 44-45

1. Ayat 49-50

Ayat ini mengandung kritik bagi komunitas pada waktu itu yang mendasarkan ketentuan hukumnya
dengan hawa nafsu. Pesan yang ingin disampaikan dalam ayat ini adalah adillah dalam menentukan
sebuah hukum dan jangan pernah membeda-bedakan individu masyarakat berdasarkam suku tertentu.
Sebab, semua manusia memiliki derajat yang sama sebagai makhluk Tuhan.

Ali Al-Baghdadi atau yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Khazin (w. 725 H.) dalam tafsirnya,
Tafsîr Khâzin, ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, ada sebuah masalah yang menyangkut antara
Bani Quraidhah dan Bani Nadhir. Masalah tersebut adalah ada salah satu anggota komunitasnya yang
melakukan pembunuhan. Akhirnya, mereka mengadu kepada Nabi untuk mendapatkan legitimasi
hukum dan menguatkan hukum yang sudah berlaku sebelumnya. Seperti yang kita ketahui, hukum
yang dibawa Nabi adalah kesetaraan dan tidak membedakan antara individu masyarakat. Bani Nadhir
merasa sebagai komunitas yang lebih mulia daripada bani Quraidhah. Akhirnya hukum yang terbentuk
pada saat itu adalah apabila ada anggota masyarakat dari Bani Nadhir membunuh anggota masyarakat
dari Bani Quraidhah, Bagi bani Nadhir hanya dikenakan biaya 70 watsaq kurma. Sementara apabila
yang terjadi sebaliknya, maka bagi bani Quraidhah harus membayar dua kali lipatnya, yakni 140
watsaq. Namun, Nabi dengan kukuh menolak hukum tersebut. Untuk itu, Nabi menyebutkan bahwa
antara Bani Nadhir dan Bani Quraidhah adalah sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Oleh
karena itu, tidak ada perbedaan yang harus dibebankan kepada keduanya apabila salah satunya
membunuh anggota komunitas lainnya. Sehingga yang menjadi catatan penting dalam ayat ini adalah
pemberlakuan hukum publik harus sama. Tidak ada individu masyarakat yang memiliki nilai spesial
dihadapan hukum. Begitulah keadilan yang diusahakan oleh Nabi.

Terkait dengan hukum jahiliyah atau hukum yang mendasarkan kepada hawa nafsu dan kepentingan
sewaktu-waktu, Al-Qur'an dikomentari dalam surat yang sama ayat 50.

‫َأفَ ُح ْك َم ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَ ْب ُغونَ ۚ َو َم ْن َأحْ َسنُ ِمنَ هَّللا ِ ُح ْك ًما لِقَوْ ٍم يُوقِن‬

Artinya: “ apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Menurut Muhammad Jamâluddin Al-Qàsimî dalam Mahâsin Al-Ta'wîl, kata jahiliyyah pada ayat diatas
memiliki dua maksud. Pertama, agama jahiliyah. Menurutnya, agama jahiliyah adalah agama yang
memiliki karakteristik mendasarkan dirinya kepada hawa nafsu. Sehingga, ayat ini memiliki kaitan
dengan ayat sebelumnya (ayat 49) yang semangatnya adalah sindiran kepada orang-orang yahudi,
apakah mereka mau terperosok dan kembali kepada agama jahiliyah?. Kedua, masyarakat jahiliyah
yang memiliki kebiasaan untuk menspesialkan golongan tertentu. Kebiasaan ini berlanjut hingga dalam
perlakuan sebuah hukum. Sehingga, ayat ini memiliki semangat menyadarkan dan membumikan
keadilan. Mengingat manusia diciptakan sama-sama sebagai mahluk Tuhan. Hanya Dia-lah yang lebih
mulia dan tinggi dari pada makhluk-makhluknya. Kesetaraan itulah implementasi dari sebuah keahlian.

2. Ayat 44-45

Pada ayat 44 menjelaskan bahwasikap orang Yahudi terhadap Taurat dan hukum yang terdapat di
dalamnya. Pada ayat ini diterangkan bahwa Taurat diwahyukan sebagai petunjuk bagi Bani Israil, tetapi
sebagian hukumnya mereka tinggalkan. Penjelasan ini diawali dengan suatu ungkapan untuk
meyakinkan. "Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa; di dalamnya ada
petunjuk untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus dan cahaya yang akan menerangi jalan hidup
mereka. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah dari Bani Israil telah
memberi putusan atas perkara yang terjadi di antara orang Yahudi, demikian juga yang diperbuat oleh
para ulama dan pendeta-pendeta mereka, yang sedemikian ini sebab mereka memang diperintahkan
untuk memelihara kitab-kitab Allah dengan melaksanakan hukum-hukumnya, dan mereka siap untuk
menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, wahai Muhammad, janganlah kamu takut kepada manusia,
tetapi takutlah hanya kepada-Ku. Dan janganlah pula kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah
dengan mengharap imbalan duniawi yang sedikit. Barang siapa tidak memutuskan hukum suatu
perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa mereka itulah termasuk orang-
orang kafir.

Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa, berisi bimbingan dan petunjuk bagi manusia
kepada yang hak, sehingga mereka dapat keluar dan selamat dari kesesatan dan penyembahan berhala,
dan juga merupakan cahaya yang menerangi hal-hal yang masih samar-samar ataupun yang masih
gelap bagi mereka, sehingga mereka dapat melihat jalan yang benar, baik dalam urusan agama, maupun
duniawi. Kitab Taurat menjadi petunjuk bagi nabi-nabi yang telah menyerahkan diri kepada Allah
dengan penuh keikhlasan, yaitu Nabi Musa dan nabi-nabi dari Bani Israil sesudahnya, sampai kepada
Nabi Isa. Kitab ini telah digunakan untuk memutuskan perkara orang-orang Yahudi saja, karena
memang Taurat itu diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi. Begitu juga tokoh-tokoh dan
pendeta-pendeta mereka, telah menggunakan Taurat itu sebagai undang-undang di kala tidak ada nabi
bersama mereka, karena mereka itu semua telah diperintahkan Allah supaya memelihara kitab Taurat,
dan menjadi saksi serta bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Jangan sampai mereka
menyelewengkan hukum-hukum yang ada di dalamnya, dan menyembunyikan karena bertentangan
dengan keinginan hawa nafsu mereka, atau karena takut kepada pembesarnya sehingga tidak berani
menegakkan hukum terhadap mereka, seakan-akan mereka itu lebih takut kepada sesama manusia
daripada kepada Allah. Lain halnya dengan Abdullah bin Salam yang hidup sampai masa al-Khulafa
ar-Rasyidun. Dia seorang Yahudi yang benar-benar menegakkan hukum Allah, sehingga
mengakibatkan orang lain benci dan tidak senang kepadanya. Dia menegakkan hukum rajam kepada
siapa saja yang harus dihukum karena perbuatan zina, sekalipun kepada pemimpin atau pembesar
mereka. Jangan sampai mereka tidak menyebarkan dan tidak menjelaskan hukum-hukum itu karena
keuntungan dunia atau keuntungan yang diterimanya dari orang-orang yang berkepentingan, misalnya
uang sogok, atau pangkat yang dijanjikan kepadanya, karena semuanya ini tidak ada arti dan nilainya
jika dibandingkan dengan pahala yang akan mereka peroleh di akhirat, Firman Allah:

"(Yaitu) di hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih." (asy-Syu'ara/26: 88 dan 89).

Barang siapa menghukum atau memutuskan suatu perkara tidak sesuai dengan hukum Allah, seperti
halnya orang-orang Yahudi yang menyembunyikan hukum rajam terhadap orang berzina yang
bersuami atau beristri dan menggantinya dengan hukuman dera dan menghitamkan mukanya, lalu
diarak berkeliling supaya disaksikan oleh masyarakat, dan lain-lainnya, berarti mereka melakukan
penyelewengan hukum. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang ingkar.

2. Ayat 45

Di antara hukum yang terdapat dalam Taurat adalah bahwa Kami telah menetapkan bagi mereka di
dalamnya, Taurat, hukuman yang sepadan, yaitu bahwa menghilangkan nyawa dibalas dengan nyawa,
melukai mata dibalas dengan melukai mata, mencederai hidung dibalas dengan hidung, memotong
telinga dibalas dengan telinga, merontokkan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisas-nya,
yakni ada balasannya yang sama. Namun demikian, barang siapa melepaskan hak untuk melakukan
qisasnya, maka sikap itu akan menjadi penebus dosa baginya. Sebaliknya barang siapa tidak
memutuskan perkara yang terjadi dengan saudaranya menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah akan termasuk orang-orang yang zalim.

Dalam ayat ini Allah menegaskan kembali bahwa di dalam Taurat telah digariskan suatu ketetapan
bahwa jiwa harus dibayar dengan jiwa sama dengan hukum kisas yang berlaku dalam syariat Islam.
Pembunuh yang telah akil balig bila ia membunuh sesama Islam dan sama-sama merdeka, maka
pembunuh tersebut baik seorang maupun beberapa orang harus dikenakan hukuman bunuh. Kecuali
bagi orang gila yang benar-benar rusak akalnya, orang yang sedang tidur sampai dia bangun, dan anak
kecil sampai dia balig, bila mereka membunuh tidak dikenakan hukuman qisas sesuai dengan sabda
Nabi saw:
"Qalam telah diangkat dari tiga macam orang (artinya mereka tidak diperlakukan sebagai orang-orang
mukallaf) yaitu orang-orang gila yang benar-benar telah rusak akalnya, sampai ia sembuh, orang yang
tidur, sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia balig." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dari al-hakim
dan 'Umar bin al-Khattab).

Selanjutnya orang yang mencukil mata atau memotong hidung atau telinga atau mencabut gigi orang
lain, maka dia wajib dikenakan hukuman kisas, ditindak sesuai dengan perbuatannya, sesuai dengan
firman Allah:

"Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia yang seimbang dengan serangannya
terhadapmu." (al-Baqarah/2:194).

Begitupun melukai orang ada kisasnya. Orang yang melukai orang lain, dia pun harus dilukai pula
sama dengan luka yang diperbuatnya baik mengenai lebar maupun dalamnya, sebagaimana firman
Allah:

"Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu." (an-Nahl/16:126).

Barang siapa melepaskan hak kisasnya dengan penuh kerelaan, dan memaafkan si pelaku sehingga
tidak jadi dikisas, itu menjadi penebus dosa bagi yang memaafkan. Orang yang dibebaskan dari hukum
kisas karena dimaafkan oleh pihak keluarga orang yang terbunuh, tidaklah berarti dia telah bebas dari
hukuman seluruhnya, tetapi dia masih dikenakan hukuman diat (ganti rugi), sebagaimana sabda Nabi
saw.:

Dari Abu 'Amr, Rasulullah Saw bersabda, "Barang Siapa membunuh dengan sengaja, maka putusannya
diserahkan kepada ahli waris orang yang dibunuh. Kalau mereka mau (mengkisas) mereka dapat
membunuhnya, dan apabila mereka mau (membebaskannya dari kisas) maka mereka berhak menerima
diat (ganti rugi)." (Riwayat at-Tirmidzi).

Barang siapa tidak menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu kisas yang didasarkan atas
keadilan, melainkan mempergunakan hukum sekehendak hatinya, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim, karena melanggar hukum Allah dan menganggap pihak yang dibunuh atau dianiaya itu
adalah golongan rendah, tidak sederajat dengan pihak yang membunuh atau yang menganiaya.
BAB II

PRINSIP PRINSIP POKOK DALAM PENEGAKAN HUKUM

ATAU PENGAMBILAN KEPUTUSAN

A. Qs. An Nisa ayat 58

Ayat 58 memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar menyampaikan amanat (dalam segala
urusan, baik yang berkaitan dengan urusan agama maupun urusan dunia dan mu'amalat) kepada orang
yang berhak. Kata al-amanat َadalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dicegah dan
dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya, atau sesuatu yang dipercayakan
kepada orang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanah adalah lawan dari khianat. la tidak
diberikan kecuali kepada orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang
diberikannya itu. setiap manusia telah menerima amanah secara potensial sebelum kelahirannya dan
secara aktual sejak dia akil baligh. Orang yang menjaga dan menyampaikan amanat dinamakan ḥafiẓ
(orang yang menjaga), amin (orang yang dipercaya) dan wafiy (orang yang memenuhi), sedangkan
yang tidak menjaga dan tidak menyampaikannya disebut pengkhianat. Allah SWT.
Amanat terdiri dari tiga macam, yaitu : Pertama, amanat Allah Swt. kepada hamba-Nya, antara lain
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, amanat seseorang kepada sesamanya,
seperti mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak sedikitpun.

B. Qs. Al An'am ayat 152

Ayat ini diawali dengan larangan mendekati harta anak yatim, seperti mengambil hartanya dengan
alasan yang dibuat-buat, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan, seperti
menginvestasikannya agar berkembang, atau menjaga agar keutuhannya terjamin, termasuk juga
membayar zakatnya jika telah mencapai satu nisab, sampai dia mencapai usia dewasa; mampu
mengelola hartanya.

Ayat ini juga menjelaskan bahwa memerintahkan kepada kita untuk menyempurnakan takaran dan
timbangan secara adil. Tidak boleh merekayasa untuk mengurangi takaran atau timbangan dalam
bentuk apa pun. Namun demikian, karena untuk tepat 100% dalam menimbang adalah sesuatu yang
sulit, maka dibuat kesepakatan antara penjual dan pembeli, berupa kerelaan agar jangan sampai
menyulitkan keduanya. Serta penjelasan berikutnya adalah perintah untuk berbicara dengan jujur,
seperti pada saat bersaksi atau memutuskan hukum terhadap seseorang. Sebab, kejujuran dan keadilan
adalah inti persoalan hukum. Kejujuran dan keadilan harus tetap dapat ditegakkan sekalipun yang akan
menerima akibat dari hukuman tersebut adalah kerabatnya sendiri. Keadilan hukum dan kebenaran di
atas segalanya, jangan sampai keadilan hukum terpengaruh oleh rasa kasih sayang terhadap keluarga.
Semua itu bertujuan agar masyarakat bisa hidup damai, tenang, dan tenteram.

Ayat ini diakhiri dengan perintah untuk memenuhi janji kepada Allah, yaitu mematuhi ketentuan yang
digariskan oleh-Nya, baik dalam ibadah, muamalah, maupun lainnya. Memenuhi janji ini akan
mendatangkan kebaikan bagi manusia, yaitu agar kita melakukan apa yang diperintahkan dan
menghindari segala larangan, dan juga agar kita saling mengingatkan.

C. Qs. Shad ayat 22

Penjelasan dari tafsir Quraish Shihab. Yakni ketika mereka masuk menemui Dâwûd, lalu ia pun merasa
takut dan khawatir. Mereka berkata, "Janganlah kamu merasa takut, kami adalah dua orang yang
sedang berperang. Kami saling merugikan satu sama lain. Maka berilah kami keputusan yang adil dan
janganlah berlaku zalim. Tunjukilah kami kepada jalan yang benar."

Sedangkan menurut tafsir Jalalain memaparkan bawah (Ketika mereka masuk menghadap Daud lalu ia
terkejut karena kedatangan mereka. Mereka berkata, "Janganlah kamu merasa takut) kami (adalah dua
orang yang bersengketa) menurut pendapat yang dikatakan, bahwa yang bersengketa itu adalah dua
golongan, demikian supaya sesuai dengan dhamir jamak yang sebelumnya.Menurut pendapat yang lain
disebutkan bahwa orang yang bersengketa itu dua orang, sedangkan dhamir jamak diartikan
dengannya. Lafal Al-Khashmu dapat diartikan untuk satu orang atau lebih. Kedua orang itu adalah dua
malaikat yang menjelma menjadi dua orang yang sedang bersengketa. Persengketaan yang terjadi di
antara keduanya hanyalah sebagai perumamaan, dimaksudkan untuk mengingatkan Nabi Daud sebagai
atas apa yang telah dilakukannya.. Karena ia memiliki istri sebanyak sembilan puluh sembilan orang
wanita.Tetapi meskipun demikian ia melamar istri orang lain yang hanya memiliki seorang istri
kemudian ia mengawininya dan menggaulinya (salah seorang dari kami melakukan zalim kepada yang
lain, maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari
kebenaran) janganlah kamu terjadi berat sebelah (dan tunjukilah kami) bimbinglah kami (ke jalan yang
lurus) yakni keputusan yang pertengahan dan adil.

Jadi maksudnya dari penjelasan tersebut bahwasanya mereka berdua menjelaskan maksud
kedatangannya, dan bahwa maksudnya adalah baik, yaitu untuk mencari yang hak, dan keduanya akan
menceritakan masalahnya. Setelah diberitahukan demikian, Nabi Dawud as. menjadi tenang dan tidak
memarahi keduanya.

D. Qs. Al Asyura ayat 15

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyeru kaumnya supaya
jangan berpecah-belah seperti Ahli Kitab, supaya bersatu memeluk agama tauhid yang telah dirintis
oleh para nabi, yaitu agama Islam yang dibawanya dan agar beliau tetap tabah menghadapi mereka.
Jangan sekali-kali terpengaruh oleh keraguan mereka terhadap agama yang benar yang telah
disyariatkan kepadanya. Ia harus selalu menandaskan pendiriannya bahwa dia tetap percaya kepada
semua yang telah diturunkan Allah dari langit seperti Kitab Taurat, Injil dan Zabur, dan tidak
didustakannya sedikit pun. Nabi Muhammad juga diperintahkan berlaku adil di antara mereka di dalam
menetapkan hukum dan sebagainya, dengan tidak akan mengurangi dan menambah apa yang telah
disyariatkan Allah kepadanya, serta akan menyampaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya
untuk disampaikan. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami
sekalian. Dia-lah satu-satunya yang wajib disembah, yang wajib dipercaya dengan penuh pengertian.
Tiada Tuhan selain Allah. Bagi kami amalan kami, baik buruknya adalah tanggung jawab kami, diberi
pahala atau diazab, dan bagi kamu sekalian amalan kamu. Kami tidak akan berbahagia karena amal
baikmu dan tidak akan celaka karena amalan burukmu. Masing-masing bertanggung jawab atas amal
perbuatannya. Sejalan dengan ayat ini firman Allah: Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu
(Muhammad), maka katakanlah, "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kamu kerjakan." (Yunus/10: 41)

Dengan demikian tidak boleh lagi ada pertengkaran di antara kaum Muslimin dan orang-orang
musyrikin, yang hak dan yang benar telah nyata. Barang siapa yang masih saja membangkang dan
tidak mau percaya berarti dia ingkar. Pada waktunya nanti akan jelas dan tampak siapa yang benar di
antara pemeluk agama karena Allah akan mengumpulkan seluruh manusia nanti di hari kemudian, dan
di sanalah Dia akan menjatuhkan keputusan yang seadil-adilnya atas apa yang dipersengketakan,
sebagaimana firman Allah:

Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara
kita dengan benar. Dan Dia Yang Maha Pemberi keputusan, Maha Mengetahui." (Saba'/34: 26)

Kepada-Nyalah semua manusia akan kembali sesudah mati dan mempertanggungjawabkan semua amal
di dunia. Seluruh manusia akan menerima balasan sesuai dengan amal masing-masing, sebagaimana
firman Allah:
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan
barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-
Zalzalah/99: 7-9)

Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya al-Munir menyimpulkan sepuluh perintah Allah dan larangannya
bukan hanya bagi Rasulullah tapi juga bagi seluruh umat Islam. Sepuluh perintah dan larangan tersebut
adalah:

1.Perintah kepada Nabi untuk terus berdakwah menyampaikan risalahnya.

2.Istiqamah dalam penyampaiannya.

3.Larangan bagi rasul untuk tidak mengikuti keinginan orang-orang musyrikin Mekah atau Ahli Kitab,
untuk mengikuti ibadah mereka.

4.Perintah untuk beriman dan menyatakan iman kepada kitab-kitab samawi yang diturunkan allah.

5.Perintah untuk berlaku adil di antara Muhajirin dan ketika menghadapi perselisihan yang terjadi di
antara mereka.

6.Perintah berikrar bahwa hanya Allah yang pantas disembah, tidak ada Tuhan selainnya.

7.Perintah untuk menyatakan kepada Ahli Kitab bahwa masing-masing bertanggung jawab terhadap
amal perbuatannya dan balasan baik dan buruk dari amalan tersebut.

8.Perintah untuk menyatakan bahwa tidak ada permusuhan di antara nabi dan Ahli Kitab, karena
kebenaran Allah tampak dengan jelas.

9.Perintah untuk menyatakan bahwa Allah kelak akan mengumpulkan umat Islam dan Ahli Kitab di
Padang Mahsyar untuk menghadapi pengadilan Allah.

10.Hanya kepada Allah semua makhluk akan kembali.


BAB III

MENJAUHI SUAP DAN PENERIMAAN HADIAH

A. Qs. Al Baqarah ayat 188

Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain dengan jalan bathil. "Makan"
ialah "mempergunakan atau memanfaatkan", sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan
bahasa lainnya. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.Para
ahli tafsir mengatakan banyak hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkup bagian pertama ayat ini,
antara lain:

1.Makan uang riba.

2.Menerima harta tanpa ada hak untuk itu.

3.Makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual.

Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap hakim dengan maksud
untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau
memberikan sumpah palsu atau saksi palsu. Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan.
Barangkali di antara kamu ada yang lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya,
berdasarkan alasan- alasan yang saya dengar. Maka siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya
untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia mengambil harta
itu, maka ini berarti saya memberikan sepotong api neraka kepadanya". (Mendengar ucapan itu)
keduanya saling menangis dan masing-masing berkata. Saya bersedia mengikhlaskan harta bagian saya
untuk teman saya. Lalu Rasulullah saw memerintahkan, "Pergilah kamu berdua dengan penuh rasa
persaudaraan dan lakukanlah undian dan saling menghalalkan bagianmu masing-masing menurut hasil
undian itu ". (Riwayat Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

B. Qs. An Naml ayat 36

pada ayat ini menegaskan bahwa hanya orang-orang yang berusaha sungguhsungguh untuk
mendengar sajalah yang akan mematuhi seruan Allah, karena mereka bukan orang-orang yang mati
sehingga mereka dapat memetik pelajaran dari apa yang mereka dengarkan, dan orang-orang yang
mati, baik mati hati nuraninya maupun mati dalam arti yang sebenarnya, kelak akan dibangkitkan oleh
Allah, kemudian kepada-Nya mereka dikembalikan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan
mereka.

Ayat ini juga menerangkan bahwa yang akan memperkenankan seruan Allah adalah hanya bagi orang
yang mendengar. Kemudian, dalam menghadapi seruan Nabi dan risalah yang disampaikannya,
manusia terbagi dua, yaitu manusia yang hidup jiwanya dan manusia yang mati jiwanya. Manusia yang
hidup jiwanya ialah manusia yang menggunakan akal, pikiran, perasaan dan kehendak serta pilihan
yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Dengan anugerah itu, mereka dapat melihat,
memperhatikan dan menilai segala sesuatu yang dikemukakan kepada mereka. Yang baik mereka
ambil, sedang yang buruk mereka buang. Karena itu hati dan pikiran mereka terbuka untuk menerima
petunjuk Allah, Mereka ibarat tanah yang subur. Sedikit saja disirami air, tanah itu akan menjadi subur,
dapat menumbuhkan tanaman-tanaman dengan mudah dan cepat. Sedangkan manusia yang mati
jiwanya ialah manusia yang tidak mau menggunakan akal, pikiran, perasaan, pilihan dan mata hati
yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Hati mereka telah tertutup oleh rasa dengki. Karena itu
segala keterangan yang dikemukakan Nabi tidak akan mereka dengar dan perhatikan. Seandainya
mereka dapat melihat dan memperhatikan dalil-dalil dan bukti-bukti yang dikemukakan Rasul dan
pikiran mereka menerimanya, namun semuanya itu ditolak dan tidak diterima karena rasa dengki
tersebut. Mereka diibaratkan seperti tanah yang tandus, berapa pun air yang dialirkan padanya, tanah
itu tidak akan menumbuhkan tumbuhan yang ditanam.

Kelompok manusia yang kedua ini adalah orang-orang kafir yang kekafirannya telah mendalam,
sehingga tidak ada harapan bahwa mereka akan beriman dan mematuhi seruan Nabi. Maka Allah
menganjurkan agar Muhammad saw tidak bersedih hati atas sikap mereka, dan menyerahkan keadaan
mereka kepada Allah. Allah akan membangkitkan mereka dari kuburnya di hari Kiamat dan akan
mengazab mereka sebagai balasan dari kekafiran mereka.
BAB IV

LARANGAN TERGESA GESA

DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

A. Qs. Al a'raf ayat 150

Ayat ini menjelaskan Sikap Nabi Musa terhadap perbuatan kaumnya yang telah menyembah anak
sapi. Ia sedih karena merasa segala usaha dan perjuangannya yang berat selama ini tidak memperoleh
hasil yang diinginkannya. Ia sangat marah kepada saudaranya Harun yang telah dijadikan sebagai
wakilnya untuk memimpin kaumnya sepeninggal ia pergi menemui panggilan Tuhannya ke bukit Sinai,
seakan-akan Harun tidak melaksanakan tugasnya, dan membiarkan kaumnya sesat, tidak menegur dan
mengambil tindakan sedikit pun terhadap mereka yang ingkar. Musa pun merasa takut kepada Allah
dan merasa khawatir akan menerima kemurkaan Allah kepadanya dan kaumnya yang telah menjadi
musyrik.

Dalam keadaan sedih, putus asa yang bercampur marah terlontarlah perkataan yang keras yang
ditujukan kepada saudaranya Harun dan kaumnya, yang menyatakan tugas dan amanat yang
diberikannya kepada Harun telah sia-sia, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan susah
payah ia telah mengajar dan mendidik kaumnya, sehingga mereka telah beriman kepada Allah dan
hanya menyembah kepada-Nya saja. Ia baru saja menerima wahyu Allah yang berisi petunjuk dan
syariat yang akan diajarkan kepada kaumnya. Apa yang terjadi pada kaumnya ketika ia kembali sangat
berlawanan dengan yang dikehendakinya. Yang diinginkannya ialah agar kaumnya tetap menyembah
Allah Yang Maha Esa sepeninggalnya, kemudian ketundukan dan kepatuhan itu akan bertambah,
setelah ia dapat mengajarkan wahyu yang baru diterimanya dari Allah itu. Sedang yang terjadi adalah
pekerjaan yang paling buruk dan yang paling besar dosanya yaitu memperserikatkan Tuhan.
Selanjutnya Musa berkata kepada kaumnya. Mengapa kamu sekalian tidak sabar menanti
kedatanganku kembali sesudah bermunajat kepada Tuhan, sampai kamu membuat patung dan
menyembahnya seperti menyembah Allah, padahal aku hanya terlambat sepuluh malam. Apakah kamu
mempunyai prasangka lain terhadapku karena keterlambatanku itu.

Menurut suatu riwayat, bahwa Samiri pernah berkata kepada Bani Israil sewaktu ia
memperlihatkan patung anak sapi yang baru dibuatnya kepada mereka: Ini adalah tuhanmu dan tuhan
Musa, sesungguhnya Musa tidak akan kembali dan sesungguhnya ia telah mati. Dalam kemarahannya
Nabi Musa melemparkan lauh-lauh yang ada di tangannya, tetapi bukan bermaksud hendak
merusaknya, seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama, "maka bangkitlah amarah Musa;
dilemparkannyalah kedua lauh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu." (Keluaran
32:19). Nyatanya dalam 7:154 benda-benda itu masih utuh, berisi ajaran Allah. Rasanya kurang hormat
(kalau tidak akan dikatakan menghina Tuhan) bila menduga bahwa Utusan Allah telah menghancurkan
lauh-lauh yang berisi ajaran-ajaran Allah dalam kemarahannya yang tak terkendalikan itu. lalu
memegang ubun-ubun Harun, karena ia mengira bahwa Harun tidak berusaha sungguh-sungguh
mencegah perbuatan kaumnya menyembah patung anak sapi itu, dan tindakan-tindakan yang telah
dilakukan selama ia pergi ke Bukit Sinai, atau melaporkan perbuatan kaumnya yang telah sesat itu.
Sangkaan Musa kepada Harun ini dilukiskan dalam firman Allah sebagai berikut:

"Dia (Musa) berkata, "Wahai Harun! apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka
telah sesat, (sehingga) engaku tidak mengikuti aku?" Apakah engkau telah (sengaja) melanggar
perintahku?" (thaha/20: 92-93).

Perkataan Musa dijawab oleh Harun, "Wahai anak ibuku, janganlah engkau tergesa-gesa mencela
aku, dan jangan pula tergesa-gesa memarahi aku, karena menyangka aku tidak bersungguh-sungguh
melaksanakan perintahmu dan tidak menghalangi mereka. Sebenarnya aku telah berusaha menghalangi
mereka dari mengerjakan perbuatan sesat itu dan memberi nasihat kepada mereka. Tetapi mereka
memandangku orang yang lemah, bahkan mereka hampir saja membunuhku. Janganlah engkau
bertindak terhadapku dengan tindakan yang menyenangkan musuh; mereka gembira dan tertawa
lantaran bencana yang menimpa diriku, janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-
orang yang suka mengerjakan perbuatan yang berakibat kerugian bagi diriku sendiri, yaitu golongan
yang menyembah patung anak sapi, aku sendiri bukanlah termasuk golongan itu."

Sikap Musa dan Harun yang berbeda terhadap perbuatan kaumnya itu menunjukkan pula
perbedaan watak kedua orang Nabi Allah ini. Musa adalah orang yang keras dan tegas menghadapi
suatu perbuatan sesat yang dilarang Allah, sedang Harun adalah orang yang lemah lembut dan tidak
mau menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbuatan sesat.

B. Qs. Al Hujurat ayat 6

Tafsir Al muyassai/kemenag Saudi Arabia menjelaskan bahwa orang-orang yang membenarkan


Allah dan rasulnya serta melaksanakan syaratnya bila orang fasik datang membawa sebuah berita maka
Pergilah beritanya sebelum membenarkan dan menukilnya dikawatirkan kalau bisa melakukan
tindakan zalim terhadap suatu hukum yang tidak bersalah akibatnya kalian akan menyesalinya.
Setelah kelompok ayat-ayat yang lalu menguraikan tuntunan bagai-mana bertatakrama dengan
Rasullah, kelompok ayat ini menguraikan bagaimana berlaku dengan sesama manusia, termasuk
kepada orang fasik. Diawali dengan tuntunan bagaimana menghadapi orang fasik, Allah berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita
yang penting, maka ja-nganlah kamu tergesa-gesa menerima berita itu, tetapi telitilah terlebih dahulu
kebenarannya. Hal ini penting dilakukan agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
atau kecerobohan kamu mengikuti berita itu yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu yang
terlanjur kamu lakukan. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum muslim agar berhati-hati dalam
menerima berita terutama jika bersumber dari orang yang fasik. Perlunya berhati-hati dalam menerima
berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat tindakan yang diakibatkan oleh berita yang
belum diteliti kebenarannya.

Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum Mukminin, jika datang kepada
mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu
sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama,
jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan
kefasikannya, tentu juga tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya
berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak
diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap
lebih hati-hati.

Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum Mukminin supaya berhati-hati dalam menerima
berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah
agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki
kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya
menimbulkan penyesalan belaka.
BAB V

KEPUTUSAN HAKIM BERSANDAR KEPADA

APA YANG NAMPAK DAN PADA PENGAKUAN

A. Qs. Yusuf ayat 78-79

Pada ayat 78 menjelaskan tentang apa yang dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada al-Aziz,
bahwa Bunyamin yang ditetapkan sebagai pencuri itu mempunyai ayah yang telah lanjut usia, dan tidak
bisa berpisah dengannya. Bunyamin adalah pengganti saudaranya yang hilang. Oleh karena itu, mereka
mengharap kepada al-Aziz agar sudi mengambil salah seorang dari mereka sebagai jaminan karena
Bunyamin lebih dicintai ayahnya. Mereka juga telah berjanji untuk menjaga keselamatan Bunyamin
selama dalam perjalanan. Di samping itu, mereka pun memuji al-Aziz bahwa beliau adalah orang yang
gemar berbuat baik. Pujian serupa itu tentu saja dengan maksud agar Bunyamin dibebaskan dari
penahanan karena tuduhan pencurian. Mereka sebagai tamu merasa telah mendapatkan pelayanan
dengan sebaik-baiknya, dan alangkah lebih sempurna jika kebaikan itu ditambah lagi dengan
memenuhi permintaan mereka untuk membiarkan Bunyamin kembali kepada ayahnya yang selama ini
dilanda kesedihan karena kehilangan Yusuf.

Dan pada ayat 79 menceritakan tentang tafsiran mengenai perihal Mendengar permohonan
mereka, dia (Nabi Yusuf ) berkata, "Kami selalu memohon perlindungan kepada Allah dari menahan
seseorang yang tidak bersalah. Kami tidak menahan kecuali orang yang kami temukan harta kami
padanya. Jika kami berbuat demikian, yakni menahan seseorang di antara kamu sebagai ganti
Bunyamin, berarti kami orang yang zalim karena menahan orang yang tidak bersalah." Lalu Yusuf
berkata kepada saudara-saudaranya bahwa dia melakukan tindakan salah jika melepaskan Bunyamin
yang telah terbukti di dalam karungnya ditemukan barang yang hilang itu. Ia berlindung kepada Allah
bahwa ia tak mungkin menangkap seseorang kecuali karena telah terbukti mencuri. Seandainya ia
menerima usul saudara-saudaranya, berarti ia bertindak tidak adil karena telah menyalahi undang-
undang atau peraturan yang berlaku di wilayah kerajaannya.

B. Qs. Thaha ayat 93


Melihat kesesatan kaumnya, Nabi Musa marah dan menegur Nabi Harun karena dianggap tidak
mampu memimpin Bani Israil dengan baik. Sambil memegang kepala dan janggut saudaranya itu, dia
berkata, “Wahai Harun! Allah mengutusmu untuk membantuku. Apa yang menghalangimu untuk
menegur ketika engkau melihat mereka telah sesat dengan menyembah patung anak sapi? Apa yang
menyebabkan engkau tidak mengikuti aku dalam berdakwah dan mengajak mereka untuk mengesakan
Allah? Apakah engkau telah sengaja melanggar perintahku sehingga engkau membiarkan mereka sesat?”

Musa kembali membentak Harun dengan ucapan yang agak keras, "Apakah engkau telah
mendurhakai dan melanggar perintahku. Aku telah mengamanatkan kepadamu supaya engkau
menggantikan kedudukanku sepeninggalku, bertindak dan mencegah mengikuti jalan orang-orang yang
hendak membuat kerusakan." Pengarang tafsir Al-Kasysyaf menerangkan hal ini sebagai berikut, "Musa
adalah orang yang keras dan kadang-kadang bertindak keras terhadap hal yang berhubungan dengan hak
Allah dan agama. Karena itu ia tidak dapat menguasai dirinya ketika melihat kaumnya telah
menyeleweng dari agama tauhid sehingga ia melemparkan lembaran-lembaran Taurat yang dibawanya
karena kaget dan tercengang melihat penyelewengan kaumnya. Dia membentak dan menghardik
saudaranya Harun sambil menarik rambut dan janggut seakan-akan saudaranya musuhnya bukan saudara
dan pembantunya."

C. Qs. Yusuf ayat 52

Surah ini mengisahkan tentang pengakuan dari sang istri Al Aziz. Kemudian istri al-Aziz
mengatakan, "Yang demikian itu, yakni pengakuan bahwa akulah yang menggoda Yusuf dan dia
menolaknya, adalah agar dia, suamiku, mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya dan
berselingkuh dengan orang lain ketika dia tidak ada bersamaku, dan agar Yusuf bebas dari segala
tuduhan. Dan aku menyadari bahwa sesungguhnya Allah tidak meridai tipu daya orang-orang yang
berkhianat. Allah pasti akan mengungkap kejadian yang sebenarnya, meski hal itu sudah ditutup-tutupi
bertahun-tahun."

Ayat ini menerangkan pengakuan istri al-Aziz yang terus-terang mengatakan bahwa dialah yang
bersalah, dialah yang menggoda, tetapi Yusuf tetap enggan dan berpaling, karena takut kepada Tuhannya.
Semuanya itu menjadi bukti tentang kejujurannya. Ia tidak mau berdusta terhadap Yusuf walaupun Yusuf
dalam penjara. Juga supaya diketahui oleh suaminya, bahwa dia berterus-terang seperti itu menunjukkan
bahwa dia bersih, terpelihara dari perbuatan keji, karena kekuatan iman Yusuf. Istrinya tidak mau dituduh
pengkhianat, sebab Allah swt tidak akan memberi petunjuk kepada setiap pengkhianatan.
BAB VI

KEWAJIBAN HAKIM MENDENGAR SEMUA

TUDUHAN, PEMBELAAN DAN PENGAKUAN

A. Qs Yusuf ayat 51-52

Pada ayat 51 memberikan penjelasan mengenai peristiwa siapa yang merayu dan siapa yg
melakukan pemerkosaan terhadap istri raja. Kemudian dia -raja- pun berkata kepada perempuan-
perempuan yang telah melukai tangan mereka sendiri dengan pisau, "Ceritakan padaku, bagaimana
keadaanmu, yakni menurut pendapatmu ketika kamu menggoda Nabi Yusuf untuk menundukkan
dirinya apakah dia terpengaruh oleh bujuk dan rayuanmu?" Kemudian mereka berkata,
"Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui dan melihat sedikit pun kekurangan atau suatu
keburukan pun padanya." Saat itu istri al-Aziz mengaku dan berkata terus terang, "Sekarang jelaslah
kebenaran itu terungkap setelah sekian lama tertutup, sesungguhnya akulah yang menggoda dan
merayunya, namun ia menolak dan berlindung kepada Allah. Dan aku mengakui sesungguhnya dia
termasuk orang yang benar dan jujur perkataannya, dia benar-benar telah dizalimi."

Setelah utusan kembali menemui raja dan menyampaikan permintaan Yusuf kepadanya, maka
dengan segera raja memanggil isteri menteri dan semua perempuan-perempuan yang memotong jarinya
itu dan berkata kepada mereka, "Bagaimana pandanganmu terhadap Yusuf ketika kamu menggodanya
dulu? Sebab Yusuf akan aku keluarkan dari penjara." Mereka menjawab, "Bahwa Yusuf seorang
pemuda yang suci murni, Maha Sempurna Allah, kami tiada melihat sesuatu yang buruk padanya." Istri
menteri yang tergila-gila dan terus menggoda Yusuf selama bersama-sama tinggal di rumahnya pun
berkata, "Sudah terlalu lama Yusuf dalam penjara tanpa kesalahan apa-apa. Akulah yang bersalah
karena aku tidak dapat menahan hawa nafsuku, aku selalu menggodanya." Sekarang jelaslah kebenaran
itu, bahwa Yusuf tidak bersalah dan dia termasuk orang-orang yang benar.

Dan pada ayat 52 menjelaskan tes pengakuan istri Al Aziz( raja) terus terang menyatakan bahwa
dialah yang bersalah dialah yang telah menggoda tetapi Yusuf tetap enggan dan berpaling karena takut
kepada Tuhannya. Semuanya itu menjadi bukti tentang kejujurannya. Ia tidak mau berdusta terhadap
Yusuf walaupun Yusuf dalam penjara. Juga supaya diketahui oleh suaminya, bahwa dia berterus-terang
seperti itu menunjukkan bahwa dia bersih, terpelihara dari perbuatan keji, karena kekuatan iman Yusuf.
Istrinya tidak mau dituduh pengkhianat, sebab Allah swt tidak akan memberi petunjuk kepada setiap
pengkhianatan.

B. Qs. An Naml ayat 22-23


Maka tidak lama kemudian datanglah burung Hudhud yang dicari cari, dan langsung menghadap
Nabi Sulaiman. Lalu setelah ia di tanya oleh Nabi Sulaiman tentang keberadannya, dengan spontan ia
berkata, dengan nada bangga “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui wahai
baginda Nabi Sulaiman. Aku datang kepadamu dari negeri yang jauh yaitu negeri Saba’ di Yaman
dengan membawa suatu berita yang yang penting dan meyakinkan dan perlu engkau ketahui."

Burung hud-hud itu menerangkan alasan kepergiannya dengan mengatakan bahwa ia telah pergi dan
terbang mengarungi daerah yang jauh dan telah sampai kepada suatu negeri yang bernama Saba'. Ia
mengetahui hal ihwal negeri itu yang Sulaiman sendiri belum mengetahuinya. Berita yang dibawanya
itu adalah berita penting serta dapat diyakini kebenarannya. Burung hud-hud telah menyampaikan
berita penting itu kepada Nabi Sulaiman sedemikian rupa, dengan kata-kata yang manis lagi hormat,
enak didengar telinga, disertai dengan alasan-alasan yang kuat pula. Dengan demikian, kemarahan
Sulaiman kepada burung hud-hud itu berangsur-angsur mereda, akhirnya hilang sama sekali. Bahkan
dengan keterangan itu, Nabi Sulaiman telah mendapat sesuatu yang berharga, sehingga hukuman yang
pernah diancamkannya itu tidak jadi dilaksanakan.

Kesanggupan burung hud-hud bepergian sejauh itu dan menyampaikan berita penting kepada Nabi
Sulaiman adalah suatu perwujudan kekuasaan Allah dan ilham yang ditanamkan-Nya ke dalam naluri
burung hud-hud itu. Ia sanggup pergi dan terbang mengarungi daerah yang terletak antara negeri
Palestina dan Yaman sekarang, suatu jarak yang cukup jauh, mengarungi daerah padang pasir yang
sangat panas. Ia mengetahui dan mengerti keadaan negeri Saba' yang juga harus diketahui oleh Nabi
Sulaiman yang bertugas sebagai seorang kepala negara dan sekaligus rasul Allah. Ia sanggup pula
menyampaikan berita itu dan memberikan pengertian yang baik, sehingga Nabi Sulaiman langsung
menanggapi berita yang dibawa burung hud-hud itu.

Nabi Sulaiman adalah seorang nabi dan rasul. Ia juga seorang raja yang bijaksana, yang mempunyai
kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah. Ia mempunyai pengetahuan yang banyak di
samping pengetahuan-pengetahuan lain yang mungkin hanya diberikan Allah kepadanya. Sedang
burung hud-hud hanyalah seekor burung yang tidak mempunyai arti sama sekali, bila dibanding dengan
apa yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman. Sekalipun demikian, burung hud-hud memiliki pengetahuan
yang belum diketahui oleh Nabi Sulaiman. Pengetahuan itu sangat dibutuhkan Nabi Sulaiman dalam
melaksanakan tugasnya sebagai raja, terutama dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang nabi dan
rasul Allah. Dalam menghadapi burung hud-hud sebagai sumber dan pembawa berita penting, Nabi
Sulaiman mampu bersikap wajar, sebagai seorang hamba Allah. Kisah Nabi Sulaiman dan burung hud-
hud ini hendaknya menjadi tamsil dan ibarat bagi manusia, terutama bagi orang-orang yang telah
mengaku dirinya beriman kepada Allah. Seseorang hendaknya jangan merasa sombong dan takabur
karena pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Semua yang
diberikan itu walau berapa pun banyaknya menurut dugaannya, namun yang diperoleh itu hanyalah
sedikit sekali bila dibanding dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan Allah. Oleh karena itu,
jangan sekali-kali menganggap rendah, enteng, dan hina sesuatu atau seseorang. Mungkin Allah telah
memberikan kepada seseorang yang dianggap hina dan rendah itu, apa yang tidak dipunyai oleh orang
lain, yang mungkin diperlukan untuk suatu kepentingan, sebagaimana yang telah dianugerahkan-Nya
kepada burung hud-hud. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan memuliakan manusia. Oleh
karena itu, hendaklah manusia hidup berkasih-kasihan, tolong-menolong, dan hormat-menghormati
antara sesama manusia. Tirulah sikap Nabi Sulaiman kepada burung hud-hud, yang selalu mengasihi
dan menghormatinya, meskipun hanya seekor burung.

Dan pada ayat 23 ini menerangkan bahwa burung hud-hud menyampaikan kepada Nabi Sulaiman
berbagai pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama dalam perjalanan ke negeri Saba'.
Sebuah negeri yang besar dan kaya raya serta diperintah oleh seorang ratu yang cantik dan mempunyai
singgasana yang besar lagi indah. Dalam ayat ini dipahami bahwa ada tiga hal mengenai negeri Saba'
yang disampaikan oleh burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman:

1. Negeri Saba' itu diperintah oleh seorang ratu yang cantik, dan memerintah negerinya dengan baik
dan bijaksana.

2. Ratu itu memerintah dengan tegas dan bijaksana karena dilengkapi dengan segala sesuatu yang
diperlukan dalam pemerintahan, seperti harta dan kekayaan, tentara yang kuat, dan sebagainya.

3. Ratu mempunyai singgasana yang indah lagi besar, yang menunjukkan kebesaran dan pengaruh
kekuasaannya, baik terhadap rakyat maupun terhadap negeri-negeri yang berada di sekitarnya.

Menurut sejarah, Saba' adalah ibu kota kerajaan Saba' atau Sabaiyah. Kerajaan Saba' atau Sabaiyah ini
didirikan oleh Saba' bin Yasyjub bin Ya'rub bin Qahthan yang menjadi cikal-bakal penduduk Yaman
kurang lebih tahun 955 Sebelum Masehi di Yaman. Nama kota Saba' terambil dari nama Saba' bin
Yasyjub, begitu juga nama kerajaan Saba' atau Sabaiyah.

Adapun wanita atau ratu yang memerintah kaum Saba' yang disebutkan dalam ayat itu menurut budaya
Arab disebut Balqis. Masa pemerintahannya semasa dengan pemerintahan Nabi Sulaiman. Ia adalah
putri dari Syurahil yang juga berasal dari keturunan Ya'rub bin Qahthan. Sekalipun Balqis adalah
seorang wanita, namun ia sanggup membawa rakyat Saba' kepada kemakmuran dan ketenteraman. Ia
adalah seorang yang dicintai oleh rakyatnya. Dalam sejarah dikenal dengan sebutan Malikatus Saba'
(Ratu Saba', The Queen of Sheba). Kejayaan kerajaan Saba' bertahan cukup lama. Kemudian mereka
berpaling dari seruan Tuhan dan mendustakan para rasul dan tidak mensyukuri nikmat-Nya, bahkan
tenggelam dalam segala macam kenikmatan dan kemewahan hidup. Oleh karena itu, Tuhan
menghancurkan mereka dengan air bah yang amat besar akibat runtuhnya Saddu (Bendungan) Ma'rib
yang tadinya menjadi sumber kemakmuran negeri mereka. Dengan runtuhnya Bendungan Ma'rib ini
dan terjadinya air bah yang amat besar itu, maka hancurlah kota Ma'rib, dan robohlah kerajaan
Sabaiyah.
BAB VII

Mencari Bukti/ Alat-Alat Bukti

dalam Persidangan

A. Qs Yusuf ayat 25-28

Allah Ta’ala memberitakan tentang keadaan mereka berdua ketika mereka berlomba keluar menuju pintu.
Yusuf lari, sedang wanita itu minta agar dia kembali ke rumah dan wanita itu dapat memegang baju
Yusuf dari belakang, sehingga bajunya tersebut terkoyak lebar. Ada yang mengatakan, bahwa bajunya
terlepas, dan Yusuf terus berlari sedang wanita itu tetap dibelakangnya. Akhirnya mereka berdua
mendapati tuan rumah yaitu suaminya, di depan pintu. Saat itulah wanita itu berusaha lepas dari situasi
tersebut dengan tipu daya dan sambil menuduh Yusuf berbuat tidak senonoh terhadapnya, ia berkata
kepada suaminya: maa jazaa-a man araada bi-aHlika suu-an (“Apa pembalasan terhadap orang yang
bermaksud berbuat serong dengan istrimu.”) yaitu berbuat keji; illaa ay yusjana (“selain dipenjarakan”)
atau ditahan; au ‘adzaabun aliim (“atau disiksa dengan siksaan yang pedih”) yaitu dengan pukulan yang
keras dan menyakitkan.

Saat itulah Yusuf as. mendapat kemenangan dengan kebenaran dan terbebas dari tuduhan berbuat khianat
terhadap wanita itu. Qaala (“ia berkata”) dengan baik dan jujur: Hiya raawadatnii ‘an nafsii (“Dia yang
menggodaku untuk menundukkan diriku [padanya]”) dan menuturkan bahwa wanita itulah yang mengejar
dan menariknya sampai bajunya terkoyak.

Wa syaHida syaaHidum min aHliHaa in kaana qamiishaHuu quddamin qubulin (“Dan seorang saksi dari
keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika bajunya koyak di muka,’”) di bagian depan dari baju
itu; fa shadaqat (“maka wanita itu benar”) yakni dalam ucapannya, bahwa Yusuf yang menggodanya,
karena setelah dipanggil wanita itu menolak, maka wanita itu mendorong dada Yusuf sehingga bajunya
terkoyak. Kalau memang demikian berarti pengakuan wanita itu benar.

Wa in kaana qamiishaHuu quddamin duburin fa kadzabat wa Huwa minash shaadiqiin (“Dan jika bajunya
koyak belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.”) Hal itu
seperti apa yang telah terjadi, tatkala ia lari menjauhinya lalu dikejar, lalu dipegang bajunya dari belakang
(oleh wanita itu) untuk menahannya. Maka, baju Yusuf pun koyak dari belakang.

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa saksi tersebut, apakah anak kecil atau orang besar, dikalangan
ulama salaf pendapat tentang hal terbagi menjadi dua.

Fa lammaa ra-aa qamiishaHuu quddamin duburin (“Maka tatkala suami wanita itu melihat gamis Yusuf
terkoyak di belakang”) maksudnya, setelah suami wanita itu memastikan kebenaran Yusuf dan kedustaan
apa yang dituduhkan isterinya terhadap Yusuf; qaala innaHuu min kaidikunna (“la berkata:
‘Sesungguhnya [kejadian] itu adalah termasuk di antara tipu dayamu’”) maksudnya, kedustaan dan
pencemaran kehormatan pemuda ini adalah sebagian dari tipu dayamu; inna kaidikunna ‘adhiim
(“Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.”)
Kemudian ia memerintahkan Yusuf as. untuk merahasiakan kejadian itu: yuusufu a’ridl ‘an Haadzaa
(“Hai Yusuf, berpalinglah dari ini”) maksudnya adalah maafkanlah, jangan kau ceritakan (kejadian ini)
kepada siapa pun.

B. Qs. Al Anbiya ayat 60-61

Allah menerangkan dalam ayat 60 ini bahwa orang-orang yang berada di dekat penyembahan patung-
patung itu menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa mereka mendengar seorang pemuda
yang bernama Ibrahim telah menghancurkan berhala-berhala itu. Dari sini kita pahami pada saat itu
Ibrahim masih sebagai seorang pemuda (± 16 tahun), dan belum diutus Allah menjadi Nabi dan Rasul-
Nya. Maka tindakannya dalam membinasakan patung-patung itu bukan dalam rangka tugasnya sebagai
Rasul, melainkan timbul dari dorongan kepercayaannya kepada Allah, berdasarkan petunjuk kepada
kebenaran yang telah dilimpahkan Allah kepadanya, sebelum ia diangkat menjadi Rasul.

Dan pada ayat 61 ini menjelaskan bahwa setelah mereka mendapat jawaban bahwa yang merusakkan
patung-patung itu adalah seorang pemuda yang bernama Ibrahim, maka mereka menyuruh agar pemuda
itu dihadapkan kepada orang banyak, dengan harapan kalau-kalau ada orang lain yang menyaksikan
pemuda tersebut melakukan pengrusakan itu, sehingga kesaksian itu akan dapat dijadikan bukti. Hal ini
memberikan pengertian bahwa di kalangan mereka pada masa itu sudah berlaku suatu peraturan, bahwa
mereka tidak akan menindak secara langsung seseorang yang dituduh sebelum ada bukti-bukti, baik
berupa persaksian dari seseorang, maupun berupa pengakuan dari pihak yang tertuduh.

C. QS. Al Hujurat ayat 6

Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum Mukminin, jika datang kepada mereka
seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum
diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama, jangan cepat
percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan kefasikannya, tentu juga
tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima
berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu.
Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.

Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum Mukminin supaya berhati-hati dalam menerima
berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah
agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki
kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya
menimbulkan penyesalan belaka.

BAB VIII

Sanksi dan Kewajiban Berlaku Adil

Serta Ancaman bagi Pelaku Sumpah Palsu

A. QS. An- Nisa’ ayat 135


Dalam ayat ini Allah memerintahkan berbuat adil terhadap semua manusia. Wahai orang-orang
yang beriman! Jadilah kamu secara sungguhsungguh penegak keadilan di antara umat manusia secara
keseluruhan, menjadi saksi yang benar karena Allah, tanpa ada diskriminasi, walaupun terhadap dirimu
sendiri atau terhadap orang-orang yang sangat dekat denganmu sekali pun, seperti ibu bapak dan kaum
kerabatmu, janganlah jadikan hal itu sebagai penghalang bagimu untuk berbuat adil. Jika dia, yang
terdakwa itu, kaya, janganlah kamu terpengaruh dengan kekayaannya, ataupun jika ia miskin, janganlah
merasa iba karena kemiskinannya, maka Allah lebih tahu kemaslahatan atau kebaikannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga kamu memberi keputusan yang tidak adil dan menjadi
saksi yang tidak benar, karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-
kata dan fakta yang benar atau enggan menjadi saksi yang benar untuk menyatakan kebenaran dan
menegakkannya, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan dalam setiap
keputusan yang kamu ambil dan setiap kesaksian yang kamu berikan.

B. QS. Al Maidah ayat 8

Pada ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan
mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama
maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah
mereka bisa sukses dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka
harus adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan
menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dengan Surah
an-Nisa/4:135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam
persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam
persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat, sedang dalam ayat
ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk
memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan.

Selanjutnya secara luas dan menyeluruh, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
supaya berlaku adil, karena keadilan dibutuhkan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh
ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, berlaku adil adalah jalan
yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah. Akhir ayat ini menyatakan janji Allah
bahwa kepada orang yang beriman yang banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang
besar. Janji Allah pasti ditepati-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji." (Ali 'Imran/3:9).

C. QS. An Nur ayat 7-9

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa setelah suami mengucapkan empat kali sumpah itu, pada
kali kelima ia perlu menyatakan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah, bila ia berdusta dengan
tuduhannya itu. Redaksi pernyataan itu atau terjemahannya adalah:

(Laknat Allah ditimpakan atasku, apabila aku berdusta dalam tuduhanku itu) Dengan demikian,
terhindarlah ia dari hukuman menuduh orang berzina.

Tafsir Quraish Shihab: Pada kali kelima, ia harus menyebutkan bahwa jika ia kemudian terbukti bohong
dalam tuduhannya, ia akan menerima laknat dan tidak mendapat kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala
An-Nur Ayat 8

Terjemahan: Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.

Tafsir Jalalain: ‫ ْد َرُأ َع ْن َها‬Eَ‫( َوي‬Istrinya itu dapat dihindarkan) dapat mempertahankan dirinya ‫اب‬ َ ‫ َذ‬E‫( ا ْل َع‬dari
hukuman) hudud berzina yang telah dikuatkan dengan kesaksian sumpah suaminya yaitu ‫ َع‬Eَ‫ش َه َد َأ ْرب‬ ْ َ‫َأن ت‬
َ‫ت بِاهَّلل ِ ِإنَّهُ لَ ِمنَ ا ْلكَا ِذبِين‬
ٍ ‫ش َهادَا‬
َ (oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-
benar termasuk orang-orang yang dusta) dalam tuduhan yang ia lancarkan terhadap dirinya, yaitu tuduhan
melakukan zina.

Ayat ini menerangkan bahwa untuk menghindarkan istri dari hukuman akibat tuduhan suaminya itu,
maka ia harus mengajukan kesaksian mengangkat sumpah pula demi Allah empat kali yang menegaskan
kesaksiannya bahwa suaminya itu berbohong dengan tuduhannya. Redaksi sumpah dan terjemahannya
sebagai berikut:

(Demi Allah Yang Maha Agung, saya bersaksi bahwa sesungguhnya si anu ini, suamiku, adalah bohong
di dalam tuduhannya kepadaku bahwa saya telah berzina), Sumpah ini diulang empat kali.

Tafsir Quraish Shihab: Apabila pihak istri diam setelah mendengar sumpah yang dilakukan pihak
suami, maka ia berhak menerima sanksi zina. Untuk membela diri, pihak istri pun harus melakukan
sumpah sebanyak empat kali bahwa Allah mengetahui bahwa tuduhan zina yang dilontarkan suami
kepadanya adalah bohong.

Surah An-Nur Ayat 9

Terjemahan: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-
orang yang benar.

Dikhususkan kemarahan atas si istri karena biasanya seorang suami tidaklah menangkap aib keluarga
dan menuduh istrinya berzina, melainkan ia benar dalam tuduhannya. Si istri mengetahui kebenaran
tuduhan suaminya, oleh karena itu sumpah kelima terhadap dirinya adalah kemarahan Allah atasnya.
Orang yang berhak mendapat kemarahan Allah adalah orang yang mengetahui kebenaran kemudian ia
menyimpang darinya.

Pada ayat ini diterangkan bahwa setelah mengucapkan sumpah itu empat kali, pada kali kelima ia
harus menyampaikan penegasan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah bila suaminya itu benar dengan
tuduhannya kepadanya. Redaksi sumpah dan terjemahannya sebagai berikut: (Murka Allah ditimpakan
atasku apabila suamiku itu benar). Kalau suami istri telah mengucapkan sumpah dan sudah saling
melaknat (mulaanah) seperti itu, maka terjadilah perceraian paksa dan perceraian itu selama-lamanya,
artinya suami istri itu tidak dibenarkan lagi rujuk kembali sebagai suami istri untuk selama-lamanya,
sebagaimana dijelaskan oleh Ali dan Ibnu Mas’ud dengan katanya:

(Telah berlaku Sunnah (Nabi saw) bahwa dua (suami istri) yang telah saling melaknat, bahwa mereka
tidak boleh berkumpul lagi sebagai suami istri untuk selama-lamanya).

Ini, didasarkan hadis: Dua orang (suami istri) yang saling melaknat apabila telah bercerai keduanya tidak
boleh lagi berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya. (Riwayat ad-Daruquthni dari Ibnu
‘Umar).
Istri diberi oleh Allah hak untuk membela diri dari tuduhan suaminya menunjukkan bahwa Allah
menutup aib seseorang. Tetapi perlu diingat bahwa seandainya sang istri memang telah berzina, namun ia
membantahnya maka ia memang terlepas dari hukuman di dunia, tetapi tidak akan terlepas dari azab di
akhirat yang tentunya lebih keras dan pedih. Oleh karena itu, ia perlu bertobat maka Allah akan
menerimanya sebagaimana dimaksud ayat berikutnya.

BAB IX

SYARAT SYARAT SAKSI

A. QS. Al Baqarah ayat 282

Kandungan dalam surah dan ayat ini memberikan penjelasan dengan adanya perintah
membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka manusia
harus berusaha memelihara dan mengembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu bukan sesuatu yang dibenci Allah dan
dicela agama Islam. Bahkan Allah di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan
menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari,
memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw: "Harta
yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh." (Riwayat Ahmad dan ath-thabrani dari 'Amr bin
'Ash).
Yang dibenci Allah dan yang dicela oleh Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah swt dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai
budak harta. Seluruh kehidupan, usaha, dan pikirannya dicurahkan untuk menumpuk harta dan
memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya,
sehingga dia tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar. Rasulullah saw bersabda:

"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-
ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang, melengkapinya dengan alat-alat bukti,
sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi:

1. Bukti tertulis, "Bukti tertulis" hendaklah ditulis oleh seorang "juru tulis", yang menuliskan isi
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah:

a. Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang
lain.

b. Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian


dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada
pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi
antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. Juru
tulis dalam era modern sekarang ini diwujudkan dalam bentuk notaris/pencatat akte jual
beli dan utang piutang. Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil"
daripada sifat "berilmu", adalah karena sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis.
Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran
petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang,
dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.

Tugas juru tulis ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-
pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berutang mendiktekan kepada juru tulis
tentang sesuatu yang telah dipinjamnya, cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan
sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji, ialah agar
yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang, karena dengan tulisan
semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang
ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan.

Allah memperingatkan orang yang berjanji agar dia selalu menepati janjinya dengan baik.
Hendaklah dia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah diucapkan.
Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah
membantunya dalam kesukaran. Bila dia bersyukur, Allah akan selalu menjaga,
memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.
Jika orang yang berjanji itu, orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak sanggup
untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang
bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum
yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam
melaksanakan tugas perwalian itu. Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya"
ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak
sanggup mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.

2. Saksi, "Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Persaksian
termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk
menyelesaikan suatu perselisihan atau perkara.

Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-
laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang
perempuan. Mengenai syarat-syarat "laki-laki" bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai
berikut:

a. Saksi itu hendaklah seorang Muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan min rijalikum
(dari orang laki-laki di antara kamu) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan itu
dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim. Menurut sebagian ulama:
beragama Islam itu bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah.
Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat bukti, seandainya terjadi
perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang terlibat di kemudian hari. Karena itu
orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan
persaksian itu dapat tercapai.

b. Saksi itu hendaklah orang yang adil, tidak memihak sehingga tercapai tujuan
diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah:

“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ... (ath-thalaq/65: 2)
Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang
saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat
tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi
perempuan. Alasan yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan
masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing
mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu perkara lebih besar dari kesanggupan
pihak yang lain. Dalam bidang muamalah, laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan
dibandingkan dengan perempuan. Pada umumnya muamalah itu lebih banyak laki-laki yang
mengerjakannya. Karena perhatian perempuan agak kurang dibandingkan dengan perhatian
laki-laki dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun
agak kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkinan dia lupa,
karena itu hendaklah ada perempuan yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat
mengingatkannya.

Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani: laki-laki lebih banyak mengguna-kan pikiran dalam
menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan
perasaannya. Karena itu perempuan lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan
pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila dia dalam keadaan benci dan marah, dia
akan gembira atau sedih karena suatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, dia sanggup
tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah
memikirkannya dengan matang. ) Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak
menggunakan pikiran daripada perasaan. Seorang saksi dalam muamalah juga berfungsi sebagai
juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari.
Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad al-Jurjani dan keterangan-keterangan lainnya diduga
itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan seorang saksi laki-laki dengan dua orang
saksi perempuan.

Menurut Imam asy-Syafi'i: Penerimaan kesaksian seorang saksi hendaklah dengan bersumpah.
Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah saw yang menyuruh saksi mengucapkan sumpah
sebelum mengucapkan kesaksiannya. Sedang menurut Abu Hanifah: penerimaan kesaksian
seseorang tidak perlu disertai dengan sumpah. Dalam ayat ini disebutkan "janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil." Maksudnya ialah:

a. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila
kesaksian itu diperlukan.

b. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah
orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.

c. Hendaklah seorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila
tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi.

Diriwayatkan oleh ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi
di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang
bersedia.

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah: jangan
mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan
melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.

Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas
dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar,
dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut
"yang kecil" daripada "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng
dan mudah perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil). Orang yang
meremehkan perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil) tentu dia akan
menganggap enteng perjanjian yang terkait dengan hal-hal primer (besar). Dari ayat ini juga
dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan
hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang
sekunder/remeh.

Allah menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini,
ialah untuk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan
dan menghilangkan keragu-raguan. Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak
berdosa bila tidak ditulis. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak
menuliskan perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.
Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai, namun Allah memerintahkan
untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah di sini bukan wajib, hanyalah memberi
pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati hati di dalam muamalah.

Selanjutnya Allah memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan
perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah
satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya
perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak
yang lain.

Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu (al-Baqarah/2: 237)

Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian
adalah perbuatan orang fasik, dan tidak menaati ketentuan dari Allah. Pada akhir ayat ini
Allah memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri agar
selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada
manusia segala yang berguna baginya, yaitu cara memelihara harta dan cara
menggunakannya, sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang yang
membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala
sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan
itu.

B. QS Al Ma’arij ayat 3

Dari ayat ini dapat kita ketahui bahwa azab itu datang dari Allah pada waktu yang telah
ditentukan, dan jika datang, tidak seorang pun yang dapat menolaknya. Maksud perkataan “al-ma‘arij”
(mempunyai tangga) yang terdapat dalam ayat ini adalah bahwa azab datang dari Allah Yang Mahatinggi
dan Mahasempurna. Tidak ada sifat kekurangan sedikit pun pada Allah, dan kedatangan azab itu semata-
mata atas kehendak dan keputusan-Nya, bukan berdasarkan permintaan makhluk, seperti yang dilakukan
oleh an-Nadhr bin al-Harits itu. Dari ayat ini dipahami bahwa seakan-akan orang musyrik tidak
mengetahui kemuliaan dan kebesaran Allah. Seakan-akan kepada Allah, dapat dimintakan seluruh
kehendak dan keinginan mereka, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala-berhala.
BAB X

KETENTUAN JUMLAH SAKSI TERKAIT

KASUS PERDATA DAN PIDANA

A. QS. Al Maidah ayat 106

Kandungan yang ada pada ayat ini menjelaskan apabila seorang mukmin merasa perlu untuk
membuat wasiat mengenai harta benda, maka wasiat tersebut harus disaksikan oleh dua orang mukmin
yang adil dan mempunyai pendirian yang teguh, sehingga apabila di kemudian hari timbul persoalan yang
memerlukan kesaksian dari mereka maka dapat diharapkan bahwa mereka akan memberikan kesaksian
yang benar, dan tidak akan menyembunyikan sesuatu yang mereka ketahui mengenai wasiat itu.

Kemudian dijelaskan, bahwa apabila tidak terdapat dua orang saksi yang mukmin, misalnya ketika
orang yang akan berwasiat itu sedang berada dalam perjalanan, lalu ia mendapat musibah, dan merasa
ajalnya sudah dekat, maka ia boleh mengambil dua orang saksi yang bukan mukmin, akan tetapi harus
bersifat adil dan berpendirian teguh. Kedua orang yang akan dijadikan saksi itu diminta untuk menunggu
sampai sesudah salat. Para ulama mengatakan yang dimaksud "sesudah salat" itu adalah "sesudah salat
asar." Ini berdasarkan pada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan kebiasaan ini juga berlaku
dikalangan kaum Muslimin, karena pada saat-saat tersebut terdapat banyak orang-orang yang akan turut
menyaksikannya, sebab kebanyakan mereka telah selesai melakukan sebagian besar tugas yang biasa
dikerjakan di siang hari. Pada saat itulah biasanya hakim mengadakan sidang untuk memeriksa perkara-
perkara yang diajukan kepadanya. Apabila kedua saksi itu bukan orang-orang mukmin, maka yang
dimaksudkan dengan salat itu ialah salat yang dilakukan menurut agama mereka. Apabila kedua saksi itu
cukup dipercaya, maka kesaksian mereka atas wasiat tersebut tak perlu disertai dengan sumpah. Tetapi
apabila ahli waris dari orang yang berwasiat itu meragukan kejujuran saksi-saksi tersebut, maka saksi-
saksi itu diminta untuk mengucapkan sumpah guna menguatkan kesaksian mereka, sehingga dapat
diharapkan mereka akan benar-benar bertindak sebagai saksi yang jujur dan dapat dipercaya sepenuhnya.

Bunyi sumpah harus diucapkan oleh kedua saksi tersebut berdasarkan ayat berikut:
"Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan
kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-
orang yang berdosa." (al-Ma'idah/5: 106). Isi sumpah menunjukkan bahwa para saksi tersebut berikrar
tidak akan memperlakukan kesaksian itu seperti barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Mereka
tidak menyembunyikan kesaksian itu atau mengubahnya karena hendak mengharapkan sesuatu untuk
kepentingan pribadi. Mereka senantiasa akan memegang teguh kesaksian mereka walaupun akan
menimbulkan kerugian kepada salah seorang kerabat mereka. Mereka yakin betul, bahwa apabila mereka
menyembunyikan kesaksian mereka ketika kesaksian itu diperlukan, atau mengubahnya dengan kesaksian
yang palsu, mereka pasti berdosa dan akan mendapat azab dari Allah.

B. QS. An Nisa’ ayat 6

Yang mana penjelasan pada ayat tersebut mengenai anak yatim jika ia ingin menyerahkan harta anak
yatim tersebut. Hendaklah diadakan berupa saksi-saksi (tentang penyerahan harta-harta itu bagi mereka)
dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksiannya)

C. QS. Al Baqarah ayat 282

Dalam ayat tersebut terdapat penjelasan mengenai jumlah dan siapa saja yang akan menjadi saksi.
Yang mana jumlah saksi tersebut dua orang laki-laki. Dan jika kalua tidak ada dua orang saksi laki-laki
maka saksi tersebut harus satu orang laki-laki dan dua orang saksi perempuan untuk memenuhui dari
syarat menjadi saksi
BAB X1

PERSELISIHAN ANTARA SAKSI

QS. AL MAIDAH AYAT 107-108

Dalam ayat 107 ini menjelaskan, bahwa apabila dikemudian hari, setelah wafatnya orang yang
berwasiat itu, tampak tanda-tanda ketidakjujuran para saksi itu, misalnya sewaktu diminta kesaksiannya
mereka lalu memberikan kesaksian yang tidak benar, atau mengaku tidak menyembunyikan sesuatu dari
harta peninggalan yang dipercayakan kepada mereka oleh orang yang berwasiat itu, maka untuk mencari
penyelesaian dalam keadaan itu kewajiban untuk bersumpah dialihkan kepada ahli waris dari orang yang
telah meninggal yang memberikan wasiat itu. Untuk itu harus dicarikan dua orang lain yang terdekat
hubungan kekeluargaannya dengan orang yang berwasiat, yaitu yang paling berhak untuk menerima
warisannya, apabila ia memenuhi persyaratan untuk dapat menerima warisan. Seperti tidak berlainan
agama atau tidak tersangkut dalam kasus pembunuhan orang yang berwasiat.

Apabila kerabatnya yang terdekat itu ternyata tidak memenuhi persyaratan untuk dapat menerima
warisan, misalnya karena perbedaan agama dengan orang yang meninggalkan warisan, atau karena ia
tersangkut dalam kasus terbunuhnya yang berwasiat, maka dicarilah dua orang lainnya di antara ahli
waris itu yang paling utama untuk melakukan sumpah tersebut, dengan melihat usia, sifat, pengetahuan,
dan sebagainya.

Sumpah yang diucapkan oleh kedua orang ahli waris ini dimaksudkan untuk menguatkan tuduhan
terhadap kedua orang yang menerima wasiat itu, bahwa mereka telah berkhianat mengenai wasiat itu.
Juga untuk menguatkan, bahwa mereka adalah benar dalam melakukan tuduhan itu, dan tidak melampaui
batas; artinya: tuduhan itu bukan tuduhan sembarangan dan tidak beralasan. Kemudian diakhiri pula
dengan penegasan, bahwa apabila mereka melakukan tuduhan atau kesaksian yang tidak benar, maka
niscaya mereka termasuk orang-orang yang zalim.

Dalam ayat 108 ini dijelaskan, bahwa cara dan isi sumpah seperti yang disebutkan di atas, adalah
merupakan jalan yang lebih dekat kepada kebenaran, yang dapat mendorong orang-orang yang
bersumpah itu, (baik penerima wasiat, maupun ahli waris dari yang bersumpah itu) agar mereka
memberikan kesaksian yang benar, penuh rasa tanggung jawab, serta mengagungkan Allah (yang nama-
Nya disebut dalam sumpah mereka) dan untuk lebih berhati-hati dalam memelihara wasiat dan kesaksian
itu agar terhindar dari azab dan kemurkaan Allah, dan agar sumpah itu tidak dialihkan kepada orang lain
akibat ketidakjujurannya.
Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan hamba-Nya, agar mereka bertakwa kepada-Nya,
memegang amanah dan kesaksian, dan suka mendengarkan serta memperhatikan semua petunjuk dan
ketentuan-Nya, untuk kemudian dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan pula
tentang kebiasaan orang-orang fasik, yaitu orang-orang yang tidak mau memegang teguh kebenaran dan
keadilan, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar.Perlu dijelaskan, bahwa setelah
bersumpah kedua orang ahli waris tersebut yang maksudnya untuk menyatakan ketidakjujuran kedua
penerima wasiat tadi, maka harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang telah memberikan wasiat itu
diserahkan semuanya kepada ahli waris, untuk mereka bagikan menurut bagian masing-masing, di
samping melaksanakan wasiat yang sebenarnya dan hutang-hutang serta kewajiban-kewajiban yang lain.
BAB XII

PENGUNDIAN PADA SAAT SULIT

A. QS. Al Imran ayat 44

Beberapa kisah yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an itulah sebagian dari berita-berita
gaib yang besar dan agung yang Kami wahyukan kepadamu, Nabi Muhammad, padahal engkau
tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena, suatu alat untuk mengundi. Dengan alat
itu, mereka mengundi siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun
tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar untuk memperoleh kemuliaan tersebut yaitu
pengasuhan Maryam.

Ayat ini ditutup dengan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad bahwa cerita itu
termasuk cerita yang belum diketahuinya, sedang hal itu sesuai dengan isi Kitab Taurat. Allah
menyatakan dalam ayat ini bahwa apa yang telah dikisahkan, yaitu kisah Maryam dan Zakaria
adalah kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi Muhammad saw, atau keluarganya,
dan tidak pula Muhammad pernah membacanya dalam suatu kitab, serta tidak pula diajarkan
oleh seorang guru. Itulah wahyu, yang diturunkan Allah kepadanya dengan perantara Ruhul-
Amin, untuk menjadi bukti atas kebenaran kenabiannya, dan untuk mematahkan hujjah
(argumentasi) orang yang mengingkarinya.
Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Nabi Muhammad, belum ada dan tentu saja
tidak menyaksikan mereka ketika mengadakan undian di antara Zakaria dengan mereka, untuk
menetapkan siapa yang akan mengasuh Maryam. Nabi Muhammad saw tidak hadir dalam
perselisihan mereka untuk mengasuh Maryam. Mereka terpaksa mengadakan undian untuk
menyelesai-kan perselisihan itu. Mereka yang berselisih adalah orang-orang terkemuka yakni
para pendeta mereka. Perselisihan itu semata-mata didorong oleh keinginan yang besar untuk
mengasuh dan memelihara Maryam. Boleh jadi keinginan ini disebabkan karena bapaknya yaitu
Imran adalah pemimpin mereka, sehingga mereka mengharapkan akan mendapatkan berkah dari
tugas mengasuh Maryam. Boleh jadi pula disebabkan mereka mengetahui dalam kitab-kitab
agama, bahwasanya kelak akan terjadi peristiwa besar bagi Maryam dan putranya. Atau mungkin
disebabkan mereka berpendapat bahwa mengasuh bayi perempuan itu adalah suatu kewajiban
agama, karena bayi itu dinazarkan untuk mengabdi di Baitulmakdis.
Ayat ini diletakkan sesudah menerangkan kisah Maryam tersebut, adalah untuk
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membaca cerita keluarga Imran (Bani Israil),
karena beliau seorang ummi. Lagi pula beliau tidak pernah mendengar dari seseorang sebab
beliau juga hidup waktu itu di tengah-tengah orang yang ummi. Tidak ada jalan bagi Nabi, untuk
mengetahui seluk beluk cerita ini kecuali dengan jalan menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
atau dengan jalan wahyu. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri adalah suatu hal yang
mustahil, karena peristiwa itu terjadi pada zaman sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. Kalau
demikian tentulah Nabi Muhammad mengetahuinya dengan jalan wahyu.
Para Ahli Kitab yang mengingkari Al-Qur'an mengatakan bahwa isi Al-Qur'an yang
sesuai dengan isi Kitab mereka itu adalah berasal dari kitab mereka, sedang yang bertentangan
dengan isi kitab mereka itu mereka katakan tidak benar. Isi Al-Qur'an yang tidak terdapat dalam
Kitab mereka juga dianggap tidak benar. Sikap demikian itu hanyalah karena sifat sombong dan
sifat permusuhan mereka.

B. QS. Al Ashaffat ayat 141

Kandungan yang terdaapat ayat ini berupa adanya Karena pengundian yang dilakukan pada
orang-orang terdahulu. Yang begitu kerasnya sikap kaum Nabi Yunus terhadap ajakan untuk memeluk
agama tauhid, Nabi Yunus marah, lalu mengancam mereka bahwa tidak lama lagi mereka akan ditimpa
bencana sebagai hukuman dari Allah. Ia kemudian meninggalkan mereka dan tidak lama kemudian
ancaman itu memang terbukti, karena mereka telah melihat tanda-tanda azab itu dari jauh berupa awan
tebal yang hitam. Sebelum azab itu sampai, mereka keluar dari kampung mereka bersama istri-istri dan
anak-anak mereka menuju padang pasir. Di sana mereka bertobat dan berdoa agar Allah tidak
menurunkan azab-Nya. Tobat mereka diterima oleh Allah dan doa mereka dikabulkan, sebagaimana
dinyatakan dalam ayat lain:

“Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat
kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka
azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu
tertentu. “(Yunus/10: 98)

Sementara itu, Nabi Yunus dalam pelariannya menumpang pada sebuah kapal yang sarat muatan
barang dan penumpang. Di tengah laut kapal diterpa gelombang besar, yang dipercayai mereka sebagai
suatu tanda bahwa ada seorang budak pelarian di dalam kapal itu. Orang itu harus diturunkan. Karena
tidak ada yang mau terjun ke laut secara sukarela, diadakanlah undian dengan melemparkan anak-anak
panah sebagaimana kebiasaan masyarakat waktu itu. Siapa yang anak panahnya menancap berarti ia kalah
dan harus terjun ke laut. Dalam undian itu yang menancap anak panahnya adalah anak panah Nabi Yunus.
Namun para penumpang tidak mau melemparkan beliau ke dalam laut secara paksa karena mereka hormat
kepadanya. Diadakanlah undian sekali lagi, tetapi yang kalah tetap Nabi Yunus. Diadakan sekali lagi,
juga demikian. Akhirnya Nabi Yunus sendiri membuka bajunya, dan terjun ke laut.. lalu Allah
memerintahkan seekor ikan amat besar menelan Nabi Yunus, tetapi tidak memakannya. Dalam perut ikan
besar itu tentu saja Nabi Yunus menderita. Ia merasa terpenjara. Ia merasa tersiksa karena telah
meninggalkan kaumnya. Lalu ia kemudian bertobat.

Anda mungkin juga menyukai