Anda di halaman 1dari 36

45

SUMBER NILAI/HUKUM ISLAM


A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai/Hukum Islam

1. Pengertian dan Nama Al-Qur’an

a. Pengertian

Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang berarti bacaan atau sesuatu yang

dibaca. Secara terminologis Al-Qur’an adalah “kalamullah yang diturunkan

kepada Nabi terakhir Muhammad s.a.w melalui perantaraan Malaikat Jibril,

tertulis dalam mushaf (shuhuf: lembaran) dan disampaikan kepada manusia secara

mutawatir(terus menerus),bernilai ibadah membacanya, diawali dengan surat Al-

Fatiha dan ditutup dengan surat An-Naas”

Dari pengertian di atas dapat diungkapkan bahwa:

Pertama: Al-Qur’an adalah kalmullah atau firman Allah, bukan ucapan Nabi atau

manusia lainnya. Tidak ada sepatah kata pun ucapan Nabi dalam Al-Qur’an,

sehingga pada saat Al-Qur’an diturunkan Nabi melarang menghafal atau mencatat

apalagi mengumpulkan ucapannya, beliau hanya menyuruh menghafal dan

menuliskan Al-Qur’an. Ini semata-mata menjaga kemurnian firman Allah. Dengan

demikian tidak ada bukti sama sekali pandangan kaum orientalis yang mengatakan

Al-Qur’an sebagai karangan Nabi.

Kedua: Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, yaitu Muhammad bin

Abdullah yang dilahirkan di Mekkah pada tahun 571 M, Rasul yang terakhir,

penutup segala wahyu yang diturunkan ke muka bumi, sebagaimana firman-Nya:


46

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,

tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu”.(QS. Al-Ahzab : 40)

Ketiga : Al-Qur’an diturunkan Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril. Malaikat

Jibril sebagai pembawa wahyu yang menyampaikan secara berangsur-angsur

selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari (± 23 tahun) kepada Nabi Muhammad.

Keempat : Al-Qur’an dikumpulkan dalam mushaf yang sejak masa turunnya

dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat dan kemudian dikumpulkan dalam satu

mushaf yang seluruhnya berisi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat.

Kelima : Al-Qur’an itu disampaikan kepada umat Islam secara mutawatir, atau

terus menerus diturunkan dari generasi ke generasi dalam keadaan tetap dan

terjaga, baik huruf maupun kalimat-kalimat yang ada di dalamnya, sehingga

keaslian Al-Qur’an tetap terjamin sepanjang masa.

Keenam : Al-Qur’an itu jika dibaca bernilai ibadah bagi pembaca dan

pendengarnya. Ini berarti membaca Al-Qur’an itu merupakan kegiatan ritual yang

bernilai ibadah, kendatipun pembaca dan pendengarnya tidak mengetahui arti yang

dibacanya.

Ketujuh : Al-Qur’an itu isinya dimulai dengan surat Al-Fatiha dan diakhiri

dengan surat An-Naas. Ini mengandung arti bahwa susunan surat dan ayat Al-

Qur’an bersifat tetap sejak diturunkan sampai akhir zaman, karena itu sejak

diturunkannya sampai dengan sekarang yang telah berusia hampir Lima belas abad

Al-Qur’an yang berada di tangan umat Islam di berbagai penjuru dunia ini,

susunan surat, ayat dan bacaannya sama, tidak ada dan tidak akan pernah ada versi

yang lain.

b. Nama-nama Al-Qur’an
47

1). Al-Qur’an, kata Al-Qur’an sebagai nama kitab ini disebut dalam firman

Allah:

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung,

pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut

kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk

manusia supaya mereka berpikir.” (QS. Al-Hasyr : 21)

2). Al-Furqaan, artinya pembeda atau pemisah, yaitu kitab yang membedakan

antara yang haq dan yang bathil, penamaan ini terungkap dalam firman

Allah:

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada

hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”,

(QS. Al-Furqaan : 1)

3). Adz-Dzikra, artinya peringatan, yaitu kitab suci yang berisi peringatan

Allah kepada manusia. Penamaan ini terungkap dalam firman Allah:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-dzikra (Al Qur'an), dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”(QS . Al-Hijr : 9)


48

4). Al-Kitab, artinya tulisan atau yang ditulis, yaitu kitab suci yang ditulis

dalam mushaf, . firman Allah:

“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka

yang bertakwa,” (QS. Albaqarah : 2)

2. Kandungan Al-Qur’an

Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6666 ayat, 74437 kalimat dan

1.027.000 huruf, mengandung pokok-pokok berbagai hal di dalamnya.

Kelengkapan kandungan Al-Qur’an diterangkan sendiri di dalam Al-Qur’an

sebagai berikut:

“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Qur’an), kemudian

kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’am : 38)

Dalam ayat di atas dapat kita ketahui bahwa di dalam Al-Qur’an

terkandung segala sesuatu yang menjadi pokok-pokok dari segala aspek kehidupan

yang membawa manusia ke arah kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Yang

dimaksud dengan segala sesuatu pada ayat di atas adalah bahwa Al-Qur’an

memberikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasar bagi manusia di dalam

mengatur kehidupannya di dunia yang sejalan dengan arah yang seharusnya

dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Secara

umum isi Al-Qur’an terdiri dari:


49

a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari

Akhir, Qadha dan Qadar, dan sebagainya.

b. Prinsip-prinsip syari’ah, tentang ibadah khas/ibadah mahdah (Shalat, Zakat,

Puasa, dan Haji), dan ibadah yang umum (perekonomian, pernikahan,

hukum, dan sebagainya).

c. Janji dan ancaman, sebagai janji kepada orang yang berbuat baik, dan ancaman

kepada orang yang berbuat dosa.

d. Sejarah, seperti tentang Nabi-nabi yang terdahulu, masyarakat dan bangsa yang

terdahulu.

e. Ilmu pengetahuan, seperti ilmu mengenai ketuhanan dan agama, hal-hal yang

menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.

3. Fungsi Al-Qur’an

Sumber ajaran setiap agama adalah kitab suci, begitu pula dalam Islam, Al-

Qur’an adalah sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan hukum Islam yang

pertama dan utama. Inilah fungsi Al-Qur’an, itulah sebabnya Nabi berkata

“Sungguh telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat

selama kamu berpegang kepada keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah Rasul)” (HR.

Malik)

Selanjutnya fungsi utama Al-Qur’an sebagai sumber pertama norma dan

hukum Islam ini, dapat dijabarkan ke fungsi-fungsi yang lebih rinci:

a. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, bahkan

petunjuk bagi manusia secara keseluruhan, yakni petunjuk jalan lurus,

petunjuk jalan kebenaran yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada

cahaya yang terang.


50

“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka

yang bertakwa”, (QS. Al-Baqarah : 2)

“(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk

serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 138)

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia

dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang

hak dan yang batil)”. (QS. Al-Baqarah : 185)

b. Al-Qur’an adalah pembeda atau pemisah antara yang haq dan yang bathil atau

antara yang benar dengan yang salah atau antara yang baik dan yang buruk.

Fungsi ini sesuai dengan nama lain dari Al-Qur’an yaitu Al-Furqaan yang

artinya pembeda antara yang haq dengan yang bathil.


51

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada

hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”,

(QS. Al-Furqaan : 1)

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya;


membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil. Sebelum (Al Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan
Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah
Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa). (Q,S. Ali
Imran : 3 – 4)

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia

dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang

hak dan yang batil)”. (QS. Al-Baqarah : 185)

c. Al-Qur’an berfungsi sebagai peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.

Fungsi ini juga sesuai dengan nama lain yang dipakai oleh Al-Qur’an, yaitu

Adz-Dzikra
52

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya

Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)

Shaad, demi Al Qur'an yang mempunyai keagungan.(QS. Shaad : 1 )

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan

berkah mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat

pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.(QS. Shaad : 29)

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair

itu tidaklah layak baginya. Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan

kitab yang memberi penerangan, (QS. Yaasiin : 69)

d. Al-Qur’an adalah obat atau penawar bagi penyakit kejiwaan

Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.
(QS. Al-Isyra : 82)

Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-

orang yang beriman. (QS. Fush-shilat : 44)


53

e. Al-Qur’an merupakan pengajaran/nasehat bagi manusia

(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk

serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran : 38)

f. Al-Qur’an adalah korektor bagi kitab-kitab suci yang turun sebelumnya atau

komentar bagi penyelewengan yang dilakukan oleh manusia dalam agama

mereka,

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab


dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa
yang mereka kerjakan”(QS. Al-Baqarah : 79)

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang hak dengan yang
bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?”
(QS. Ali Imran :71)

g. Al-Qur’an merupakan bahan renungan atau pemikiran bagi orang-orang yang

mau berfikir untuk mendapatkan pelajaran yang berharga.


54

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan

berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat

pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad : 29)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al

Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan

yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ : 82)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah

telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek

moyang mereka dahulu?” (QS. Al-Mu’minun 68)

h. Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan yang sangat menarik untuk dikaji

dan dipelajari sepanjang masa.

i. Al-Qur’an merupakan mu’jizat Nabi Muhammad s.a.w, yaitu mu’jizat yang

paling besar dari sekian mu’jizat lain yang pernah ada.


55

4. Keautentikan/keaslian Al-Qur’an

Masalah yang dihadapi kitab suci pada umumnya ialah ketidak

mampuannya mempertahakan diri dalam wujudnya yang asli. Keautentikkan atau

keasliannya sebagai kitab suci telah tercemar dimakan zaman. Nasib yang

menyedihkan ini alhamdulillah tidak menimpa kitab suci Al-Qur’an. Sejak

diturunkan pada masa Rasulullah s.a.w sampai kini Al-Qur’an tetap autentik atau

asli, selamat dari pemalsuan-pemalsuan yang berupa penambahan atau

pengurangan. Bahkan sampai kapanpun Al-Qur’an akan tetap mampu bertahan

dalam keasliannya yang demikian.

Tentu saja banyak hal yang menyebabkan Al-Qur’an tetap terpelihara

dalam keasliannya:

Pertama: Karena Al-Qur’an mempunyai sejarah penulisan yang gemilang,

penulisan Al-Qur’an telah dimulai di masa hayat Nabi Muhammad s.a.w yang

dikerjakan dengan baik oleh Kutabul-wahyi (dewan penulis wahyu) yang dibentuk

oleh Nabi. Tatkala beliau wafat Al-Qur’an telah selesai didokumentasikan dalam

bentuk tulisan.

Kemudian penulisan Al-Qur’an ini dilanjutkan pada zaman Khalifah Abu Bakar

(11-13 H/632-634 M) dan Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)

dengan cara dan bentuk yang lebih sempurna, juga dilakukan oleh Dewan penulis

wahyu yang dibentuk oleh kedua khalifat tersebut.

Selain kepada Al-Qur’an umat Islam wajib percaya akan adanya kitab Zabur Nabi

Daud, Taurat Nabi Musa, dan Injil Nabi Isa, tetapi sayang ketiga kitab suci di luar

Al-Qur’an ini, tidak mempunyai sejarah penulisan yang gemilang sebagaimana Al-

Qur’an. Kitab Injil misalnya, dari empat Injil yang ada sekarang ini, yaitu

Injil Matius, Markus, Lukas dan Yahya yang paling awal ditulis adalah Injil

Matius (ditulis oleh Matius pada tahun 50 M), dan yang paling akhir ditulis
56

adalah Injil Yahya (ditulis oleh Yahya pada tahun 80-90 M), pada hal Nabi

Isa dipanggil oleh Allah menghadap ke hadirat-Nya dalam umur 33 tahun.

Dengan demikian 17 tahun atau bahkan 47 tahun setelah Nabi Isa tidak ada,

baru Matius dan Yahya menulis Injilnya masing-masing.

Kedua : Selain Al-Qur’an ditulis, juga dihafal, baik oleh Nabi Muhammad s.a.w

sendiri, maupun oleh para sahabat beliau dan umat Islam pada umumnya.

Dulu setiap kali Nabi menerima wahyu, beliau memang menghafalnya. Pada hari-

hari tertentu hafalan para sahabat diuji oleh Nabi, untuk menghindarkan terjadinya

kesalahan, sambil menunjukkan susunan surat-surat dan ayat-ayatnya. Bahkan

hafalan Nabi sendiri dikenakan ujian oleh Malaikat Jibril setahun sekali pada bulan

Ramadhan, dan setahun dua kali pada tahun beliau wafat.

Gerakan menghafal Al-Qur’an ini mendapat sambutan hangat dari umat Islam,

karena mereka terangsang oleh beberapa keutamaan yang akan mereka peroleh

karena menghafal atau mempelajari AL-Qur’an. Berikut adalah beberapa hadits

Nabi yang menerangkan sebahagian dari keutamaan membaca dan mempelajari

Al-Qur’an.

“Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Qur’an dan kemudian

mengajarkannya kepada orang lain” H.R. Bukhari)

“Bacalah Al-Qur’an karena apa yang dibaca itu besok pada hari kiamat

akan datang memberikan pertolongan kepada orang-orang yang

membacanya”. (H.R. Muslim)

“Siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, dia memperoleh pahala satu

kebaikan yang terjadi sampai Sepuluh kali. Aku tidak berkata bahwa Alif

Lam Mim itu satu huruf, tetapi Alif adalah satu huruf, Lam satu huruf, dan

Mim juga satu huruf” (H.R. Tirmidzi)


57

Orang yang dpat hafal Al-Qur’an di luar kepala terdapat dimana-mana pada setiap

generasi umat Islam. Terutama bagi orang-orang Arab di masa Nabi,

menghafalkan Al-Qur’an tidaklah dirasakan sebagai pekerjaan yang sulit, oleh

karena:

a. Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi turun sedikit demi sedikit selama

22 tahun 2 bulan 22 hari.

b. Ia turun dengan bahasa mereka sendiri

c. Disamping menghafalkan, mereka juga mengamalkan isi Al-Qur’an

d. Ingatan mereka sangat kuat, karena mereka kebanyakan buta huruf.

Ketiga: Al-Qur’an tidak kehilangan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab, dan tetap

terjaga dengan baik dalam bahasa aslinya itu sampai dengan sekarang. Setiap

Allah mengutus seorang Rasul, kapan pun dan di mana pun tentulah sang Rasul

diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk mempermudah komunikasi

dengan kaumnya itu. Dengan demikian sang Rasul tidak mengalami kesulitan

bahasa dalam menyampaikan wahyu Allah kepada mereka. Hal ini diterangkan

sendiri oleh Allah s.w.t:

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,

supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah

menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang

Dia kehendaki. Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ( QS.

Ibrahim : 4)
58

Kaum Nabi Muhammad s.a.w (yang langsung) ialah bangsa Arab, karena

beliau juga berbicara dalam bahasa Arab dan demikian juga Al-Qur’an yang

dibawanya juga menggunakan bahsa Arab. Tetap terjaganya Al-Qur’an dalam

bahasa aslinya ini merupakan jaminan keaslian bagi Al-Qur’an. Dengan masih ada

bahasa aslinya ini setiap terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain, dapat

dikontrol dengan baik, sehingga setiap kesalahan terjemahan dapat diketahui

dengan mudah. Apa lagi sistim yang berlaku sampai sekarang, setiap terjemahan

Al-Qur’an selalu didampingi dengan teks aslinya.

Sungguh rugi besar, bagi kiktab suci yang telah kehilangan bahasa aslinya,

sehingga yang ada dan yang beredar hanyalah terjemahan-terjemahan yang belum

tentu tepat atau benar.

Keempat: Al-Qur’an tetap autentik sepanjang masa, karena Allah sendiri berjanji

untuk menjaga atau memeliharanya:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami

benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)

5. Kodifikasi Al-Qur’an

a. Kodifikasi Pada Masa Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w secara berangsur-

angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, ketika Nabi berada di Mekkah turun ayat-

ayat yang kemudian disebut ayat Makiyah dan pada saat Nabi berada di Madinah

turun ayat-ayat yang disebut ayat Madaniyah.


59

Setiap Al-Qur’an diturunkan langsung dihafalkan oleh Nabi dan diajarkan

pula kepada para sahabat yang kemudian langsung dihafalkan pula oleh mereka.

Selanjutnya para sahabat yang hafal Al-Qur’an disuruh juga oleh Nabi untuk

mengajarkan kepada orang lain.

Pada masa Rasul para sahabatpun menuliskan ayat yang turun pada alat-

alat tulis yang mereka miliki, seperti pelpah korma, batu-batu tipis, dedaunan, kulit

binatang dan sebagainya, kemudian disimpan di rumah Rasul.

Kodifikasi Al-Qur’an pada dasarnya telah dilakukan pada saat Rasul masih

hidup. Karena pada setiap ayat Al-Qur’an turun Nabi memberikan petunjuk

kepada para sahabat dan sekretaisnya dalam menyimpan ayat-ayat yang telah

ditulis oleh para penulis wahyu dan memerintahkan Ali untuk menyimpannya.

Sebagaimana diungkapkan dalam riwayat Ali bin Ibrahim yang diterima dari Abu

Bakar al-Hadhrami dari Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad, katanya bahwa

Rasulullah s.a.w bersabda kepada Ali: “Wahai Ali sesungguhnya Al-Qur’an

terdapat di belakang tempat tidurku yang ditulis dalam suhuf (lembaran) sutra dan

kertas. Ambilah dan kumpulkanlah, dan jangan sampai hilang, sebagaimana kaum

Yahudi menghilangkan Taurat. Kemudian Ali pergi untuk mengumpulkannya pada

kain kuning dan menutupinya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa kodifikasi Al-Qur’an telah dilaksanakan

secara sempurna pada masa Rasulullah s.a.w. hanya saja pada masa Rasul

pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf (secara tersusun ayat-ayat dan

surat-surat) belum dilakukan, karena pada saat itu turunnya Al-Qur’an masih

berlangsung yang kadang-kadang dari surat tertentu tersela oleh turunnya ayat-ayat

dari surat lain, sebelum atau sesudah ayat tersebut, kemudian disusul oleh wahyu

yang terdiri dari ayat-ayat yang merupakan bagian dari surat pertama, sehingga

akhirnya sempurna wahyu diturunkan.


60

Kemudian juga karena setelah wahyu diturunkan secara sempurna tidak

lama kemudian Rasulullah s.a.w wafat, yaitu pada tahun diturunkannya ayat Al-

Qur’an yang terakhir, sehingga tidak cukup waktu untuk mengumpulkan tulisan

dan menyusun Al-Qur’an dalam bentuk satu mushaf. Kendatipun demikian

sebelum wafat, Rasulullah s.a.w mengumumkan kepada sejumlah sahabat tentang

penyusunan Al-Qur’an, sehingga para hafidz (penghafal Al-Qur’an) bisa

membacanya secara sempurna dan tersusun sebagaimana yang diperintahkan Rasul

melalui pengajaran Jibril pada penurunan wahyu yang terakhir. Hal ini menjadi

jaminan tersusunnya Al-Qur’an dalam satu mushaf.

b. Kodifikasi Pada Masa Para Khalifah

Pada masa sahabat, Al-Qur’an sudah ditulis, tetapi belum terkumpul dalam

satu mushaf, ayat-ayat itu masih berserakan. Pada kekhalifahan Abu Bakar r.a,

Umar bin Khattab menyarankan agar Al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam

satu mushaf. Kendatipun pada awalnya Abu Bakar menolak dengan alasan Rasul

tidak pernah melakukannya, tetapi karena keperluan itu dirasakan sangat perlu dan

mendesak, apa lagi setelah terjadi peperangan-peperangan melawan orang-orang

murtad yang banyak menewaskan para penghafal Al-Qur’an, maka Abu Bakar

memerintahkan Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Umayyah bin Ka’ab dan

Utsman bin Affan menulis dan melakukannya. Setelah disusun mushaf itu

dipegang oleh Umar bin Khattab, dan kemudian setelah Umar wafat disimpan oleh

Hafsah binti Umar.

Khalifah Utsman menggandakan Al-Qur’an menjadi lima buah, kemudian

beliau mengirimkannya ke berbagai daerah sebagai rujukan dan dasar

pemerintahan di daerah-daerah kedaulatan Islam. Sejak saat itu mushaf Al-Qur’an

menjadi rujukan bagi penulisan mushaf selanjutnya, dan tersebar di seluruh dunia

tidak terdapat perbedaan di dalamnya.


61

6. Keistimewaan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah mu’jizat yang paling besar diberikan Allah kepada

Rasul-Nya. Ia merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi para pencari

kebenaran, menjadi rujukan para ahli bahasa, sumber kajian para ahli fuqaha, dan

sumber argumentasi bagi para ahli hukum. Al-Qur’an juga menjadi sumber kajian

bagi para penyair dan pujangga. Al-Qur’an satu-satunya kitab yang berbicara apa

saja topik yang dibicarakan tentang masa lampau, masa kini dan mengabarkan

tentang masa datang.

Keistimewaan Al-Qur’an itu secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Keistimewaan bahasa Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang fasih, sehingga sejak

masa turunnya sampai dengan sekarang tidak ada yang bisa menandingi

ketinggian dan keindahan bahasanya. Al-Qur’an berisi 74437 kalimat dan

1.027.000 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan

padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya, misalnya kata

hayat yang artinya hidup berulang sebanyak 145 kali sama dengan berulangnya

kata maut. Kata akhirat berulang sama jumlahnya dengan kata dunia yaitu

sebanyak 115 kali, kata Malaikat terulang 88 kali sama dengan terulangnya

kata Syeitan. Demikian pula kata yaum yang artinya hari diulang dalam Al-

Qur’an 365 kali, yaitu jumlah hari dalam satu tahun, kata syahr yang artinya

bulan diulang sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun.

b. Al-Qur’an menembus seluruh waktu, tempat dan sasaran

Kemukjizatan Al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, Al-

Qur’an berbicara tentang manusia secara keseluruhan dan tanpa membedakan

jenis kelamin, suku, bamgsa, dan bahasa, firman-Nya;


62

Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu


semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Allah
(yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan,
maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al-A’raf : 158)

Dari segi waktu Al-Qur’an berbicara tentang masa lampau, masa kini

dan masa yang akan datang. Al-Qur’an berbicara tentang masa lalu berupa

kisah-kisah Nabi dan masyarakat terdahulu sebagai gambaran dan cermin

tentang kesuksesan dan kegagalan masyarakat masa lalu yang menjadi

gambaran bagi manusia masa kini, dan masa datang. Al-Qur’an mengoreksi

kesalahan umat terdahulu yang telah menyimpangkan ayat-ayat suci dan

malapetaka yang menimpa mereka akibat kesalahan dan kesombongan mereka.

Al-Qur’an memberi bukti pada manusia yang hidup pada masa kini dan masa

yang akan datang tentang kebenaran firman Allah yang dibuktikan. Misalnya

Al-Qur’an menggambarkan kesombongan Fir’aun yang mengaku Tuhan,

kemudian mati secara mengenaskan dengan tenggelam di laut Merah.

Sedangkan mayatnya diselamatkan Allah untuk menjadi pelajaran kepada

manusia sebagaimana firman-Nya:


63

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi

pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya

kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS.

Yunus : 92)

Isyarat Al-Qur’an tentang tubuh Fir’aun ini ternyata terbukti dengan

ditemukannya mayatnya pada abad ke-20. Sekarang mayat (mumi)nya masih

tersimpan dan dapat dilihat di Musium Mesir.

Dari segi materi, Al-Qur’an berbicara tentang segala segi kehidupan

manusia, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Seluruh aspek tersebut

disentuh oleh Al-Qur’an, dan manusia diberi pengarahan, bimbingan dan

petunjuk tentang prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai pijakan

utama. Karena itu tidak ada kitab suci yang berbicara segala hal tentang

kehidupan manusia, kecuali Al-Qur’an.

Al-Qur’an juga merupakan satu-satunya kitab suci yang paling banyak

dibaca orang dalam sejarah kehidupan manusia, dibaca oleh orang-orang dari

berbagai bangsa. Bacaan Al-Qur’an dikumandangkan setiap waktu oleh jutaan

bahkan milyaran orang di seluruh dunia, dengan bacaan yang teratur dan tertib,

tidak ada kitab suci yang diperlakukan seperti itu, kecuali Al-Qur’an.

Jika diperhatikan dari segi sejarah, maka tidak ada kitab suci yang tidak

pernah berubah satu huruf pun dalam kurun waktu ratusan tahun, hanya Al-

Qur’an kitab suci dari sejak diturunkannya seribu lima ratus tahun yang lalu

tidak mengalami perubahan. Sehingga sampai sekarang di kalangan umat Islam

di seluruh dunia tidak ada pertentangan mengenai Al-Qur’an, ia merupakan

satu-satunya pegangan yang sama di kalangan umat Islam. Ini merupakan

mukjizat terbesar di sepanjang sejarah manusia sampai hancurnya alam di

masa yang akan datang.


64

Segi tempat, Al-Qur’an berbicara mengenai seluruh wilayah dan

kawasan di daratan, lautan maupun angkasa raya yang mendorong para

pembacanya untuk menyelidiki dan menelitinya dengan seksama, sehingga Al-

Qur’an betul-betul menunjukkan misinya yang bersifat universal. Bahkan lebih

lanjut Al-Qur’an mengarahkan misinya bukan hanya kepada manusia yang

bersifat materi, tetapi juga kepada makhluk yang bersifat ghaib seperti Jin.

c. Al-Qur’an Sumber Informasi Tentang Tuhan, Rasul dan Alam Ghaib.

Al-Qur’an merupakan sumber informasi utama bagi manusia, terutama

informasi tentang Tuhan dan hal-hal yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh

manusia berdasarkan kemampuan akalnya semata-mata. Informasi tentang

Tuhan yang tidak mungkin diragukan kebenarannya hanya datang dari Tuhan

sendiri, sebab jika dari manusia, maka yang akan didapat hanya hasil

pemikiran manusia, atau Tuhan yang digambarkan manusia berdasarkan

dugaan dan perkiraan akalnya.

Al-Qur’an adalah firman Allah ysng memberikan informasi tentang

Allah sendiri, sehingga manusia memperoleh pengetahuan dan keyakinan yang

benar tentang Allah, sebab informasi tentang Allah datang dari Allah sendiri.

Dalam Al-Qur’an Allah memperkenalkan dirinya, sehingga kebenaran Allah

bersifat mutlak dari Allah. Sifat-sifat, rencana dan tujuan Allah

diungkapkannya sendiri kepada manusia melalui Al-Qur’an. Karena itu tidak

ada sumber informasi tentang Allah yang dapat dipercaya, kecuali Al-Qur’an.

Al-Qur’an memberikan juga legitimasi terhadap Rasul yang ditugaskan

Allah mengemban misinya kepada manusia. Penunjukkan Rasul oleh Allah

tercantum dalam Al-Qur’an merupakan informasi langsung dari Allah tentang

kebenaran Rasul sebagai utusan-Nya.


65

Tuhan memberikan juga informasi tentang adanya hal-hal yang bersifat

ghaib, seperti adanya makhluk yang tidak nampak, seperti Jin dan Malaikat,

adanya hari kiamat, syorga dan neraka.

Hal-hal yang bersifat ghaib itu tidak dapat dipikirkan melalui akal

manusia, tetapi memerlukan informasi sehingga manusia mengetahui dan

meyakini keberadaannya, kendatipun tidak dapat diungkapkan dengan akalnya.

Informasi itu dapat diungkap dari Al-Qur’an yang merupakan informasi dari

Sang Maha Pencipta. Yang menciptakan alam senesta.

d. Naskah Asli Terjaga

Al-Qur’an satu-satunya kitab suci yang terjaga keasliannya semenjak

diturunkan sampai dengan sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Keaslian ini

disebabkan karena Al-Qur’an diturunkan, ditulis dan disampaikan kepada

umatnya setiap zaman secara mutawatir atau terus menerus, baik melalui

tulisan (mushaf) yang sampai sekarang aslinya masih ada, juga karena setiap

masa banyak terdapat penghafal AL-Qur’an (huffadz), sehingga apabila

terdapat kesalahan tulis dapat segera diketahui dan dibetulkan.

Kemudian Al-Qur’an dibuktikan pula dengan tidak terjadinya

perubahan-perubahan dan kontropersi tentang ayat Al-Qur’an pada umat Islam

seluruh dunia, karena itu mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam

sama seluruh dunia.


66

B. AS-SUNNAH

1. Pengertian As-Sunnah

Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan

menurut istilah adalah “perkataan (ucapan), perbuatan atau taqrir dari Nabi

Muhammad s,a,w”.

Berdasarkan pengertian di atas, Sunnah dibagi tiga, yaitu:

a. Sunnah qauliyah, adalah sunnah dalam bentuk perkataan (ucapan) Nabi

Muhammad s.a.w yang menerangkan hukum-hukum dan maksud Al-Qur’an.

b. Sunnah fi’liyah adalah sunnah dalam bentuk perbuatan yang menerangkan atau

mencontohkan cara ibadah, misalnya cara wudhu’, shalat dan sebagainya.

c. Sunnah taqririyah adalah ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas perkataan atau

perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, lalu dibiarkan oleh Nabi, tidak ditegur atau

dilarangnya.

2. Kedudukan As-Sunnah

Sunnah Nabi menempati kedudukan nomor dua sebagai sumber norma dan

hukum Islam sesudah Al-Qur’an. Karena itu orang Islam selain harus patuh kepada

Al-Qur’an, juga harus taat kepada Sunnah Nabi. Keharusan untuk taat kepada Sunnah

ini antara lain karena berdasarkan firman Allah:

Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran:132)

Sebagai sumber norma dan hukum Islam kedua sesudah Al-Qur’an, tentu saja

derajat As-Sunnah tidak bisa menyamai apa lagi mengalahkan Al-Qur’an. Derajat Al-

Qur’an adalah lebih tinggi dari pada As-Sunnah Nabi, dan ini disebabkan oleh

beberapa hal:
67

a. Al-Qur’an adalah pokok dan pangkal bagi As-Sunnah, segala yang diuraikan oleh

As-Sunnah pada dasarnya berasal dari Al-Qur’an.

b. Al-Qur’an adalah kitab Allah, yang lafal maupun maknanya berasal dari Allah,

yang kita menerimanya dari Nabi Muhammad s.a.w dengan jalan mutawatir (jalan

yang membawa keyakinan bahwa yang diterima pasti benar, tidak meragukan

sedikitpun). As-Sunnah tidak demikian keadaannya. Tidak semua As-Sunnah

sampai kepada kita melalui jalan mutawatir. As-Sunnah yang mutawatir hanya

mengenai amal praktik sehari-hari, seperti shalat lima waktu, puasa, haji, dan lain-

lainnya.

c. Al-Qur’an kita terima dan yakini kebenarannya secara global dan detail,

sedangkan As-Sunnah kita yakini kebenarannya secara global saja.

d. Fungsi As-Sunnah adakalanya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas

maksudnya (mujmal). Jika As-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan bagi Al-

Qur’an, tentulah kedudukan yang menjelaskan tidak sama dengan yang dijelaskan.

Nash yang menjelaskan hanyalah sebagai cabang, sedang nash yang dijelaskan

sebagai pokok atau azas.

e. As-Sunnah sendiri memberi petunjuk, bahwa kedudukan As-Sunnah memang

nomor dua setelah Al-Qur’an.

Sebuah hadits Nabi riwayat Tirmidzi menerangkan bahwa sewaktu Mu’az bin

Jabal akan dikirim oleh Nabi ke negeri Yaman Qadhi ia ditanya oleh Nabi:

Bagaimana engkau mesti menentukan hukum ?

Aku menentukan hukum dengan apa yang terdapat dalam kitab Allah, jawab

Mu’az.

Kalau hal itu juga tidak terdapat dalam Al-Qur’an ? sambungnya lagi.

Aku menentukan hukum melalui sunnah Rasul, katanya !

Kalau hal itu juga tidak terdapat dalam As-Sunnah Rasul ?


68

Aku akan berijtihad dengan fikiranku.

Mendengar jawaban Mu’adz yang demikian itu, Nabi bersabda:

“Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, yang telah memberi taufiq

kepada utusan Rasul-Nya”.

3. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang kurang/tidak jelas

maksudnya, ayat-ayat yang seperti ini memerlukan penjelasan, dan penjelasan

diberikan oleh Rasulullah s.a.w melalui sunnah-sunnahnya. Karena itu fungsi As-

Sunnah terhadap Al-Qur’an ialah lil-bayan atau utnuk memberi penjelasan.

Menurut pendapat Imam As-Syafi’i ada lima macam bayan atau penjelasan

yang diberikan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an, yaitu:

a. Bayan Tafsili, penjelasan untuk menjelaskan ayat-ayat mujmal atau ayat-ayat yang

sangat ringkas.

b. Bayan Takhshiyah, penjelaskan untuk menentukan sesuatu dari ayat yang sangat

umum sifatnya.

c. Bayan Ta’yin, yaitu penjelasan untuk menentukan mana sesungguhnya yang

dimaksud dari dua ayat atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.

d. Bayan Tasyri’, yaitu penjelasan yang bersifat menetapkan suatu hukum yang tidak

terdapat dalam Al-Qur’an.

e. Bayan Nasakh, yaitu penjelasan untuk menetapkan mana yang mengganti dan

mana yang diganti dari ayat-ayat yang kelihatan seperti berlawanan.

4. Macam-macam As-Sunnah

As-Sunnah dapat dibagi kepada macam-macam

a. Ditinjau dari bentuknya terbagi kepada

1) sunnah Qauli, yaitu perkataan Nabi

2) sunnah Fi’li yaitu perbuatan Nabi


69

3) sunnah Taqriri, yaitu keizinan Nabi, artinya perkataan atau perbuatan yang

dilakukan oleh sahabat yang disaksikan oleh Nabi, dan hal itu tidak

ditegurnya.

b. Ditinjau dari segi orang yang menyampaikannya terbagai atas:

1) mutawatir, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh orang banyak yang

menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta disampaikan

melalui jalan indera.

2) masyhur, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak

sampai kepada derajat mutawatir baik karena jumlahnya maupun karena

tidak dengan indera.

3) ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang perawi atau lebih

tetapi tidak sampai kepada tingkat masyhur maupun mutawatir.

c. Ditinjau dari segi kualitasnya sunnah terbagi atas:

1) sunnah shaheh, sunnah yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang

yang kuat dan baik hafalannya, materinya baik dan persambungan sanad-

nya dapat dipertanggung jawabkan

2) sunnah Hasan, yaitu sunnah yang memenuhi persyaratan Sunnah yang

shaheh, kecuali dalam segi hafalan pembawanya yang kurang sehat/baik.

3) sunnah Dha’if, yaitu sunnah yang lemah, baik karena terputus salah satu

sanad-nya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik, dan lain-

lain.

4) sunnah Maudhu’, yaitu sunnah yang palsu, sunnah yang dibikin oleh

seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.

d. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya

1) sunnah Maqbul, yaitu sunnah yang pasti diterima.

2) sunnah Mardud, yaitu sunnah yang pasti ditolak


70

e. Ditinjau dari segi orang yang berperan dalam berbuat atau berkata, maka sunnah

terbagi:

1) sunnah Marfu’, yaitu sunnah yang benar-benar Nabi yang berperan

2) sunnah Mauquf, yaitu sahabat Nabi yang berperan dan Nabi tidak

menyaksikan

3) sunnah Maqtu’, yaitu Tabi’in yang berperan, artinya perkataan Tabi’in

yang berhubungan dengan soal-soal agama.

f. Pembagian lain yang disesuaikan dengan jenis, sifat, redaksi, teknis

menyampaikan dan lain-lain seperti:

1) sunnah yang banyak menggunakan kata ’an (dari) menjadi Sunnah

Mu’an’an.

2) sunnah yang banyak menggunakan kata anna (sesungguhnya) menjadi

Sunnah Mu’anna.

3) sunnah yang menyangkut perintah disebut Sunnah awamir

4) sunnah yang menyangkut larangan disebut Sunnah Nawahi

5) sunnah yang sanad (sndaran)nya yang terputus disebut Sunnah Munqathi’

5. Sejarah Pembukuan As-Sunnah

Sejak masa Rasulullah s.a.w., masa Khulafaur Rasyidin, sampai kepada masa

Dinasti Bani Umaiyah pada akhir abad pertama Hijriah, sunnah belum ditulis atau

dibukukan. Bahkan Nabi pernah melarang menulis As-Sunnah, kecuali beberapa

sahabat tertentu yang diizinkan menulis sekedar untuk kepentingan pribadi. Sebelum

dibukukan As-Sunnah itu beredar dalam kalangan kaum muslimin dari mulut ke

mulut, diriwayatkan secara lisan, kemudian dihafal dan disimpan dalam ingatan.

Di masa hayat Rasulullah s.a.w sendiri, sunnah-sunnah tidak ditulis, boleh jadi

hal ini disebabkan oleh beberapa hal:


71

a. Dikhawatirkan penulisan sunnah-sunnah akan bercampur aduk dengan penulisan

ayat-ayat Al-Qur’an yang memang masih dalam proses. Imam Muslim

memberitakan dari Abu Sa’id Al-Khudari, bahwa Nabi berkata: “Janganlah engkau

tulis apa yang engkau dengar dariku selain dari Al-Qur’an, siapa yang telah

menulis selain Al-Qur’an hendaknya dihapus”.

b. Mengumpulkan sabda-sabda Nabi, tingkah lakunya, dan segala hal ihwal tentang

beliau, bukanlah pekerjaan yang gampang. Orang yang melakukan tugas ini

haruslah selalu menyertai Nabi di manapun beliau berada.

c. Jumlah orang ketika itu yang pandai menulis dan membaca tidak banyak, kalaupun

ada pada umumnya sudah dikerahkan untuk menulis Al-Qur’an.

d. Bangsa Arab ketika itu, karena umumnya buta huruf (ummi), sangat kuat dan

terlatih daya ingatan dan hafalannya, sehingga penulisan As-Sunnah kurang

dirasakan sebagai keperluan yang mendesak.

Penulisan/pembukuan sunnah-sunnah baru terjadi mulai awal abad kedua

Hijriah, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, Khalifah ke VIII dari

Dinasti Bani Umaiyah, yang berkuasa tahun 99 – 101 H/717 – 720 M. beliau

memprakarsai penulisan/pembukuan sunnah-sunnah antara lain dengan alasan:

a. Proses penulisan Al-Qur’an sudah lama selesai, tidak perlu dikhawatirkan lagi

terjadinya campur aduk antara Sunnah dan ayat-ayat Al-Qur’an.

b. Adanya kekhawatiran akan lenyapnya sunnah-sunnah Nabi dari kalangan umat

Islam, berhubung para perawi As-Sunnah yang menyimpan sunnah-sunnah dalam

ingatannya makin banyak yang meninggal dunia.

Para Gubernur, beliau instruksikan untuk mengumpulkan dan membukukan

sunnah-sunnah yang terdapat pada para ulama yang ada pada wilayah mereka masing-

masing. Instruksi pertama pada tahun 100 Hijriah diberikan pada Gubernur Madinah

Abu Bakar Bin Muhammad Ibnu Amir Ibnu Hazm, untuk membukukan sunnah-
72

sunnah Rasul yang terdapat pada dua orang penghafal yang terkenal, yaitu: Amrah

binti Abdir-Rahman Ibnu Sa’ad Ibnu Zurarah Ibnu ‘Ades dan Al-Qasim Ibnu

Muhammad Ibnu Abu Bakar Ash-Shidiq.

Dengan adanya instruksi Khalifah Umar kepada para Gubernur tersebut, para

ulama terpanggil pula untuk membukukan sunnah-sunnah. Di antara ulama besar yang

membukukan sunnah-sunnah atas himbauan Khalifah Umar itu ialah Abu Bakar

Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang ulama

Tabi’in, dialah yang membukukan semua Sunnah yang terdapat di Madinah.

Tetapi sistim pembukuan Sunnah pada abad ke-dua Hijriah belum begitu baik.

Sunnah-sunnah dibukukan dengan tidak disaring. Yang dibukukan tidak hanya

sunnah-sunnah Rasul, tetapi fatwa-fatwa sahabat dan Tabi’in juga dimasukkan ke

dalam pembukuan.

Di antara hasil pembukuan As-Sunnah pada abad ke-dua Hijriah ini ialah

sebuah kitab terkenal bernama Al-Muwath-tha’ yang disusun oleh Imam Malik (95 –

179 H) yang menghimpun 1726 sunnah, fatwa sahabat, dan fatwa tabi’in.

Pada abad ke-tiga Hijriah, sistim pembukuan sunnah lebih disempurnakan,

terutama karena makin banyaknya bermunculan sunnah-sunnah palsu yang mulai

beredar sejak abad ke-tiga Hijriah, akibat kampanye politik berbagai golongan, seperti

golongan Mu’awiyah, golongan Abasiyah, golongan Zinding, Syi’ah dan lain-lain.

Dalam pembukuan sunnah yang lebih sistimatis ini, antara lain para ulama

mulai mengadakan penyaringan. Tampilah kemudian Ishaq Ibnu Rabawaih, seorang

ulama yang mula-mula menyusun sunnah-sunnah dengan memisahkan antara yang

shahih dengan yang tidak.

Usaha ini kemudian diikuti dengan sempurna oleh Imam Buchari (194 256 H

atau 810 – 870 M), dengan kitabnya Al-Jami’ush Shahih yang hanya memuat sunnah-

sunnah shahih saja, kitab yang memuat 9082 buah sunnah ini ditekuninya selama 16
73

tahun, dan merupakan hasil karya agung yang menempati kedudukan pertama di

antara kitab-kitab induk sunnah yang lain. Kata Jumhur ulama kita Al-Jami’ush

Shahih adalah shahih-shahihnya kitab sesudah Al-Qur’an.

Imam Bucari kemudian diikuti oleh muridnya Imam Muslim (206 – 261 H)

dengan kitabnya Shahih Muslim yang memuat sebanyak 7275 buah sunnah shahih

yang disarikan dari 300.000 sunnah. Sunnah karya Imam Muslim yang merupakan

kitab induk sunnah kedua sesudah Shahih Buchari. Shahih Muslim ini penyusunan

sisitimatiknya lebih baik dari Shahih Buchari. Dalam Shahih Muslim sunnah-sunnah

disusun/dikelompokkan berdasarkan isinya masing-masing. Sunnah-sunnah wudhu’

misalnya semuanya ditempatkan dibagian wudhu’, tidak berserakan di sana-sini

seperti dalam Shahih Buchari.

Sesudah Imam Buchari dan Imam Muslim, masing-masing tampil dengan

karyanya yang agung itu, muncul pula ulama-ulama lain yang mengikuti jejak

keduanya, masing-masing juga dengan hasil karyanya yang berharga. mereka antara

lain ialah An-Nasa’i, Abu Daud, At-Turmudzi, masing-masing dengan kitabnya

Sunnan An-Nasa’i, Suanan Abu Daud, dan Sunan At-Turmudzi.

Karena itu pada abad ketiga Hijriah, terbit kitab-kitab sunnah (urutan sesuai

dengan derajatnya).

a. Shahih Buchari

b. Shahih Muslim

c. Sunan An-Nasa’i

d. Sunan Abu Daud dan

e. Sunan At-Turmudzi

Kelima kitab sunnah inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Al-Ushulul

Khamsah atau Al-Kutubul Khamsah yang artinya Kitab-kitab induk sunnah yang lima.

Konon di dalam kitab induk yang lima ini telah terhimpun 95 % dari keseluruhan
74

sunnah shahih tentang hukum, sedang selebihnya yang 5 % dikumpulkan oleh kitab-

kitab shahih pada abad ke-empat Hijriah.

Disamping kesmua itu, patut juga dicatat hasil karya Ibnu Majah. Beliau

menyusun sunannya, yang kemudian menurut sebagian ulama Sunan Ibnu Majah

merupakan kitab induk juga. Karena itu kitab induk yang lima di atas ditambah dengan

Sunan Ibnu Majah sehingga menjadi apa yang disebut Al-Kutubus-Sittah atau kitab-

kitab induk sunnah yang enam.

Dalam rangka untuk mengatasi timbulnya sunnah-sunnah palsu, atau tujuan

yang lebih jauh lagi dalam rangka untuk memelihara sunnah-sunnah Nabi dari segala

hal yang negatif, para ulama ahli sunnah mempunyai berbagai upaya yang efektif dan

jitu, yaitu mereka mengadakan sistim sanad, memeriksakan benar tidaknya sunnah

yang diterima kepada para ahli, menyelidiki keadaan para Perawi, menyusun kaidah-

kaidah untuk menentukan kreteria-kreteria sunnah-sunnah maudhu’, dan kemudian

menyusun ilmu Musthalah Hadits yang memuat ketentuan-ketentuan umum untuk

menentukan derajat-derajat As-Sunnah.

C. IJTIHAD

1. Pengertian Ijtihad

Al-Qur’an berisi aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersifat global, karena

itu maksud Al-Qur’an lebih lanjut dijelaskan oleh As-Sunnah. Kendatipun masih

banyak persoalan yang dihadapi oleh manusia yang tidak ditetapkan secara pasti, baik

oleh Al-Qur’an maupun oleh As-Sunnah, terlebih lagi kebudayaan manusia dari waktu

ke waktu terus berkembang sejalan dengan perkembangan pikiran manusia. Di sini

diperlukan hukum yang mengatur manusia agar tidak keluar dari syari’at. Untuk itu

diperlukan kajian terus menerus terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk memberi
75

kepastian hukum terhadap suatu tindakan manusia yang belum di atur oleh Al-Qur’an

dan As-Sunnah secara pasti. Upaya tersebut dilakukan oleh Ijtihad.

Ijtihad adalah “menggunakan seluruh kesanggupan dan kemampuan untuk

menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan dari Al-Qur’an dan As-

Sunnah”. Orang yang melakukan Ijtihad dinamakan Mujtahid, yaitu ahli fikih yang

menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat (dzan)

terhadap suatu hukum agama dengan jalan istimbat dari Al-Qur’an atau As-Sunnah.

Kebenaran hasil Ijtihad tidaklah mutlak, melainkan dzaniyah (persangkaan

kuat kepada benar), karena itu mungkin saja antara satu Mujtahid dengan Mujtahid

lain hasilnya berbeda dalam menetapkan hukum terhadap masalah yang sama. Yang

menyebabkan perbedaan ini bisa saja karena perbedaan pengalaman dalam berijtihad,

karena perbedaan ilmu serta adat kebiasaan yang berpengaruh kepada hasil ijtihad

mereka. Bahkan bisa saja hasil ijtihad pada satu tempat atau Negara berbeda dengan

hasil ijtihad di tempat atau Negara lain. Karena seorang Mujtahid tidak terlepas davri

persoalan budaya yang ada di lingkungannya dan berpengaruh pada hasil ijtihadnya.

Demikian juga hasil ijtihad yang dilakukan pada suatu waktu dapat berbeda dengan

hasil ijtihad yang dilakukan pada waktu yang lain.

Kendatipun demikian tidak berarti bahwa setiap Mujtahid itu benar atau salah.

Karena yang dapat mengukur kebenaran secara mutlak hanya Allah semata, hal ini

dinyatakan oleh Nabi dalam sabdanya: “Hakim apabila berijtihad dan kemudian dapat

mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila dia berijtihad kemudian

tidak mencapai kebenaran, maka ia mencapai satu pahala”. (HR. Buchari Muslim).

2. Masalah yang diijtihadkan

Tidak semua masalah agama dapat diijtihadkan, hukum-hukum yang sudah

pasti tidak boleh diijtihadkan lagi, karena masalah yang diijtihadkan yaitu hukum-
76

hukum syara’ yang tidak mempunyai dalil qat’i (pasti), bukan terhadap hukum-hukum

akal dan masalah-maslah yang berhubungan dengan ilmu kalam (aqidah), demikian

pula bukan masalah-masalah yang sudah mempunyai dalil yang qat’i, seperti shalat

lima waktu dan sebagainya.

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah yang perlu

kejelasannya melalui ijtihad banyak sekali, karena ilmu pengetahuan dan teknologi

melahirkan temuan-temuan baru yang menuntut pengaturan hukumnya, misalnya

dalam bidang ilmu kedokteran ditemukan teknologi bayi tabung, alat-alat kontrasepsi

Keluarga Berencana, dan sebagainya. Penemuan tersebut memerlukan aturan hukum

bagi penggunanya di kalangan umat Islam. Karena itu ijtihad akan senantiasa

diperlukan sehingga umat Islam dapat memperoleh hukum yang jelas dan pasti tentang

persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Adanya ijtihad di dalam ajaran Islam menyiratkan bahwa Islam senantiasa

dapat memberikan jawaban terhadap persoalan yang dihadapi manusia dari zaman ke

zaman, sehingga hukum-hukumnya senantia aktual setiap waktu.

3. Macam-macam dan Cara-cara Berijtihad

a. Macam-macam Ijtihad

Dilihat dari pelaksanaannya, maka ijtihad dapat dibagi kepada dua

macam, yaitu Ijtihad Fardhi dan Ijtihad Jama’i. Ijtihad Fardhi adalah ijtihad yang

dilakukan oleh seorang Mujtahid secara pribadi, sedangkan Ijtihad Jama’i atau

ijma’ adalah ijtihad yang dilakukan oleh para Mujtahid secara berkelompok.

Dilihat dari segi materi terdiri dari:

1) qiyas

Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan

mempersamakannya, sedangkan menurut istilah adalah menetapkan suatu


77

perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan ketentuan hukum

yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan dalam ‘illat

antara keduanya.

2) ijma’

Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat,

sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan semua

ahli ijtihad umat setelah wafatnya Nabi pada suatu masa tentang suatu hukum.

Ijma’ ada dua macam, yaitu ijma’ Qauli (ucapan), dan Ijma’ Sukuti

(diam). Ijma’ Qauli adalah ijma’ dimana para ulama mujahidin menetapkan

pendapatnya baik dengan ucapan maupun dengan tulisan yang menerangkan

persetujuannya atas pendapat Mujtahid lain di masanya. Sedangkan Ijma’

Sukuti adalah ijma’ dimana para ulama mujahidin berdiam diri tidak

mengeluarkan pendapatnya atas hasil ijtihad para ulama lain, diam itu bukan

karena takut, atau karena malu tetapi tanda menyetujui pendapat ulama lain

tersebut.

Ijma’ pada masa sekarang ini dihadapkan pada persoalan banyaknya

para ulama dan tempat tinggalnya yang tersebar di seluruh pelosok dunia,

sehingga antara kelompok ulama dengan kelompok ulama lainnya tidak

mungkin disatukan pendapatnya. Kaerna itu kemungkinan perbedaan antara

ijma’ ulama di suatu tempat tinggal dengan di tempat lain sangat

dimungkinkan dan ini bukan suatu hal yang menghambat bagi pelaksanaan

hukum Islam yang dilakukan.

3) istihsan

Istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan

ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip dan dalil-dalil yang berkaitan dengan

kebaikan, keadilan, kasih sayang dan sebagainya dari A-Qur’an dan Sunnah.
78

4) maslihul marsalah

Maslihul Mursalah adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu

persoalan ijtihadiyah atas dasar pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang

sesuai dengan tujuan syari’at Islam, kendatipun tidak ada dalil-dalil secara

eksplisit dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Cara-cara Berijtihad

Mujtahid melakukan ijtihad dengan memperhatikan dalil-dalil yang

tinggi tingkatannya kemudian berturut-turut kepada tngkatan berikutnya, urutan

tersebut sebagai berikut:

1) nash Al-Qur’an

2) sunnah Mutawatir

3) sunnah Ahad

4) zahir Al-Qur’an dan

5) zahir Sunnah

Apabila dalam urutan itu tidak didapatkan, hendaknya memperhatikan

perbuatan-perbuatan Nabi, kemudian taqrirnya. Jika melalui inipun tidak

didapatkan maka hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa sahabat, jika tidak

didapat barulah ditetapkan melalui qiyas atau dengan salah satu dalil yang dapat

dibenarkan menurut syara’, dengan memperhatikan kemaslahatan (kebaikan) dan

menolak kemudharatan (keburukan).

Jika didapatkan dalil yang berlawanan, hendaknya mengumpulkan dalil-

dalil menurut aqidah yang dibenarkan. Jika tidak mungkin mengumpulkan,

diambil salah satu yang dipandang lebih kuat. Apabila sama-sama kuat hendaknya

mensakhkan, atau mencari mana yang dahulu dan yang kemudian, yang dahulu

itulah yang dibatalkan. Kalau tidak diketahui hendaknya berhenti (tawaquf), tidak
79

boleh menetapkan hukum dengan dalil yang bertentangan, hendaknya

menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya.

Demikian ketatnya cara berijtihad, sehingga hanya orang yang memiliki

kemampuan yang optimal saja yang mampu menjadi Mujtahid. Begitulah hati-

hatinya para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum.

4. Syarat-syarat Mujtahid

Berijtihad tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi hendaknya orang

yang berijtihad itu memiliki kapasitas dan kualifikasi ilmu yang memadai. Untuk

itu seorang mujtahid seyogyanya memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Mengetahui isi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersangkutan dengan hukum,

meskipun tidak hapal di luar kepala

b. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti Nahwu,

Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau

As-Sunnah dengan cara yang benar.

c. Mengetahui qaidah-qaidah ilmu Ushul yang seluas-luasnya, karena ilmu ini

menjadi dasar ijtihad.

d. Mengetahui soal-soal ijma’, supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan

dengan hasil ijma’.

e. Mengetahui Nasikh dan Mansuh dalam Al-Qur’an

f. Mengetahui ilmu riwayah dan dapat membedakan mana Sunnah yang shahih

dan hasan, mana yang dha’if, maqbul dan mardud.

g. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ yaitu qaidah-qaidah yang menerangkan

tujuan syara’ dalam meletakkan beban taklif kepada Mukalaf.

Ijtihad pada masa sekarang ini tidak hanya dilakukan oleh ahli-ahli agama yang

memiliki syarat di atas saja, tetapi juga melibatkan ahli-ahli lain yang relevan dengan
80

masalah yang sedang dibahas, karena ahli agama tidak mungkin menguasai bidang-bidang

lain secara detil dan mendalam. Misalnya materi yang dibahas dalam bidang kedokteran,

maka dalam ijtihad diperlukan keterlibatan ahli kedokteran yang memiliki kapasitas dan

kualifikasi tentang masalah yang sedang dibahas dari segi kedokteran bahkan mungkin

juga diperlukan ahli-ahli dari bidang yang lain terkait dengan masalah yang dibahas.

Sehingga semakin komplek masalah yang diijtihadkan semakin banyak ahli yang harus

dilibatkan. Semakin banyak ahli yang dilibatkan semakin baik ijtihad yang diperoleh.

Anda mungkin juga menyukai