Anda di halaman 1dari 17

AL-QUR’AN, AS-SUNNAH, DAN IJMA’ sebagai SUMBER HUKUM FIQH

ISLAM
(makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mahasiswa pada mata
kuliah Ilmu Fikih)

Dosen Pengampu :
Mugni Muhit, S.Ag., M.Pd.I.,
(2114097901)

Disusun Oleh :
Linda Listiani (20201014)

Mahasiswa Semester 1
Prodi Ekonomi Syari’ah
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Ma'arif
Ciamis – Jawa Barat
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT., sang pencipta alam semesta,
manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya. Karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Al-qur‟an, As-sunnah, dan Ijma‟ sebagai Sumber Hukum Fiqh Islam”. Maksud dan
tujuan dari pembuatan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Ilmu Fikih. Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
kepada dosen mata kuliah Ilmu Fikih serta pihak lain yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan, dimana penulis pun sadar
bahwasannya saya hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah Azza Wajala hingga dalam
penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang konstruktif akan senantiasa dinanti dalam upaya evaluasi diri.
Harapannya, bahwa dibalik ketidak sempurnaan dan penyusunan makalah ini adalah
ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis
dan pembaca. Aamiin Yaa Rabbal „Alamiin.

Ciamis, 14 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Hal
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................
1.3 Tujuan .............................................................................................................
BAB II ISI
2.1 Al- Qur‟an ......................................................................................................
2.2 As- Sunnah ....................................................................................................
2.3 Ijma‟ ..............................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .....................................................................................................
3.2 Saran ................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Al-Qur’an
Menurut bahasa , kata “Al-Qur‟an” berasal dari kata “qa-ra-a” yang berarti
membaca dan “qur-a-nan” yang berarti yang dibaca. Menurut Moenawar Cholil
(1997:36), Al-Qur‟an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna dengan
penjelasan yang sempurna dari Rosulullah SAW., kecuali atas dasar wahyu dari Allah
SWT.

2.1.1 Keabsahan Al-Qur’an


a. Al-Qur‟an
 “Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-
Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui
apakah kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-
Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami
kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sungguh engkau benar-benar
membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (Q.S.Asy-Syura : 52)
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan mebawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
(Q.S.An-Nisa‟:105)
b. Hadist
“Aku tinggalkan diantara kamu semuadua perkara, yang kamu semua tidak
akan tersesat selama kamu semua berpegang teguh kepada dua perkara, yaitu
kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasul(Hadist).” (H.R.Muslim)
2.1.2 Sifat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
 Tidak menyulitkan
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu…” (Q.S.Al-Baqarah : 185)
 Menyedikitkan beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkanmu…” (Q.S.Al-Maidah : 101)
 Bertahap dalam pelaksanaannya

1
Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses, yaitu :
a. Menjelaskan manfaat Khamr lebih kecil daripada mudharatnya
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah,
pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada
manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah yang lebih dari keperluan. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir.”
(Q.S. Al Baqarah : 219)
b. Melarang pelaku sholat dalam keadaan mabuk
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan…” (Q.S. An-Nisa : 43)
c. Menegaskan hukum haram pada khamr dan perbuatan buruk lainnya
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S.Al-
Maidah : 90)
Garis besar hukum dalam Al-Qur’an :
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.,
yang disebut ibadah.
 Bersifat ibadah, contohnya shalat.
 Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, contohnya
zakat.
 Bersifat badaniyah dan berhubungan dengan masyarakat, contohnya haji.
2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia yang disebut muamalat.
 Berhubungan dengan jihad.
 Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, misalnya
nikah,cerai,dll.
 Berhubungan dengan jual beli,sewa menyewa,dll.
 Berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, misalnya
qisas,hudud,dsb.

2
2.1.3 Fungsi Al-Qur’an
 Sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia.
“Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang meyakini.” (Q.S. Al-Jatsiyah : 20)
 Sebagai pembenar dan penyempurna kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya.
“Dia menurunkan alkitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil. Sebelum (Al-Qur’an), petunjuk bagi manusia, dan Dia
menurunkan Al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha
Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (Q.S. Ali-Imran : 3-4)
 Sebagai mu‟jizat Nabi SAW.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-
Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan
sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang
kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupunn dari
belakangnya , yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji.” (Q.S. Fusshilat :41-42)
 Membimbing manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan
“… Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan(15). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang
yang mengikutikeridhaan-Nya kejalan keselamatan dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap
gulitakepada cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya, dan
menunjukki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S.Al-Maidah : 15-16)
 Pelajaran dan penerang kehidupan
“…Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang meberi
penerangan.” (Q.S. Yasiin : 69)
2.2 As-Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berarti kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang
jelek atau jalan (yang dilalui) yang terpuji atau yang tercela atau jalan lurus atau
tuntutan yang tetap (konsisten). Para muhadditsin memaknakan As-Sunnah sebagai
sesuatu yang dinukilkan dari nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum

3
nabi Muhammad SAW., diangkat menjadi Rosul maupun setelah diangkat menjadi
Rosul.

Ada tiga golongan yang mendefinisikan As-Sunnah secara berbeda-beda, yaitu :

a. Ahli Ushul
Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW., berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan
hidup, baik sebelum maupun setelah menjadi Rasul.
b. Ulama Hadist
Menurut ulama hadist, sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi Muhammad SAW., ditetapkan
sebagai Rosul maupun sesudah menjadi Rosul.
c. Ulama Fiqh
Menurut ulama fiqh, sunnah adalah amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan. Sunnah adalah segala bentuk
perintah yang boleh ditinggalkan, apabila perintah itu dikerjakan maka memperoleh
pahala.
Alasan bahwa As-Sunnah sebagai wahyu kedua setelah Al-Qur‟an, yaitu :
a. Allah SWT., menetapkan nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi dan Rosul terakhir.
b. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., membawa risalah-risalah-Nya.
c. Allah SWT., menetapkan bahwa Rasulullah SAW., terbebas dari kesalahan ketika
berkaitan dengan kerasulannya. Rasulullah SAW., di ma‟shum sehingga hal-hal yang
disampaikannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang
dikaruniakan oleh Allah SWT.
d. Al-Qur‟an memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan makna-mkana Al-
Qur‟an kepada umat manusia berada ditangan Rasullullah SAW., sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 67, yang artinya :
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak
engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan

4
amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh,
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Maidah :67)
2.2.1. Keabsahan As-Sunnah
a. Al-Qur‟an
Firman Alloh SWT., dalam surat al-Hasyr ayat 7, yang artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr : 7)
Firman Alloh SWT., dalam surat an-Nisa ayat 59, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , taatilah Alloh dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Q.S. An-Nisa :59)
b. Hadist
Hadist Nabi SAW :
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
khulafaurrasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah
kamu sekalian dengannya.” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
2.2.2. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
a. Bayan Taqrir
Sunnah berfungsi untuk menguatkan atau menggaris bawahi maksud
redaksi Al-Qur‟an.
 Contoh hadist tentang penentuan kalender bulan berkenaan dengan
kewajiban Ramadhan
“ Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah. Juga apabila melihat
bulan, berbukalah.” (H.R. Muslim)
Hadist ini mentaqrir ayat :
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
(Q.S. Al-Baqarah : 185)
 Contoh hadist tentang kewajiban suci dari hadas asghar dengan berwudhu,
ketika hendak mengerjakan sholat
“Tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum wudhu.” (H.R.
Bukhari”
Hadist ini menguatkan Q.S.Al-Maidah(5) : 6

5
“Apabila kamu (orang beriman) hendak mendirikan sholat, maka
basuhlah muka dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan
basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki.” (Q.S.Al-Maidah : 6)
b. Bayan Tafsir
Sunnah berfungsi untuk menjelaskan atau memberikan keterangan atau
menafsirkan redaksi Al-Qur‟an, merinci keterangan Al-Qur‟an yang sifatnya
mujmal (global) dan bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al-Qur‟an
atau mengkhususkan (takhsis) terhadap redaksi ayat yang masih bersifat
global.
 Contoh hadist yang menafsirkan Q.S. Al-Qadr(97) : 1-5
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam
kemuliaan(1). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?(2).
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan(3). Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan(4). Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai
terbit fajar(5).” (Q.S.Al-Qadr:1-5)
Nabi SAW., memberi penjelasan tentang waktu (terjadinya) lailatul qadr,
seperti dalam hadist :
“…(malam) lailatul qadr berada pada malam ganjil pada sepuluh akhir
ramadhan.” (H.R. Bukhari)
 Contoh hadist yang merinci cara (kaifiat) tayamum, seperti yang
diperintahkan oleh Q.S. Al-Maidah(5) : 6 dengan redaksi :
“…maka bertayamumlah dengan tanah yang baik(bersih), sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (Q.S.Al-Maidah : 6)
Rincian tentang cara tayamum tersebut diterangkan dalam hadist :
“Tayamum itu dua kali tepukan : sekali tepukan untuk wajah dan sekali
tepukan untuk kedua tangan.” (H.R.Daruquthny)
 Contoh hadist yang membatasi keumuman maksud Q.S. Al Maidah(5) : 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi,…”
(Q.S.Al-Maidah :3)
Nabi SAW., menjelaskan tentang pengkhususan bangkai dan darah yang
dihalalkan oleh hadist :
“Dihalalkan bagi kamu dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai
adalah belalang dan ikan, dan dua darah itu adalah limpa dan hati.”
(H.R. Ahmad dan Ibnu Majah)

6
c. Bayan Tasyri‟
Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh
Al-Qur‟an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW., karena berkembangnya
permasalahan yang sejalan dengan luasnya daerah penyebaran islam dan
beragamnya pemikiran para pemeluk islam.
 Contoh larangan Nabi SAW., atas suami memadu istrinya dengan bibi dari
pihak ibu atau bapak sang istri.
Firman Allah SWT :
“…dan diharamkan menghimpunkan dalam pernikahan dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu…” (Q.S. An-
Nisa‟(4) : 23)
Selengkapnya pernyataan Nabi SAW :
“Tidak dibenarkan menghimpun dalam pernikahan seorang wanita
dengan saudara perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara
perempuan ibunya, tidak juga dengan anak perempuan saudaranya yang
lelaki dan tidak juga dengan anak saudaranya yang perempuan.” (H.R.
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai). At-Thabrani menambahkan
“karena kalau itu kamu lakukan, kamu memutus hubungan kekeluargaan
kamu.” (H.R. At-Thabrani)
 Contoh perihal zakat, Al-Qur‟an tidak secara jelas menyebut berapa yang
harus dikeluarkan seorang muslim ketika zakat fitrah. Nabi SAW.,
menjelaskan dalam hadisnya :
“Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada
bulan ramadhan satu sho’(zakat) kurma atau gandum untuk setiap orang,
baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau perempuan muslim.” (H.R.
Muttafak „Alaih)
2.3 Ijma’
Menurut arti lughawi, ijma‟ memiliki arti bermaksud atau berniat. Ijma‟ juga
dapat diartikan sebagai kesepakatan (al-ittifaq) terhadap sesuatu. Pengertian ini
dikemukakan oleh Al-Asnamy Nihayassaul Lil Asnawi yang mengutip pendapat Abu
Ali Al-Farisi dalam kitab Al-Idha. Pernyataan “fajmi’u” dapat diartikan bahwa “mereka
menjadi sependapat”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Firman Alloh SWT., dalam Al-
Qur‟an surat Yusuf ayat 15, yang artinya :

7
“Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur,
Kami wahyukan kepadanya , “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan
ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari.” (Q.S.Yusuf : 15)
Menurut istilah, ijma‟ merupakan sebuah kesepakatan semua mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rosululloh SAW., atas hukum syara yang
tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan Hadist.
Jadi objek ijma‟ adalah semua peristiwa yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an
dan Hadist, peristiwa yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah bidang
muamalat, bidang kemasyarakatan, atau semua hal yang berhubungan dengan urusan
duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an dan Hadist.
Menurut Hanafi didalam ijma‟ terkandung hal-hal sebagai berikut :
a. Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat yang
lain.
b. Apabila ada yang tidak sependapat maka tidak ijma‟. Tanpa adanya kesepakatan
secara menyeluruh ijma‟ tidak akan terjadi, hanya pendapat terbanyak dapat
dijadikan hujjah.
c. Jika pendapat pada suatu masa keluar dari seorang mujtahid maka bukan termasuk
ijma‟.
d. Kebulatan pendapat harus real, artinya semua harus menyatakannya, baik secara
lisan,tulisan ataupun isyarat.
e. Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk mujtahid, bukan yang lainnya.
f. Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu, bukan ijma‟. Karena yang dimaksud
disini adalah ijma‟ ummah, artinya seluruh umat bersepakat.
2.3.1. Keabsahan Ijma’
a. Al-Qur‟an
Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat Ali „Imran ayat 103, yang artinya:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah SWT., dan
janganlah kamu bercerai berai, …” (Q.S. Ali „Imran :103)
Pada ayat ini Alloh SWT., memberi perintah agar berpegang teguh pada
tali Allah dan jangan terpecah belah. Ayat tersebut secara tidak langsung
memandang ijma‟ sebagai bagian dari upaya berpegang kepada tali Alloh,

8
yaitu kebenaran yang datang dari al-Hakim, yang membuat hukum Islam dan
semua hukum yang berlaku di alam.

Firman Allah SWT., dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 115, yang artinya :

“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke
dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
“ (Q.S. an-Nisa :115)
Pada ayat ini Alloh SWT., melarang untuk menyakiti atau menentang
Rosululloh dan melarang menentang jalan yang disepakati kaum mu‟minin.
Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi‟i ketika ada yang menanyakan apa
dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam
Syafi‟i menunda jawaban atas pertanyaan tersebut selama tiga hari, beliau
mengulang-ngulang hafalan Al-Qur‟an hingga menemukan ayat ini. Contoh
ijma‟ : kewajiban sholat lima waktu.

b. Hadis
Sabda Rosul SAW:
“Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan”
Apabila para mujtahid telah melakukan ijma‟ dalam menentukan
hukum syara‟ dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijma‟ itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
2.3.2. Rukun Ijma’
Rukun ijma‟ dalam definisi diatas yaitu adanya suatu kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara‟. Kesepakatan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi :
a. Tidak cukup ijma‟ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaannya
hanya seorang saja disuatu masa. Karena, kesepakatan dilakukan lebih dari satu
orang, pendapatnya disepakati antara yang satu dengan yang lain.

9
b. Adanya kesepakatan sesama mujtahid atas hukum syara‟ dalam suatu masalah
dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang dari
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan,
fatwa, atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada para semua mujtahid.
Apabila rukun ijma‟ tersebut telah terpenuhi, maka hukum yang di
ijma‟kan tersebut menjadi aturan syara‟ yang wajib diikuti dan tidak boleh
mengingkarinya. Selanjutnya para mujtahid tidak boleh lagi menjadikan hukum
yang sudah disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah
ditetapkan secara ijma‟ dengan hukum syar‟i yang qath‟i dan tidak dapat dihapus.
2.3.3. Macam-Macam Ijma’
a. Ditinjau dari segi terjadinya
 Ijma‟ shorih/qauli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas , baik berupa ucapan atau tulisan.
 Ijma‟ suquti/iqrari, yaitu semua atau sebagian mujtahid tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam
diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan
hukum yang telah dikemukakan oleh mujtahid lain yang hidup pada
masanya. Dalam hal ini perbedaan diantara ulama madzhab, ulam
Malikiyah dan Syafi‟iyah menyatakan ijma‟ suquti bukan sebagai
ijma‟ dan dalil. Tetapi, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah
menyatakan bahwa ijma‟ ini dapat dinyatakan sebagai ijma‟ dan dalil
qath‟i.
b. Ditinjau dari segi keyakinan
 Ijma‟ qath‟i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma‟ itu adalah sebagai
dalil qath‟i diyakini benar terjadinya.
 Ijma‟ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan apabila massih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang

10
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan
hasil ijma‟ yang dilakukan pada waktu yang lain.
c. Ditinjau dari pelaku ijtihad
 Ijma‟ sahabat, yaitu ijma; yang dilakukan oleh para sahabat nabi
Muhammad SAW.
 Ijma‟ khulafaurrasyidin, yaitu ijma; yang dilakukan oleh Khalifah
Abu Bakar As-Shidiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman
bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
 Ijma‟ shaikhani, yaitu ijma‟ yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
 Ijma‟ ahli Madinah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah.
 Ijma‟ ulama Kuffah, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kuffah.
 Ijma‟itrah, ijma‟ yang dilakukan seluruh ahlul bait atau golongan
syiah.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

1
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai