Sumber hukum fiqih yang disepakati Sumber dalil yang disepakati, seperti yang dikemukakan ‘Abd. Al-majid Muhammad al-khafawi, ahli hukum islam berkebangsaan mesir, ada 4 (empat) yaitu Al-Quran, Assunah rasul, ijma dan Hadis. Mengenai keharusan berpegang terhadap empat sumber tersebut dapat dipahami dari ayat 59 surat An-Nisa : ول ان,,يا ايها الذين ءامنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واولي االمر منكم فان تنا زعتم في شيء فردوه الى هللا والرس كنتم تومنون باللهوليوماالحرذلك خيرواحسن تا وي artinya ; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taaolah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia keada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa 4;59). Perintah menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al- Quran dan Asunnah Rasulullah, sedangkan perintah untuk ulil amri, menurut Abdul- Wahhab Khallaf, ia perintahkan mengikuti ijma, yaitu hukum-hukum yang telah disepakati para mujtahiddin, karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin) kaum muslim yang dalam hal pembentukan hukum-hukum islam. Dan perintah untuk mengembangkan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas itulah terlaksana perintah mengembalikan suatu permasalahan kepda Al-Quran dan Sunnah Rasullah. Berikut ini secara ringkas akan dijadikan masing-masing dari empat dalil tersebut. B. Macam-Macam Hukum Muttafaq 1. Al-Quran Pengertian Al-Quran dalam kajian Ushul Fiqih merupaka objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-quran menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqih Al-Quran berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab serta dianggap beribadah membacanya.”Al-Quran mulai diturunkan dimekah, tepatnya di gua hirah pada tahun 611 M, dan berakhir dimadinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang 22 tahun beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan dalam ayat 1 sampai dengan ayat 5 surat Al- Alaq. SedAngkan tentang ayat yang terakhir diturunkan para ulama berpendapat , dan dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-syuti (w.911 H) seorang ahli ilmu Al-Quran, dalam kitabnya al-itqan Fi Ulum Al-Qur’an, yang dinuklikan dari Ibnu Abbas adalah ayat 281 surat al-Baqarah. Menurut jalaluddin As-suyuti, setelah ayat ini diturunkan, Rasullulah masih hidup sembilan malam kemudian beliau wafat ada hari senin 3 bulan Rabi’ al-awwal. Dengan turunnya ayat tersebut , berarti berakhirlah turunnya wahyu. Kitab Al- Qur’an kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dibacakan secara muttawatir, artinya kumpulan wahyu, firman-firman Allah yag diurunkan kepada nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Adapun yag dipindahkan tidak secara mutawatir, tidak dinamakan Al-Quran, karena Al-Quran sesempurn-sesempurna seruannya dan keadaannya perkataan Allah SWT, yang mengandung hukum-hukum syara, da menjadi mukjizat bagi nabi, maka mustahil apabila al-quran dipindahkan tidak secara muttawatir. Al-Quran yang terdiri dari 30 Juz, 540 Ruku, dan 7 manzilah dan 114 surat sedangkan ayatnya 6666 ayat menurut resmi dibuatkan dalam buku-buku lain menurut metri dalam negeri mesir bilangan ayat aAl-Quran yang terdapat dalam Mushaf Usmaniy adalah 6236. Sedangkan dalam kalimatnya 77.934 kalimat, dan menurut pendapat ulama lain 77.437 kaimat. Dengan banyak hurufnya menurut Ibnu Abbas berjumblah 323.671 huruf. Jumlah surat Al-Quran yang terdiri dari 114 surat itu, 86 diantaranya turun dimekkah disebut ayat makkiyah dan 28 surat turun setelah hijrah kemadinah disebut madaniyyah. Ciri-ciri ayat makkiyah pendek-pendek tetapi penih dengan retorika dan dinamitaraf revolusi kaum muslimin dalam perjuangan sebaliknya ayat-ayat madaniyah panjang-panjang dan lebih banyak ditujukan kepada masyarakat dan undang-undang masyarakat. Kitabullah : Al-Quranulkarim merupakan Kitabullah (QS. 2:1-2) yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad SAW. Ia berisi pengetahuan (ilmu) Q.S. 7:52) yang disampaikan oleh Allah serta petunjuk (Al-Huda) Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman dan buatkan benar iman dan berbuat beriman dan berbuat benar untuk seluruh masa yang akan datang. Ia merupakan penjelasan (Banyan) (Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman dan berbuat benar untuk seluruh masa yang akan datang. Ia merupakan penjelasan (Bayan) (Q.S. 3:138) atas kebenaran (yang telah diwahyukan Allah) dan cahaya (Nur) (Q.S. 10-57) dan pesan yang tuntas (Al-Balagh) (Q.S. 14:52). Ia merupakan jalur penghubung kepada Allah (Habllulah) (Q.S. 3:103) yang dnegan berpegang teguh padanya maka semua orang dan masyarakat akan mencapai keselamatan hidup. Ia merupakan obat (Al-Syifa) (Q.S. 17:82) bagi semua penyakit rohani manusia. Ia merupaka penginggat yang mantap hingga akhir zaman (Al-Dzikir) (Q.S.21:50) Bagi Kita Semua Sehingga Para Nabi Tak akan lagi diutus untuk membimbing kita. Dan ia, al-qurannulkarim, bersifat sebagai pembeda (Al-furqan) (Q.S.25:1) untuk membedakan dan memilih antara yang benar dan salah, antara hak dan batil. Sebagai wahyu yang terakhir diturunkan oleh Allah merupakan penjelasan dari Wahyu ilahi yang paling indah (Ahsala Hadits) (Q.S. 39:23) dan firman Tuhan yang mengandung kebijaksanaan (Hikmah) (Q.S. 43:4) .Alquran berisi tata perilaku bagi setiap orang yang beriman perintah (Amr) dan peringatan (Tadzkirah) (Q.S. 69:48) baginya, ajaran-ajarannya jelas (Mubin) (Q.S. 43:2) luhur (Ali) (Q.S. 43:4) dan penuh kberkahan (mubarak) ada yang sangat pendek. (seperti kitabna orang Budha) atau sangat panjang (seperti Bible), sedangkan Alquran tidak sangat panjang dan tidak pula terlalu singkat. Alquran adalah simpanan yang sangat berharga, pegangan dan asas agama islam. Allah menitipkan ilmu segala sesuatu didalamnya dan menjelaskan jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Ia merupakan sumber hikmah, bukti kerasulullah, cahaya penghliatan dan kecerdasan . Orang yang mengetahui dengan sebenarnya berarti ia mengetahui selueurh syariat. Allah berfirman : و نز لنا عليك ا لكتب تبينا لكل شئ ء Artinya : dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (An-Nahl: 89) Allah ta’ala berfirman : Tiadalah kami alpakan sesuatu di dalam Al-Kitab (Al-Quran). (Al-An’am: 38) Ibn Mas’ud berkata : “Apabila kamu sekalian mengkhendaki ilmu pengetahuan, maka memuliakan Al-Quran, karena di dalam terdapat ilmu orang-orang kemudian. Akan tetapi, pengetahuan Al-Quran terhadap hukum mayoritasnya bersifat universala, tidak persial, melainkan global (tidak rinci). Maka untuk mengetahui hakikat-hakikatnya membutuhkan sunnah yang dapat menjelaskan apa-apa kurang jelas (samar). Karena hal tersebut, maka Allah memuliakan umat ini, yaitu dimana mereka menggunakan akal pikiran mereka, dan Al- Quran tidak mengerjakan hukum persial secara rinci sebagaimana halnya pada umat-umat terdahulu. Hal ini juga karena penghapusan (nasakh) setelah menetapkannya dan tidak pula terkena perubahan. Di samping memberi petunjuk kepada umat manusia tentang mana yang baik dan mana yang buruk, Alquran juga diturunkan untuk membebaskan umat manusia dari semua perbuatan dan fikiran-fikiran deskruktif lainnya, sehingga dengan demikian manusia dapat melibatkan diri dalam problem-problem sosial yang rill dan di dalam perkembangan humanisme. Ia tidak meninggalkan suatu masalah pokok tanpa membicarakannya, suatu tindakan baik tanpa menganjurkannya, dan suatu hukum masyarakat tanpa menjelaskan. Salah satu keistimewaan Alquran adalah bahwa lafaz dan maknanya langsung dari Allah Swt. Alquran memaparkan kebenaran-kebenaran universal yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan khaliknya dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang-orang Arab dengan latar belakang intelektual yang mereka miliki. Orang-orang Asingpun dapat dengan mudah menafsirkannya. Sebagai wahyu Allah yang disamping kepada manusia secara pasti (qath’i) yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya, ketentuan-ketentua Alquran merupakan hukum yang wajib ditaati dan tidak boleh diganti dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Ia dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia itu sendiri (Q.S.Baqarah :2). 2. As-Sunnah Kata sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik ataupun perilaku yang buruk”. Menurut istilah Ushul-Fiqih, Sunnah Rasullulah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khitab (Guru Besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “segala perilaku Rasullulah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah). Sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah agama yaitu perakataan nabi, perbuatannya dan taqririnya (yakni ucapan) Dan perbuatan sahabat yang beliau yangdinamakan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah nabi dapat berupa; Sunnah Qauliyah (perkatan), Sunnah Fi’iliyah (perbuatan) Sunnah Taqririyah (ketetapan). a. Sunnah qauliyah Sunnah qauliyah atau sering juga dinamakan kabar ataau berita yang diucapkan oleh nabi berupa sabda-sabdanya di hadaapan para sahabatnya (yakni orang muslim yang hidup dimasa Nabi dan pernah mendengar ucapannya). Sunnah qauliyah dapat dibagi atas 3 bagian : 1) Yakni benarnya seperti kabar yang datang dari Allah dan rasulnya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercayai dan kabar-kabar mutawatir. 2) Diyakini dustanya seperti kabar yag berhimpun antara dua yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dai ketentuan-ketentuan syara seperti bid’ah-bid’ah sayyiah, 3) Yang tidak diyakini kebenaranya dan dustanya yang terdiri dari 3 macam : Tidak kuat benarnya dan tidak kuat dustanyal seperti berita yang disampaikan oleh orang bodoh. Kabar yang kuat dustanya dari kebenaranya seperti berita yang disampaikan dari benarnya seperti beriya yang disampaikan oleh orang fasik (yakni orang ang mengakui peratiran-peraturan islam tapi kurang mengindahkannya). Kabar yang kuat benarnya dari dustanya \, seperti kabar yang disampaikan oleh orang yang adil (dipercaiai) . b. Sunnah fi’iliyah Sunnah fiiliayh ialah tiap-tiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, sunnah fi’iliyah terbagi kepada lima bentuk yaitu : 1) Nafsu yang dikendalikan oleh keingginan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan anggota badan dan gerakan badan, sunnah fi’iliyah yang seperti ini menunujukan kepada mubah atau (boleh). 2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadat seperti berdirih, duduk dan lain- lainnya. 3) Perangai yang membawa kepada syara menurut kebiasaan yang baik dan tertentu, seperti makan, minum, berpakaian dan tidur. 4) Sesuatu yang tertentu kepada nabi saja, seperti beristri lebih dari empat orang, 5) Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujnal (samar-samar) seperti penjelasan perbuatan haji dan umroh perbuatan sembahyang yang lima waktu (fardhu) dan sembahyang khusuf (gerakan). c. Sunnah taqririyah Sunnah taqririyah ialah tentang nabi mencegah apa yang dikatakan seseorang atau apa yag diperbuat oleh seseorang atau dimasanya, dengan arti perkataan- perkataan atau perbuaan-perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau tidak dicegahnya dan tidak dilarangnya. Jadi ketetapan nabi atas perkataan sama dengan perkataannya dan atas perbuatanya, begitu juga perkataan dan perbuatan yang tidk dapat beliau sedangkan dia mengetahui hal-hal tersebut, seperti tidak dibantahnya, maka hukumnya sama dengan hukum perkataan atau perbuatan dihadapannya. Sebagimana kewenangan Alquran sebagi sumber pertama dan utama dalam syariah, maka Al-Hadits dan As-sunah pun memiliki kewenangan serupa kedua yang tak kalah pentingnya dalam menafsirkan Alquran Hal ini dinyatakan oleh Alquran sendiri. Beliau SAW juga telah bersabda : ا الؤانى قداؤتئتالقر ان ؤمثلهمعه artinya : “sungguh aku telah diberi alqura dan yang serupa itu (yaitu asunnah) bersamanya (H.R.bukhari) Hadis menempati urutan kedua dalam sistem sumber-sumber hukum Islam. Ia berfungsi sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar, membatasi keumuman nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata disebut Alquran. Sebenarnya, dari satu segi, hadis dapat juga dikatakan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa hukum yang tidak disebut didalam Alquran , seperti masalah memberi warisan kepada nenek perempuan. Namun dilihat dari sisi lain, ia telah terlihat sebagai sumber hukum tersendiri, karena fungsinya sebagai tabyin, tidak akan membebaskannya dari aturan-aturan Alquran itu sendiri disamping apa yang diucapkan dan diperbuatan oleh nabi tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Namun demikian ulama, tetap melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua, mengikuti status Nabi yang berfungsi sebagian pembuatan Syariat (syara), di samping Allah. Seperti yang telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Quran Al-Karim pada umumnya bersifat kulli. Penjelasan- penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan dalam Al-Sunnah. Sunnah yang terakhir bisa jadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi beliau diam dan tak beri komentar apa-apa kepada nabi yang berkaitan dengan Hukum. Hadis/sunnah menempati urutan kedua dalam sistem sumber-sumber hukum Islam. Ia berfungsih sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar, mmebatsi keumuman nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata disebut Alquran. Sebenarnya, dari satu segi, hadis/sunnah dapat juga dikatan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena kadang-kadang ia membawa hukum yang tidak disebut didalam Alquran , seperi masalh memberi warisan kepada nenek perempuan. Namun dilihat dari sisi lain, ia telah terlihat sebagai sumber hukum tersendiri, karena fungsihnya sebagai tabyin, tidak akan membebaskannya dari aturan-aturan Alquran itu sendiri disamping apa yang diucapkan dan diperbuatan oleh nabi tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Namun demikian ulama, tetap melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua, mengikuti status Nabi yang berfungsih sebagian pembuatan Syariat (syara), di samping Allah. 3. Ijma Kedudukan ijma yang menempatkan salah satu dalil hukum sesudah Al-Quran dan Hadis mempunyai arti bahwa ijma dapat menempatkan hukum yang mengingkari apabila tidak ada kesepakatan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Secara etimologi, ijma mengandung dua arti. Pertama ijma yang bermakna ijma yang bermakna ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Kedua ijma bermakna kesepakatan. Dari dua pengertian harfiah di atas, prinsip adapat terdapat perbedaan. Bila menggunakan makna pertama, maka subjek ijma hanya seorang, tetapi dengan menggunakan makna, ijma harus melibatkan lebih dari seorang. Ijma adalah kesepakatan pendapat para mujtahid pada suatu masa tentang suatu hukum Syara’ yang baru setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ijma dapat dijadikan hujah / peganggan pada maalah yang tidak didapati dalil Nash Alq’an atau hadis. Ijma harus telah menjadi kesepakatan para ulama dan tidak menyalahi Alquran dan Hadis. Sebagaimana para ulama berpendapat bahwa nilai kehujaan Ijma’ adalah Dzoni (sangkaan) bukan Qoth’i (pasti). Oleh karena itu Nilai Ijma’ adalah dzonni, maka Ijma, dapat dijadikan hujah/pegangan dalam urusan amal bukan dalam urusan I’tiqod, sebab urusan I’tiqod harus dengan dalil yang qot’hi. Terjadinya Ijma Serta Ijma Menurut Pendapat Para Ulama ada 2 yaitu : a. Ijma qathiy. Yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menentapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma qath’iy ini dapat dijadikn dalil (alasan) dalam menentapkan hukum suatu masalah. b. Ijma sukuti, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menentapkan hukum suatau masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau tenang (diam) salah seorang diantara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu. 4. Qiyas Dalil yang keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain diketahui adanya persaman antara keduanya. Qiyas adalah salah satu kegiatan jihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Quran dan Asunna. Adapun Qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti logis (‘illat) dan rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran atau Sunnah Rasullulah. Bila benar kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa hukumannya juga sama. begitulah dilakukan pada setiap praktis Qias Dalam bahasa ketauhidan yang islami, Al-Qiyas dapat didefensikan sebagai analogi atau deduksi analogis. Dengan kata lain, Al-Qiyash merupakan prinsip hukum yang diperkenalkan untuk memperoleh kesimpulan logis dari suatuhuikum tertentu Atas suatu masalah tertentu yang harus dilakukan untuk keselamatan kaum muslimin. Walaupun begitu, dalam pelaksanannya, ia harus didasarkan pada Alquran, Asunnah dan Ijma. Prinsip hukum ini diperkenalkan oleh Imam Abu hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, di Iraq. Alasan kenapa ia memperkenalkannya tidak berhubungan dengan tujuan mengendalikan kebebasan berfikir dan mendiskriminasi masyarakat dari pokok-pokok hukum Islam. Selama masa Abbasiyah masyarakat tengah berusaha membaca berbgai buku teks tentang filosofi logika, etimologi, kebahasaan yakni, karya sastra dari berbagai daerah, dan buku-buku teks dari luar yang sedikit banyak cenderung merusak pemikiran mereka dengan mengakibatkan kesesatan. Sebenarnya Qiyas merupakan merupakan bentuk utama yang dipkai oleh para mujtahid menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya disebabkan oleh nash secara tegas. Dalam peristilahan usul Fiqih, qiyas diartikan sebagai uapaya penghubungkan (menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan hukumnya dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya disebut oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas keadaan ilat antara dua peristiwa yang bersangkutan. Salah satu contohnya dari penetapan hukum dengan jalan qiyas adalah melakukan transaksi bisnis diatas azan Jum’at dikumandangkan. Dalam surat Al- Jumu’ah (62): 9 disebutkan bahwa umat islam dilarang (makruh) melakukan jual beli tegas dan disebut secara nyata dalam nash dengan ilat bahwa perbuatan tersebut melalaikan sembahyang. Adapula transaksi-transaksi bisnis lainnya, seperti perikatan- perikatan gadai sewa-menyewa, dan lain-lainnya yang dilakukan pada waktu tersebut, tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Namun, ilat dari peristiwa-peristiwa tersebut sama dengan illat jual beli sebagaimana disebut diatas, yaitu melalaikan shalat. Oleh karenanya, hukum transaksi gadai dan sewa menyewa diatas adalah sama dengan jual beli itu sendiri.