Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“PAHAM ASWAJA”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Ke-NU-an

Dosen Pengampu :

Saili Aswi M.Pd

Disusun oleh :

SITI QOMARIYAH ULFAH

(1931900007)

UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON – PROBOLINGGO

2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka kami disini
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Paham Aswaja
Penulisan makalah adalah salah satu tugas pelajaran Ke-NU-an. Dalam
penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknik penulisan maupun penyampaian materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis belum maksimal. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Penulis makalah ini menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Pendidik mata pelajaran Ke-NU-an kami, Saili Aswi M.Pd yang telah
membimbing dan mengarahkan bagaimana seharusnya makalah ini dibuat.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal


pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah, serta makalah ini dapat menjadi manfaat bagi pembaca. Amiin Yaa
Robbal ‘Alamiin.

Paiton, 14 April 2020

i
PenulisDAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB 1.PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan...............................................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN................................................................................................3

A. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Aqidah....................................................3


B. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Fiqih.....................................................14
C. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Tasawuf................................................17

BAB 3. PENUTUP.........................................................................................................23

A. Kesimpulan.....................................................................................................23
B. Saran...............................................................................................................23

i
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Aliran Ahlussunah Wal Jamaah merupakan aliran yang dijanjikan
Rasulullah akan masuk kedalam surga. Berdasarkan hadist Nabi:
“Mahmud bin Ghoilan menceritakan kepada kami, Abu Dawud Al-Chaqari
menceritakan kaepada kami, dari Sufyan Al-Tsauriy dari Abdurrahman bin
Ziyad Al-Afriqiy dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Umar, Ia
berkata “Rasulullah SAW. Bersabda “Niscaya akan datang kepada
ummatku suatu perbuatan yang dilakukan juga kaum Israil, nyaris laksana
langkah sepasang sandal, sehingga jika salah seorang kaum Israil berzina
dengan ibunya dengan terang-terangan maka hal itu juga akan terjadi di
ummatku. Sesungguhnya kaum Israil akan bercerai-berai menjadi 72
aliran, dan ummatku pecah menjadi 73 aliran, semua masuk neraka kecuali
satu,” Sahabat bertanya “Siapa yang satu itu wahai Rasulullah?” Beliau
menajwab “ialah mereka yang berpegang teguh pada aqidah yang sama
dengan aku dan sahabatku” (HR. Tirmidzi, No 2641)

Dalam masalah Aqidah Menurut Abdul Qahir termasuk dalam


tujuh puluh tiga golongan tersebut yaitu Rowafidl terbagi menjadi dua
puluh, Khawarij terbagi menjadi dua puluh, Qadariyah terbagi menjadi
dua puluh. Murji’ah terbagi menjadi dua puluh, Najariyah terbagi menjadi
tiga, Bakriyah, Dlororiyah, Jahmiyah, Karamiyah, Dan yang terakhir yaitu
Ahlussunah Wal Jamaah. Mengacu hadist diatas, setiap golongan dalam
Islam mengaku bahwa aliran/ajaran merekalah yang disebut Nabi sebagai
golongan yang akan masuk surga, atau yang biasa dikenal sebagai
Ahlussunah Wal Jamaah. Akan tetapi Aqidah maupun Syari’ah mereka
berbeda-beda, dan yang benar hanyalah satu.

Berdasarkan Muktamar Internasional Ulama Islam, untuk


memperingati haul al-Syahid Presiden Syaikh Ahmad Haji Kadyrov
dengan tema: “Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah? Penjelasan Manhaj

1
Ahlussunnah Wal Jamaah; Akidah, Fikih dan Akhlak serta Dampak
Penyimpangan darinya di Tataran Realitas.” Pada malam Kamis 21
Dzulqa’dah 1437 H  (25 Agustus dua puluh16. Memutuskan bahwa
Ahlussunnah Wal Jamaah adalah Asyairah dan Maturidiyah dalam akidah,
empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dalam fikih, serta ahli
tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak—sesuai manhaj Imam Junaeid dan
para ulama yang meniti jalannya. Itu adalah manhaj yang menghargai
seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunnah), dan
telah benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-
tujuannya dalam menjaga jiwa dan akal, menjaga agama dari distorsi dan
permainan tangan-tangan jahil, menjaga harta dan kehormatan manusia,
serta menjaga akhlak yang mulia.

Dari keputusan tersebut bisa diambil pengertian bahwa golongan


Ahlussunah Wal Jamaah yaitu golongan yang dalam teologi(Aqidah)
mengikuti faham As’ariyah atau Maturidliyah, dalam bidang Fiqh
Mengikuti salah satu dari Madzahibul Arbaah yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iah dan Hanabalah. Sedangkan dalam bidang tasawuf mengikuti
Imam Junaidi, atau yang sepaham dengan beliau, yang masyhur yaitu
mengikuti Imam Al-Ghazali.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana paham aswaja dalam bidang aqidah, fiqih, dan tasawuf ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana paham aswaja dalam bidang aqidah, fiqih,
dan tasawuf

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Aqidah

Aqidah (keyakinan[4]) dalam Islam bisa dikelompokan menjadi 6


pembahasan, yaitu : tentang Ketuhanan, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari
Akhir dan Qada’ qadar [5]. Hal ini berdasarkan dengan Hadist Nabi :
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Jarir dari Umarah -yaitu Ibnu al-Qa’qa’- dari Abu
Zur’ah dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Kalian bertanyalah kepadaku’. Namun mereka takut
dan segan untuk bertanya kepada beliau. Maka seorang laki-laki datang
lalu duduk di hadapan kedua lutut beliau, laki-laki itu bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat,
membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya,
beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para
Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman
kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya
lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika
kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Dia berkata,
‘Kamu benar’.”[6](HR. Muslim)

Jadi pembahasan aqidah (teologi) meliputi keyakinan mengenai


Ketuhanan beserta sifat-sifatNya, Malaikat beserta tugas-tugasnya, Kitab
Suci beserta sifat kewahyuanya, Rasul, Hari Akhir dan takdir Allah, yang
baik maupun yang buruk. Qada’ qadar.

3
1. Doktrin Aqidah Dalam Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah
a. Ketuhanan (Tauhid)
Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah
meyakini bahwa Tuhan memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang
wajib diketahui oleh umat islam adalah sebagai berikut:
1) Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.
2) Qidam, Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada
yang mendahuluinya.
3) Baqa’, Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
4) Mukhalafatu lil hawadisi, Tuhan berbeda dengan makhlukNya.
Mustahil Allah menyerupai makhlukNya.
5) Qiyamuhu bi nafsihi, Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah
membutuhkan perkara lain.
6) Wahdaniyah, Mustahil Allah berbilangan.
7) Qudrat, Mustahil Ia Lemah.
8) Iradat, Mustahil bagi Allah
9) ‘Ilmu, Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil
bagiNya tidak memiliki ilmu.
10) Hayat, Mustahil Ia mati.
11) Sama’, Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
12) Bashar, Mustahil Allah buta.
13) Kalam, Mustahil Ia bisu.
14) Qadiran, Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia
dalam keadaan lemah.
15) Muridan, Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak menghendaki.
16) ‘Aaliman, Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak mengetahui.
17) Hayyan, Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam
keadaan mati.
18) Sami’an, Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar.
Mustahil ia dalam keadaan tuli.

4
19) Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil
Ia dalam keadaan buta.
20) Mutakaliman, Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia bisu[7].
Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah
sebagai sifat yang wajib dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki
Allah. Jumlah keseluruhan sifat diatas berjumlah empat puluh, dan
ditambah satu sifat lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh
menciptakan sesuatu dan tidak menciptakanya. Maksudnya Allah
mempunyai hak preogatif atas semua ciptaanNya. Berbeda dengan
aliran Mu’tazilah, aliran Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini)
bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali , mereka mengatakan bahwa
Allah tidak memiliki sifat Qudrah, ilmu, iradah, dan hayat.[8]
b. Malaikat
Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada
makhluk yang tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya,
makhluk tersebut bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan
Allah yang ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan tugas
masing-masing yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari
perbuatan salah. Jumlah malaikat tidak terhitung, akan tepapi
malaikat yang wajib diketahui berjumlah sepuluh, dengan tugas
masing-masing.
1) Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.
2) Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti
mengatur hujan, angin, tanah, dan kesuburanya.
3) Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup
terompet tanda kiyamat, dibangkitkan dari kubur, berkumpul di
padang masyar dan lain sebagainya.
4) Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
5) Munkar, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam
kubur.

5
6) Nakir, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam
kubur.
7) Rakib, bertugas mencatat amal baik.
8) ‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
9) Malik, Bertugas menjaga neraka.
10) Ridwan, bertugas menjaga surga[9].
Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan
diyakini oleh setiap umat islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain
umat islam hanya wajib mempercayai bahwa ada malaikat lain
yang ditugaskan oleh Allah dengan tugas masing-masing, seperti
malaikat Rahmat yang bertugas membagikan belas kasih Allah
kepada hambaNya.
c. Kitaab Allah
Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat
kepada sebagian NabiNya yang berupa kitab, sebagai tuntunan
hidup manusia. Kitab yang diturunkan Allah berjumlah banyak,
karena Rasul berjumlah banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib
diketahui oleh umat islam berjumalah empat:
1) Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As.
2) Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As.
3) Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As.
4) Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[10]
Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam.
Sedangkan kitab yang lain, seperti shuhuf  Nabi Ibrahim As.
Umat islam tidak wajib mengetahui secara terperinci.
d. Nabi Dan Rasul
Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah
memilih sebagian manusia untuk mengabarkan dan mengajak
manusia agar melaksanakan syari’at yang dibawanya, orang
tersebutlah yang dinamakan Rasul(Utusan Allah). Sedangkan yang
hanya mendapatkan wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk
menyampaikan syariat tersebut kepada manusia disebut nabi.

6
Jumlah Nabi banyak, dan yang termasuk rasul berjumlah tiga ratus
tida belas[11]. Akan tetapi yang wajib diketahui oleh
orang mukallaf[12] berjumlah dua puluh lima, yakni: 1) Adam. 2)
Idris 3) Nuh 4) Hud 5) Sholih 6) Ibrahim 7) Luth 8) Ismail 9) Ishaq
10) Ya’qub 11) Yusuf 12) Ayub 13) Syu’aib 14) Musa 15) Harun
16) Zulkifli 17) Daid 18) Sulaiman 19) Ilyas 20) Ilyasa’ 21) Yunus
22) Zakariya 23) Yahya 24) Isa 25) Muhammad ‘alaihim al-
salam. [13]
Rasul juga memiliki beberapa sifat yang wajib diyakini
kebenaranya. Rasul memiliki empat sifat wajib dan empat
sifat mustahil(tidak mungkin dimiliki), yaitu :
1) Sidq (Benar), mustahil ia pendusta.
2) Amanah (Dipercaya), mustahil ia khianat.
3) Tabligh (Menyampaikan), mustahil ia menyembunyikan.
4) Fathanah (pintar), mustahil ia dungu.
Rasul juga memiliki sifat jaiz , yaitu Rasul juga memiliki sifat-sifat
manusia yang tidak merendahkan drajat Rasul, seperti makan,
minum, tidur, dan lain sebagainya.[14] Keseluruhan Dari sifat
wajib yang dimiliki Allah, yang mustahil dimiliki Allah, jaiz, sifat
wajib Rasul, sifat mustahil Rasul dan sifat jaiz Rasul berjumlah
lima puluh sifat, yang biasa disebut dengan ‘aqoid seket (lima
puluh aqidah).
e. Hari Kiamat
Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia
ada kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Dimana semua
manusia dihidupkan kembali dan  dimintai pertanggung jawaban
atas semua perbuatanya di dunia, kemudian menerima balasanya,
berupa surga dan neraka. Aswaja juga meyakini bahwa kenikmatan
surga bersifat kekal, begitu juga siksa neraka bagi orang yang
menyekutukan Allah[15]. Berbeda dengan pendapat Aliran
‘Amraiyah yang termasuk pecahan dari golongan mu’tazilah yang
berpendapat bahwa semua ciptaan Allah akan sirna, termasuk

7
kenikmatan surga dan neraka[16]. Namun sebelum berlangsungnya
kehidupan akhirat aliran Aswaja meyakini bahwa akan terjadi yaum
al-akhir (hari akhir)[17], atau yang biasa disebut dengan hari
kiamat.
Jadi pada akhir kehidupan ini akan terjadi kiamat, yakni hari
dimana semua manusia akan mati, kemudian dibangkitkan kembali
untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka didunia dan
menerima balasanya.
f. Qadha’ Dan Qadar
Qodha menurut faham Aswaja adalah ketetapan Tuhan pada
zaman azali tentang sesuatu[18]. Sedangkan realisasi
dari qadha’  tersebut dinamakan qadar. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa yang dinamakan Qadha ialah rencana Allah
yang telah ditetapkan terhadap sesuatu sebelum menciptakanya,
sedangkan Qadar ialah pelaksanaan dari ketetapan tersebut.
Contoh: Allah menetapkan Fulan dilahirkan di Indonesia sebelum
Allah menciptakanya, inilah yang dinamakan Qadha. Kemudian
Fulan dilahirkan di Indonesia, inilah yang dinamakan Qadar. Aliran
Aswaja meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk, baik
berupa keadaan maupun perbuatan tidak lepas dari Qadha Dan
Qadar Allah. Berbeda halnya dengan pendapat mayoritas Aliran
Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan manusia, semua yang dilakukan manusia adalah
kehendak mereka sendiri, bahkan Allah tidak mampu merubahnya. 
Bahkan mereka berpendapat bahwa Allah tidak mampu
menetapkan sesuatu yang telah menjadi hak manusia[19].
2. Madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah Dalam Bidang Aqidah
Dalam bidang teologi aliran Aswaja menganut dua madzhab, yakni
Madzhab Asyariyah dan Maturidliyah. Munculnya Asyariyah dan
Maturidliyah merupakan upaya pendamaian antara aliran Jabariyah
yang fatalistik dan Qadariyah yang mengagungka manusia sebagai
penentu seluruh kehidupan[20]. Kedua madzhab ini menerapkan

8
sikap tawasuth (moderat) dalam beraqidah, sikap ini sangat diperlukan
untuk merealisasikan kebijaksanaan dalam Islam. Berikut penjelasan
kedua madzhab tersebut.
a. Al-Asyariyah
Madzhab Asyariyah adalah madzhab  teologis yang dinisbatkan
terhadap pendirinya, Al-Imam Abu Hasan Al-Asyari. Madzhab ini
diikuti mayoritas kaum Ahlussunah Wal Jamaah[21]. Madzhab ini
lahir pada masa perkembangan pengetahuan Islam, dimana
kebebasan berpikir sangat terbuka ketika itu.
1) Biografi imam abu hasan al-as’ariy
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Bin Ismail bin Abi
Bisyr bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asyari. Nama al-
Asyari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-
laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan
tinggal di Yaman[22]. Negri Yaman yang memiliki peradaban
yang relatif lebih maju pada masa awal-awal Islam, melebihi
daerah lain di semenanjung Arabia, memberikan pengaruh
positif terhadap pembentukan kultur dan karakter penduduk
Yaman, yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran,
menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan selalu
berpikir positif terhadap keadaan yang dihadapi[23]. Ia lahir di
Basrah pada tahun 260 H/873 M, setelah berusia lebih dari 40
tahun ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun
324 H/935 M[24].
Al-Asyari mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 Tahun.
Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah
dan tidak jarang mewakili gurunya Ali al-Jubba’i dalam forum-
forum perdebatan, akhirnya ia keluar dari Aliran Mu’tazilah dan
kembali pada aliran Aswaja. Ia mengumumkan di hadapan
jamaah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan-keburukanya[25].

9
Alasan al-Asyari meninggalkan mu’tazilah diantaranya :
a) Ketidakpuasan al-Asyari terhadap ideologi Mu’tazilah yang
selalu mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan
jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi yang
sama[26].
b) Rasulullah sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, 20
dan 30 bulan Ramadan. Dalam tiga kali mimpinya,
Rasulullah memperingatkan agar segera meninggalkan
paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah
diriwayatkan dari beliau.[27]
2) Pokok Ajaran Imam Abu Hasan Al-As’ariy
Faham Asyariyah merupakan jalan tengah diantara kelompok-
kelompok yang berkembang pada masa itu. Yaitu faham
Jabariyah dan Qadariyah, keduanya saling bersebrangan.
Berikut beberapa pokok pemikiran al-Asyari:
a) Tuhan dan sifatNya. Al-Asyari dihadapkan pada dua
pandangan yang extrem, yakni sifatiyah (Pemberi
sifat[28]), mujasimiyah (antropomosif[29]), dan
kelompok musyabihin (penyamaan).[30] Disisi lain ia
berhadapan dengan Mu’tazilah yang tidak mempercayai sifat
Allah[31]. Al-Asyari berpendapat bahwa Allah memiliki
sifat, tetapi sifat-sifat allah tidak seperti makhluknya.
Sedangkan sifat yang disebutkan dalam alQuran hanya
sebagai simbolis. Seperti makna yadullah secara harfiyah
bermakna tangan Allah, akan tetapi yang dimaksud kata
tersebut yaitu kekuasaan Allah, kata tangan sebagai simbol
dari kuasa Allah.
b) Kebebasan dalam berkehendak. Al-Asyari berpendapat
bahwa Allah adalah Sang Pencipta perbuatan manusia adalah
yang mengupayakanya[32]. Menurutnya perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah, akan tetapi manusia memiliki peranan
dalam perbuatanya[33]. Pendapat ini menegahi antara faham

10
Qadariyah dan Jabariyah, jadi manusia tetap dituntut untuk
aktif dan kreatif dalam bertindak. Akantetapi tetap meyakini
kuasa Allah.
c) Akal dan wahyu. Al-Asyari lebih mengutamakan wahyu dari
pada akal, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal dari
pada wahyu[34]. Jadi menurutnya wahyu adalah sumber dari
Islam, tetapi ia tidak mengesampingkan akal, karena akal
juga tetap diperlukan dalam memahami wahyu tersebut.
d) Al-Quran itu Qadim. Ia berpendapat bahwa al-Quran
merupakan manifestasi dari kalam Allah, yang berarti Al-
Quran bukanlah makhluk, karena kalam Allah bersifat Hal ini
berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang mengatakan Al-
Quran adalah makhluk.
e) Melihat Allah. Al-Asyari berpendapat bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat, tetapi tidak digambarkan[35].
f) Al-Asyari berpendapat bahwa Allah itu adil. Akan tetapi
berbeda pemahaman dengan Mu’tazilah yang mengatakan
Allah adil, Allah akan membalas perbuatan baik dengan
nikmat dan perbuatan buruk dengan siksa, akan tetapi Allah
tidak berkuasa untuk merubahnya. Menurut sebagian
Mu’tazilah, yakni golongan Nadzamiyah, Allah tidak mampu
mengurangi nikmat surga dan menambah siksa neraka,
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan Allah[36].
Bagi mereka, Allah wajib memasukan orang yang berbuat
baik kedalam surga dan orang yang buruk dalam neraka.
Allah tidak mampu menetapkan selain itu.sedangkan bagi
Ahlussunah Wal Jamaah Allah memiliki hak mutlak terhadap
semua cptaanya. Menurut Aswaja seseorang yang
mendapatkan siksa merupakan keadilan dari Allah,
sedangkan kenikmatan adalah Anugrah dari Allah.
g) Kedudukan Orang yang berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran
posisi menengah (al-manzil baina al-manzilataini).

11
b. Al-Maturidliyah
Pendiri aliran ini adalah Abu Manshur ibn Muhammad ibn
Mahmud al-Maturidi. Yang mana nisbat dari nama beliau menjadi
nama dari faham yang ia bawa. Madzhab ini berhadapan langsung
dengan berbagai faham kelompok-kelompok yang banyak. Seperti
Mu’tazilah, Mujasimiyah, Qaramithhah dan juga Jahmiyah. Juga
kelompok non muslim seperti Yahudi, Majusi dan Nasani.
1) Biografi Imam Abu Manshur Al-Maturidli
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-
Maturidi dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan
yang bernama Maturidi, di wilayah Transoziana di Asia Tengah,
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahiranya
tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad k3-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944
M. Gurunya di bidang fiqh dan teologi adalah Nasyr bin Yahya
al-Balakhi. Al-Maturidi hidup pada masa Khalifah al-Muawakil
yang memerintah pada tahun 232-274 H[37].
2) Pokok Ajaran Imam Abu Manshur Al-Maturidli
Pada prinsipnya aqidah Maturidi memiliki keselarasan dengan
konsep aqidah Asyariyah.  Yang sedikit membedakan antara
keduanya yakni bahwa Asyariyah fiqnya
menggunakan Madzhab Imam Syafi’i dan Imam Maliki,
sedangkan Maturidi menggunakan Madzhab Imam Hanafi[38].
Berikut beberapa pokok pemikiran Imam al-Maturidi dalam
aqidahnya:
a) Akal dan Wahyu. Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran
dan akal. Dalam bab ini, pandanganya hampir sama dengan
Asyari[39]. Maturidi berpendapat bahwa suatu kesalahan jika
kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql)[40],
sama juga salah apabila larut tidak terkendali dalam
menggunakan rasio (akal)[41]. Jadi konsep yang diiambil
oleh al-Maturidli adalah pendamaian/penyeimbangan antara

12
akal dan wahyu (naqli dan ‘aqli), walaupun al-Maturidi tetap
berpendapat bahwa wahyu harus diterima secara penuh, tapi
penggunaan akal sama pentingnya untuk mendalami wahyu
dan kuasa Allah.
b) Perbuatan Manusia. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaanNya. Dalam hal ini al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia
dan qadrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia[42].
Jadi al-Maturidi merumuskan bahwa manusia diberi
kehendak bebas (ikhtiar) untuk memilih dan berbuat, akan
tetapi semua hal tersebut tidak lepas dari qadrat
c) Sifat Allah. Kepercayaan Al-Maturidi mengenai sifat-sifat
Allah sama dengan al-Asyari, yakni Allah memiliki sifat-sifat
seperti yang telah disebutkan. Tetapi mengenai pengertian
sifat menurut al-Asyari dan al-Maturidi sedikit berbeda,
menurut al-Asyari, sifat Allah adalah sesuatu yang bukan
dzat, melainkan melekat pada dzat. Sedangkan menurut al-
Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensiNya dan bukan
pula lain dari esensiNya mulazamah (ada bersama) dzat tanpa
terpisah[43]. Perbedaan tersebut hanya dalam memaknai
letak sifat Allah, tapi keduanya sama-sama meyakini bahwa
Allah memiliki sifat.
d) Melihat Allah. Al-Maturidi juga mempercayai bahwa di
akhirat nanti, seorang hamba mampu melihat tuhanya.
Namun tidak dalam sebuah bentuk atau gambaran, karena
kehidupan akhirat berbeda dengan dunia.
e) Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat kalam Allah itu tidak
berupa huruf, kata, maupun suara. Berbeda
dengan kalam manusia yang membutuhkan kata atau suara.
Kalam Allah ini disebut sebagai kalam

13
nafsi. Sedangkan kalam yang membutuhkan kata atau suara
disebut kalam hadits.
f) Pelaku dosa besar tidak termasuk orang kafir dan tidak kekal
dalam neraka, walaupun ia mati sebelum bertaubat[44].
g) Pengutusan Rasul. Al-Maturidi berpendapat bahwa
pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah
kewajiban Allah agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupan. Pengutusan Rasul berfungsi sebagai
sumber informasi[45].
B. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Fiqh
Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang
mana keduanya turun beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan masyarakat
ketika itu. Ketika Rasulullah masih hidup jika ada permasalahan agama
bisa langsung diselesaikan dihadapan Rasulullah. Setelah Rasulullah
wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum dijelaskan secara tegas
dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk memecahkan persoalan tersebut
perlulah dilakukan ijtihad untuk istimbath hukum. Orang yang mampu
berijtihad biasa disebut mujtahid, seorang yang mampu berijtihad secara
mandiri dan mampu mempolakan pemahaman (manhaji)
tersendiriterhadap sumber pokok islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah
disebut mujtahid muthlaq mustaqil. Pola pemahaman ajaran islam dengan
melalui ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman
dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat
Islam yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri karena keterbatasan
ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Orang yang mengikuti hasil ijtihad
para mujtahid muthlaq disebut bermadzhab atau taqlid[46]. Dengan sistem
bermadzhab ini ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan
dan diamalkan dengan mudah oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola
bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di
deklarasikan oleh para ulama’ yang mencapai tingkatan mujtahid
mutlaq.Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan diikuti oleh kaum

14
muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan al-
Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits bin Sa’ad,
al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain[47]. Akan tetapi seiring perkembangan
zaman, dari sekian banyak madzhab fiqih hanya empat yang tetap eksis
digunakan oleh aliran Aswaja, yaitu madzhab Imam Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Alasan kenapa empat madzhab ini yang tetap dipilih
oleh Aswaja yaitu:
 Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur.
 Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Mujtahid Muthlaq
Mustaqil,yaitu Imam mujtahid yang mampu secara mandiri
menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan
proses istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.
 Para Imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten mengajar
dan mengembangkan madzhabnya yang didukung dengan buku induk
yang masih terjamin keasliana.
 Keempat Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan
intelektual diantara mereka[48].
Berikut penjelasan singkat mengenai empat madzhab tersebut:
1. Hanafiyah
Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin
Tsabit al-Kufi.  Beliau lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di
Baghdad. Abu Hanifah berdarah Persia. Imam Hanifah digelari al-Imam
al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh panutan di Iraq.
Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya.
Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu
hanifah yang menjadi rujukan Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua
orang murid utamanya, yitu Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad
bin Hasan al-Syaibani[49]. Pada mulanya madzhab ini diikuti oleh
kaum muslim yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran Imam Abu
Hnifah. Setelah muridnya, Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung
pada masa Daulah Abasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di
negara-negara Persia, Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab

15
Hanafi diikuti oleh kaum Muslim di negara-negara Asia Tengah, yang
dalam refrensi klasik dikenal dengan negri sebrang Sungai Jihun
(Sungai Amu Daria dan Sir Daria), negara Pakistan, Afganistan, India,
Banglades, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang teologi
mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.
[50]
2. Malikiyah
Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik
bin al-Ashbahi[51]. Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H
di madinah. Imam Malik dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam
Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal, sehingga kitab
monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab hadits
hukum yang paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan
Muslim. Imam Malik juga mempunyai manhaj istinbath yang
berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya berjudul al-Mahlahah al-
Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah[52]. Madzhab ini diikuti
mayoritas kaum Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia,
Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi
seluruh Madzhab Maliki mengikuti faham al-Asyari, tanpa terkecuali.
Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-Subki[53].
3. Syafi’iyah
Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin
Idris al-Syafi’i. Lahir pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H
di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang
memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi.Karena cukup lama
menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid
besar Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis
menjadi buku pertama dalam bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-
Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam, yang disampaikan
selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan
yang disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru)
[54]. Madzhab Syafi’i diakui sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah

16
pengikutnya diseluruh dunia, yang diikuti oleh mayoritas kaum muslim
Asia Tenggara, seperti Indonesia, India bagian selatan seperti daerah
Kirala dan Kalkutta, mayoritas negara syam seperti Siria, Yordania,
Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk Yaman, mayoritas
penduduk Kurdistan, kaum Sunni Iran, mayoritas penduduk mesir dan
lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas pengikut madzhab Syafi’i
mengikuti al-Asyari, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Imam
Tajuddin al-Subki[55].
4. Hanbali
Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada
tahun 164 H, di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-
Hadits. Beliau merupakan murid Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan
sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali mewariskan sebuah
kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad
Ahmad[56]. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya
madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan
mengakar di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas
penduduk Najd dan sebagian kecil penduduk Mesir dan Syam[57].
Dalam bidang teologi mayoritas ulama’ Hambali mengikuti aliran al-
Asyari.
C. Pemahaman Aswaja Dalam Bidang Tasawuf
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan
pedoman bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih,
dimana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga
demikian adanya. Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah,
tetapi bukan berarti meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat
memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan dunia, namun
kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam memenuhi urusan
dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional. Dasar utama tasawuf
Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada
orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun
meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan

17
Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani
para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa
mempelajari fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang
memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri.
Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan
kebenaran.”[58] Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan
menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi
Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-
pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan
oleh tabi’in, tabi’ut tabi’insampai pada para ulama sufi hingga sekarang.
Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para
ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial
mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan
duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang
dilakukan mereka.[59]  Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka
bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab tasawuf
tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah
syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti
praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq”
atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[60] Kaum
Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang
moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah
sebagaimana sudah dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga
Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

18
1. Abdul Qadir al-Jailani
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan
Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint
al-Syekh Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw.,
melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata,
“Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan
Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan.”[61] Ketika
berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju
Baghdad. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama,
antara lain Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan
juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada ulama-
ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada tahun 521
H/1127 M, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan
fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak butuh waktu lama beliau
segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan
waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.[62]
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat
Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat
ini terus berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski
Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut,
namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti
Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia.
2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad
bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi.
Beliau dilahirkan di kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun
kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah, sementar
Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi
(w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi

19
gurunya. Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela
telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima madzhab
yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang gelar
“Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan
Pemimpin kaum sufi).
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin
Chalim,[63]mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang
mengantarkan al-Junaid menjadi satu-satunya figur yang berhak
menyandang gelar tersebut sehingga diakui sebagai acuan dan standar
dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.
a. Konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid
terhadap al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif
terhadapnya dalam membangun madzhabnya di atas fondasi Islam
yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa adanya pengetahuan yang
memadai dianggap bisa membawa seseorang ke dalam kesesatan.
Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama
sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
b. konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum
pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang
tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang
jika seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan
tertutup baginya.
c. Kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di
atas fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal
Jama’ah.
d. Ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat
merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid
memandang bahwa orang yang baik bukanlah orang yang
berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak ikut
berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia.
Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem
yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada

20
derajat makrifatatau wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran
agama tidak diperlukan lagi baginya.
3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di
kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal
dengan al-Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang
menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja
sebagai pemintal tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali
dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain
dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin
Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh
Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah al-
Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi’i. Imam al-
Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar
aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia
telah menulis puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya
Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran Islam). Melalui kitab
tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan
tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan
syariah.[64]
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid
al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat
yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran
kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah
ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara
individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan
pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat
dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima

21
oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan
ketertundukan.[65]

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
ASWAJA berpendiri untuk mengikuti ajaran fiqih yg dikembangkan oleh
4 imam madzhab, yaitu:
1. Imam Abu Hanifah
2. Imam Malik Bin Annas
3. Imam Ahmad Bin Idris(Syafi’i)
4. Imam Hambali
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah
menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari
di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan
mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola
hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka
dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata
Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Tasawuf atau yang biasa dikenal dengan akhlak, merupakan dimensi
penting islam. Sebab misi diutusnya Rasulullah SAW. ke muka bumi tak
lain adalah untuk menyempurnakan moralitas manusia.

B. Saran
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam,
Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-
Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya.
Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik
negara maupun kerajaan – harus mengikuti salah satu imam 4 madhab.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?
bk_no=2&ID=1671&idfrom=2564&idto=2568&bookid=2&startno=1
2. Aliran qodariyah merupakan keyakinan yang dianut sebagian golongan
khawarij.
3. Abdul Qahir Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, dua
puluh13. V)
4. http://www.salafynews.com/7-hasil-muktamar-internasional-aswaja-di-
chechnya.html
5. Taufiqul Hakim Kamus Amtsilati (Jepara: Al Falah ofcite, 2014),
6. Sirajuddin Abbas I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah (Jakarta Selatan :Pustaka
Tarbiyah Baru, 2008, III)
7. Muslim bin Hijaj Shahih Muslim (Beirut: Darul Ichya’ Al-Kutub Al-Arabiyah)
8. http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?
bk_no=1&ID=9&idfrom=80&idto=398&bookid=1&startno=1
9. Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah, (Surabaya, Khalista, 2010, III).
10. Muhamad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ariyah (Surabaya, Khalistta,2009,I),
11. Abu Hasan Ali al-hasani al-Nadhowi, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut : Dar al-
syuruq, 1984),
12. Haryanto Alfandi, Edi Rohani, Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah,
(Yogyakarta: LKIS, 2017,I),
13. Muhammad Hisyam Kabbani,Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan
Kedzaliman,(Serambi: Jakarta, 2007).
14. Abdul Qadir al-Jailani,Kisah Hidup Sultan Para Wali dan Rampai PEsan yang
Menghidupkan Hati, Cet. IV. (Penerbit Zaman: Jakarta, 2012).
15. K.H Saifuddin Chalim, M.AMembumikan Aswaja, Pegangan para Guru
NU, (Khalista: Surabaya, 2012).
16. Soelaeman Fadeli, dan Muhammad Subhan, S.Sos.,Antologi NU: Sejarah,
Istilah, Amaliah, Uswah, (Khalista: Surabaya, 2007).
17. http://www.tintaguru.com/2017/05/madzhab-akidah-fiqih-dan-tasawuf-nu.html

[1] Muhammad Bin ‘Isa Bin Surah Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi (Maktabah


Islamiyah) Hal. 2/5,

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?
bk_no=2&ID=1671&idfrom=2564&idto=2568&bookid=2&startno=1

[2] Aliran qodariyah merupakan keyakinan yang dianut sebagian golongan


khawarij.

[3] Abdul Qahir Al-Farqu Bainal Firaq (Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, dua


puluh13. V) Hal.19.

24
[4] http://www.salafynews.com/7-hasil-muktamar-internasional-aswaja-di-
chechnya.html

[5] Taufiqul Hakim Kamus Amtsilati (Jepara: Al Falah ofcite, 2014), Hal 422

[6] Sirajuddin Abbas I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah (Jakarta Selatan :Pustaka


Tarbiyah Baru, 2008, III) Hal 27

[7] Muslim bin Hijaj Shahih Muslim (Beirut: Darul Ichya’ Al-Kutub Al-Arabiyah)


Hal. 39. No. Hadist : 11

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?
bk_no=1&ID=9&idfrom=80&idto=398&bookid=1&startno=1

[8] Sirajuddin Abbas. Op.cit. hal. 28-37

[9] Abdul Qahir, Op.cit. hal. 257

[10] Ibid 42

[11] Ibid. 48

[12] Abdul Qahir, Op.cit. hal. 264

[13] Orang islam yang sudah berakal dan baligh.

[14] Ibid 53

[15] Ibid 58

[16] Abdul Qahir, Op.cit. hal. 270

[17] Ibid. 85

[18] Sirajuddin Abbas. Op.cit. hal. 70

[19] Ibid. 75

[20] Abdul Qahir, Op.cit. hal. 87

[21] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah, (Surabaya, Khalista, 2010, III).


Hal 21.

[22] Muhamad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ariyah (Surabaya, Khalistta,2009,I),


Hal. 1.

[23] Ibid. 12.

[24] Abu Hasan Ali al-hasani al-Nadhowi, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut : Dar


al-syuruq, 1984),  Hlm. 56.

25
[25] Haryanto Alfandi, Edi Rohani, Pengantar Studi Aswaja An-
Nahdliyah, (Yogyakarta: LKIS, 2017,I), Hal. 61

[26] Ibid.

[27] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 21.

[28] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 21.

[29] Aliran yang meyakini Allah memiliki sifat.

[30] konsep persepsi bahwa Tuhan memiliki bentuk seperti manusia pada


umumnya.

[31] Golongan yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat seperti sifat yang
tertera dalam al-Quran secara verbal.

[32] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 62.

[33] Ibid. 63.

[34] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 15.

[35] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 63.

[36] Ibid. 64.

[37] Abdul Qahir, Op.cit. hal. 95.

[38] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 65.

[39] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 17-18.

[40] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 66.

[41] Ketetapan hukum islam yang bersumber dari al-Quran atau al-sunnah.

[42] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 18.

[43] Haryanto Alfandi, Edi Rohani Haryanto Alfandi, Edi Rohani, op.cit. hal 67.

[44] Ibid. 68

[45] Ibid. 69.

[46] Ibid. 70.

[47] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 24.

[48] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 112.

26
[49] Ibid. 28-29.

[50] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 26.

[51] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 113.

[52] Ibid.

[53] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 27.

[54] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 113-134.

[55] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 27-28.

[56] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 114..

[57] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal 28.

[58] Muhamad Idrus Ramli, op.cit. hal 114.

[59] Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan


Kedzaliman,(Serambi: Jakarta, 2007). hal. 63

[60] PWNU Jawa Timur, Op.Cit., hal. 27

[61] Ibid.

[62] Abdul Qadir al-Jailani, Kisah Hidup Sultan Para Wali dan Rampai PEsan
yang Menghidupkan Hati, Cet. IV. (Penerbit Zaman: Jakarta, 2012). hal. 16

[63] Ibid.

[64] Dr. K.H Saifuddin Chalim, M.A Membumikan Aswaja, Pegangan para Guru


NU, (Khalista: Surabaya, 2012). hal 137-142

[65] H. Soelaeman Fadeli, dan Muhammad Subhan, S.Sos., Antologi NU:


Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Khalista: Surabaya, 2007). hal. 152.

[66] Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah. op.cit. hal . 30

http://www.tintaguru.com/2017/05/madzhab-akidah-fiqih-dan-tasawuf-nu.html

Iklan

27
28

Anda mungkin juga menyukai