Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr.Wb.
Bismillah alhamdulillah, nakhmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu,
wa na’uudzu billaahi minsyuruuri anfusinaa, wa min sayyi aati a’maalinaa. Man
yahdihi llaahu falaa mudhli lalah, wa man yudhlil lahu falaa haadiyalah.
Asyhadu an laa ilaha illa Allah, wakhdahu laa syarika lah, wa asyhadu
anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh. Allahumma sholli ‘alaa sayyidiina wa
maulana Muhammadin wa ‘alaa aalihi ajma’iina.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
kasih sayang-Nya kepada kita sekalian. Alhamdulillah saya bisa menyelesikan
makalah ini, walau penuh dengan kekurangan. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi kita, Nabi agung Muhammad SAW, yang telah
menghantarkan kita kepada agama yang Haq, kepada keluarga, sahabat dan
ummat beliau sekalian. Aamin.
Terima kasih kepada bapak Dosen yang telah memberikan mata kuliah
perbandingan madzhab ini, walaupun hanya beberapa pertemuan, semoga apa
yang disampaikan dapat bermanfaat bagi kami semua.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan bagi yang
membacanya, dan menjadi amal ibadah yang dapat diterima disisi Allah SWT.
Aamiin ya robbal ‘alamiin.
Akhirnya, atas segala kekurangan, penulis memohon ampun kepada Allah
SWT dan pada pembaca sekalian.
“Jazza kumullah akhsanal jazza”
Wassalaamu ‘alaikum Wr.Wb.

Ketanggungan, Desember 2014


Penulis,

Wawan Seftiawan

1
DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR................................................................................ 1

DAFTAR ISI................................................................................................ 2

BAB 1 ........................................................................................................... 3

PENDAHULUAN

BAB 2 ........................................................................................................... 4

WAHYU TUHAN ( AL-QURAN ), TEKS DAN IJTIHAD AKAL


MANUSIA ; ASPEK USHUL DAN FURU’ DALAM ISLAM

A. WAHYU TUHAN............................................................................ 4
B. AL-QURAN..................................................................................... 6
C. AS-SUNNAH................................................................................... 6
D. IJTIHAD.......................................................................................... 8
E. DALIL AQLI (RASIO).................................................................. 8
F. ASPEK USHUL DAN FURU’....................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya waktu telah banyak berkembang berbagai macam


aliran yang berkenaan dengan agama Islam, terutama dalam perkara Madzhab.
Meskipun mayoritas ummat Islam di Indonesia mengaku bermadzhabkan Syafi’i,
tapi tak sedikit pula pengaruhnya dari madzhab lain. Pendapat ini berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang telah terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini,
ada saja hal-hal yang menjadi perbedaan dalam praktek ibadah, mu’amalah dan
lain sebagainya.

Oleh karena itu, kita dituntut untuk dapat bertoleransi dalam setiap
perbedaan yang ada, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi bahan
untuk perdebatan yang dapat menimbulkan keretakkan dalam masyarakat yang
telah lama dibangun oleh persatuan dan ke Bhinekaan, dan demi menjaga
keutuhan bangsa dari berbagai ancaman yang ada.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh berbeda pendapat, tapi lebih jauh
bagaimana sikap kita dari perbedaan-perbedaan tersebut. Tenggang rasa, saling
menghargai dan saling pengertian adalah sikap yang harus kita miliki dalam hidup
bermasyarakat, sehingga kita dapat hidup dalam kerukunan walau dalam berbagai
perbedaan.

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 yang artinya :


“Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan Taatilah
Rasul( Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlan
kepada Allah( Al-Qur an) dan Rasul(sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama ( bagimu ) dan lebih
baik akibatnya”. ( An-Nisa: 59 ).1

BAB 2

1
Departemen Agama RI, AL-QURAN DAN TERJEMAHNYA, ( Jakarta, Indonesia: CV Darus
Sunnah, 2002 ), hlm. 88.

3
WAHYU TUHAN ( AL-QURAN ), TEKS DAN IJTIHAD AKAL
MANUSIA ; ASPEK USHUL DAN FURU’ DALAM ISLAM

A. WAHYU TUHAN

Secara semantik, wahyu mempunyai arti isyarat cepat, tulisan, surat,


perkataan pelan, dan setiap sesuatu yang disampaikan kepada orang lain.2

Dalam Al-Qur an, wahyu digunakan dalam beberapa pengertian. Pertama,


isyarat ( Q.S. Maryam: 11 ) yang artinya “Maka dia( Zakaria ) keluar dari mihrab
menuju kaumnya, lalu dia( Zakaria ) memberi isyarat kepada mereka;
bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang”. Kedua, pemberitahuan secara
rahasia ( Q.S. Al-An’am: 112 ) yang artinya “Dan demikianlah untuk setiap Nabi
Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian
mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai
tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan
melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa(kebohongan) yang mereka
ada-adakan”. Ketiga, perundingan yang jahat dan bersifat rahasia ( Q.S. Al-
An’am: 121 ) yang artinya “Dan janganlah kamu memakan dari apa ( daging
hewan ) yang ( ketika disembelih ) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-
benar sebuah kefasikkan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti
mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik”. Keempat, ilham yang
diberikan kepada binatang ( Q.S. An-Nahl: 68 ) yang artinya “Dan Tuhanmu
mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-
pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. Kelima, ilham yang
diberikan kepada manusia ( Q.S. Al-Qashash: 7 ) yang artinya “Dan Kami
ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia ( Musa ), dan apabila engkau
khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai ( Nil ). Dan janganlah

2
Fauz Noor, Berpikir seperti Nabi: Perjalanan menuju kepasrahan (Yogyakarta: Pustaka
Sastra LkiS, 2009), hlm. 127

4
engkau takut dan jangan ( pula ) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul”.

Adapun secara terminologi, wahyu adalah pengetahuan yang didapat


seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan tersebut datang
dari Tuhan Yang Maha Esa, baik dengan perantara ______ dengan suara atau
tanpa suara ______ maupun tanpa perantara.3

Wahyu dalam Islam hanya semata untuk menunjukkan pemberitahuan


Tuhan kepada para nabi. Titik. Hanya para nabi yang mendapat wahyu. Ketika
Tuhan mengabarkan tentang “pilihan-Nya” atas para nabi dan rasul, ternyata
Tuhan menggunakan redaksi sebagaimana terdapat dalam “Q.S Thaha : 13-14”,
yang artinya :

“Dan Aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan
diwahyukan ( kepadamu ). Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah sholat untuk mengingat Aku”. ( Q.S
Thaha : 13-14 ).

Sedangkan dalam penyampaian wahyu-Nya, menggunakan redaksi yang


berbeda, seperti dalam “Q.S. Al-Anbiya’ ayat 25”, yang artinya :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau


( Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku”. ( Q.S. Al-
Anbiya’:25 )

B. AL-QUR AN
3
Ibid., hlm. 128

5
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
sebagai mukjizat terbesar bagi beliau dan dapat dijadikan hujjah (argumentasi)
untuk memperkuat kebenaran beliau sebagai Rasul Allah.4

Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


saw. melalui malaikat jibril sebagai peringatan kepada seluruh umat manusia agar
mereka tidak menyembah kepada selain Allah.

Allah berfirman dalam dalam surat Al-Furqan ayat 1, yang artinya :

“Mahasuci Allah yang telah menurukan Furqan ( Al-Quran ) kepada hamba-Nya


( Muhammad saw. ), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.
( Q.S. Al-Furqan : 1 ).

C. AS-SUNNAH
As-Sunnah adalah kata tunggal. Jama’nya adalah As-Sunan, artinya :
“Jalan yang dilalui, terpuji atau tidak”, atau berarti “Perjalanan”.5
As-sunnah secara etimologi berarti :
“Jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk
( Hamadah, t.th.: 13 )”.6

Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda pendapat didalam


memberikan pengertian As-sunnah, seiring dengan perbedaan keahlian dan bidang
yang ditekuni masing-masing. Para pakar ushul fiqih mengemukakan penbertian
yang berbeda dibandingkan dengan pengertian yang disampaikan oleh para ulama
hadis.

Para ulama hadis menjelaskan bahwa sunnah berarti setiap apa yang
ditinggalkan ( diterima ) dari Rasul SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat

4
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 9
5
Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits (Jlopo Tebel Bareng
Jombang Jatim: Darul-Hikmah, 2008), hlm. 14
6
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmiah (P3I) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Brebes, Jurnal Ilmiah Insan Madani Edisi ke-10 (Brebes: STAI Brebes Press, 2013), hlm. 90

6
fisik atau akhlak atau perikeAhidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul
atau sesudah kerasulannya ( Al-Khatib, 1993 : 14 ).

Sedangkan Ulama ushul fiqih memberikan pengertian As-sunnah secara


terminologi yaitu segala yang datang dari Rasul SAW selain Al-Quran, baik
berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara’ ( Abu Zahrah, 1377 H : 105 ).

As-Sunnah dilihat dari segi bentuknya dibagi menjadi tiga macam :

1. Sunnah Qauliyah
Sunnah qauliyah adalah hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi
SAW dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang
kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh
sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi SAW ( Al-Zuhaily, 1986 : 450 ).

1. Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi’liyah yaitu hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang
dilakukan Nabi SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat,
kemudian disampaikan kepada orang lain ( Khalaf, 1968 : 36 ).

2. Sunnah taqririyyah
Sunnah taqririyyah yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap
apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabat, tanpa memberikan
penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya
( Sya’ban, 1965 : 54 ).

D. IJTIHAD
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti :

7
“mengerahkan kemampuan untuk sesuatu yang sulit”.7

Sedangkan ijtihad menurut istilah mempunyai pengertian :

“Mengerahkan segenap kemampuan yang dimilki oleh seorang mujtahid


yang ahli fiqh, untuk memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.8

Ibrahim Abbas al-Dzarwi ( 1983: 9 ) mendefinisikan ijtihad sebagai

“Pengerahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud”.9

Ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan


hukum agama (Syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. 10
Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan
pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan
ijtihad.

E. Dalil Aqli ( Rasio )


Diriwayatkan oleh Al-Baghawi dan Mu’adz bin Jabal yang artinya :
“Pada waktu Rasulullah SAW mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke
Yaman, Nabi bersabda kepadanya: “Bagaimana kalau engkau
diserahi urusan peradilan ?. “Jawabnya: “Saya tetapkan perkaranya
berdasarkan Al-Quran”. Sabda Nabi lagi: “Bagaimana kalau tidak
engkau dapati dalam Al-Quran ?”. Jawabnya: “Dengan Sunnah
Rasul”. Sabda Nabi lagi: “Bila dalam Sunnah pun tidak engkau
dapati ?”. Jawabnya: “Saya akan mengerahkan kemampuan saya
untuk menetapkan hukumnya dengan pikiran saya”. Akhirnya Nabi
pun menepuk dada Mu’adz dengan mengucap “Alhamdulillah

7
M. Ridwan Qoyyum Sa’id, Terjemah Tashil-Ath-Thuruqot: Ushul FIQH (Lirboyo, Kediri :
Mitra Gayatri ), hlm. 125
8
Ibid., hlm. 126
9
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 97
10
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 33

8
yang telah memberi taufiq (Kecocokan) pada utusan Rasulullah
SAW ( Mu’adz )”.

Sebagaimana diketahui, bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad


SAW. adalah agama yang terakhir, yang akan berlaku sepanjang masa,
sedangkan kejadian-kejadian yang dihadapi oleh manusia cukup banyak
dan akan terus bermunculan dan semua peristiwa itu memerlukan
ketentuan hukum. Andaikata ijtihad tidak dibenarkan dalam menetapkan
suatu hukum, sedangkan nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, karena
wahyu Allah tidak akan turun lagi dan sabda Nabi pun tidak akan
bertambah lagi, maka manusia akan mengalami kesulitan dalam
menetapkan hukum mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, maka
ijtihad diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang ada.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :

“Barangsiapa melakukan ijtihad dan ijtihadnya benar maka akan


memperoleh dua pahala. Dan barangsiapa melakukan ijtihad dan ijtihadnya
ternyata keliru, maka akan mendapatkan satu pahala” ( H.R. Bukhari – Muslim ).

F. ASPEK USHUL DAN FURU’


Lafadz Ushul adalah jamak dari Al-Ashlu, menurut bahasa mempunyai
arti : “Sesuatu yang mana perkara lain didirikan diatasnya”. Sedangkan
lafadz Furu’ adalah jamak dari Al-Far’u yang mempunyai arti :
“Sesuatu yang didirikan diatas perkara lain”.
Dengan kata lain, Al-Ashlu adalah pondasi dimana suatu bangunan
akan didirikan diatasnya. Sedangkan Al-Far’u adalah bangunan tersebut.
Al-Ashlu menurut istilah memiliki beberapa arti, antara lain :
1. Dalil (Ad-Daliilu)

9
Seperti contoh : “ Al Ashlu fii hadzihi al mas alati al kitabu wa as
sunnatu” ( Dalil untuk masalah ini adalah al-Quran dan as-Sunnah ).
2. Unggul (Ar-Rujkhan)
Seperti contoh : “Al-Ashlu fii al-kalaami al-khaqiiqotu” ( Yang
dianggap unggul dalam kalam adalah ma’na hakekat ).
3. Kaidah yang berlaku (Al-Qoo’idatu Al-Mustamirrotu)
Seperti contoh : “Ibaakhatu al-maytati lilmudlthori ‘alaa chilaafi al-
ashli” (Diperbolehkan memakan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan terpaksa, berarti melanggar kaidah yang berlaku).
4. Sesuatu yang menjadi asal pengqiyasan (Al-maqis “alaih)
Seperti contoh : Beras disamakan dengan gandum dalam hal ribawi.
Beras adalah sesuatu yang diqiyaskan (disebut ; al-far’u / al-maqis).
Sedangkan gandum adalah sesuatu yang menjadi asal pengqiyasan
(disebut ; al-ashlu / al-maqis ‘alaih).11

DAFTAR PUSTAKA

11
M. Ridwan Qoyyum Sa’id, Terjemah Tashil-Ath-Thuruqot: Ushul FIQH (Lirboyo, Kediri :
Mitra Gayatri ), hlm. 4-5

10
Departemen Agama RI. AL-QURAN DAN TERJEMAHNYA. Jakarta: CV Darus

Sunnah, 2002.

Noor, Fauz. Berpikir seperti Nabi: Perjalanan menuju kepasrahan. Yogyakarta:

Pustaka Sastra LkiS, 2009.

Ali Hasan, M. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmiah (P3I) Sekolah Tinggi Agama Islam

(STAI) Brebes. Jurnal Ilmiah Insan Madani Edisi ke-10. Brebes: STAI
Brebes Press, 2013.

Qoyyum Sa’id, M. Ridwan. Terjemah Tashil-Ath-Thuruqot: Ushul FIQH.

Lirboyo, Kediri: Mitra Gayatri.

Abd. Hakim, Atang dan Mubarok, Jaih. Metodologi Studi Iswlam. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2002.

Maulana dkk, Achmad. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Absolut, 2011

Ma’shum Zein, Muhammad. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jlopo Tebel

Bareng Jombang Jatim: Darul-Hikmah, 2008.

11

Anda mungkin juga menyukai