NIM : 20201021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Fiqh
Fungsi Al-Qur’an
Sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia. “Al-Qur’an ini
adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini.” (Q.S. Al-Jatsiyah : 20)
Sebagai pembenar dan penyempurna kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya. “Dia menurunkan alkitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan
sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al-Qur’an), petunjuk bagi
manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-
orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa
yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan
(siksa).” (Q.S. Ali-Imran : 3-4)
Sebagai mu‟jizat Nabi SAW. “Sesungguhnya orang-orang yang
mengingkari Al-Qur’an ketika AlQur’an itu datang kepada mereka,
(mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu
adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupunn dari belakangnya , yang
diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Q.S.
Fusshilat :41-42)
Membimbing manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan “…
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan(15). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-
orang yang mengikutikeridhaan-Nya kejalan keselamatan dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap
gulitakepada cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya,
dan menunjukki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S.Al-Maidah : 15-16)
Pelajaran dan penerang kehidupan “…Al-Qur’an itu tidak lain
hanyalah pelajaran dan kitab yang meberi penerangan.” (Q.S.
Yasiin : 69)
As-Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berarti kebiasaan dan jalan (cara) yang
baik dan yang jelek atau jalan (yang dilalui) yang terpuji atau yang
tercela atau jalan lurus atau tuntutan yang tetap (konsisten). Para
muhadditsin memaknakan As-Sunnah sebagai sesuatu yang
dinukilkan dari nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup, baik sebelum nabi Muhammad SAW., diangkat
menjadi Rosul maupun setelah diangkat menjadi Rosul.
Ada tiga golongan yang mendefinisikan As-Sunnah secara berbeda-
beda, yaitu :
a. Ahli Ushul Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW., berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum
maupun setelah menjadi Rasul.
b. Ulama Hadist Menurut ulama hadist, sunnah adalah segala
sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup, baik sebelum Nabi Muhammad SAW., ditetapkan sebagai
Rosul maupun sesudah menjadi Rosul.
c. Ulama Fiqh Menurut ulama fiqh, sunnah adalah amalan yang
diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak berdosa apabila
ditinggalkan. Sunnah adalah segala bentuk perintah yang boleh
ditinggalkan, apabila perintah itu dikerjakan maka memperoleh
pahala
Alasan bahwa As-Sunnah sebagai wahyu kedua setelah Al-Qur‟an,
yaitu :
a. Allah SWT., menetapkan nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi
dan Rosul terakhir.
b. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., membawa
risalah-risalah-Nya.
c. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., terbebas dari
kesalahan ketika berkaitan dengan kerasulannya. Rasulullah SAW.,
di ma‟shum sehingga hal-hal yang disampaikannya bukan berasal
dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang dikaruniakan
oleh Allah SWT.
d. Al-Qur‟an memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan
makna-mkana AlQur‟an kepada umat manusia berada ditangan
Rasullullah SAW., sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-
Maidah ayat 67, yang artinya : “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa
yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa
yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-
Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
(Q.S. Al-Maidah :67)
Keabsahan As-Sunnah
a. Al-Qur‟an Firman Alloh SWT., dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang
artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr :
7) Firman Alloh SWT., dalam surat an-Nisa ayat 59, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , taatilah Alloh dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa :59)
b. Hadist Hadist Nabi SAW : “Wajib bagi sekalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin (khalifah yang
mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”
(H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Keabsahan Ijma’
a. Al-Qur‟an Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat Ali „Imran ayat
103, yang artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali
(agama) Allah SWT., dan janganlah kamu bercerai berai, …” (Q.S. Ali
„Imran :103) Pada ayat ini Alloh SWT., memberi perintah agar
berpegang teguh pada tali Allah dan jangan terpecah belah. Ayat
tersebut secara tidak langsung memandang ijma‟ sebagai bagian dari
upaya berpegang kepada tali Alloh, 9 yaitu kebenaran yang datang dari
al-Hakim, yang membuat hukum Islam dan semua hukum yang berlaku
di alam. Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 115,
yang artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. “ (Q.S. an-Nisa :115)
b. Hadis Sabda Rosul SAW: “Umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan” Apabila para mujtahid telah melakukan ijma‟
dalam menentukan hukum syara‟ dari suatu permasalahan hukum,
maka keputusan ijma‟ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi
kemaksiatan dan dusta.
Rukun Ijma’
Rukun ijma‟ dalam definisi diatas yaitu adanya suatu kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara‟. Kesepakatan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi :
a. Tidak cukup ijma‟ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaannya hanya seorang saja disuatu masa. Karena, kesepakatan
dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara yang satu
dengan yang lain. 10
b. Adanya kesepakatan sesama mujtahid atas hukum syara‟ dalam suatu
masalah dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
dari mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa, atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada para semua mujtahid.
Apabila rukun ijma‟ tersebut telah terpenuhi, maka hukum yang di ijma‟kan
tersebut menjadi aturan syara‟ yang wajib diikuti dan tidak boleh
mengingkarinya.
Macam-Macam Ijma’
a. Ditinjau dari segi terjadinya
Ijma‟ shorih/qauli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas , baik berupa ucapan atau tulisan.
Ijma‟ suquti/iqrari, yaitu semua atau sebagian mujtahid tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam
diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan oleh mujtahid lain yang hidup pada masanya.
Dalam hal ini perbedaan diantara ulama madzhab, ulam Malikiyah dan
Syafi‟iyah menyatakan ijma‟ suquti bukan sebagai ijma‟ dan dalil.
Tetapi, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa
ijma‟ ini dapat dinyatakan sebagai ijma‟ dan dalil qath‟i.
b. Ditinjau dari segi keyakinan
Ijma‟ qath‟i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma‟ itu adalah sebagai dalil
qath‟i diyakini benar terjadinya.
Ijma‟ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan apabila massih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang 11
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan
hasil ijma‟ yang dilakukan pada waktu yang lain. c. Ditinjau dari pelaku
ijtihad
Ijma‟ sahabat, yaitu ijma; yang dilakukan oleh para sahabat nabi
Muhammad SAW.
Ijma‟ khulafaurrasyidin, yaitu ijma; yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar As-Shidiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan,
dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ijma‟ shaikhani, yaitu ijma‟ yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
Ijma‟ ahli Madinah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah.
Ijma‟ ulama Kuffah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kuffah.
Ijma‟itrah, ijma‟ yang dilakukan seluruh ahlul bait atau golongan
syiah.