Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Muttafaq


Sumber hukum fiqih yang disepakati Sumber dalil yang disepakati, seperti yang
dikemukakan ‘Abd. Al-majid Muhammad al-khafawi, ahli hukum islam berkebangsaan
mesir, ada 4 (empat) yaitu Al-Quran,  Assunah rasul, ijma dan
Hadis. Mengenai  keharusan berpegang terhadap empat sumber tersebut dapat dipahami
dari ayat 59 surat An-Nisa :
  ‫ول ان‬,,‫يا ايها الذين ءامنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واولي االمر منكم فان تنا زعتم في شيء فردوه الى هللا والرس‬
‫كنتم تومنون باللهوليوماالحرذلك خيرواحسن تا وي‬
artinya ; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taaolah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah
ia keada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa 4;59).
Perintah menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al-
Quran dan Asunnah Rasulullah, sedangkan perintah untuk ulil amri, menurut Abdul-
Wahhab Khallaf, ia perintahkan mengikuti ijma, yaitu hukum-hukum yang telah
disepakati para mujtahiddin, karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin) kaum muslim
yang dalam hal pembentukan hukum-hukum islam. Dan perintah untuk mengembangkan
kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya
ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas itulah terlaksana perintah
mengembalikan suatu permasalahan kepda Al-Quran dan Sunnah Rasullah. Berikut ini
secara ringkas akan dijadikan masing-masing dari empat dalil tersebut.
B. Macam-Macam Hukum Muttafaq
1. Al-Quran
Pengertian Al-Quran dalam kajian Ushul Fiqih merupaka objek pertama dan
utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-quran menurut
bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqih Al-Quran berarti “kalam
(perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab serta dianggap beribadah
membacanya.”Al-Quran mulai diturunkan dimekah, tepatnya di gua hirah pada tahun
611 M, dan berakhir dimadinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang 22 tahun
beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan dalam ayat 1 sampai dengan ayat 5 surat Al-
Alaq. SedAngkan tentang ayat yang terakhir diturunkan para ulama berpendapat , dan
dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-syuti (w.911
H)  seorang ahli ilmu Al-Quran, dalam kitabnya al-itqan Fi Ulum Al-Qur’an, yang
dinuklikan dari Ibnu Abbas adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Menurut jalaluddin As-suyuti, setelah ayat ini diturunkan, Rasullulah masih
hidup sembilan malam kemudian beliau wafat ada hari senin 3 bulan Rabi’ al-awwal.
Dengan turunnya ayat tersebut , berarti berakhirlah turunnya wahyu. Kitab Al-
Qur’an  kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dibacakan secara
muttawatir, artinya kumpulan wahyu, firman-firman Allah yag diurunkan kepada nabi
Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Adapun yag
dipindahkan tidak secara mutawatir, tidak dinamakan Al-Quran, karena Al-Quran
sesempurn-sesempurna seruannya dan keadaannya perkataan Allah SWT, yang
mengandung hukum-hukum syara, da  menjadi mukjizat bagi nabi, maka mustahil
apabila al-quran dipindahkan tidak secara muttawatir.
Al-Quran yang terdiri dari 30 Juz, 540 Ruku, dan 7 manzilah dan 114 surat
sedangkan ayatnya 6666 ayat menurut resmi dibuatkan dalam buku-buku lain menurut
metri dalam negeri  mesir  bilangan ayat aAl-Quran yang terdapat dalam Mushaf
Usmaniy adalah 6236. Sedangkan dalam kalimatnya 77.934 kalimat, dan menurut
pendapat ulama lain 77.437 kaimat. Dengan banyak hurufnya menurut Ibnu Abbas
berjumblah 323.671 huruf. Jumlah surat Al-Quran yang terdiri dari 114 surat itu, 86
diantaranya turun dimekkah disebut ayat makkiyah dan 28 surat turun setelah hijrah
kemadinah disebut madaniyyah. Ciri-ciri ayat makkiyah pendek-pendek tetapi penih
dengan retorika dan dinamitaraf revolusi kaum muslimin dalam perjuangan sebaliknya
ayat-ayat madaniyah panjang-panjang dan lebih banyak ditujukan kepada masyarakat
dan undang-undang masyarakat.
Kitabullah : Al-Quranulkarim merupakan Kitabullah (QS. 2:1-2)
yang  diwahyukan kepada Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad SAW. Ia berisi
pengetahuan (ilmu) Q.S. 7:52) yang disampaikan oleh Allah serta petunjuk (Al-Huda)
Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman dan buatkan benar iman dan berbuat beriman dan
berbuat benar untuk seluruh masa yang akan datang. Ia merupakan penjelasan
(Banyan) (Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman dan berbuat benar untuk seluruh masa
yang akan datang. Ia merupakan penjelasan (Bayan) (Q.S. 3:138) atas kebenaran
(yang telah diwahyukan Allah) dan cahaya (Nur) (Q.S. 10-57) dan pesan yang tuntas
(Al-Balagh) (Q.S. 14:52). Ia merupakan jalur penghubung kepada Allah (Habllulah)
(Q.S. 3:103) yang dnegan berpegang teguh padanya maka semua orang dan
masyarakat akan mencapai keselamatan hidup.  Ia merupakan obat (Al-Syifa) (Q.S.
17:82) bagi semua penyakit rohani manusia. Ia merupaka penginggat yang mantap
hingga akhir zaman (Al-Dzikir) (Q.S.21:50) Bagi Kita Semua Sehingga Para Nabi Tak
akan lagi diutus untuk membimbing kita. Dan ia, al-qurannulkarim, bersifat sebagai
pembeda (Al-furqan) (Q.S.25:1) untuk membedakan dan memilih antara yang benar
dan salah, antara hak dan batil.
Sebagai wahyu yang terakhir diturunkan oleh Allah merupakan penjelasan dari
Wahyu ilahi yang paling indah (Ahsala Hadits) (Q.S. 39:23) dan firman Tuhan yang
mengandung kebijaksanaan (Hikmah) (Q.S. 43:4) .Alquran berisi tata perilaku bagi
setiap orang yang beriman perintah (Amr) dan peringatan (Tadzkirah) (Q.S. 69:48)
baginya, ajaran-ajarannya jelas (Mubin) (Q.S. 43:2)  luhur (Ali) (Q.S. 43:4) dan penuh
kberkahan (mubarak) ada yang sangat pendek. (seperti kitabna orang Budha) atau
sangat panjang (seperti Bible), sedangkan Alquran tidak sangat panjang dan tidak pula
terlalu singkat. Alquran adalah simpanan yang sangat berharga, pegangan dan asas
agama islam. Allah menitipkan ilmu segala sesuatu didalamnya dan menjelaskan jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat. Ia merupakan sumber hikmah, bukti
kerasulullah, cahaya penghliatan dan kecerdasan . Orang yang mengetahui dengan
sebenarnya berarti ia mengetahui selueurh syariat. Allah berfirman :
‫و نز لنا عليك ا لكتب تبينا لكل شئ ء‬
Artinya : dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu. (An-Nahl: 89)
Allah ta’ala berfirman :
Tiadalah kami alpakan sesuatu di dalam Al-Kitab (Al-Quran). (Al-An’am: 38)
Ibn Mas’ud berkata : “Apabila kamu sekalian mengkhendaki ilmu pengetahuan, maka
memuliakan Al-Quran, karena di dalam terdapat ilmu orang-orang kemudian. Akan tetapi,
pengetahuan Al-Quran terhadap hukum mayoritasnya bersifat universala, tidak persial,
melainkan global (tidak rinci). Maka untuk mengetahui hakikat-hakikatnya membutuhkan
sunnah yang dapat menjelaskan apa-apa kurang jelas (samar). Karena hal tersebut, maka
Allah memuliakan umat ini, yaitu dimana mereka menggunakan akal pikiran mereka, dan Al-
Quran tidak mengerjakan hukum persial secara rinci sebagaimana halnya pada umat-umat
terdahulu. Hal ini juga karena penghapusan (nasakh) setelah menetapkannya dan tidak pula
terkena perubahan.
Di samping memberi petunjuk kepada umat manusia tentang mana yang baik dan
mana yang buruk, Alquran juga diturunkan untuk membebaskan umat manusia dari semua
perbuatan dan fikiran-fikiran deskruktif lainnya, sehingga dengan demikian manusia dapat
melibatkan diri dalam problem-problem sosial yang rill dan di dalam perkembangan
humanisme. Ia tidak meninggalkan suatu masalah pokok tanpa membicarakannya, suatu
tindakan baik tanpa menganjurkannya, dan suatu hukum masyarakat tanpa menjelaskan. Salah
satu keistimewaan Alquran adalah bahwa lafaz dan maknanya langsung dari Allah Swt.
Alquran memaparkan kebenaran-kebenaran universal yang berkaitan dengan masalah
hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan khaliknya dengan
bahasa yang mudah dimengerti oleh orang-orang Arab dengan latar belakang intelektual yang
mereka miliki. Orang-orang Asingpun dapat dengan mudah menafsirkannya. Sebagai wahyu
Allah yang disamping kepada manusia secara pasti (qath’i) yang tidak ada keraguan
sedikitpun didalamnya, ketentuan-ketentua Alquran merupakan hukum yang wajib ditaati dan
tidak boleh diganti dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Ia dijadikan pedoman dalam
kehidupan manusia itu sendiri (Q.S.Baqarah :2).
2. As-Sunnah
            Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang
baik ataupun perilaku yang buruk”. Menurut istilah Ushul-Fiqih, Sunnah Rasullulah, seperti
yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khitab (Guru Besar Hadis Universitas
Damaskus), berarti “segala perilaku Rasullulah yang berhubungan dengan hukum, baik
berupa ucapan (Sunnah). Sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji.
Sedangkan menurut istilah agama yaitu perakataan nabi, perbuatannya dan taqririnya (yakni
ucapan) Dan perbuatan sahabat yang beliau yangdinamakan dengan arti membenarkannya).
Dengan demikian sunnah nabi dapat berupa;
Sunnah Qauliyah (perkatan), Sunnah Fi’iliyah (perbuatan) Sunnah Taqririyah (ketetapan).
a. Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah atau sering juga dinamakan kabar ataau berita yang
diucapkan oleh nabi berupa sabda-sabdanya di hadaapan para sahabatnya (yakni orang
muslim yang hidup dimasa Nabi dan pernah mendengar ucapannya). Sunnah qauliyah
dapat dibagi atas 3 bagian :
1) Yakni benarnya seperti kabar yang datang dari Allah dan rasulnya yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercayai dan kabar-kabar mutawatir.
2) Diyakini dustanya seperti kabar yag berhimpun antara dua yang berlawanan dan
kabar yang menyalahi dai ketentuan-ketentuan syara  seperti bid’ah-bid’ah
sayyiah,
3) Yang tidak diyakini kebenaranya dan dustanya yang terdiri dari 3 macam : Tidak
kuat benarnya dan tidak kuat dustanyal seperti berita yang disampaikan oleh orang
bodoh. Kabar yang kuat dustanya dari kebenaranya seperti berita yang
disampaikan dari benarnya seperti beriya yang disampaikan oleh orang fasik
(yakni orang ang mengakui peratiran-peraturan islam tapi kurang
mengindahkannya). Kabar yang kuat benarnya dari dustanya \, seperti kabar yang
disampaikan oleh orang yang adil (dipercaiai) .
b. Sunnah fi’iliyah
Sunnah fiiliayh ialah tiap-tiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi,
sunnah fi’iliyah terbagi kepada lima bentuk yaitu :
1) Nafsu yang dikendalikan oleh keingginan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan
anggota badan dan gerakan badan, sunnah fi’iliyah yang seperti ini menunujukan
kepada mubah atau (boleh).
2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadat seperti berdirih, duduk dan lain-
lainnya.
3) Perangai yang membawa kepada syara menurut kebiasaan yang baik dan tertentu,
seperti makan, minum, berpakaian dan tidur.
4)  Sesuatu yang tertentu kepada nabi saja, seperti beristri lebih dari empat orang,
5) Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujnal (samar-samar) seperti penjelasan
perbuatan haji dan umroh perbuatan sembahyang yang lima waktu (fardhu) dan
sembahyang khusuf (gerakan).
c. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah ialah tentang nabi mencegah apa yang dikatakan seseorang
atau apa yag diperbuat oleh seseorang atau dimasanya, dengan arti perkataan-
perkataan atau perbuaan-perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau tidak dicegahnya
dan tidak dilarangnya. Jadi ketetapan nabi atas perkataan sama dengan perkataannya
dan atas perbuatanya, begitu juga perkataan dan perbuatan yang tidk dapat beliau
sedangkan dia mengetahui hal-hal tersebut, seperti tidak dibantahnya, maka hukumnya
sama dengan hukum perkataan atau perbuatan dihadapannya.
Sebagimana kewenangan Alquran sebagi sumber pertama dan utama dalam
syariah, maka Al-Hadits dan As-sunah pun memiliki kewenangan serupa kedua yang
tak kalah pentingnya dalam menafsirkan Alquran Hal ini dinyatakan oleh Alquran
sendiri. Beliau SAW juga telah bersabda :
‫ا الؤانى قداؤتئتالقر ان ؤمثلهمعه‬
artinya : “sungguh aku telah diberi alqura dan yang serupa itu (yaitu asunnah)
bersamanya (H.R.bukhari)
Hadis menempati urutan kedua dalam sistem sumber-sumber  hukum Islam. Ia
berfungsi sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar, membatasi
keumuman nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata disebut
Alquran.  Sebenarnya, dari satu segi, hadis dapat juga dikatakan sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa hukum yang tidak disebut didalam
Alquran , seperti masalah memberi warisan kepada nenek  perempuan. Namun dilihat dari sisi
lain, ia telah terlihat sebagai sumber hukum tersendiri, karena fungsinya sebagai tabyin, tidak
akan membebaskannya dari aturan-aturan Alquran itu sendiri disamping apa yang diucapkan
dan diperbuatan oleh nabi tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Namun
demikian ulama, tetap melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua, mengikuti status Nabi
yang berfungsi sebagian pembuatan Syariat (syara), di samping Allah. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Quran Al-Karim pada umumnya bersifat kulli. Penjelasan-
penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan dalam Al-Sunnah. Sunnah yang
terakhir bisa jadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi
beliau diam dan tak beri komentar apa-apa kepada nabi yang berkaitan dengan Hukum.
Hadis/sunnah  menempati urutan kedua dalam sistem sumber-sumber  hukum Islam.
Ia berfungsih sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar, mmebatsi
keumuman nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata disebut Alquran.
Sebenarnya, dari satu segi, hadis/sunnah  dapat juga dikatan sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa hukum yang tidak disebut didalam
Alquran , seperi masalh memberi warisan kepada nenek  perempuan. Namun dilihat dari sisi
lain, ia telah terlihat sebagai sumber hukum tersendiri, karena fungsihnya sebagai tabyin,
tidak akan membebaskannya dari aturan-aturan Alquran itu sendiri disamping apa yang
diucapkan dan diperbuatan oleh nabi tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Namun demikian ulama, tetap melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua, mengikuti
status Nabi yang berfungsih sebagian pembuatan Syariat (syara), di samping Allah.
3. Ijma
Kedudukan ijma yang menempatkan salah satu dalil hukum sesudah Al-Quran
dan Hadis mempunyai arti bahwa ijma dapat menempatkan hukum yang mengingkari
apabila tidak ada kesepakatan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Secara
etimologi, ijma mengandung dua arti. Pertama ijma yang bermakna ijma yang
bermakna ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu.  Kedua ijma bermakna
kesepakatan. Dari dua pengertian harfiah di atas, prinsip adapat terdapat perbedaan.
Bila menggunakan makna pertama, maka subjek ijma hanya seorang, tetapi dengan
menggunakan makna, ijma harus melibatkan lebih dari seorang.
Ijma adalah kesepakatan pendapat para mujtahid pada suatu masa tentang
suatu hukum Syara’ yang baru setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ijma dapat
dijadikan hujah / peganggan pada maalah yang tidak didapati dalil Nash Alq’an atau
hadis. Ijma harus telah menjadi kesepakatan para ulama dan tidak menyalahi Alquran
dan Hadis. Sebagaimana para ulama berpendapat bahwa nilai kehujaan Ijma’ adalah
Dzoni (sangkaan) bukan Qoth’i (pasti). Oleh karena itu Nilai Ijma’ adalah dzonni,
maka Ijma, dapat dijadikan hujah/pegangan dalam urusan amal bukan dalam urusan
I’tiqod, sebab urusan I’tiqod harus dengan dalil yang qot’hi. Terjadinya Ijma Serta
Ijma Menurut Pendapat Para Ulama ada 2 yaitu :
a. Ijma qathiy. Yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menentapkan hukum suatu
masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma qath’iy ini dapat dijadikn dalil (alasan)
dalam menentapkan hukum suatu masalah.
b. Ijma sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menentapkan hukum suatau
masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau tenang
(diam) salah seorang diantara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.
4. Qiyas
Dalil yang keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi Qiyas menurut
bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain diketahui adanya
persaman antara keduanya. Qiyas adalah salah satu kegiatan jihad yang tidak
ditegaskan dalam Al-Quran dan Asunna. Adapun Qiyas dilakukan seorang mujtahid
dengan meneliti logis (‘illat) dan rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula
keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran
atau Sunnah Rasullulah. Bila benar kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa
hukumannya juga sama. begitulah dilakukan pada setiap praktis Qias
Dalam bahasa ketauhidan yang islami, Al-Qiyas dapat didefensikan sebagai
analogi atau deduksi analogis. Dengan kata lain, Al-Qiyash merupakan prinsip hukum
yang diperkenalkan untuk memperoleh kesimpulan logis dari suatuhuikum tertentu
Atas suatu masalah tertentu yang harus dilakukan untuk keselamatan kaum muslimin.
Walaupun begitu, dalam pelaksanannya, ia harus didasarkan pada Alquran, Asunnah
dan Ijma.
Prinsip hukum ini diperkenalkan oleh Imam Abu hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, di Iraq. Alasan kenapa ia memperkenalkannya tidak berhubungan dengan
tujuan mengendalikan kebebasan berfikir dan mendiskriminasi masyarakat dari
pokok-pokok hukum Islam. Selama masa Abbasiyah masyarakat tengah berusaha
membaca berbgai buku teks tentang filosofi logika, etimologi, kebahasaan yakni,
karya sastra dari berbagai daerah, dan buku-buku teks dari luar yang sedikit banyak
cenderung merusak pemikiran mereka dengan mengakibatkan kesesatan.
Sebenarnya Qiyas merupakan merupakan bentuk utama yang dipkai oleh para
mujtahid menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya disebabkan
oleh nash secara tegas. Dalam peristilahan usul Fiqih, qiyas diartikan sebagai uapaya
penghubungkan (menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan
hukumnya dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya disebut
oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas keadaan ilat
antara dua peristiwa yang bersangkutan.
Salah satu contohnya dari penetapan hukum dengan jalan qiyas adalah
melakukan transaksi bisnis diatas azan Jum’at dikumandangkan. Dalam surat Al-
Jumu’ah (62): 9 disebutkan bahwa umat islam dilarang (makruh) melakukan jual beli
tegas dan disebut secara nyata dalam nash dengan ilat bahwa perbuatan tersebut
melalaikan sembahyang. Adapula transaksi-transaksi bisnis lainnya, seperti perikatan-
perikatan gadai sewa-menyewa, dan lain-lainnya yang dilakukan pada waktu tersebut,
tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Namun, ilat dari peristiwa-peristiwa
tersebut sama dengan illat jual beli sebagaimana disebut diatas, yaitu melalaikan
shalat. Oleh karenanya, hukum transaksi gadai dan sewa menyewa diatas adalah sama
dengan jual beli itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai