Anda di halaman 1dari 22

NAMA : MAHARANI PUTRI

NIM : 20201021

PRODI : EKONOMI SYARI’AH

PEMENUHAN TUGAS ABSENSI ILMU FIQIH

MERANGKUM MATERI 1 DAN 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Fiqh

Fikih (bahasa Arab: ‫فقه‬, translit. fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam


syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang
mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Allah, Tuhannya.
[1]
 Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya
sebagai hamba Allah.
Fikih membahas tentang cara beribadah dan muamalah, sesuai yang
tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat
mazhab dari Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah
menguasai ilmu fikih disebut Fakih. Sebagian ahli fikih membagi 4
pembahasan utama, yakni; rubu' ibadat, rubu' mu'amalat, ru'bu
munakahat, dan ru'bu djinajat. Namun sebagian ahli fikih lainnya membagi
pembahasan fikih pada dua aspek saja, yaitu ru'bu ibadat dan ru'bu
mu'amalat.
Fiqh ‫فقه‬ secara bahasa artinya pemahaman yang benar tentang apa yang
diharapkan.

Fiqh adalah mashdar dari bab ُ‫فقِ َه يف َقه‬ faqiha - yafqahu, yang berarti


"paham". ‫فقُ َه‬ faquha (dengan qaf berharakat dhammah) artinya fiqh menjadi
sifat alaminya. ‫ف َق َه‬ faqaha (dengan fathah) artinya lebih dulu paham dari
yang lain.

Secara istilah, fikih artinya  ‫معرفة باألحكام الشرعية العملية بأدلتها‬


‫التفصيلية‬ “pengetahuan tentang hukum-hukum syariat praktis berdasarkan
dalil-dalil rincinya.” Yang dimaksud ‫معرفة‬ “pengetahuan” mencakup ilmu
pasti dan dugaan. Hukum-hukum syariat ada yang diketahui secara pasti
dari dalil yang meyakinkan dan ada yang diketahui secara dugaan.
Masalah-masalah ijtihad yang menjadi bahan perbedaan pendapat di
kalangan ulama adalah masalah dugaan karena jika diketahui secara
yakin, maka pasti tidak ada perbedaan pendapat.
Yang dimaksud ‫األحكام الشرعية‬ “hukum-hukum syariat” seperti wajib dan
haram. Fikih tidak membahas hukum-hukum logika, seperti "semua itu
lebih besar dari sebagian," maupun hukum-hukum alam, seperti turunnya
embun di akhir malam yang cerah musim panas. Yang dimaksud
dengan ‫العملية‬ “(hukum) praktis,” fikih tidak membahas permasalahan
keyakinan. Ajaran tentang keyakinan dibahas dalam ilmu aqidah. Para
ulama menyebutnya ‫الفقه األكبر‬ al-fiqh al-akbar “Fikih agung.” Oleh karena itu,
hadis Nabi “Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah
faqihkan dia terhadap agama” mencakup ilmu fikih dan ilmu aqidah.
Yang dimaksud dengan ‫بأدلتها التفصيلية‬ “berdasarkan dalil-dalil rincinya”
adalah dalil yang langsung berhubungan dengan suatu praktek. Misal, dalil
firman Allah,   ‫اغسِ لُ ْوا‬
ْ ‫ِإ َذا قُ ْم ُت ْم ِإلَى الصَّال ِة َف‬   “... apabila kamu hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah ...”[] berhubungan dengan
disyaratkannya niat untuk wudu. Dengan begitu, dalil yang dibawakan
langsung berhubungan dengan masalah praktek tertentu. Berbeda dengan,
misal, dalil dari hadis: ‫من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو^ رد‬ “Barangsiapa
mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia
tertolak,” ini tidak termasuk fikih karena berhubungan dengan masalah
umum yang menjadi satu di antara kaidah-kaidah fikih.
A. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU FIQH
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang
muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial,
fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang
muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka
seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada
Al Qur’an dan sunnah. Sepeninggal Nabi SAW. Ilmu fiqh ini mulai
berkembang, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan
yang muncul dari zaman kezaman. Permasalahan semakin berkembang
dan tidak semua permasalahan yang ada, terdapat di dalam nash,
namun membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat Setiap satu
permesalahan memiliki ratusan solusi yang berbeda dari setiap ulama.
Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada
masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan
ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Pada
zaman kita ini, para ulama (Fuqoha) mulai bermunculan dan memiliki
ijtihad yang berda-beda.Tulisan ini bertujuan untuk mengklasifikasi
secara periodik perkembangan ilmu fiqh, namun akan didahului oleh
pengertian dari ilmu fiqh kemudian dilanjutkan dengan sejarah
perkembangannya mulai dari periode Rasulallah SAW, periode sahabat,
periode tadwin, dan yang terakhir periode taqlid.
BAB II

SUMBER HUKUM FIQH ISLAM

A. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM PERTAMA


Al-Qur’an Menurut bahasa , kata “Al-Qur‟an” berasal dari kata “qa-ra-
a” yang berarti membaca dan “qur-a-nan” yang berarti yang dibaca.
Menurut Moenawar Cholil (1997:36), Al-Qur‟an adalah landasan
amaliah manusia yang paling sempurna dengan penjelasan yang
sempurna dari Rosulullah SAW., kecuali atas dasar wahyu dari Allah
SWT.
Keabsahan Al-Qur’an
a. Al-Qur‟an
 “Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh
(AlQur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah
mengetahui apakah kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi
Kami jadikan AlQur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi
petunjuk siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba
Kami. Dan sungguh engkau benar-benar membimbing (manusia)
kepada jalan yang lurus.” (Q.S.Asy-Syura : 52)
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan mebawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S.An-Nisa‟:105)
b. Hadist “Aku tinggalkan diantara kamu semuadua perkara, yang
kamu semua tidak akan tersesat selama kamu semua berpegang
teguh kepada dua perkara, yaitu kitab Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul(Hadist).” (H.R.Muslim)
Sifat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
 Tidak menyulitkan “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Q.S.Al-Baqarah : 185)
 Menyedikitkan beban “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkanmu…” (Q.S.Al-Maidah : 101)
 Bertahap dalam pelaksanaannya dalam mengharamkan khamr
ditetapkan dalam tiga proses, yaitu :

a. Menjelaskan manfaat Khamr lebih kecil daripada mudharatnya


“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah yang lebih
dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu
supaya kamu berfikir.” (Q.S. Al Baqarah : 219)
b. Melarang pelaku sholat dalam keadaan mabuk “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (Q.S. An-
Nisa : 43)
c. Menegaskan hukum haram pada khamr dan perbuatan buruk
lainnya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.AlMaidah : 90)
Garis besar hukum dalam Al-Qur’an :
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah SWT., yang disebut ibadah.
 Bersifat ibadah, contohnya shalat.
 Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat,
contohnya zakat.
 Bersifat badaniyah dan berhubungan dengan masyarakat,
contohnya haji.
2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia yang
disebut muamalat.
 Berhubungan dengan jihad.
 Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, misalnya
nikah,cerai,dll.
 Berhubungan dengan jual beli,sewa menyewa,dll.
 Berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, misalnya
qisas,hudud,dsb.

Fungsi Al-Qur’an
 Sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia. “Al-Qur’an ini
adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini.” (Q.S. Al-Jatsiyah : 20)
 Sebagai pembenar dan penyempurna kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya. “Dia menurunkan alkitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan
sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al-Qur’an), petunjuk bagi
manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-
orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa
yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan
(siksa).” (Q.S. Ali-Imran : 3-4)
 Sebagai mu‟jizat Nabi SAW. “Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari Al-Qur’an ketika AlQur’an itu datang kepada mereka,
(mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu
adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupunn dari belakangnya , yang
diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Q.S.
Fusshilat :41-42)
 Membimbing manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan “…
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan(15). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-
orang yang mengikutikeridhaan-Nya kejalan keselamatan dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap
gulitakepada cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya,
dan menunjukki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S.Al-Maidah : 15-16)
 Pelajaran dan penerang kehidupan “…Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah pelajaran dan kitab yang meberi penerangan.” (Q.S.
Yasiin : 69)

As-Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berarti kebiasaan dan jalan (cara) yang
baik dan yang jelek atau jalan (yang dilalui) yang terpuji atau yang
tercela atau jalan lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten). Para
muhadditsin memaknakan As-Sunnah sebagai sesuatu yang
dinukilkan dari nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup, baik sebelum nabi Muhammad SAW., diangkat
menjadi Rosul maupun setelah diangkat menjadi Rosul.
Ada tiga golongan yang mendefinisikan As-Sunnah secara berbeda-
beda, yaitu :
a. Ahli Ushul Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW., berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum
maupun setelah menjadi Rasul.
b. Ulama Hadist Menurut ulama hadist, sunnah adalah segala
sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup, baik sebelum Nabi Muhammad SAW., ditetapkan sebagai
Rosul maupun sesudah menjadi Rosul.
c. Ulama Fiqh Menurut ulama fiqh, sunnah adalah amalan yang
diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak berdosa apabila
ditinggalkan. Sunnah adalah segala bentuk perintah yang boleh
ditinggalkan, apabila perintah itu dikerjakan maka memperoleh
pahala
Alasan bahwa As-Sunnah sebagai wahyu kedua setelah Al-Qur‟an,
yaitu :
a. Allah SWT., menetapkan nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi
dan Rosul terakhir.
b. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., membawa
risalah-risalah-Nya.
c. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., terbebas dari
kesalahan ketika berkaitan dengan kerasulannya. Rasulullah SAW.,
di ma‟shum sehingga hal-hal yang disampaikannya bukan berasal
dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang dikaruniakan
oleh Allah SWT.
d. Al-Qur‟an memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan
makna-mkana AlQur‟an kepada umat manusia berada ditangan
Rasullullah SAW., sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-
Maidah ayat 67, yang artinya : “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa
yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa
yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-
Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
(Q.S. Al-Maidah :67)

Keabsahan As-Sunnah
a. Al-Qur‟an Firman Alloh SWT., dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang
artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr :
7) Firman Alloh SWT., dalam surat an-Nisa ayat 59, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , taatilah Alloh dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa :59)
b. Hadist Hadist Nabi SAW : “Wajib bagi sekalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin (khalifah yang
mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
(H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an


a. Bayan Taqrir Sunnah berfungsi untuk menguatkan atau menggaris
bawahi maksud redaksi Al-Qur‟an.  Contoh hadist tentang
penentuan kalender bulan berkenaan dengan kewajiban
Ramadhan “ Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah. Juga
apabila melihat bulan, berbukalah.” (H.R. Muslim) Hadist ini
mentaqrir ayat : “Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan,
hendaknya ia berpuasa.” (Q.S. Al-Baqarah : 185)  Contoh hadist
tentang kewajiban suci dari hadas asghar dengan berwudhu,
ketika hendak mengerjakan sholat “Tidak diterima sholat
seseorang yang berhadas sebelum wudhu.” (H.R. Bukhari” Hadist
ini menguatkan Q.S.Al-Maidah(5) : 6 6 “Apabila kamu (orang
beriman) hendak mendirikan sholat, maka basuhlah muka dan
tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah
kakimu sampai kedua mata kaki.” (Q.S.Al-Maidah : 6)
b. Bayan Tafsir Sunnah berfungsi untuk menjelaskan atau
memberikan keterangan atau menafsirkan redaksi Al-Qur‟an,
merinci keterangan Al-Qur‟an yang sifatnya mujmal (global) dan
bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al-Qur‟an atau
mengkhususkan (takhsis) terhadap redaksi ayat yang masih
bersifat global.  Contoh hadist yang menafsirkan Q.S. Al-
Qadr(97) : 1-5 “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-
Qur’an) pada malam kemuliaan(1). Dan tahukah kamu apakah
malam kemuliaan itu?(2). Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan(3). Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan(4). Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar(5).”
(Q.S.Al-Qadr:1-5) Nabi SAW., memberi penjelasan tentang waktu
(terjadinya) lailatul qadr, seperti dalam hadist : “…(malam) lailatul
qadr berada pada malam ganjil pada sepuluh akhir ramadhan.”
(H.R. Bukhari)  Contoh hadist yang merinci cara (kaifiat)
tayamum, seperti yang diperintahkan oleh Q.S. Al-Maidah(5) : 6
dengan redaksi : “…maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik(bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”
(Q.S.Al-Maidah : 6) Rincian tentang cara tayamum tersebut
diterangkan dalam hadist : “Tayamum itu dua kali tepukan : sekali
tepukan untuk wajah dan sekali tepukan untuk kedua tangan.”
(H.R.Daruquthny)  Contoh hadist yang membatasi keumuman
maksud Q.S. Al Maidah(5) : 3 “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah dan daging babi,…” (Q.S.Al-Maidah :3) Nabi
SAW., menjelaskan tentang pengkhususan bangkai dan darah
yang dihalalkan oleh hadist : “Dihalalkan bagi kamu dua bangkai
dan dua darah, adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan,
dan dua darah itu adalah limpa dan hati.” (H.R. Ahmad dan Ibnu
Majah)
c. Bayan Tasyri‟ Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang
tidak dijelaskan oleh Al-Qur‟an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi
SAW., karena berkembangnya permasalahan yang sejalan
dengan luasnya daerah penyebaran islam dan beragamnya
pemikiran para pemeluk islam.  Contoh larangan Nabi SAW.,
atas suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak
sang istri. Firman Allah SWT : “…dan diharamkan
menghimpunkan dalam pernikahan dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu…” (Q.S.
AnNisa‟(4) : 23) Selengkapnya pernyataan Nabi SAW : “Tidak
dibenarkan menghimpun dalam pernikahan seorang wanita
dengan saudara perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara
perempuan ibunya, tidak juga dengan anak perempuan
saudaranya yang lelaki dan tidak juga dengan anak saudaranya
yang perempuan.” (H.R. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai). At-
Thabrani menambahkan “karena kalau itu kamu lakukan, kamu
memutus hubungan kekeluargaan kamu.” (H.R. At-Thabrani) 
Contoh perihal zakat, Al-Qur‟an tidak secara jelas menyebut
berapa yang harus dikeluarkan seorang muslim ketika zakat fitrah.
Nabi SAW., menjelaskan dalam hadisnya : “Rasul telah
mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan
ramadhan satu sho’(zakat) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau perempuan
muslim.” (H.R. Muttafak „Alaih)
Ijma’
Menurut arti lughawi, ijma‟ memiliki arti bermaksud atau berniat. Ijma‟ juga
dapat diartikan sebagai kesepakatan (al-ittifaq) terhadap sesuatu.
Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Asnamy Nihayassaul Lil Asnawi yang
mengutip pendapat Abu Ali Al-Farisi dalam kitab Al-Idha. Pernyataan
“fajmi’u” dapat diartikan bahwa “mereka menjadi sependapat”. Pendapat
tersebut diperkuat oleh Firman Alloh SWT., dalam AlQur‟an surat Yusuf
ayat 15, yang artinya :
“Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar
sumur, Kami wahyukan kepadanya , “Engkau kelak pasti akan
menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedang mereka tidak
menyadari.” (Q.S.Yusuf : 15) Menurut istilah, ijma‟ merupakan sebuah
kesepakatan semua mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
wafatnya Rosululloh SAW., atas hukum syara yang tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Qur‟an dan Hadist. Jadi objek ijma‟ adalah semua
peristiwa yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an dan Hadist, peristiwa
yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah bidang muamalat,
bidang kemasyarakatan, atau semua hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an dan Hadist.

Menurut Hanafi didalam ijma‟ terkandung hal-hal sebagai berikut :


a. Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang sama dengan
pendapat yang lain.
b. Apabila ada yang tidak sependapat maka tidak ijma‟. Tanpa adanya
kesepakatan secara menyeluruh ijma‟ tidak akan terjadi, hanya pendapat
terbanyak dapat dijadikan hujjah.
c. Jika pendapat pada suatu masa keluar dari seorang mujtahid maka
bukan termasuk ijma‟.
d. Kebulatan pendapat harus real, artinya semua harus menyatakannya,
baik secara lisan,tulisan ataupun isyarat.
e. Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk mujtahid, bukan
yang lainnya.
f. Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu, bukan ijma‟. Karena yang
dimaksud disini adalah ijma‟ ummah, artinya seluruh umat bersepakat.

Keabsahan Ijma’
a. Al-Qur‟an Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat Ali „Imran ayat
103, yang artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali
(agama) Allah SWT., dan janganlah kamu bercerai berai, …” (Q.S. Ali
„Imran :103) Pada ayat ini Alloh SWT., memberi perintah agar
berpegang teguh pada tali Allah dan jangan terpecah belah. Ayat
tersebut secara tidak langsung memandang ijma‟ sebagai bagian dari
upaya berpegang kepada tali Alloh, 9 yaitu kebenaran yang datang dari
al-Hakim, yang membuat hukum Islam dan semua hukum yang berlaku
di alam. Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 115,
yang artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. “ (Q.S. an-Nisa :115)
b. Hadis Sabda Rosul SAW: “Umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan” Apabila para mujtahid telah melakukan ijma‟
dalam menentukan hukum syara‟ dari suatu permasalahan hukum,
maka keputusan ijma‟ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi
kemaksiatan dan dusta.
Rukun Ijma’
Rukun ijma‟ dalam definisi diatas yaitu adanya suatu kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara‟. Kesepakatan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi :
a. Tidak cukup ijma‟ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaannya hanya seorang saja disuatu masa. Karena, kesepakatan
dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara yang satu
dengan yang lain. 10
b. Adanya kesepakatan sesama mujtahid atas hukum syara‟ dalam suatu
masalah dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
dari mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa, atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada para semua mujtahid.
Apabila rukun ijma‟ tersebut telah terpenuhi, maka hukum yang di ijma‟kan
tersebut menjadi aturan syara‟ yang wajib diikuti dan tidak boleh
mengingkarinya.

Macam-Macam Ijma’
a. Ditinjau dari segi terjadinya
 Ijma‟ shorih/qauli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas , baik berupa ucapan atau tulisan.
 Ijma‟ suquti/iqrari, yaitu semua atau sebagian mujtahid tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam
diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan oleh mujtahid lain yang hidup pada masanya.
Dalam hal ini perbedaan diantara ulama madzhab, ulam Malikiyah dan
Syafi‟iyah menyatakan ijma‟ suquti bukan sebagai ijma‟ dan dalil.
Tetapi, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa
ijma‟ ini dapat dinyatakan sebagai ijma‟ dan dalil qath‟i.
b. Ditinjau dari segi keyakinan
 Ijma‟ qath‟i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma‟ itu adalah sebagai dalil
qath‟i diyakini benar terjadinya.
 Ijma‟ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan apabila massih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang 11
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan
hasil ijma‟ yang dilakukan pada waktu yang lain. c. Ditinjau dari pelaku
ijtihad
 Ijma‟ sahabat, yaitu ijma; yang dilakukan oleh para sahabat nabi
Muhammad SAW.
 Ijma‟ khulafaurrasyidin, yaitu ijma; yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar As-Shidiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan,
dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
 Ijma‟ shaikhani, yaitu ijma‟ yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
 Ijma‟ ahli Madinah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah.
 Ijma‟ ulama Kuffah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kuffah.
 Ijma‟itrah, ijma‟ yang dilakukan seluruh ahlul bait atau golongan
syiah.

A. Qiyas Sebagai Sumber Hukum Keempat


Qiyas berasal dari kata qasa,yaqisu,qiasan, artinya mengukur dan
ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain
yang searti dengan itu.
Selain itu, qiyas adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainya
atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya, misalnya kalimat:
‫قاس‬
Qiyas telah mengukur sesuatu dengan lainya atas lainya. Qiyas
diartikan pula dengan al-taqdir wa al-taswiyah, artinya menduga dan
mempersamakan.
‫استخر‬
Mengeluarkan hukum yang disebutkab kepada yang tidak
disebutkan dengan menghimpun keduanya.
‫القياس‬
Qiyas adalah membandingkan yang didiamkan ( tidak ada
ketentuan hukumnya) kepada yang diterangkan (sudah ada
ketentuan hukunya) pada illat hukum.
‫اثبات‬
Menetapkan hukum yang diketahui pada hukum lain yang diketahui
karena persekutuan(persamaan) illat hukum.
‫ت‬
Menghasilkan hukum pokok karena bersamaan padanya illat hukum
di sisi mujtahid.
‫ا‬
Menghubungkan perkara yang didiamkan oleh syara(tidak ada
ketetapan hukumnya) dengan yang diterangkan(ditetapkan
hukumnya) karena illat yang sama pada keduanya. ‫ح‬
Membawa yang diketahui kepada sesuatu lain yang diketahui pula
untuk menentapkan hukum atau melarang keduanya karena ada
sesuatu yang sama di antara keduanya, baik hukum maupun
sifatnya. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan
‫ا‬
Berdasarkan definisi tersebut, qiyas adalah ashl, yaitu menetapkan
hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuanya,
berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Diartikan pula sebagai proses pemindahan hukum yang terdapat
pada pokok ke cabang (dari ashl ke furu’) karena adanya illat hukum
yang sama atau adanya illat yang tidak diketahui dengan
pendekatan kebahasaan (logika linguistik). Alasan adanya illat
hukum yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa
secara murni, sebagaimana Rachmat Syafi’i mengutip pendapat Al-
Human dan Shadr Al-Syari’ah.

Syarat utama dalam pendekatan analogi atau qiyas adalah adanya


persamaan illat hukum. Dengan demikian, pendekatan analogis akan
lebih mengutamakan logika induktif karena dari kasus khusus ditarik
pada kasus yang sifatnya umum. Dalam qiyas terdapat proses
generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan
proses analisis ke berbagai sudut pandang, mulai dari pemaknaan
bahasa, pemahaman peristiwa asal, dan sifatsifat hukum yang
dikategorikan memiliki indikasi yang serupa.
Dengan pemikiran tersebut, ulama ushul fiqih mengatakan bahwa
rukun qiyas terdiri atas sebagai berikut:
1. Ashl atau pokok, yaitu pertiwa yang sudah ada nash-nya, yang
dijadikan tempat menganalogikan.
2. Far’u (cabang), yaitu peristiwayang tidak ada nash-nya yang akan
dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan
musyabah (yang dianalogikan dan diserupakan).
3. Hukum ashl, yaitu hukum syara, yang telah ditentukan oleh nash.
4. Illat, yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Qiyas sebagai analogi
induktif adalah penalaran yang berpangkat dari peristiwa khusus
pula. Dengan rumusan logis, jika benar keseluruhanya, benar pula
bagian-bagianya. Jika tidak benar keseluruhanya, tidak benar pula
bagian-bagianya.

Analogi induktif merupakan cara berfikir yang berdasarkan pada


persamaan yang nyata dan terbukti, yang terdapat dalam dua
barang, dan melalui barang tersebut ditemukan kesamaanya yang
memudahkan penarikan kesimpulan.
Qiyas dibagi menjadi dua macam, yaitu al-qiyas al-aqliy dan al-qiyas
al-syar’i itu dapat digunakan berargumentasi. Qiyas aqli banyak
digunakan oleh mutakalimin dalam menyelesaikan berbagai
persoalan akidah jaman pada zamannya. Dalam qiyas aqli illat yang
dida[at hanya ada satu pasti. Dengan demikian, kesimpulan
hukumnya yang benar hanya satu. Akan tetapi, dalam qiyas syar’i
yang banyak digunakan oleh fuqoha, illat diperoleh secera pasti dan
bisa pula didapat atas dasar hasil penenelitian dari dugaan kuat
seseorang mujtahid.
Pemikiran tentang dugaan yang kuat terhadap illat hukum yang
dilakukan oleh mujtahid , dapat membentuk hasil ijtihad qiyasi yang
berbeda-beda karena mujtahid memiliki cara pandang yang berbeda.
Akan tetapi ,perbedaan hasil ijtihad qiyasi yang berupa ketentuan
hukum bagi masalah baru yang tidak ada nash dan ketetapan
hukumnya, secar praktis 4 ”diterima” oleh manusia, dan stiap yang
meyakini kebenaranya akan mengamalkanya perbuatan hukum yang
bersangkutan. Dengan demikian, ketentuan hukum yang diproduk
melalui pedekatan qiyas kebenaranya akan mengamalkan perbuatan
hukum yang bersangkutan.

B. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Kelima


Ijtiahad berasal dari kata jahda, artinya al-mayaqqah (sulit atau
berat, susah atau sukar). Alloh SWT. Berfirman dalamAl-Quran surat
An-Nur ayat53 dan surat Fatir ayat 42
Dan mereka bersumpah dengan (nama) alloh dengan sumpah
sungguh-sungguh bahwa jika kamu suruh meraka berperang,
pastilah mereka akan pergi. Katakanlah (muhammad), ”janganlah
kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan yang baik.
Sungguh,alloh maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dan meraka bersumpah dengan menyebut nama alloh dengan
sungguh-sungguh bahwa jika datang kepada mereka seorang
pemberi peringatan, niscaya akan lebih mendapat petunjuk dari
salah satu umat(yang lain). Tetapi ketika pemberi peringatan kepada
mereka tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan semakin
jauh mereka dari kebenaran.
Ayat-ayat di atas memakarkan kata jahda dengan sekuat-kuatnya
atau dengan sungguhsungguh. Kata jahda, artinya badzl alwus’i wa
al-thaqah, yaitu pengerahan segala kesanggupandan kekuatan atau
al-mubalaghah fi al-yamin, artinya berlebih-lebihan dalam sumpah.
Menurut Al-Zubaidi, kata jahda dan juhda artinya kekuatan dan
kesanggupan. Menurut Ibnu Atsir, jahda artinya sulit, berlebih-
lebihan dalam melakukan sesuatu.Said AlTaftazani mengartikan kata
ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang membutuhkan
kesungguhan). Secara istilah, ijtihadadalah pengerahan semua
kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh segala yang dituju
sampai puncak tujuan. Menurut Racmat Syafi’i, secara etimologis
kata ijtihad artinya kesulitan dan kesusahan (al-masyaqqah),
jugasiartikan dengan kesangggupan dan kemampuan (al-thaqat).
Dalam AlQuran surat At-Taubah ayat 79 Allah SWT. Berfirman:
(orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman
yang memberikan sedekah dengan sukarela dan mencela orang-
orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar
kesanggupaanya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka.
Alloh akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan
mendapat azab yang pedih.

Kata juhda yang menjadi ijtihad diartikan sebagai pekerjaan yang


dilakukan dengan sungguh-sungguh dan mengerahkan semua
tenaganya. Ijtihad adalah masdar dari fiil madhi 5 yang asalnya
ijtihada. Penanambaan hamzah dan ta pada kata jahada menjadi
ijtihada. Wajan iftaala , artinya usaha maksimal untuk mendapatkan
sesuatu. Ijtihad menurut ulama usul yaitu: Mengembangkan
daya/kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil
syara’ yang terperinci. Abu zahrah mengatakan bahwa ijtihad adalah
mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli
hukum islam dalam beristinbath(menggali) hukum islam yang
bersifat praktis dari dalil yang terperinci.
Berdasarkan definisi tentang ijtihad tersebut, dapat di simpulkan
bahwa ijtihad adalah: 1. Pengarahan akal pikiran para fuqoha atau
ushuliyyin
2. Mengunakan akalnya dengan sungguh sungguh karena adanya
dalil-dalil yang zhanni dari Al-Quran dan Hadist
3. Berkaitan dengan hukum syar’i dengan berbagai usaha dan
pendekatan
4. Menggali kandungan hukum syar’i dengan berbagai usaha dan
pendekatan
5. Dalil-dalil yang ada diperinci sedemikian rupa sehingga hilang
kezhannianya
6. Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.
Enam ciri ijtihad tersebut memberikan gambaran bahwa ijtihad
adalah salah satu metode penggalian hukum islam dengan
menggunakan akal ra’yu sehingga alat utama ijtihad adalah akal.
Disebabkan ra’yu perananya penting dalam ijtihad, ulama ahli ushul
dan fuqoha sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh orang-orang yang akan berijtihad yaitu:
1. Mengetahui isi alquran dengan segala seluk beluknya(ulum Al-
Quran, baik dari sisi pengetahuan bahasanya maupun makna makna
yang terkandung di dalamnya.
2. Mengetahui assunah mujtahid harus mengetahui pengetahuan
tentang hadist,sanad,rawi, matan, dan sebab-sebab munculnya
hadist(asbab al-wurud)
3. Mengetahui seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan
oleh ijma
4. Memahami dan mampu menerapkan metode istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu bahasa arabdan seluk beluknya
6. Mengetahui kaidah-kaidah hukum islam dan memiliki kemampuan
mengolah dan menganalisis dalil dalil hukum untuk menghasilkan
ketetapan hukum yang dimaksudkan.
7. Mengetahui maqasid syari’ah prinsip prinsip umum dan semangat
ajaran islam.
8. Memiliki ahlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Syarat-syarat di atas di buat mujtahid tidak gegabah dalam
melakukan penggalian hukum islam, terutama untuk masalah –
masalah baru yng dalil-dalilnya tidak terdapat dalam al quran dan as
sunah dan ijma.
Syarat-syarat bagi para para ahli ijtihad yang telah disepakati oleh
para ulama salaf, menurut muhammad bin saud adalah sebagai
berikut:
1. Muslim,beriman kepada alloh , beriman kepada rosul nya dan
menaatinya
2. Memahami bahasa arab.
3. Memahami alquran berikut nasikh dan mansukh-nya serta
memahami ayat-ayat hukum dan kedudukanya dalam Al-Quran.
4. Memahami hadist nabi, termasuk nasikh-mansukhhadis, khas dan
am’nya, serta muthlaq-muquayyad-nya
5. Mengetahui kesepakatan para ulama, baik dalam masalah syariat
seperti ijma tentang wajibnya shalat.
6. Seorang mujtahid juga harus mengetahui berbagai pendapat para
ulama terkenal dalam hal berbedaan madzhabnya, mengetahui
berbagai metode hukum, mengetahui perbedaan antara
kesepakatan qat’i atapun zhanni, mampu memilah memilih antara
kaidah masing-masing madzhab yang mu’tabar (diakui) dan dijadikn
rujukan.

7. Memahami istinbath hukum dalil-dalil yang ada melalui metode


yang tercakup dalam ilmu usul fiqih aplikasi hal-halyang pratikular
pada hal-hal yang universal, baik dengan perkara yang diketahui
melalui analisis fakta , revisi, ataupunoutput-nya
8. Memahami tujuan-tujuan syariat.
9. Niat yang baik dan kelurusan akidah.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang mujtahid harus
memenuhu dua syarat. Pertama, menguasai sumber-sumber syariat
dan mampu mengambil tanda-tanda dari perkara yang masih bersifat
dugaan dengan megadakan penilaian terhadapnya,serta yang patut
didahulukan dan mengakhiri hal yang patut di akhirkan. Kedua,
harus bersikap adil dan menjauhi maksiat yang akan merusak
keadilan.
Menurut Asnawi, syarat pertama dalam ijtihad adalah mampu
menggali hukum-hukum syariat. Kemampuan ini tidak akan bisa
di[eroleh kecuali dengan mengetahui berbagai hal, salah satunya
adalah Al-Quran.
Orang –orang yang ahli dalam berbagai penelitian (bashirah) dan
memahamiserta merenungkan wahyu-wahyu allah diperintahkan
agar menggambil ibrah(pelajaran). Terlebih menghadapinayat-ayat
qur’aniyah-nya, yang dalalahnya, atau pada msalah yang tidak
terdapat ketetapan hukumnya dari wahyu allah dan As-sunnah
rosululloh SAW. diperintahkan untuk mengerahkan kemampuan
berpikir agar pada ayat-ayat Allah tersebut dapat dikeluarkan
kandungan hukum serta hikmah-hikmahnya.
Allah SWT. Berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 69 :
Dan orang-orang yang berjihad untuk(mencari keridaan) kami, kami
akn tunjukan pada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah
beserta orang-orang yang berbut baik.
Terdapat beberapa hadist yang menjadi dalil berijthad yaitu sebagai
berikut 7 Diriwayatkan dari mu’adz bin jabal bahwa rosululloh SAW.
ketika hendak mengutusnya (jadi hakim)ke yaman, beliu bertanya
kepadanya : “bagaimana kamu memutuskan suatu hukuman ketika
kamu diminta untuk memutuskan suatu keputusan?” mu’adz
menjawab aku akan memutuskan dengan kitabullah.
Rasululloh bertanya lagi, “jika tidak terdapat ketentuanya dari
kitabullah ? muadz menjawab “ aku akan memutukan dengan
ketentuan yang terdapat dalam sunnah rasulullah.
Rasulloh bertanya lagi ”jika kamu tidak menemukan dalam sunnah
rasulullah? Mu’adz menjawab lagi”aku akan melakukan ijtihad
dengan pendapatku (dengan pikiranku), dan aku tidak akan
menyempitkan ijtihadku”. Kemudian rasululloh berkata, “segala puji
bagi alloh yang telah memberi taufiq kepada utusan rasulullah
karena sesuatu yang memuaskan rasulullah.
Menurut nurol aen ,kegiatan ijtihad berati usaha memahami dalil aqli
dan dalil al-sam dan melaksankan ajaranya.
Ijthad adalah bayan, penjelasan atau tafsir terhadap teks Al-Quran
dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penapsiran Al-Quran danAs-
Sunnah termasuk ijtihad, yang disebut sebagai ijtihad bayani.
Dalam ijtihad bayani, penonjolan ilmu tafsir sangat kuat karena
target yang di harapkan adalah istihraj al-ma’ani wa al-maqsadi wa
al-ahkam fi al-quran wa al-sunnah. Sebenarnya, ijtihad bayani dalam
cara kerjanya banyak melibatkan pendapat dari berbagai aliran,
sehingga pengunggkapan makna ayat-ayat Al-Quran ditunjang oleh
beberapa pendapat mufasir. Hal tersebut akan sangat bergantung
pada aliran tafsir yang dianut serta corak-coraknya.
Ijtihad berfungsi menghidupkan syariat. Syariat tidak akan bertahan
jika fiqh ijtihadi tidak hidup dan statis. Ijtihad merupakan salah satu
asas tegaknya fiqh dalam agama dan kehidupan ilam. Oleh karena
itu , urusan agama dan dunia tidak akan selamanya berjalan tanpa
ijtihad. Berkaitan dengan hukum hukum yang mengandung ijtihad.
Alloh berfirman dalam surat Muhammad ayat 31:
Dan sungguh kami benar-benar akan menguji kamu sehingga kami
mengetahui orangorang yang benar-benar berjihad dan bersabar di
antara kamu dan akan kami uji prihal kamu.
Ijtihad memerlukan hukum-hukum taqlifi, yaitu sebagai berikut:
1. ijtihad adalah fardu kifayah
2. ijtihad menjadi fardu ain
3. ijtihad adalah sunnah
4. ijtihad adalah haram
Sementara tata cara pelaksanaan ijtihad Thaha Jabir Fayyad
mengatakan bahwa apabila seorang mujtahid dihadapkan pada
sebuah masalah, untuk menghasilkan suatu hukum atas masalah
itu,harus mengambil langkah-langkah berikut:
1. menelusuri masalah dalam nash –nash alquran.
2. apabila tidak ada dalam Al-Quan, harus memriksanya di dalam
hadist-hadist mutawattir.
3. Apabila tidak ditemukan di dalam hadist-hadist mutawattir, harus
menelusuri hadisthadist ahad.
4. Apabila tidak ditemukan dalam hadist-hadist ahad, kembali pada
isyarat-isyarat alquran.
5. Apabila menemukan satu isyarat maka perhatikan segi
pengkhususan pada hadist dan qiyas.
6. Apabila tidak di temukan segi pengkhususan maka harus
menetapkan hukum.
7. Apabila terbentur pada salah satu isyarat al-quran dan sunnah
harus memperhatikan berbagi madzhab ulama salaf yang telah di
kenal.
8. Apabial menemukan kesepakatan,harus mengikuti kesepakatan
itu.
9. Jika tidak menemukan kesepakatan, harus menempuh qiyas.

Anda mungkin juga menyukai