1. Al-Qur’an
Al-Qur'an secara bahasa (etimologi) merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja
qara’a ( )قرأyang bermakna talaa ( )تلاkeduanya berarti: membaca, atau bermakna jama’a ()مجع
berarti mengumpulkan, mengoleksi. Tegasnya, Al-Qur`an berasal dari bahasa Arab yang artinya
bacaan atau himpunan. Al-Qur`an berarti bacaan karena Al-Qur`an merupakan kitab yang wajib
dibaca dan dipelajari, dan berarti himpunan karena Al-Qur`an merupakan himpunan firman –
firman Allah SWT (wahyu). Adapun istilah (terminologi) Al-Quran diungkapkan pakar Al-
Qur’an Manna Khallil AL-Qattan adalah kalam atau firman Allah SWT yang diturunkan yang
membacanya merupakan ibadah. Tegasnya Al-Qur’an adalah firman atau wahyu yang berasal
dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai
pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi.
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
b. Al-Furqan yang artinya pembeda antara benar dan salah (Q.S. Al-Furqan 25: 1);
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”
“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”
Adapun isi Al-Qur’an maka di dalam surat-surat dan ayat-ayatnya terkandung kandungan
yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta
pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana
berikut ini:
a) Akidah (Aqidah)
Akidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib
dimiliki oleh setiap orang di dunia. Akidah adalah keyakinan, yaitu keyakinan seseorang
terhadap Allah, rasul, para malaikat, kitab-kitab Allah, hari kiamat dan takdir. Di dalam Al-
Qur’an semua dijelaskan bagaimana cara kita beriman kepada Allah SWT, beriman kepada
rasul, malaikat, kitab-kitab, hari kiamat dan takdir. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi
kita ummat Islam untuk mengetahui isi kandungan Al-Qur’an. Supaya dapat kita jadikan
pedoman hidup kita.
b) Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “fuqaha” ibadah
adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari
Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum
dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu,
membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah
mampu menjalankannya.
c) Akhlak (Akhlaq)
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul
karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi
Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak. Setiap
manusia harus mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
d) Hukum-Hukum
Hukum yang ada di Al-Qur’an adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang
beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia
yang terbukti bersalah. Hukum dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an ada beberapa jenis atau
macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
e) Peringatan (Tadzkir)
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan
ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dengan balasan berupa nikmat surga
jannah atau waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam Al-
Qur’an atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambaran yang menakutkan dengan
istilah lainnya tarhib.
Al-Qur’an diturunkan dengan berbagai macam cara serta waktu yang tidak terangkum
dalam satu kitab yang utuh. Oleh karena itu sistematika surat-surat dalam mushaf sekarang
berbeda dengan sistematika turunnya. Pembentukan susunan Al-Qur’an seperti sekarang inipun
merupakan proses kondisi atas fisik Al-Qur’an yang berserakan menjadi satu korpus tunggal pun
tidak hanya melibatkan dimensi waktu, sejarah, tetapi juga tokoh-tokoh yang berperan di
dalamnya. Berikut adalah daftar Sistematika al-Qur’an:
2. As-Sunnah
a. Defenisi As-Sunnah
(َّواما
َ )اَلد, c) adat kebiasaan (ادةا
َ )اَل َْع, dan d) sebagai lawan kata dari “bid’ah”. Adapun di dalam Al-
Qur’an kata “Sunnah” terdapat dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti
“kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Di hadis-hadis Nabi SAW kata Sunnah
disimpulkan oleh Muhammad Mustafa Azami menunjuk arti yaitu “tata cara dan tingkah laku
hidup yang menjadi panutan”.
Sementara itu, defenisi As-Sunnah secara terminologis diartikan beragam oleh para
ulama, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing.
Dengan ungkapan lain sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (pengakuan) yang mempunyai hubungan
dengan hukum.”
c) As-Sunnah menurut ahli fikih (fukaha) adalah:
ِ اَب
ِ باالْ َف ْر
ضا ِ ٍ ِااثبتاع ِناالن ِ
َ اصلىاهللااواسلماوا ََلايَك ْنام ْن
َ َِّب َ ام
َ َوه َاياك ُّل
بااج ِاِ والَاالْو
َ َ
“As-Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW yang tidak termasuk bab
fardhu dan wajib.
Dengan ungkapan lain adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan,
maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan. Amir Syarifuddin secara tegas
menyatakan bahwa defenisi sunnah dalam pandangan ulama fikih ini merupakan “hukum”,
bukan “sumber hukum”. Hal ini karena ulama fikih menempatkan sunnah itu sebagai salah
satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap suatu perbuatan.”
b. Kedudukan As-Sunnah
Secara historis, sunnah Nabi SAW di era Rasulullah berfungsi menerangkan Al-Qur’an.
Dan sunnah bukanlah merupakan sumber otoritatif setingkat Al-Qur’an. Karena itu kehadiran
sunnah juga mengikuti perkembangan masyarakat. Selanjutnya, ulama ushul fiqh menempatkan
kedudukan sunnah sebagai sumber kedua yang berada sesudah Al-Qur’an. Artinya bahwa jika
tidak ditemukan jawaban suatu masalah dalam zahir Al-Qur’an, maka harus mencarinya dari
sunnah Nabi SAW dan tidak boleh langsung ke dalil yang berada di bawahnya seperti ijma’ atau
qiyas. Kedudukan sunnah sebagai sumber atau dalil kedua ini memiliki kekuatan untuk ditaati
serta mengikat untuk semua umat Islam.
Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam tersebut mempunyai argumentasi dari
beberapa dalil, sebagai berikut:
a) Banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat untuk menaati Rasul. Bahkan
ketaatan kepada Rasul kerap diiringkan bersamaan dengan keharusan menaati Allah.
Hal ini ditegaskan Al-Qur’an dalam surat Al-Anfal (8): 20; Al-Nisa’ (4): 59, 60, 69,
dan 80.
b) Ayat-ayat Al-Qur’an sering menyuruh umat beriman kepada Rasul dan menetapkan
keimanan kepada Rasulullah bersamaan dengan kewajiban beriman kepada Allah
SWT. Hal ini secara ekplisit dijelaskan dalam surah Al-A’raf (7): 158.
c) Ayat-ayat Al-Qur’an menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya
merupakan wahyu sebagaimana yang diutarakan dalam surat An-Najm (53): 3-4.
c. Bentuk-Bentuk As-Sunnah
Amir Syarifuddin berdasarkan defenisi sunnah menurut ulama ushul fiqh sebagaimana
telah dipaparkan di atas, membagi tiga macam bentuk As-Sunnah sebagai berikut:
a) Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi SAW yang didengar oleh sahabatnya dan
diberitakannya kepada orang lain dengan ucapannya sendiri. Disinilah perbedaan antara
wahyu Allah dalam bentuk Al-Qur’an dengan wahyu Allah dalam bentuk Sunnah Qauliyah.
Untuk itulah Al-Qur’an disebut sebagai wahyu al-matlu (yang dilantunkan dengan suara
yang keras/recite) dan Sunnah Nabi disebut wahyu al-maqru’ (yang dibaca dengan suara
yang tidak keras/read). Sebagai contoh sabda Rasulullah SAW,
َِّ ول
ااَّللا َ ارس
َ َن اع ْناأَبِ ِا
َّ يه أ َ اَي ََياال َْم ِازِِن
َْ اع ْم ِروابْ ِن َ ِامال
َ كاع ْن َ اع ْن َْ َح َّدثَِِن
َ اَي ََي
ار ِ ضرراوَال
اض َر َا َ َاو َسلَّ َماق ِ َ ىااَّلل
َّ َّصل
َ َ َ َ ال َاالا َ اعلَْيه َ
“Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari 'Amru bin Yahya Al Muzani dari
Bapaknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh membuat kemudharatan pada diri
sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain."
b) Sunnah Fi’liyah, yaitu sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang
dilihat atau diketahui sahabatnya, kemudian disampaikannya kepada orang lain melalui
ucapan sahabat tersebut. Sebagai contoh adalah,
اع ِيا َع ْنا ِ ح َّدثَنَاا إِسحاقا بنا إِب ر ِاهيما أَ ْخَبََنا الْولِيدا بنا مسالِ ٍما َعنا ْاْلَوَز
ْ ْ ْ ْ َ ََ َ َ ْ ْ َ ْ َ
ينا يَ ْش ََتو َنا ذِ َّاَّللا َع ْنها قَالَا رأَيتا ال
َّ ا ي ِ
ض ر ا ِ ِالز ْه ِر ِيا َعنا س ٍِاَلا َعنا أَب
يه ُّ
َ َْ َ َ ْ َ ْ
اعلَْي ِها َو َسلَّ َما أَ ْنا َّ صلَّىا َِّ ولا ِ ىاع ْه ِدا رس
َ اَّلل َ اَّللا َ َ َاعل َ ض َربو َن َ الطَّ َع
ْ اماُمَ َازفَةًا ي
اح ََّّتاي ْؤواوهاإِ ََلا ِر َحاِلِِ ْام
َ يَبِيعوه
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Al
Walid bin Muslim dari Al Awza'iy dari Az Zuhriy dari Salim dari bapaknya radliallahu
'anhu berkata; "Aku melihat orang-orang yang membeli makanan yang tanpa ditimbang di
zaman Rasulullah SAW akan dipukul bila menjualnya kembali, hingga mereka
mengangkutnya kepada kendaraan angkut mereka".
c) Sunnah Taqririyah, adalah segala sesuatu yang muncul dari sahabat Nabi SAW yang diakui
keberadaanya oleh Nabi SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara diam
tanpa pengingkaran atau persetujuan dan keterusterangan Rasulullah SAW menganggapnya
baik bahkan menguatkannya. Dengan ungkapan lain, sunnah taqririyah yaitu sesuatu yang
timbul dari sahabat Rasulullah SAW yang diakui (tidak ditanggapi dan tidak dilarang) oleh
Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Sebagai contoh adalah,
ٍ اش َه ِ اعنااب ِن ٍ او ْه ِ َّواح َّدثَِِناأَبواالط
اع ْناَ اب ْ ْ َ َبِنايونس ََ باأَ ْخ َ ن ْااب َن
َ َب
َ َ خْ َأ ا ِ
ر اه َ
َّ َّاصل
ىااَّللا َِّ ول َِّ شةا و ِاعائ َ َاالزبَ ِْْيا ق
ُّ ع ْرَوةَابْ ِن
َ ااَّلل َ ارس َ َت َي
ْ أ
ار دْ قَ ل
َ ا اَّلل َ َ َ ت ْ َالا قَال
ام ْس ِج ِدا اِف
َ ْ َ ِ م ِِاِبراِب
ِِ شةاي لْعباو َن َ
َ َ ََ َ َ ْ ب ِل
ْ ااو ِتِ
ر ج اح ب ِ ىاَب
َ ل
َ اع
َ وم ق اي مَّ
ل
َ َ ََ ْساو ِ َعلَي
ه
او َسلَّ َمايَ ْسَتِنا بِ ِر َدائِِهالِ َك ْيا أَنْظ َرا إِ ََلا لَ ِعبِ ِه ْماُثَّا ِ َ ىااَّلل َّ َّاصل َِّ ول ِ رس
َ اعلَْيه َ ااَّلل َ
ص ِرفا فَاقْ ِدرواا قَ ْد َراا ْْلَا ِريَِةاا ِْلَ ِديثَ ِةا ِ امنا أ ِ
َ ْياح ََّّتا أَكو َنا أ َََناالَِِّتا أَن َ َجل ْ ْ يَقوم
اعلَىااللَّ ْه ِاو ِ
َ ًيصة َ اح ِر
َ الس ِان
“Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb
telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair ia berkata,
Aisyah berkata; "Saya melihat Rasulullah SAW berdiri di pintu kamarku, sementara orang-
orang Habasyah sedang bermain tombak di masjid Rasulullah SAW, maka beliau
menutupiku dengan kainnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Kemudian beliau
berdiri (agar aku lebih leluasa melihat), sampai saya sendiri yang berhenti (setelah bosan)
melihatnya. Karena itu, berilah keleluasaan kepada anak-anak wanita untuk bermain."
d. Fungsi As-Sunnah
Lebih jauh dari itu, berdasarkan hubungan antara antara sunnah dengan Al-Qur’an maka
dapat dijelaskan fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:
1) Pertama, yang sejalan dengan Al-Qur’an, menegaskan (taqrir) dan mengukuhkan (ta’kid)
apa yang ada di dalamnya. Jadi, hukum tersebut mempunyai dua sumber dan dua dalil, yaitu
(1) dalil yang menetapkan dari ayat-ayat Al-Qur’an, dan (2) dalil yang mengukuhkan berupa
sunnah Rasul. Dalam bentuk ini, fungsi sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an. Contohnya adalah sunnah-sunnah yang berisi perintah shalat,
zakat, keharaman riba dan lainnya.
2) Kedua, menjelaskan (bayan) apa yang tidak terang (mujmal) dalam Al-Qur’an. As-Sunnah
akan menjelaskan apa yang menjadi maksudnya, seperti penjelasan tentang tata cara shalat,
jumlah raka’at shalat, penjelasan tentang anak yang dapat mewarisi, dan lain-lain. Disini
fungsi sunnah tidak dapat dilepaskan begitu saja. Menolak penjelasan Sunnah terhadap Al-
Qur’an juga tidak mungkin, karena Al-Qur’an sendiri telah menegaskan posisi Rasulullah
(Sunnah) demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah (Sunnah) terhadap Al-
Qur’an sama saja artinya dengan menolak Al-Qur’an demikian seperti penjelasan
Muhammad Mustafa Azami.
3) Ketiga, yang merupakan ketentuan mandiri, yang tidak mempunyai penjelasan eksplisit
dalam Al-Qur’an. Disini hukum ditetapkan berdasarkan Sunnah karena nash Al-Qur’an
tidak menunjukinya. Dengan ungkapan lain, sunnah berfungsi menetapkan sendiri hukum di
luar yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah musqatil bi
insya’ al-ahkam. Untuk itulah fungsi sunnah dalam bentuk ini disebut “insya” atau “itsbat”.
Adapun contohnya adalah larangan sunnah yang di dalam Al-Qur’an tidak terdapat larangan
untuk memakan daging hewan yang bertaring buas dan burung yang kukunya mencekam.
Sebagaimana hadis berikut ini:
ٍ ااَّللابنامعِ
اع ْناَ اع ْناا ِْلَ َك ِم َ اح َّدثَنَااأَِِب
َ اح َّدثَنَااش ْعبَة َ ي ُّ اذااالْ َع ْن ََِب َ ْ َّ َح َّدثَنَااعبَ ْيد
اَّللا َعلَْي ِها
َّ صلَّىا َِّ الا ََنَىا رسولا ٍ ِ ِ ونا ب ِنا ِ م ْيم
َ اَّللا َ َ َق ا اس َّب ع
َ ا ن اب
ْ ا ن
ْ ع
َ ا ن
َ ا
رَ ه
ْ م ْ َ
ِب ِ اذ ِ االسب ِاعا و َعناك ِل ِ امن ِب ِ اعناك ِل
ام ْناالطَّ ِْْيا اوا ٍ َياِمْل ْ َ َ ْ ٍ ياَن
َ اذ ْ َ َو َسلَّ َم
ٍ اع ِرا ح َّدثَنَاا س ْهلا بنا ََح
َّادا َح َّدثَنَاا ش ْعبَةا ِِبَ َذاا ِ الش
َّ َح َّدثَِِنا َح َّجاجا بْنا
ْ َ َ
اد ِامثْ لَها
ِ َاْلسن
ْ ِْ
“Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari telah menceritakan
kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Maimun
bin Mihran dari Ibnu Abbas dia berkata, "Rasulullah SAW melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk
mencengkeram." Dan telah menceritakan kepadaku Hajjaj bin As Sya'ir telah menceritakan
kepada kami Sahl bin Hammad telah menceritakan kepada kami Syu'bah dengan sanad
seperti ini."